Category: Detik.com Internasional

  • Kekurangan Serdadu, Militer Ukraina Kerahkan Desertir

    Kekurangan Serdadu, Militer Ukraina Kerahkan Desertir

    Jakarta

    Militer Ukraina kewalahan merekrut pasukan infanteri, demi mengimbangi tingginya angka kematian di medan tempur seiring serangan sengit Rusia. Akibatnya, sejumlah unit yang pernah melarikan diri kini diberikan kesempatan kedua untuk berbakti.

    Data dari Kejaksaan Agung menunjukkan hampir 95.000 kasus pidana sejak 2022 terhadap tentara yang “absen kerja tanpa izin” dan melakukan pidana serius berupa desersi dari medan perang.

    Jumlah kasus meningkat tajam setiap tahunnya. Tahun 2024, misalnya, mencatatkan hampir dua pertiga dari total kasus desersi.

    Ditambah dengan puluhan ribu tentara yang terbunuh atau terluka, Ukraina tidak mampu menanggung kerugian yang sangat besar. Belum lama ini, mingguan Inggris The Economist menaksir, jumlah kematian serdadu di pihak Ukraina berkisar antara 60.000-100.000 tentara sejak 2022.

    Janji pengampunan bagi desertir

    Kini, beberapa unit militer memperkuat kembali jajaran mereka dengan menerima prajurit yang sebelumnya dinyatakan absen tanpa izin alias AWOL.

    Salah satunya adalah Brigade ke-47 Ukraina, yang bulan lalu menerbitkan postingan media sosial memanggil para prajurit desertir untuk kembali berperang.

    “Tujuan kami adalah memberi setiap prajurit kesempatan untuk kembali ke militer dan menyadari potensinya,” demikian pengumuman dalam posting tersebut. Dalam dua hari pertama, kata militer Ukraina, lebih dari seratus lamaran masuk.

    Dua unit militer yang diwawancarai Reuters mengatakan bahwa mereka hanya merekrut prajurit yang telah menghilang tanpa izin dari pangkalan, bukan yang telah membelot dari pertempuran.

    Yang pertama dianggap sebagai pelanggaran yang lebih ringan dalam militer Ukraina. Sebuah undang-undang yang mendekriminalisasi pelanggaran absensi pertama seorang prajurit, dan memungkinkan mereka untuk kembali bertugas.

    Ribuan penuhi panggilan

    Kolonel Oleksandr Hrynchuk, wakil kepala polisi militer Ukraina, mengatakan pada hari Selasa (3/12), bahwa 6.000 tentara yang melarikan diri telah kembali bertugas pada bulan lalu, termasuk 3.000 dalam 72 jam sejak undang-undang antidesersi diratifikasi.

    Mykhailo Perets, seorang perwira dari batalion K-2 dari Brigade ke-54 Ukraina, mengatakan batalionnya telah merekrut lebih dari 30 orang yang telah melarikan diri dari unit lain. “Alasan mereka sangat berbeda, bagi sebagian orang, transisi langsung dari kehidupan sipil terlalu sulit, yang lain bertugas selama satu atau dua tahun sebagai pilot yang memenuhi syarat tetapi kemudian dikirim ke garis depan karena tidak ada cukup infanteri.”

    Perets mengatakan mereka yang mendaftar juga termasuk orang-orang yang kelelahan dan melarikan diri setelah berperang selama tujuh atau delapan tahun, setelah bertempur melawan pasukan yang didukung Rusia di Ukraina timur sebelum tahun 2022.

    Menurut Gil Barndollar, seorang peneliti nonresiden di lembaga pemikir Defense Priorities di Amerika Serikat, peningkatan jumlah serdadu AWOL kemungkinan besar disebabkan oleh kelelahan.

    Sejumlah tentara sebelumnya mengeluhkan, kurangnya pengganti bagi tentara yang hilang memberikan tekanan yang tak tertahankan bagi mereka yang tersisa, membuat mereka kelelahan secara fisik dan mental.

    Barndollar juga menyoroti usia rata-rata mereka sebagai tekanan tambahan. “Sekelompok tentara, yang sering kali kesehatannya buruk, berusia 40-an, jika semua hal lain sama, akan lebih cepat kelelahan dan akan mengalami masalah moral lebih cepat daripada tentara yang cukup bugar berusia 20 atau 25 tahun.”

    Zelenskiy menanggapi pertanyaan tentang masalah jumlah personel dengan menyatakan bahwa Ukraina kekurangan senjata, bukan orang, dan menolak tekanan AS untuk menurunkan usia wajib militer minimum dari 25 menjadi 18 tahun.

    Dia mengatakan dalam wawancara dengan Sky News minggu lalu bahwa sekutu Kyiv hanya mampu menyediakan peralatan yang diperlukan untuk seperempat dari 10 brigade baru yang dibentuk Ukraina selama tahun lalu.

    rzn/yf (rtr/afp)

    (ita/ita)

  • Ketika Militer China Rebut Pyongyang dan Perang Nuklir Nyaris Terjadi

    Ketika Militer China Rebut Pyongyang dan Perang Nuklir Nyaris Terjadi

    Jakarta

    Pada Desember 1950, seorang juru kamera BBC merekam rangkaian peristiwa yang menentukan dalam Perang Korea, yaitu ketika militer China merebut Pyongyang. BBC merangkum bagaimana konflik tersebut menghancurkan lahan dan penduduknya, menentukan masa depan Semenanjung Korea, dan mendorong dunia ke ambang bencana nuklir.

    “Semua jalan menuju keluar kota dipenuhi pengungsi. Hanya sedikit yang tahu ke mana mereka akan pergi,” demikian laporan BBC saat menyiarkan tayangan warga Korea Utara yang mencoba melarikan diri dari Kota Pyongyang yang dilalap api pada 5 Desember 1950.

    Rekaman tersebut diabadikan oleh juru kamera BBC, Cyril Page, selama jam-jam terakhirnya di ibu kota Korea Utara itu.

    Setelah mendengar bahwa pasukan PBB akan ditarik dari Korut, Page turun ke jalan untuk mendokumentasikan kekacauan dan ketakutan warga Pyongyang di tengah kabar bahwa pasukan China segera tiba.

