Category: Detik.com Internasional

  • Filipina-China Kembali Berkonfrontasi di Laut China Selatan

    Filipina-China Kembali Berkonfrontasi di Laut China Selatan

    Jakarta

    Cina dan Filipina saling tuduh setelah penjaga pantai kedua negara berkonfrontasi di sekitar perairan dangkal atau beting yang disengketakan di Laut Cina Selatan.

    Ini adalah konfrontasi terbaru antara kedua negara di Laut Cina Selatan, dan terjadi setelah pertikaian diplomatik pada bulan November yang melibatkan Cina yang menarik garis dasar “perairan teritorial” di sekitar perairan dangkal tersebut.

    Perairan tersebut terletak sekitar 240 kilometer di sebelah barat pulau terbesar Filipina, Luzon, dan hampir 900 kilometer dari daratan utama Cina terdekat, Provinsi Hainan.

    Sebelumnya juga terjadi serangkaian bentrokan antara Filipina dan Cina di perairan tersebut.

    Cina-Filipina saling tuding

    Filipina mengatakan bahwa pasukan Penjaga Pantai Cina melakukan “tindakan agresif” dan menembakkan meriam air ke kapal mereka saat berpatroli di dekat Beting Scarborough.

    Kapal Cina “menembakkan meriam air… yang diarahkan langsung ke antena navigasi kapal,” kata juru bicara Penjaga Pantai Filipina, Komodor Jay Tarriela, dalam sebuah pernyataan.

    Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

    Meriam air itu diarahkan “langsung ke antena navigasi kapal”, kata penjaga pantai Filipina dan Kementerian Perikanan dalam sebuah pernyataan bersama. Kapal Cina “sengaja menyerempet” kapal sebelum melancarkan serangan meriam air kedua, kata pernyataan itu.

    Sementara Cina mengklaim hampir seluruh Laut Cina Selatan sebagai wilayahnya, meskipun putusan Pengadilan Arbitrase Tetap di Den Haag pada tahun 2016 yang menolak klaim tersebut.

    Penjaga pantai Cina mengatakan dalam sebuah pernyataan awal bahwa kapal-kapal Filipina “berada sangat dekat” dan bahwa tindakan awaknya telah “sesuai dengan hukum.”

    Namun dalam pernyataan selanjutnya, mereka menuduh Manila membuat “tuduhan palsu dalam upaya untuk menyesatkan persepsi internasional.”

    AS: Manuver Cina berbahaya

    Pada hari Rabu, Amerika Serikat (AS) juga mengecam “penggunaan meriam air dan manuver berbahaya” oleh Cina di Laut Cina Selatan, kata Duta Besar AS untuk Filipina.

    Tindakan Cina mengganggu operasi maritim Filipina dan membahayakan nyawa, kata Duta Besar MaryKay Carlson di platform media sosial X. Ia menambahkan bahwa AS mendukung sekutu yang sepemikiran dalam mendukung Pasifik yang bebas dan terbuka.

    ae/yf (AFP, Reuters)

    (ita/ita)

  • Beredar Rumor Israel Bangun Pangkalan di Gaza, AS Bilang Gini

    Beredar Rumor Israel Bangun Pangkalan di Gaza, AS Bilang Gini

    Washington DC

    Amerika Serikat (AS) menanggapi rumor yang menyebut Israel sedang membangun pangkalan permanen di wilayah Jalur Gaza. Washington menyatakan keprihatinan atas rumor tersebut, dan menyuarakan penolakannya terhadap langkah pembangunan semacam itu.

    Rumor itu, seperti dilansir AFP dan Al Arabiya, Rabu (4/12/2024), mencuat setelah media terkemuka AS, New York Times (NYT), melaporkan percepatan aktivitas pembangunan oleh militer Israel.

    Laporan NYT itu menyebut analisis citra satelit menunjukkan peningkatan dan percepatan pembangunan pangkalan, yang disertai pembongkaran lebih dari 600 bangunan di wilayah Jalur Gaza bagian tengah, yang mengindikasikan kehadiran militer Tel Aviv dalam jangka panjang.

    Departemen Luar Negeri AS menyatakan pihaknya tidak dapat mengonfirmasi laporan NYT tersebut.

    Namun ditekankan oleh Departemen Luar Negeri AS bahwa Menteri Luar Negeri (Menlu) Antony Blinken pada awal perang Gaza menegaskan penolakan terhadap kehadiran permanen militer Israel di wilayah Jalur Gaza.

    “Jika laporan itu benar, tentu saja hal itu tidak konsisten dengan sejumlah prinsip yang telah ditetapkan oleh Menlu Blinken,” ucap juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Vedant Patel, dalam pernyataannya ketika ditanya lebih lanjut soal laporan NYT.

    “Tidak boleh ada pengurangan wilayah Gaza. Selain itu, tidak boleh ada pengungsian paksa terhadap warga Palestina dari rumah-rumah mereka,” katanya saat berbicara kepada wartawan.

    Saksikan juga video: Pilu! Warga Gaza Diserang Israel saat Menunggu Makanan, 6 Orang Tewas

  • Wapres Filipina Dituduh Selewengkan Dana, Terancam Dimakzulkan

    Wapres Filipina Dituduh Selewengkan Dana, Terancam Dimakzulkan

    Manila

    Wakil Presiden (Wapres) Filipina Sara Duterte mendapatkan aduan pemakzulan kedua pada Rabu (4/12). Ini terjadi saat dia sedang menghadapi penyelidikan atas dugaan ancaman pembunuhan terhadap Presiden Ferdinand Marcos Jr dan dugaan penyelewengan dana pemerintah.

    Sara yang merupakan putri mantan Presiden Rodrigo Duterte ini, seperti dilansir AFP, Rabu (4/12/2024), terjerumus ke dalam pergolakan politik setelah aliansinya dengan Marcos Jr runtuh menjelang pemilu sela yang dijadwalkan digelar tahun depan.

    Pada Juni lalu, Sara mengundurkan diri dari jabatannya dalam kabinet sebagai Menteri Pendidikan, namun masih menjabat sebagai Wapres Filipina.

    Aduan terbaru diajukan oleh para aktivis, guru, mantan anggota Kongres dan beberapa pihak lainnya, pada Rabu (4/12) waktu setempat, kepada parlemen Filipina.

    Aduan itu, menurut koalisi sayap kiri Makabayan, menuduh Sara telah mengkhianati kepercayaan publik terkait dugaan penyelewengan dana publik sebesar jutaan dolar Amerika ketika dia masih menjabat Menteri Pendidikan.

    “Penyelewengan dana rahasia sebesar lebih dari setengah miliar Peso yang secara kurang ajar dilakukan oleh Wakil Presiden, khususnya likuidasi mencurigakan sebear 125 juta Peso hanya dalam waktu 11 hari pada akhir tahun 2022, merupakan pengkhianatan besar terhadap kepercayaan publik,” sebut mantan anggota Kongres, Teddy Casino, dan salah satu pelapor lainnya, dalam sebuah pernyataan.

    “Rakyat Filipina, khususnya para pembayar pajak yang menanggung beban pendanaan operasional pemerintah, berhak menuntut akuntabilitas dari pejabat tertinggi kedua mereka,” cetus pernyataan tersebut.

    Saksikan juga video: Presiden Filipina soal Desakan Pemakzulan Wapres: Buang-buang Waktu

  • Iran Sahkan UU Hijab Baru di Tengah Gelombang Penolakan

    Iran Sahkan UU Hijab Baru di Tengah Gelombang Penolakan

    Jakarta

    Parlemen Iran telah menyetujui RUU Hijab dan Kesucian yang mewajibkan perempuan untuk mengenakan hijab dan menerapkan hukuman berat bagi mereka yang tidak mengenakannya.

    Sejak Revolusi Islam 1979, perempuan di Iran diwajibkan untuk menutupi rambut mereka di depan umum.

    Namun, kini makin banyak yang memilih untuk tidak mengenakan hijab, terutama sejak kematian seorang perempuan Iran-Kurdi, Jina Mahsa Amini, dalam tahanan polisi pada tahun 2022.

    Perempuan berusia 22 tahun itu ditangkap oleh polisi moralitas Iran karena diduga melanggar aturan berpakaian di negara tersebut.

    Kematian Amini memicu protes yang meluas, yang sebagian besar dipimpin oleh perempuan dan siswi sekolah, yang menyerukan perubahan politik. Hal ini juga menginspirasi gerakan “Perempuan, Kehidupan, Kebebasan”, yang menentang penegakan mandat hijab oleh pihak berwenang.

    RUU Hijab dan Kesucian disusun oleh lembaga peradilan Iran atas instruksi mantan Presiden Ebrahim Raisi sebagai tanggapan atas meningkatnya keengganan banyak perempuan untuk mengenakan hijab.

    Isi undang-undang

    Media Iran melaporkan bahwa undang-undang tersebut memberlakukan denda yang setara dengan 20 bulan gaji rata-rata bagi perempuan yang tidak mengenakan hijab atau tidak mengenakannya sama sekali di depan umum atau di media sosial.

    Mary Mohammadi, seorang analis politik Iran yang berbasis di Amerika Serikat (AS), mengatakan kepada DW bahwa undang-undang tersebut bertujuan untuk menghalangi perempuan dan membuat perjuangan mereka menjadi sangat ‘mahal’.