    Dalam kondisi musim dingin yang menusuk tulang, ia merekam para pengungsi yang ketakutan. Mereka tampak membawa apa pun yang bisa diangkut saat asap mengepul dari berbagai bangunan yang terbakar di belakang mereka.

    Evakuasi tersebut merupakan perubahan dramatis yang dialami oleh pasukan PBB pimpinan Jenderal Douglas MacArthur.

    Beberapa minggu sebelumnya, sang jenderal telah berjanji kepada Presiden Amerika Serikat, Harry S Truman, bahwa ia siap untuk menyatukan Korea.

    Kekacauan dan pertumpahan darah ini disebabkan oleh Perang Korea. Bagaimana perang itu bisa terjadi?

    Beberapa tahun sebelum Perang Dunia Kedua berakhir, Korea mengalami penderitaan akibat penjajahan Jepang yang brutal.

    AS mengusulkan kepada sekutu masa perangnya, Uni Soviet, bahwa mereka harus membagi kendali Korea untuk sementara waktu setelah Jepang menyerah guna memudahkan pelucutan pasukan Jepang.

    Pada 1945, AS dan Uni Soviet membagi Korea menjadi dua. Pembatasnya adalah garis demarkasi yang diberi nama paralel ke-38. Di utara, Uni Soviet mendukung Kim Il-sung dalam membentuk Republik Rakyat Demokratik Korea. Sedangkan AS mendukung Syngman Rhee membentuk Republik Korea di selatan.

    Sejak awal, Korea Utara dan Korea Selatan tidak mengakui legitimasi satu sama lain ataupun garis demarkasi yang ditetapkan oleh AS dan Uni Soviet.

    “[Garis] itu tidak pernah dianggap sah atau bermakna oleh orang Korea. Sama sekali tidak berarti bagi mereka,” kata Dr Owen Miller dari Pusat Studi Korea di SOAS, Universitas London, kepada siniar BBC History Magazine.

    Baca juga:

    Pada 1949, AS dan Uni Soviet telah menarik sebagian besar pasukan mereka dari Korea, tetapi tindakan itu tidak banyak membantu meredakan ketegangan antara Korut dan Korsel.

    Sebaliknya, bentrokan berdarah antara kedua negara semakin sering terjadi di sepanjang perbatasan de facto.

    Baik pemimpin Korut maupun pemimpin Korsel ingin menyatukan kembali Korea secara paksa.

    Getty ImagesPendiri Korea Utara, Kim Il Sung.

    Pada 25 Juni 1950, pemimpin komunis Korea Utara, Kim Il-sung, melancarkan aksinya.

    Saat matahari belum terbit, ia mengerahkan pasukan tempur yang terlatih guna melancarkan serangan mendadak dengan melintasi perbatasan paralel ke-38.

    Pasukan Korea Utara, yang dilengkapi senjata buatan Soviet, dengan cepat mengalahkan tentara Korea Selatan. Dalam beberapa hari, mereka berhasil merebut ibu kota Korea Selatan, Seoul, dan memaksa banyak warganya untuk bersumpah setia kepada Partai Komunis. Jika menolak, warga akan menghadapi hukuman penjara atau eksekusi mati.

    BBC

    BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.

    Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

    BBC

    Di AS, Presiden Truman terkejut dengan kecepatan dan keberhasilan serangan Korea Utara.

    Sebagai seorang yang percaya pada “teori domino”bahwa jika satu negara jatuh ke tangan komunisme, negara lain akan mengikutiia memohon kepada PBB untuk membela Korea Selatan.

    Uni Soviet dapat saja memveto pemungutan suara ini. Namun pada saat itu, Uni Soviet memboikot Dewan Keamanan PBB karena menolak mengakui Republik Rakyat China.

    Maka, pada 28 Juni 1950, sebuah resolusi disahkan yang menyerukan kepada semua negara anggota PBB untuk membantu mengusir invasi Korut. MacArthur, jenderal AS yang telah menerima penyerahan Jepang pada akhir Perang Dunia Kedua, diangkat menjadi komandan pasukan gabungan PBB.

    Membalikkan arus serangan

    AS adalah pihak pertama yang merespons, dengan mengirim tentaranya yang ditempatkan di Jepang. Namun, pasukan ini tidak siap menghadapi pasukan Korea Utara yang lebih unggul dan mampu memukul mundur pasukan AS.

    Pertempuran yang berkecamuk membuat ribuan warga sipil Korea terperangkap sehingga menewaskan mereka. Pada September, pasukan Korea Selatan dan PBB terdesak dan hanya mampu mempertahankan kantong kecil di sekitar Pelabuhan Busan di ujung selatan.

    Saat itu Korea Utara tampak selangkah lagi menyatukan seluruh semenanjung Korea.

    Baca juga:

    Namun, MacArthur memutuskan untuk mencoba melakukan serangan laut terhadap Inchon, sebuah pelabuhan di belakang lini pasukan Korea Utara.

    Melalui pengeboman besar-besaran, pasukan PBB mendarat di Inchon pada 15 September 1950, merebut pelabuhan tersebut, dan bergerak cepat untuk merebut kembali Seoul.

    Setelah mereka merebut kembali ibu kota Korsel, puluhan ribu penduduknya yang telah bersumpah setia kepada Korut ditembak oleh pasukan Korea Selatan.

    Itu hanyalah salah satu dari serangkaian pembunuhan massal yang mengerikan dan membabi buta terhadap warga sipil yang terjadi selama perang.

    “Terjadi banyak pembantaian selama perang, jauh dari garis depan. Di sana orang-orang ditangkap karena dianggap tidak setia,” kata Dr. Miller.

    AFPJenderal MacArthur (kanan) bersama Syngman Rhee, sosok yang didukung AS untuk mendirikan Korea Selatan.

    Operasi Inchon berhasil memutus jalur pasokan dan komunikasi tentara Korea Utara. Di lain pihak, pasukan PBB berhasil keluar dari Busan dan melancarkan serangan balasan. Hal ini membalikkan arus konflik sehingga tentara Korea Utara terpaksa mundur ke utara dan kembali melintasi perbatasan garis lintang 38 derajat.