    “Undang-undang ini bertujuan untuk mencegah kemajuan tuntutan perempuan, meningkatkan moral para pendukung ideologi rezim, menguras tenaga masyarakat dengan menciptakan konflik yang meluas dalam kehidupan sehari-hari, dan melemahkan potensi revolusioner yang dipimpin oleh perempuan,” ujarnya.

    Undang-undang ini mewajibkan institusi untuk menyediakan rekaman CCTV untuk membantu polisi mengidentifikasi orang-orang yang menentang kewajiban berhijab. Ketidakpatuhan akan mengakibatkan denda atau pemecatan pejabat institusi.

    Undang-undang ini juga mengkriminalisasi desain atau promosi barang-barang seperti pakaian, patung, dan mainan yang dianggap mendorong “ketelanjangan” atau kurangnya penggunaan jilbab.

    Kementerian Perindustrian, Pertambangan, dan Perdagangan Iran telah ditugaskan untuk memantau produsen dan pemasok pakaian untuk memastikan pakaian yang diproduksi sesuai dengan peraturan hijab.

    Presiden Pezeshkian kritik penegakan peraturan hijab

    Undang-undang tersebut disahkan oleh anggota parlemen, empat bulan setelah masa jabatan Presiden Iran Massoud Pezeshkian dimulai.

    Pezeshkian, yang secara luas dipandang sejalan dengan gerakan reformis yang mengadvokasi kebebasan yang lebih besar dan hubungan yang lebih baik dengan Barat, mengkritik penegakan peraturan hijab yang ketat selama kampanye pemilihannya.

    Banyak pendukung Pezeshkian berharap agar pemerintahannya akan melonggarkan peraturan mengenai kewajiban berhijab. Namun, para kritikus berpendapat bahwa penegakan wajib hijab berada di luar kendali langsung pemerintah.

    “Dalam pandangan yang lebih luas, ketidaksepakatan atas penerapannya antara kelompok garis keras di Parlemen Islam dan Pezeshkian yang disebut reformis di pemerintahan adalah tampilan konflik internal rezim atas hukum wajib hijab,” kata Mohammadi.

    Lebih dari dua tahun setelah kematian Mahsa Jina Amini, meskipun ada ancaman yang meningkat serta kamera keamanan tambahan di banyak kota, masih banyak perempuan yang tetap tampil tanpa hijab di depan umum.

    “Dalam praktiknya, perempuan Iran sendiri telah menghilangkan kompromi dan toleransi dari pilihan mereka, dan hanya menentukan dua jalan untuk diri mereka sendiri: kematian atau kebebasan,” kata Mohammadi.

    Parlemen Iran menunggu tanda tangan presiden

    Parlemen Iran telah menyerahkan undang-undang tersebut kepada Presiden Pezeshkian untuk ditandatangani, sebelum mulai diberlakukan.

    Berdasarkan konstitusi negara, presiden memiliki wewenang untuk menahan pemberitahuan kepada lembaga-lembaga terkait, sehingga menunda pemberlakuannya.

    Para aktivis dan pendukung hak-hak perempuan telah mendesak Pezeshkian untuk menggunakan wewenangnya dan menahan diri agar tidak memberlakukan undang-undang tersebut.

    Pembatasan dan tekanan terhadap perempuan di Iran masih terus berlanjut, dan undang-undang ini bahkan memperkuat kekhawatiran di antara beberapa pejabat di republik Islam tersebut.

    Mereka mengantisipasi adanya penentangan terhadap undang-undang tersebut yang akan meluas di media sosial, dan berpotensi memicu gelombang baru terhadap berbagai protes di seluruh negeri.

    Diadaptasi dari artikel DW bahasa Inggris

    (ita/ita)

  • Israel Ancam Perluas Perang Jika Hizbullah Gagalkan Gencatan Senjata

    Israel Ancam Perluas Perang Jika Hizbullah Gagalkan Gencatan Senjata

    Tel Aviv

    Israel mengancam akan kembali berperang di Lebanon jika gencatan senjata dengan Hizbullah gagal dipertahankan. Tel Aviv bersumpah bahwa kali ini, serangannya akan semakin dalam dan menargetkan negara Lebanon itu sendiri.

    Ancaman itu menjadi yang paling kuat sejak gencatan senjata disepakati di Lebanon pekan lalu, untuk mengakhiri perang selama 14 bulan antara Israel dan Hizbullah. Tel Aviv menegaskan akan meminta pertanggungjawaban pemerintah Lebanon karena gagal melucuti senjata Hizbullah yang melanggar gencatan senjata.

    “Jika kami kembali berperang, kami akan bertindak tegas, kami akan menyerang lebih dalam, dan hal terpenting yang perlu mereka ketahui: bahwa tidak akan ada lagi pengecualian bagi negara Lebanon,” tegas Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, seperti dilansir Reuters dan Al Arabiya, Kamis (4/12/2024).