    Namun berbekal resolusi PBB, MacArthur bertekad menghancurkan pasukan komunis sepenuhnya. Ia lantas memerintahkan pasukannya untuk mengejar pasukan Korea Utara hingga melintasi perbatasan.

    Pada 19 Oktober 1950, pasukan PBB telah merebut Pyongyang dan bergerak maju menuju Sungai Yalu di perbatasan China. Situasi yang begitu mengerikan bagi Korea Selatan beberapa bulan sebelumnya kini tampaknya telah berubah.

    Baca juga:

    Truman ragu untuk memperluas konflik karena bisa menyeret China dan Rusiayang saat itu telah mengembangkan bom atomnya sendirike dalam perang dunia ketiga.

    Namun MacArthur yakin bahwa ia bisa meraih kemenangan yang akan menyatukan kembali Korea di bawah kepemimpinan Korea Selatan yang pro-Barat. Ia meyakinkan Truman bahwa perang akan berakhir sebelum Natal.

    Namun, kemajuan pesat PBB menuju perbatasan China membuat pemimpin komunis Tiongkok, Mao Zedong, gelisah.

    Getty ImagesSejumlah serdadu Korea Utara dan China menjadi tahanan perang pasukan PBB pada Juni 1950.

    Mao memerintahkan tentara China untuk berkumpul secara diam-diam di perbatasan untuk menghadapi pasukan MacArthur yang terus bergerak maju. Pada akhir November, tentara China mengubah arah Perang Korea.

    Ribuan tentara Tiongkok melancarkan serangkaian serangan terhadap pasukan PBB.

    Menderita kerugian besar dan bertempur dalam kondisi musim dingin, pasukan MacArthur tidak mampu mempertahankan wilayah luas yang telah mereka rebut beberapa minggu sebelumnya.

    Pada Pertempuran Sungai Ch’ongch’on, pasukan Tiongkok mengalahkan pasukan PBB secara telak, yang disebut-sebut sebagai salah satu penarikan mundur paling berdarah dalam sejarah Korps Marinir AS.

    Ancaman perang nuklir

    Karena tidak mampu menghentikan laju pasukan China yang tak kenal lelah, MacArthur memutuskan untuk meninggalkan Pyongyang.

    Pasukan PBB diperintahkan untuk membakar semua perlengkapan dan peralatan, yang menyebabkan banyak bangunan di kota itu dilalap api.

    Getty ImagesWarga sipil Korea mengungsi ke arah selatan pada Januari 1951.

    Menyadari bahwa tentara Korea Utara dan China mengancam akan membersihkan siapa pun yang dicurigai membantu pasukan PBB, ribuan penduduk Pyongyang meninggalkan kota itu dalam ketakutan dan kondisi lelah.

    Juru kamera BBC, Cyril Page, merekam orang-orang Korea ini yang berusaha mati-matian untuk menyeberangi Sungai Taedong agar tidak terjebak di Pyongyang saat pasukan PBB pergi.

    “Karena prioritasnya adalah kendaraan militer, para pengungsi tidak diizinkan menyeberangi jembatan di atas Sungai Taedong sebelah selatan Pyongyang,” demikian BBC melaporkan.

    Baca juga:

    Para teknisi militer AS sengaja mengatur agar jembatan-jembatan ini meledak setelah kendaraan militer pasukan gabungan PBB melintasinya demi memperlambat laju pasukan Korea Utara.

    “Namun, karena takut tertinggal di kota, ribuan orang berjalan ke tepi sungai,” lanjut laporan BBC. “Di sana, berbagai jenis kapal disiapkan untuk membawa mereka menyeberang.”

    Page sendiri diperintahkan untuk meninggalkan lapangan terbang sebelum senja. Ketika ia tiba di lapangan terbang itu, ia mendapati bahwa sebagian besar lapangan terbang itu juga dibakar pasukan PBB karena khawatir fasilitas itu dapat digunakan oleh Korea Utara.

    “Saat hari mulai gelap, hanggar dan bengkel yang menyala-nyala menerangi langit malam,” sebut laporan BBC. “Pada tengah malam, ratusan rumah pribadi di dekat lapangan terbang itu juga terbakar.”

    Saat pesawat yang ditumpangi Page lepas landas, ia mengambil gambar terakhir Pyongyang, yang sempat menjadi tempat kemenangan MacArthur tetapi saat itu melambangkan kegagalan strategi militernya.

    “Hari sudah hampir fajar ketika juru kamera kami meninggalkan lapangan udara Pyongyang,” BBC melaporkan, “dan saat pesawatnya berangkat, ia melihat pasukan PBB mundur ke selatan bersama barisan kendaraan yang tampaknya tak berujung.”

    Baca juga:

    Pada 6 Desember 1950, saat pasukan China dan Korea Utara kembali memasuki Pyongyang, strategi AS untuk mengakhiri perang mulai bergeser ke arah yang jauh lebih berbahaya.

    Hubungan Truman dengan MacArthur selalu sulit karena sang jenderal cenderung melangkahi wewenangnya dan mengabaikan perintah langsung.

    Kini, saat menghadapi situasi yang memburuk di Korea, kedua pria itu berulang kali berselisih pendapat mengenai arah perang.

    MacArthur, yang sebelumnya meremehkan kekhawatiran Truman bahwa Mao Zedong mungkin akan campur tangan, kini mulai secara terbuka menganjurkan peningkatan konflik.

    Ia berpendapat bahwa AS harus mengancam menggunakan senjata nuklir dan mengebom China jika pasukan komunis di Korea tidak meletakkan senjata mereka.

    MacArthur tidak sendirian dalam hal ini: Curtis LeMay, kepala Komando Strategis Udara AS selama Perang Korea, juga mendukung serangan pendahuluan.

    LeMay, yang percaya bahwa perang nuklir tidak dapat dihindari, belakangan mencoba membujuk Presiden John F Kennedy agar ia diizinkan untuk mengebom lokasi rudal nuklir saat Krisis Rudal Kuba.

    Desakan untuk menggunakan senjata nuklir ini sangat mengkhawatirkan negara-negara PBB lainnya yang terlibat dalam konflik Korea, termasuk Perdana Menteri Inggris, Clement Attlee. Dia bahkan sengaja terbang ke Washington DC untuk menolak gagasan tersebut.