    “Jika sampai saat ini kami memisahkan negara Lebanon dari Hizbullah… (nanti) tidak akan lagi seperti ini,” cetusnya saat berkunjung ke area perbatasan utara Israel.

    Meskipun gencatan senjata berlangsung, pasukan Israel terus melancarkan serangan di Lebanon bagian selatan. Tel Aviv mengklaim serangannya menargetkan para petempur Hizbullah yang mengabaikan perjanjian untuk menghentikan serangan dan mundur dari Sungai Litani, yang berjarak 30 kilometer dari perbatasan.

    Para petempur Hizbullah, pada Senin (2/12), menggempur sebuah pos militer Israel. Sementara otoritas Lebanon melaporkan sedikitnya 12 orang tewas akibat serangan udara Israel di wilayahnya.

    Katz, dalam pernyataannya, menyebut serangan Hizbullah itu sebagai “ujian pertama” dan menggambarkan serangan Israel sebagai respons yang kuat.

  • Mahkamah Internasional Memulai Sidang Bersejarah terkait Perubahan Iklim

    Mahkamah Internasional Memulai Sidang Bersejarah terkait Perubahan Iklim

    Jakarta

    Masyarakat Kepulauan Pasifik dulunya hidup harmonis dengan lautan, kini rumah mereka terancam oleh naiknya permukaan air laut. Biang keroknya sebagian besar disebabkan oleh pemanasan suhu global yang terkait dengan pembakaran bahan bakar fosil untuk produksi energi dan transportasi.

    “Kenaikan permukaan air laut merupakan masalah besar bagi negara-negara kepulauan kecil dengan lahan terbatas yang bisa ditinggali penduduknya,” papar pejabat eksekutif World’s Youth for Climate Justice Jule Schnakenberg. Ia menambahkan, problem itu juga membatasi akses penduduk terhadap air bersih untuk minum, menanam bahan makanan, dan memasak.

    Para pegiat lingkungan mengatakan, pelanggaran hak asasi manusia seperti inilah yang memotivasi mereka untuk melobi pemerintah agar mengambil tindakan hukum.

    Terkait hal ini, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa meminta pengadilan tertinggi, Mahkamah Internasional (ICJ), untuk memberikan pendapat hukum tentang kewajiban negara-negara terkait perubahan iklim.

    Dipimpin oleh Kepulauan Pasifik Vanuatu, 98 negara dari seluruh dunia dan 12 organisasi internasional siap memberikan pernyataan lisan kepada ICJ selama dua minggu ke depan.

    Hakim di pengadilan akan mengeluarkan “advisory opinion” atau pendapat atau opini nasihat mengenai masalah tersebut — dan konsekuensi hukum bagi pemerintah yang gagal bertindak atau telah mengambil tindakan yang secara signifikan membahayakan lingkungan.

    “Bagi sebagian dari kami, ini adalah perjalanan yang memakan waktu lima tahun dan kami menyadari tonggak sejarah ini bukan sebagai tujuan, melainkan sebagai titik pengecekan, titik memeriksa kembali, karena ini adalah langkah lain ke arah yang benar dalam perjuangan untuk keadilan iklim ini,” ujar Siosiua Veikune, seorang juru kampanye dari kelompok Mahasiswa Kepulauan Pasifik Melawan Perubahan Iklim.

    Bersembunyi di Balik Perjanjian Paris

    Di sana, permukaan air naik hampir dua kali lebih cepat dari rata-rata global, dengan peningkatan 10 hingga 15 sentimeter di barat Pasifik sejak 1993, demikian menurut Organisasi Meteorologi Dunia.

    Penilaian PBB menempatkan target pengurangan emisi saat ini yang dijanjikan oleh negara-negara berdasarkan Perjanjian Paris Internasional, di jalur kenaikan suhu global hingga 2,9 derajat Celsius. Itu jauh di atas batas yang ditetapkan dalam perjanjian tersebut yaitu dua derajat dengan upaya untuk menjaga pemanasan global hingga 1,5 Celsius.

    “Ada kesenjangan yang tidak masuk akal antara kebijakan negara yang seharusnya dan di mana kebijakan tersebut berada saat ini dan apa yang dituntut oleh keadilan dan sains untuk mencegah bencana iklim,” papar Joie Chowdhury, yang merupakan pengacara senior di Pusat Hukum Lingkungan Internasional (CIEL), kepada DW.

    Pakar hukum mengatakan, pendapat nasihat tersebut akan memperjelas kewajiban negara berdasarkan undang-undang yang sudah ada dan melampaui cakupan Perjanjian Paris.

    “Para pencemar lingkungan besar ini mencoba bersembunyi di balik Perjanjian Paris,” ujar Margaretha Wewerinke-Singh, yang mewakili Vanuatu dalam sidang iklim ICJ. Dia mengatakan pertanyaan sebenarnya adalah, apakah pengadilan akan “mengkonfirmasi bahwa ada lebih dari Perjanjian Paris dan bahwa kewajiban-kewajiban lain ini juga berlaku secara paralel.”