    Namun MacArthur berkeras bahwa rencananya akan berhasil, karena ia yakin Rusia akan terintimidasi dan tidak akan melakukan apa pun terhadap serangan AS ke China.

    Kembali ke garis awal

    Pada 9 Desember 1950, MacArthur secara resmi meminta kewenangan untuk menggunakan senjata nuklir. Truman menolaknya.

    Dua pekan kemudian, MacArthur menyerahkan daftar target serangan, termasuk yang berada di China. Dia bahkan mencantumkan jumlah bom atom yang akan dibutuhkannya.

    Ia terus mendesak Pentagon untuk memberinya keleluasaan menggunakan senjata nuklir kapanpun diperlukan.

    Pada akhir Desember 1950, pasukan PBB telah didorong mundur melintasi perbatasan garis lintang 38 derajat. Adapun pasukan China dan Korea Utara merebut kembali kota Seoul yang terkepung dan dibom pada Januari 1951.

    “Mungkin jika beberapa komandan seperti Curtis LeMay lebih dekat dengan presiden, mereka mungkin akan menggunakan senjata nuklir karena komandan seperti LeMay dan MacArthur memang ingin menggunakannya,” kata Dr. Miller.

    “Mereka berpikir, ‘Apa gunanya punya senjata nuklir kalau kita tidak menggunakannya?’”

    Lantaran Truman tidak yakin dirinya bisa mengendalikan MacArthur, ditambah kekhawatiran bahwa sikap agresif sang jenderal dapat memicu Perang Dunia Ketiga, Truman memecatnya atas tuduhan pembangkangan pada April 1951.

    Baca juga:

    Getty ImagesPasukan PBB yang mundur dari Pyongyang menuju selatan dengan melintasi perbatasan garis lintang paralel ke-38, pada 1950.

    Perang Korea terus berlanjut selama dua tahun berikutnya. Adapun Seoul berpindah tangan lagi untuk keempat kalinya.

    Karena tidak ada pihak yang mampu meraih kemenangan yang menentukan, perang ini berubah menjadi perang yang berkepanjangan dan berdarah.

    “Salah satu ironi terbesar dari perang ini adalah, garis depan kedua pasukan berada pada musim semi tahun 1951 tidak jauh dari garis lintang 38 derajat,” kata Dr. Miller.

    “Setelah semua kerugian besar ini terjadi di kedua belah pihak, kehancuran sipil yang terjadi, tetapi mereka kurang lebih kembali ke garis awal.”

    Korsel dan Korut akhirnya mengakhiri pertempuran dengan gencatan senjata pada 1953, tetapi mereka tidak menandatangani perjanjian damai. Artinya, secara teknis mereka masih berperang.

    Konflik tersebut merusak Semenanjung Korea. Perkiraannya bervariasi, tetapi diyakini bahwa sekitar empat juta orang tewas selama Perang Korea dan setengahnya adalah warga sipil. Lebih banyak lagi yang mengungsi atau kelaparan.

    Pengeboman udara menghancurkan negara itu, menghancurkan seluruh kota. Keluarga yang terpisah akibat pemisahan tersebut tidak pernah bersatu kembali.

    Puluhan tahun kemudian, kedua negara masih terjebak dalam konflik, dipisahkan oleh zona demiliterisasi sepanjang 250 km yang dipenuhi ranjau darat dan dijaga oleh ratusan tentara.

    Warisan perang yang tidak pernah berakhir.

    Artikel ini dapat Anda baca dalam versi bahasa Inggris berjudul ‘As darkness fell, blazing hangars lit up the sky’: How the fall of Pyongyang brought the world to the brink of crisis pada laman BBC Culture.

    (ita/ita)

  • Viral Ular Besar Muncul di Tengah Banjir Thailand

    Viral Ular Besar Muncul di Tengah Banjir Thailand

    Bangkok

    Penampakan seekor ular berukuran besar di tengah banjir yang melanda Thailand, terlihat dalam video yang beredar dan ramai dibahas di media sosial pada Rabu (4/12). Keberadaan ular besar itu memicu kekhawatiran masyarakat.

    Video yang menampilkan ular besar itu, seperti dilansir Bangkok Post, Rabu (4/12/2024), diduga direkam di wilayah Provinsi Pattani, yang terletak di Thailand bagian selatan. Pattani merupakan salah satu dari beberapa provinsi, termasuk Narathiwat, Songkhla dan Yala, yang dilanda banjir beberapa hari terakhir.

    Video tersebut tampaknya direkam oleh penduduk setempat dan diunggah ke media sosial Facebook.

    “Ular besar ini, kemungkinan seekor ular piton, terlihat terombang-ambing di tengah banjir di Thailand bagian selatan, menimbulkan sejumlah kekhawatiran,” tulis Bangkok Post dalam laporannya.

    Jika dilihat sekilas, ular berukuran besar itu tampak seperti sudah mati dan pergerakannya seperti terlihat dalam video disebabkan oleh arus banjir di area tersebut.

    Namun bagian perut ular besar itu terlihat membengkak, yang menandakan reptil itu baru saja memangsa sesuatu.

    “Banyak penonton yang mengatakan bahwa ular itu sudah mati, pergerakannya disebabkan oleh arus banjir yang mengalir, dan perutnya membengkak yang menandakan ular itu baru saja makan — mungkin anjing lokal,” sebut Bangkok Post dalam artikelnya.

  • Gempar Darurat Militer Lalu Dicabut, Presiden Korsel Dituduh Makar

    Gempar Darurat Militer Lalu Dicabut, Presiden Korsel Dituduh Makar

    Seoul

    Partai Demokrat, oposisi utama di Korea Selatan (Korsel), mengatakan akan mengajukan tuduhan makar terhadap Presiden Yoon Suk Yeol terkait penetapan darurat militer, yang dicabut beberapa jam kemudian. Oposisi menegaskan akan terus mengupayakan pemakzulan Yoon.

    Tuduhan makar, seperti dilansir AFP dan Anadolu Agency, Rabu (4/12/2024), juga akan diajukan terhadap Menteri Pertahanan (Menhan) Kim Yong Hyun dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Lee Sang Min, serta beberapa pejabat lainnya, yang dianggap terlibat dalam penetapan darurat militer tersebut.

    “Kami akan mengajukan laporan atas tuduhan makar (terhadap Yoon, Menhan dan Mendagri),” demikian pernyataan terbaru Partai Demokrat.

    Disebutkan juga bahwa tuduhan serupa akan diajukan terhadap “tokoh-tokoh penting militer dan kepolisian yang terlibat, seperti panglima darurat militer dan kepala kepolisian” yang dianggap terlibat.

    Laporan serupa disampaikan oleh kantor berita Korsel, Yonhap, yang menyebut Partai Demokrat telah mulai menyusun dakwaan makar terhadap Yoon dan para pejabat tinggi lainnya, dan akan mendorong pemakzulan mereka.

    Dalam pernyataannya, Partai Demokrat juga menegaskan akan terus mendorong pemakzulan terhadap Yoon.

    Sebelumnya, Partai Demokrat mengancam akan memulai proses pemakzulan terhadap Yoon jika dia tidak segera mengundurkan diri. Dalam pernyataannya, Partai Demokrat mengecam penetapan darurat militer oleh Yoon sebagai aksi pemberontakan, dan menyebutnya sebagai alasan untuk pemakzulan.

  • Panas! Filipina Tuduh Kapal China Tembakkan Meriam Air-Serempet Kapalnya

    Panas! Filipina Tuduh Kapal China Tembakkan Meriam Air-Serempet Kapalnya

    Manila

    Otoritas Filipina menuduh kapal Penjaga Pantai China menembakkan meriam air dan menyerempet sebuah kapal milik pemerintah yang sedang melakukan patroli maritim di dekat Scarborough Shoal, pulau karang yang menjadi sengketa kedua negara di Laut China Selatan.

    Otoritas Beijing, dalam pernyataannya seperti dilansir AFP, Rabu (4/12/2024), mengklaim pihaknya “mempraktikkan kendali” atas kapal tersebut.

    China mengklaim hampir seluruh perairan Laut China Selatan, mengabaikan klaim negara-negara lainnya, termasuk Filipina, dan putusan internasional bahwa klaim Beijing tidak memiliki dasar hukum.

    Video yang dirilis otoritas Filipina pada Rabu (4/12) menunjukkan sebuah kapal Penjaga Pantai China menabrak sisi kanan kapal BRP Datu Pagbuaya, milik Departemen Perikanan Filipina, dengan awak kapal meneriakkan “Tabrakan! Tabrakan!”.

    Juru bicara Penjaga Pantai Filipina, Komodor Jay Tarriela, dalam pernyataannya menyebut kapal China “menembakkan meriam air… mengarahkannya secara langsung terhadap antena navigasi kapal”.

    Tarriela juga menuduh kapal China itu “dengan sengaja menyerempet” kapal Filipina itu sebelum melancarkan serangan meriam air kedua.

    Otoritas Penjaga Pantai China, dalam pernyataannya, menyebut kapal-kapal Filipina itu berada dalam jarak “sangat dekat” dan tindakan mereka sudah “sesuai dengan hukum”. Informasi detail soal insiden itu tidak dijelaskan lebih lanjut.

    Tonton juga video: ZEE Memanas, Kapal China Kembali Tembakkan Meriam Air ke Kapal Filipina

  • Siapa Saling Berperang di Suriah?

    Siapa Saling Berperang di Suriah?

    Jakarta

    Sudah empat tahun terakhir perang saudara di Suriah seakan membisu, dengan garis konflik yang tidak lagi bergeser. Satu-satunya ketegangan tercipta di barat laut. Di Aleppo, pasukan pemerintahan diktator Bashar al Assad berusaha menghalau pemberontakan yang merongrong lewat serangan-serangan kecil.

    Namun pada Rabu (27/11) pekan lalu, gerilyawan Hay’at Tahrir al-Sham, HTS, melancarkan serangan besar-besaran terhadap Aleppo. Hanya butuh waktu dua hari bagi milisi sokongan Turki itu untuk memukul mundur serdadu pemerintah di seluruh penjuru kota dan desa-desa di sekitar.

    Target strategis selanjutnya adalah kota Hama yang berjarak 138 kilometer di selatan Aleppo, dan terletak di jalur utama menuju ibu kota Damaskus.

    “Bala bantuan bersenjata berat dari pemerintahan Assad tiba di Hama pada hari Minggu dan mulai bergerak ke utara, merebut kembali beberapa kota dan desa,” kata analis Nanar Hawach dari International Crisis Group, dalam wawancara dengan DW.

    Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

    Dia berspekulasi bahwa serangan balasan besar-besaran akan segera terjadi. Menurutnya, fase berikutnya dari “perang saudara Suriah akan dimulai lagi dengan intensitas tinggi dalam beberapa minggu dan bulan ke depan.”

    Siapa yang beroposisi di Suriah?

    HTS, yang bermazhabkan Ahlu Sunnah, saat ini menjadi kekuatan oposisi terbesar di Suriah. Kelompok yang didirikan oleh pembelot ISIS ini ditetapkan sebagai organisasi teroris oleh Amerika Serikat pada tahun 2018 dan berbaiat kepada kelompok teror Al-Qaeda.

    Kekuatan oposisi terbesar lain adalah Tentara Nasional Suriah alias SNA yang juga didukung Turki. Belum lama ini, mereka meluncurkan Operasi Fajar Kebebasan di wilayah timur laut yang dikendalikan Pasukan Demokratik Suriah Kurdi, SDF.

    Turki memandang SDF sebagai organisasi teroris, dan telah berulang kali melakukan serangan di wilayah yang mereka kuasai. Ankara juga menguasai beberapa wilayah Suriah di dekat perbatasan dan kemungkinan besar berharap bahwa kemajuan SNA akan memperluas zona penyangga di mana mereka dapat mendeportasi pengungsi Suriah.

    Siapa dukung rejim Assad?