    ICJ adalah satu dari tiga pengadilan yang diminta untuk menerbitkan opini atau pendapat nasihat tentang kewajiban negara-negara terkait perubahan iklim.

    Pada bulan Mei, Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut adalah yang pertama mengeluarkan pendapat nasihatnya, yang mengakui gas rumah kaca sebagai bentuk polusi laut. Pengadilan ini menyoroti kewajiban negara-negara berdasarkan hukum laut sebagai tambahan dari kewajiban dalam Perjanjian Paris.

    Setelah sidang awal tahun ini, Pengadilan Hak Asasi Manusia Inter-Amerika diharapkan untuk menyampaikan pendapatnya tentang kewajiban negara-negara untuk melindungi hak asasi manusia terkait perubahan iklim sebelum ICJ mengeluarkan pendapatnya.

    Selain mempertimbangkan dua pendapat atau opini nasihat sebelumnya, para ahli mengatakan ICJ juga akan mempertimbangkan putusan-putusan iklim penting lainnya, seperti putusan Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa bahwa Swiss telah melanggar hak asasi manusia warganya dengan tidak memenuhi target pengurangan emisi sebelumnya.

    “Kami ingin bergerak ke arah aksi iklim berbasis hak asasi manusia, sehingga masyarakat tahu bahwa mereka memiliki satu atau banyak hak asasi manusia, dan bahwa negara mereka harus mengambil semua langkah yang diperlukan, dan melakukannya berdasarkan ilmu pengetahuan terbaik yang tersedia, dan jika negara tidak melakukannya, Anda memiliki hak hukum untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah atau perusahaan Anda,” tegas Schnakenberg.

    Cetak biru untuk litigasi iklim

    Meskipun pendapat nasihat dari ICJ tidak mengikat secara hukum, pendapat tersebut memiliki signifikansi politik dan hukum.

    Pada bulan Oktober, pemerintah Irlandia memutuskan untuk menangguhkan perdagangan dengan Israel secara sepihak atas produk-produk yang berasal dari Tepi Barat yang diduduki, menyusul pendapat nasihat ICJ atas pelanggaran hak-hak rakyat Palestina.

    Para ahli hukum mengatakan, pendapat nasihat ICJ tentang perubahan iklim dapat memiliki konsekuensi politik yang serupa – khususnya karena negara-negara bersiap untuk mengajukan target pengurangan emisi gas rumah kaca baru menjelang pertemuan puncak iklim COP berikutnya pada bulan November 2025.

    “Itu mungkin akan menjadi hasil yang ideal, bahwa pengadilan hanya memberikan koreksi arah yang diperlukan untuk negosiasi itu sendiri, sehingga ambisinya meningkat,” kata Wewerinke-Singh.

    Jika bukan itu hasilnya, Chowdhury mengatakan pendapat tersebut dapat memberikan “cetak biru hukum” internasional yang berlaku untuk perubahan iklim, dengan potensi litigasi melalui pengadilan domestik dan internasional.

    Saat ini, terdapat lebih dari 2.000 kasus iklim yang terjadi di seluruh dunia terhadap negara dan perusahaan.

    “Tentu saja, Anda harus membuktikan hubungan sebab-akibatnya dan itu akan bergantung pada kasus per kasus, tetapi yang dapat dilakukan pengadilan adalah menetapkan bahwa prinsip hukum untuk pemulihan dan ganti rugi memang ada menurut hukum internasional,” tambah Chowdhury.

    Setelah bertahun-tahun berjuang dan akhirnya berhasil mencapai sidang ICJ di Den Haag, Schakenberg mengatakan, ia dan para pegiat yang bekerja dengannya di Pasifik dan di seluruh dunia merasa penuh harapan.

    “Sepanjang kampanye ini, kami selalu mengatakan, kami adalah orang-orang optimistis yang keras kepala, dan saya rasa kita hanya perlu percaya bahwa perubahan itu mungkin terjadi,” tandasnya.

    Diadaptasi dari artikel DW berbahasa Inggris

    (ita/ita)

  • Oposisi Resmi Ajukan Mosi Pemakzulan Presiden Korsel

    Oposisi Resmi Ajukan Mosi Pemakzulan Presiden Korsel

    Partai Demokrat dan partai-partai oposisi kecil lainnya secara total menguasai 192 kursi dalam parlemen. Ini berarti dibutuhkan setidaknya delapan anggota parlemen dari partai berkuasa, Partai Kekuatan Rakyat (PPP), yang menaungi Yoon untuk mendukung mosi pemakzulan tersebut.

    Diketahui bahwa ketika parlemen Korsel memvoting secara bulat untuk menolak penetapan darurat militer Yoon pada Selasa (3/12) malam, terdapat 18 anggota parlemen dari PPP yang bergabung dengan oposisi untuk turut menentang darurat militer tersebut.

    Jika RUU itu diloloskan parlemen, maka selanjutnya menjadi tugas Mahkamah Konstitusi Korsel untuk menggelar sidang dan memutuskan apakah pemakzulan terhadap Yoon bisa dibenarkan. Terdapat enam hakim konstitusi yang nantinya akan menjatuhkan putusan akhir untuk pemakzulan Yoon.

    Selama pertimbangan Mahkamah Konstitusi berlangsung, kekuasaan kepresidenan akan ditangguhkan dan Perdana Menteri (PM) Han Duck Soo, yang merupakan orang nomor dua dalam pemerintahan Korsel, akan mengambil tanggung jawab kepresidenan.

    Pada Selasa (3/12) malam, Yoon secara tiba-tiba mengumumkan darurat militer. Dalam pidatonya, dia menuduh kubu oposisi pemerintah bersimpati dengan Korea Utara (Korut) dan melakukan aktivitas “anti-negara”. Namun tuduhan itu disampaikan Yoon tanpa memberikan bukti yang kuat dan konkret.

    Belakangan terungkap bahwa darurat militer yang ditetapkan Yoon itu tidak didorong oleh ancaman eksternal, tetapi oleh situasi politik internal.

    Darurat militer itu hanya berlaku selama enam jam dan dicabut pada Rabu (4/12) pagi, sekitar pukul 04.30 waktu setempat, setelah mayoritas anggota parlemen Korsel — sebanyak 190 anggota dari total 300 anggota — secara bulat sepakat menentang darurat militer dan mendesak Yoon mencabutnya.

    “Darurat militer yang ditetapkan Presiden Yoon Suk Yeol jelas merupakan pelanggaran terhadap konstitusi. Itu tidak mematuhi persyaratan apa pun untuk mendeklarasikannya,” kecam Partai Demokrat dalam pernyataannya.

    “Penetapan darurat militer itu sejak awal tidak sah dan merupakan pelanggaran berat terhadap konstitusi. Itu merupakan tindakan pemberontakan yang serius dan memberikan dasar yang sempurna untuk pemakzulannya,” tegas pernyataan tersebut.

    (nvc/ita)

  • Kekurangan Serdadu, Militer Ukraina Kerahkan Desertir

    Kekurangan Serdadu, Militer Ukraina Kerahkan Desertir

    Jakarta

    Militer Ukraina kewalahan merekrut pasukan infanteri, demi mengimbangi tingginya angka kematian di medan tempur seiring serangan sengit Rusia. Akibatnya, sejumlah unit yang pernah melarikan diri kini diberikan kesempatan kedua untuk berbakti.

    Data dari Kejaksaan Agung menunjukkan hampir 95.000 kasus pidana sejak 2022 terhadap tentara yang “absen kerja tanpa izin” dan melakukan pidana serius berupa desersi dari medan perang.

    Jumlah kasus meningkat tajam setiap tahunnya. Tahun 2024, misalnya, mencatatkan hampir dua pertiga dari total kasus desersi.

    Ditambah dengan puluhan ribu tentara yang terbunuh atau terluka, Ukraina tidak mampu menanggung kerugian yang sangat besar. Belum lama ini, mingguan Inggris The Economist menaksir, jumlah kematian serdadu di pihak Ukraina berkisar antara 60.000-100.000 tentara sejak 2022.

    Janji pengampunan bagi desertir

    Kini, beberapa unit militer memperkuat kembali jajaran mereka dengan menerima prajurit yang sebelumnya dinyatakan absen tanpa izin alias AWOL.

    Salah satunya adalah Brigade ke-47 Ukraina, yang bulan lalu menerbitkan postingan media sosial memanggil para prajurit desertir untuk kembali berperang.

    “Tujuan kami adalah memberi setiap prajurit kesempatan untuk kembali ke militer dan menyadari potensinya,” demikian pengumuman dalam posting tersebut. Dalam dua hari pertama, kata militer Ukraina, lebih dari seratus lamaran masuk.

    Dua unit militer yang diwawancarai Reuters mengatakan bahwa mereka hanya merekrut prajurit yang telah menghilang tanpa izin dari pangkalan, bukan yang telah membelot dari pertempuran.

    Yang pertama dianggap sebagai pelanggaran yang lebih ringan dalam militer Ukraina. Sebuah undang-undang yang mendekriminalisasi pelanggaran absensi pertama seorang prajurit, dan memungkinkan mereka untuk kembali bertugas.

    Ribuan penuhi panggilan

    Kolonel Oleksandr Hrynchuk, wakil kepala polisi militer Ukraina, mengatakan pada hari Selasa (3/12), bahwa 6.000 tentara yang melarikan diri telah kembali bertugas pada bulan lalu, termasuk 3.000 dalam 72 jam sejak undang-undang antidesersi diratifikasi.