    Di bawah dinasti Assad, Suriah bergabung ke dalam poros Moskow-Teheran yang saling melindungi kepentingan bersama. “Tentu saja kami akan terus mendukung Bashar al-Assad dan menjaga kontak pada tingkat yang tepat untuk menganalisis situasi,” kata juru bicara pemerintah Rusia Dmitry Peskov.

    Moskow telah mendukung Assad sejak perang saudara pecah pada tahun 2011 dan terlibat secara langsung sejak tahun 2015. Serangan udara Rusia terhadap kantung oposisi di Suriah membuka jalan bagi pasukan pemerintah untuk kembali berjejak di sebagian besar wilayah, kecuali di sepanjang wilayah utara.

    Hubungan baik antara Moskow dan Damaskus sudah terbina sejak era Uni Soviet. Dari sudut pandang Presiden Rusia Vladimir Putin, intervensi militer memperkuat pengaruh strategis di kawasan, dan mempermudah kerja sama dengan Iran, yang kini menjadi sekutu penting Rusia.

    Bagi Iran, rezim Assad adalah sekutu penting dalam apa yang disebut “Poros Perlawanan,” yang juga mencakup Hizbullah di Lebanon. Mirip dengan Kremlin, Presiden Iran Masoud Pezeshkian, dalam percakapan telepon dengan Assad, juga menjanjikan dukungan untuk memadamkan pemberontakan.

    Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia yang berbasis di London melaporkan, pada hari Senin (2/12), bahwa sekitar 200 pejuang milisi Syiah dari Irak telah memasuki Suriah dengan truk pickup di bawah komando Iran untuk mendukung serangan balasan tentara di dekat Aleppo.

    Sejumlah kelompok bersenjata Syiah di Irak juga mulai mendesak pemerintah secara terbuka untuk mengirimkan pasukan ke negeri jiran.

    Kenapa sekarang bereskalasi?

    “Serangan HTS yang pro-Turki adalah konsekuensi dari melemahnya fron Iran di Timur Tengah,” kata pakar Timur Tengah dan penasihat PBB Lorenzo Trombetta kepada DW.

    Kekuatan Hizbullah, yang beroperasi dari Lebanon, melemah setelah setahun berperang melawan Israel. Kelompok ini dibiayai, diperlengkapi dan dilatih oleh Iran, sementara Amerika Serikat, Jerman dan negara-negara lain mengklasifikasikannya sebagai kelompok teroris. Baru sepekan silam, Hizbullah menyepakati gencatan senjata dengan Israel.

    Israel juga telah menyerang Iran secara langsung dalam beberapa bulan terakhir dan memperluas serangannya terhadap posisi Iran di Suriah. Jalur pasokan antara Suriah dan Lebanon juga terkena dampaknya.

    Sekutu utama kedua Assad, Rusia, terikat secara militer oleh perang agresi di Ukraina. Di sana, Putin secara besar-besaran mengintensifkan upaya perang – mungkin untuk menciptakan fakta yang menguntungkannya selama pergantian pemerintahan di AS.

    HTS dan SNA kemungkinan akan mencoba hal serupa dalam fase pergolakan di Suriah saat ini. Dari sudut pandang pakar ICG Nanar Hawach, dampak apa yang akan terjadi masih belum pasti – hanya satu hal yang pasti: “Sayangnya, warga sipillah yang menanggung beban paling berat dari bentrokan ini.”

    Diadaptasi dari artikel DW berbahasa Jerman

    (ita/ita)

  • Tragedi Pertandingan Sepakbola di Guinea, Puluhan Orang Tewas

    Tragedi Pertandingan Sepakbola di Guinea, Puluhan Orang Tewas

    Jakarta

    Sedikitnya 56 orang tewas terinjak-injak setelah polisi menembakkan gas air mata pada pertandingan sepakbola di Guinea, bagian barat Afrika, Minggu (01/12). Jumlah pasti korban jiwa sempat menjadi perdebatan lantaran sejumlah pihak menyebut jumlah korban mencapai sekitar 100 orang.

    Bagaimana kronologi kejadian di Guinea?

    Tragedi pada pertandingan sepakbola di Guinea berawal dari keputusan kontroversial wasit yang memimpin laga antara Labe dan Nzerekore. Saat itu wasit mengusir dua pemain Labe dari lapangan serta memberikan tendangan penalti tim kepada tuan rumah.

    Media lokal negeri itu memberitakan bahwa polisi menembakkan gas air mata setelah pendukung tim tamu, Labe, melempar batu ke arah lapangan sebagai bentuk kemarahan terhadap wasit.

    BBC

    BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.

    Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

    BBC

    Di antara tubuh-tubuh yang terbujur kaku tersebut tampak beberapa sosok seperti anak-anak.

    Di rumah sakit, seorang dokter yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan kepada kantor berita AFP bahwa “mayat-mayat berjejer sejauh mata memandang di rumah sakit”.

    “Yang lainnya tergeletak di lantai di lorong. Kamar mayat sudah penuh,” tambahnya.

    Bagaimana keadaan di dalam stadion saat insiden berlangsung?

    Paul Sakouvogi, seorang jurnalis di Nzerekore, menggambarkan kondisi stadion kepada BBC. Menurutnya, saat insiden berlangsung, stadion “penuh sesak” dengan ribuan penonton.

    “Hanya ada satu pintu keluar,” ujarnya. “Beberapa orang memanjat tembok untuk keluar dan dalam kepanikan, semua penonton menuju pintu keluar yang sangat kecil. Mereka yang tidak dapat bertahan akhirnya terkapar di lantai,” kata Sakouvogi.

    Baca juga:

    Sakouvogi juga mengatakan akses internet di wilayah tersebut sempat dibatasi.

    Belakangan, polisi menjaga pintu masuk rumah sakit tempat para korban dirawat.

    “Saya melihat enam mobil polisi diparkir di depan tiga pintu masuk rumah sakit. Mereka hanya mengizinkan staf medis untuk masuk ke rumah sakit, sementara yang lainnya diminta untuk kembali melalui jalan yang sama saat mereka datang,” papar Sakouvogi.

    Penyelidikan

    Dalam pernyataan publiknya, Perdana Menteri Oury Bah mengatakan penyelidikan sedang dilaksanakan untuk mencari pihak yang bertanggung jawab. Pada kesempatan itu, Perdana Menteri Bah sekaligus mengucapkan belasungkawa.

    Sementara itu, Bah juga menjanjikan dukungan medis dan psikologis penuh kepada korban luka.

    Federasi Sepak Bola Guinea, Feguifoot, menyebut tragedi tersebut sebagai “derita mendalam”. Organisasi itu mengatakan seharusnya sepakbola ditujukan untuk “menyatukan hati dan mendekatkan pikiran”, bukannya menyebabkan “tragedi dan kesedihan”.

    “Semoga arwah para korban beristirahat dengan tenang di surga,” kata Patrice Motsepe, ketua Konfederasi Sepak Bola Afrika (CAF).

    Baca juga:

    Guinea dan sejumlah negara Afrika lainnya, seperti Ethiopia, Gambia, Chad, serta Sierra Leone saat ini dilarang menyelenggarakan pertandingan sepak bola internasional oleh Konferensi Sepak bola Afrika atau CAF lantaran tempat penyelenggaraan di negara-negara tersebut tidak memenuhi standar internasional.

    Akibatnya, saat Guinea bertanding dalam kualifikasi Piala Afrika baru-baru ini, negara itu menjadikan Pantai Gading sebagai tempat untuk menggelar partai kandang.

    Sakouvagi menyebut stadion tempat terjadinya tragedi hari sedianya belum rampung sejak mulai dibangun puluhan tahun lalu.

    Intrik politik dan tuduhan korupsi

    Intrik politik juga melatari tragedi tersebut. Pertandingan hari Minggu merupakan bagian dari turnamen untuk menghormati Presiden Mamady Doumbouya, yang merebut kekuasaan melalui kudeta pada bulan September 2021.

    Pihak oposisi menyebut pertandingan tersebut merupakan bagian dari kampanye pencalonan presiden berikutnya.

    Sehari setelah pertandingan, kelompok oposisi Aliansi Nasional untuk Perubahan dan Demokrasi juga menuduh pihak berwenang memiliki “tanggung jawab besar atas peristiwa serius ini”.

    Pemerintah Guinea belum menanggapi tuduhan ini.

    Dalam beberapa bulan terakhir pengawasan ketat diterapkan pada tokoh-tokoh berpengaruh di sepak bola Guinea.

    Pada bulan Juli, Aboubacar Sampil, yang merupakan presiden Feguifoot, diperiksa dalam kasus korupsi dan kekerasan dalam sepak bola.

    Koleganya menuduh Sampil, yang juga memimpin dewan direksi tim lokal ASK, memfasilitasi aksi kekerasan dan mencoba memengaruhi wasit saat ASK ketinggalan 0-1 dari Milo FC.

    Milo FC kemudian terpaksa meninggalkan lapangan walau pertandingan belum selesai. Namun, klub itu mengalami kesulitan meninggalkan lapangan dengan aman, menurut dokumen yang diajukan ke badan etik Feguifoot.

    Hal lainnya, Sampil dituduh mengabaikan protokol keamanan. Sampil selalu membantah tudingan-tudingan kepadanya.

    Lihat Video ‘Momen Mencekam Bentrokan Suporter Sepakbola di Guinea, 56 Tewas’:

    (ita/ita)

  • AS Peringatkan Warganya Usai Darurat Militer Korsel Dicabut

    AS Peringatkan Warganya Usai Darurat Militer Korsel Dicabut

    Seoul

    Pemerintah Amerika Serikat (AS) mengaku lega setelah Presiden Korea Selatan (Korsel) Yoon Suk Yeol mencabut darurat militer yang ditetapkannya, usai menuai penolakan parlemen. Meski begitu, Kedutaan Besar AS di Seoul tetap mengeluarkan peringatan darurat kepada setiap warganya bahwa situasinya “tidak pasti” usai darurat militer dicabut.

    Setiap warga negara AS yang ada di Korsel, seperti dilansir kantor berita Korsel, Yonhap News Agency, Rabu (4/12/2024), diimbau untuk mengambil tindakan pencegahan demi keselamatan mereka, seperti menghindari area-area yang menjadi lokasi unjuk rasa.

    Kedubes AS memposting informasi darurat pada situs resminya pada Rabu (4/12), atau sehari setelah Yoon menetapkan darurat militer, yang akhirnya dicabut beberapa jam kemudian setelah para anggota Majelis Nasional Korsel secara bulat menolaknya dalam voting yang digelar dini hari.

    “Menyusul pengumuman Presiden Yoon untuk mencabut deklarasi darurat militer, situasi masih tidak pasti,” demikian pernyataan Kedubes AS di Seoul.

    “Warga negara AS harus mengantisipasi potensi gangguan-gangguan. Ketika berada di tempat umum, Anda harus memperhatikan lingkungan sekitar dan melakukan tindakan pencegahan keselamatan secara rutin,” imbau Kedubes AS dalam pernyataannya.

    Kedubes AS juga mengimbau setiap warganya yang ada di Korsel untuk menghindari area-area yang menjadi lokasi unjuk rasa dan berhati-hati di dekat “kerumunan banyak orang, pertemuan, unjuk rasa atau rally”.

    Diperingatkan oleh Kedubes AS bahwa unjuk rasa damai bisa berubah menjadi konfrontatif dan meningkat menjadi kekerasan. Kedubes AS juga mengumumkan bahwa semua janji temu konsuler rutin dan pemohon visa sepanjang Rabu (4/12) dibatalkan.

    Seorang pejabat Gedung Putih menyatakan AS merasa “lega” karena darurat militer telah dicabut oleh Yoon, beberapa jam usai dia mengumumkannya pada Selasa (3/12) malam waktu setempat.

    “Kami lega Presiden Yoon telah mengubah kebijakannya mengenai deklarasi darurat militer dan menghormati hasil voting Majelis Nasional Korea Selatan untuk mengakhirinya,” ucap seorang juru bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih dalam pernyataan yang dirilis usai Yoon mencabut darurat militer.