    Mykhailo Perets, seorang perwira dari batalion K-2 dari Brigade ke-54 Ukraina, mengatakan batalionnya telah merekrut lebih dari 30 orang yang telah melarikan diri dari unit lain. “Alasan mereka sangat berbeda, bagi sebagian orang, transisi langsung dari kehidupan sipil terlalu sulit, yang lain bertugas selama satu atau dua tahun sebagai pilot yang memenuhi syarat tetapi kemudian dikirim ke garis depan karena tidak ada cukup infanteri.”

    Perets mengatakan mereka yang mendaftar juga termasuk orang-orang yang kelelahan dan melarikan diri setelah berperang selama tujuh atau delapan tahun, setelah bertempur melawan pasukan yang didukung Rusia di Ukraina timur sebelum tahun 2022.

    Menurut Gil Barndollar, seorang peneliti nonresiden di lembaga pemikir Defense Priorities di Amerika Serikat, peningkatan jumlah serdadu AWOL kemungkinan besar disebabkan oleh kelelahan.

    Sejumlah tentara sebelumnya mengeluhkan, kurangnya pengganti bagi tentara yang hilang memberikan tekanan yang tak tertahankan bagi mereka yang tersisa, membuat mereka kelelahan secara fisik dan mental.

    Barndollar juga menyoroti usia rata-rata mereka sebagai tekanan tambahan. “Sekelompok tentara, yang sering kali kesehatannya buruk, berusia 40-an, jika semua hal lain sama, akan lebih cepat kelelahan dan akan mengalami masalah moral lebih cepat daripada tentara yang cukup bugar berusia 20 atau 25 tahun.”

    Zelenskiy menanggapi pertanyaan tentang masalah jumlah personel dengan menyatakan bahwa Ukraina kekurangan senjata, bukan orang, dan menolak tekanan AS untuk menurunkan usia wajib militer minimum dari 25 menjadi 18 tahun.

    Dia mengatakan dalam wawancara dengan Sky News minggu lalu bahwa sekutu Kyiv hanya mampu menyediakan peralatan yang diperlukan untuk seperempat dari 10 brigade baru yang dibentuk Ukraina selama tahun lalu.

    rzn/yf (rtr/afp)

    (ita/ita)

  • Ketika Militer China Rebut Pyongyang dan Perang Nuklir Nyaris Terjadi

    Ketika Militer China Rebut Pyongyang dan Perang Nuklir Nyaris Terjadi

    Jakarta

    Pada Desember 1950, seorang juru kamera BBC merekam rangkaian peristiwa yang menentukan dalam Perang Korea, yaitu ketika militer China merebut Pyongyang. BBC merangkum bagaimana konflik tersebut menghancurkan lahan dan penduduknya, menentukan masa depan Semenanjung Korea, dan mendorong dunia ke ambang bencana nuklir.

    “Semua jalan menuju keluar kota dipenuhi pengungsi. Hanya sedikit yang tahu ke mana mereka akan pergi,” demikian laporan BBC saat menyiarkan tayangan warga Korea Utara yang mencoba melarikan diri dari Kota Pyongyang yang dilalap api pada 5 Desember 1950.

    Rekaman tersebut diabadikan oleh juru kamera BBC, Cyril Page, selama jam-jam terakhirnya di ibu kota Korea Utara itu.

    Setelah mendengar bahwa pasukan PBB akan ditarik dari Korut, Page turun ke jalan untuk mendokumentasikan kekacauan dan ketakutan warga Pyongyang di tengah kabar bahwa pasukan China segera tiba.

    Dalam kondisi musim dingin yang menusuk tulang, ia merekam para pengungsi yang ketakutan. Mereka tampak membawa apa pun yang bisa diangkut saat asap mengepul dari berbagai bangunan yang terbakar di belakang mereka.

    Evakuasi tersebut merupakan perubahan dramatis yang dialami oleh pasukan PBB pimpinan Jenderal Douglas MacArthur.

    Beberapa minggu sebelumnya, sang jenderal telah berjanji kepada Presiden Amerika Serikat, Harry S Truman, bahwa ia siap untuk menyatukan Korea.

    Kekacauan dan pertumpahan darah ini disebabkan oleh Perang Korea. Bagaimana perang itu bisa terjadi?

    Beberapa tahun sebelum Perang Dunia Kedua berakhir, Korea mengalami penderitaan akibat penjajahan Jepang yang brutal.

    AS mengusulkan kepada sekutu masa perangnya, Uni Soviet, bahwa mereka harus membagi kendali Korea untuk sementara waktu setelah Jepang menyerah guna memudahkan pelucutan pasukan Jepang.