    Tonton juga video: Respons AS soal Korsel Umumkan Darurat Militer, Ngaku Khawatir

  • Tentang Darurat Militer, Sempat Diumumkan Presiden Korsel Lalu Dicabut

    Tentang Darurat Militer, Sempat Diumumkan Presiden Korsel Lalu Dicabut

    Jakarta

    Presiden Korea Selatan (Korsel) Yoon Suk Yeol sempat mengumumkan darurat militer yang membuat heboh. Namun usai mendapat penolakan dari Majelis Nasional Korsel, kini status darurat militer di negara tersebut telah resmi dicabut.

    Pengumuman darurat militer itu disampaikan Presiden Yoon pada Selasa (3/12/2024) larut malam pukul 23.00 waktu setempat (21.00 WIB). Status darurat militer Korsel kemudian dicabut pada Rabu (4/12/2024) pagi pukul 04.30 WIB.

    Sesaat setelah status darurat militer diumumkan, warga Korsel pun menggelar demo di gedung parlemen. Ratusan masa berkumpul di parlemen Korsel pada Rabu (4/12/2024) dini hari, untuk memprotes penetapan status darurat militer.

    Apa yang Dimaksud dengan Status Darurat Militer?

    Berdasarkan pengertiannya, darurat militer adalah keadaan darurat suatu wilayah yang dikendalikan oleh militer sebagai pemimpin tertinggi. Demikian pengertian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI V Kemdikbud).

    Korsel sendiri pernah menetapkan darurat militer pada tahun 1979, dan ini menjadi deklarasi darurat militer terakhir kalinya di negara tersebut. Selama lebih dari puluhan tahun, darurat militer tidak pernah lagi diberlakukan sejak Korsel menjadi negara demokrasi parlementer pada tahun 1987.

    Alasan Presiden Korsel Umumkan Darurat Militer

    Status darurat militer ini diumumkan Presiden Korsel karena ketegangan dengan negara tetangganya, Korea Utara (Korut) yang terus meningkat. Presiden Yoon juga menyebut salah satu alasan menetapkan status darurat militer adalah karena adanya ancaman “kekuatan anti-negara”.

    “Untuk melindungi Korea Selatan yang liberal dari ancaman yang ditimbulkan oleh kekuatan komunis Korea Utara dan untuk melenyapkan elemen-elemen anti-negara… Dengan ini saya umumkan darurat militer,” kata Yoon dalam pidato yang disiarkan langsung di televisi kepada rakyat, dilansir AFP, Selasa (3/12/2024).

    Parlemen Korsel Tolak Pengumuman Darurat Militer

    Parlemen Korsel lantas menolak keputusan darurat militer yang diumumkan Presiden Yoon, dan meminta untuk dibatalkan. Juru bicara parlemen Korsel mengatakan deklarasi darurat militer Presiden Yoon tidak sah, dan mengesahkan resolusi pencabutan deklarasi tersebut.

    Seperti dilansir AFP dan Channel Asia News, Selasa (3/12/2024), Majelis Nasional Korsel dengan 190 dari 300 anggotanya yang hadir meloloskan keputusan rapat yang mengharuskan darurat militer yang dideklarasikan oleh Presiden Yoon Suk Yeol untuk dicabut.

    “Dari 190 yang hadir, 190 mendukung, saya menyatakan bahwa resolusi yang menyerukan pencabutan darurat militer telah disahkan,” kata Ketua Majelis Nasional Woo Won-shik.

    Status Darurat Militer Korsel Telah Resmi Dicabut

    Kabinet Presiden Yoon akhirnya menyetujui status darurat militer dicabut usai status itu ditolak Majelis Nasional Korsel. Seperti dilansir AFP dan CNN, Rabu (4/12/2024), kabinet Presiden Yoon telah memberikan suara untuk mencabut darurat militer, tak lama setelah diumumkan.

    “Beberapa saat yang lalu, ada permintaan dari Majelis Nasional untuk mencabut keadaan darurat, dan kami telah menarik militer yang dikerahkan untuk operasi darurat militer,” kata Yoon dalam pidato yang disiarkan televisi.

    “Kami akan menerima permintaan Majelis Nasional dan mencabut darurat militer melalui rapat kabinet.”

    Presiden Yoon pun resmi mengumumkan pencabutan status darurat militer di Korsel. Kepala Staf Gabungan juga telah menarik pasukan militer yang yang dikerahkan untuk melaksanakan darurat militer, dan telah kembali ke pangkalan.

    Simak video: Presiden Korsel akan Cabut Status Darurat Militer, Pasukan Telah Ditarik

    (wia/imk)

  • Heboh Korsel Darurat Militer Lalu Dicabut, Jepang Sangat Khawatir

    Heboh Korsel Darurat Militer Lalu Dicabut, Jepang Sangat Khawatir

    Jakarta

    Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba mengatakan bahwa Tokyo sedang memantau situasi di Korea Selatan dengan “kekhawatiran yang luar biasa dan serius”, setelah presiden negara tetangga Asia itu mengumumkan darurat militer dan kemudian mencabutnya.

    Dilansir kantor berita AFP, Rabu (4/12/2024), Ishiba juga mengatakan Tokyo tidak mengetahui “informasi apa pun yang menunjukkan bahwa warga negara Jepang (yang tinggal di Korea Selatan) terluka.”

    Berbicara kepada wartawan di kantornya, Ishiba menambahkan bahwa pemerintah “mengambil semua tindakan yang mungkin” untuk memastikan keselamatan warga negara Jepang, termasuk mengeluarkan peringatan melalui email konsuler.

    “Kami akan terus melakukan segala yang kami bisa untuk memastikan keselamatan mereka,” katanya.

    Pernyataannya ini disampaikan setelah Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol mengejutkan dunia dengan deklarasi darurat militer, yang kemudian dicabutnya beberapa jam kemudian setelah anggota parlemen menolaknya.

    Upaya mengejutkan Yoon untuk memberlakukan darurat militer untuk pertama kalinya dalam lebih dari empat dekade ini, menyebabkan Korea Selatan masuk ke dalam kekacauan terparahnya dalam sejarah demokrasi modernnya.

    Perkembangan dramatis tersebut juga membahayakan masa depan Yoon, politisi konservatif dan mantan jaksa penuntut umum yang terpilih sebagai presiden pada tahun 2022.