    Pada 1945, AS dan Uni Soviet membagi Korea menjadi dua. Pembatasnya adalah garis demarkasi yang diberi nama paralel ke-38. Di utara, Uni Soviet mendukung Kim Il-sung dalam membentuk Republik Rakyat Demokratik Korea. Sedangkan AS mendukung Syngman Rhee membentuk Republik Korea di selatan.

    Sejak awal, Korea Utara dan Korea Selatan tidak mengakui legitimasi satu sama lain ataupun garis demarkasi yang ditetapkan oleh AS dan Uni Soviet.

    “[Garis] itu tidak pernah dianggap sah atau bermakna oleh orang Korea. Sama sekali tidak berarti bagi mereka,” kata Dr Owen Miller dari Pusat Studi Korea di SOAS, Universitas London, kepada siniar BBC History Magazine.

    Baca juga:

    Pada 1949, AS dan Uni Soviet telah menarik sebagian besar pasukan mereka dari Korea, tetapi tindakan itu tidak banyak membantu meredakan ketegangan antara Korut dan Korsel.

    Sebaliknya, bentrokan berdarah antara kedua negara semakin sering terjadi di sepanjang perbatasan de facto.

    Baik pemimpin Korut maupun pemimpin Korsel ingin menyatukan kembali Korea secara paksa.

    Getty ImagesPendiri Korea Utara, Kim Il Sung.

    Pada 25 Juni 1950, pemimpin komunis Korea Utara, Kim Il-sung, melancarkan aksinya.

    Saat matahari belum terbit, ia mengerahkan pasukan tempur yang terlatih guna melancarkan serangan mendadak dengan melintasi perbatasan paralel ke-38.

    Pasukan Korea Utara, yang dilengkapi senjata buatan Soviet, dengan cepat mengalahkan tentara Korea Selatan. Dalam beberapa hari, mereka berhasil merebut ibu kota Korea Selatan, Seoul, dan memaksa banyak warganya untuk bersumpah setia kepada Partai Komunis. Jika menolak, warga akan menghadapi hukuman penjara atau eksekusi mati.

    BBC

    BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.

    Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

    BBC

    Di AS, Presiden Truman terkejut dengan kecepatan dan keberhasilan serangan Korea Utara.

    Sebagai seorang yang percaya pada “teori domino”bahwa jika satu negara jatuh ke tangan komunisme, negara lain akan mengikutiia memohon kepada PBB untuk membela Korea Selatan.

    Uni Soviet dapat saja memveto pemungutan suara ini. Namun pada saat itu, Uni Soviet memboikot Dewan Keamanan PBB karena menolak mengakui Republik Rakyat China.

    Maka, pada 28 Juni 1950, sebuah resolusi disahkan yang menyerukan kepada semua negara anggota PBB untuk membantu mengusir invasi Korut. MacArthur, jenderal AS yang telah menerima penyerahan Jepang pada akhir Perang Dunia Kedua, diangkat menjadi komandan pasukan gabungan PBB.

    Membalikkan arus serangan

    AS adalah pihak pertama yang merespons, dengan mengirim tentaranya yang ditempatkan di Jepang. Namun, pasukan ini tidak siap menghadapi pasukan Korea Utara yang lebih unggul dan mampu memukul mundur pasukan AS.

    Pertempuran yang berkecamuk membuat ribuan warga sipil Korea terperangkap sehingga menewaskan mereka. Pada September, pasukan Korea Selatan dan PBB terdesak dan hanya mampu mempertahankan kantong kecil di sekitar Pelabuhan Busan di ujung selatan.

    Saat itu Korea Utara tampak selangkah lagi menyatukan seluruh semenanjung Korea.

    Baca juga:

    Namun, MacArthur memutuskan untuk mencoba melakukan serangan laut terhadap Inchon, sebuah pelabuhan di belakang lini pasukan Korea Utara.

    Melalui pengeboman besar-besaran, pasukan PBB mendarat di Inchon pada 15 September 1950, merebut pelabuhan tersebut, dan bergerak cepat untuk merebut kembali Seoul.

    Setelah mereka merebut kembali ibu kota Korsel, puluhan ribu penduduknya yang telah bersumpah setia kepada Korut ditembak oleh pasukan Korea Selatan.

    Itu hanyalah salah satu dari serangkaian pembunuhan massal yang mengerikan dan membabi buta terhadap warga sipil yang terjadi selama perang.

    “Terjadi banyak pembantaian selama perang, jauh dari garis depan. Di sana orang-orang ditangkap karena dianggap tidak setia,” kata Dr. Miller.

    AFPJenderal MacArthur (kanan) bersama Syngman Rhee, sosok yang didukung AS untuk mendirikan Korea Selatan.

    Operasi Inchon berhasil memutus jalur pasokan dan komunikasi tentara Korea Utara. Di lain pihak, pasukan PBB berhasil keluar dari Busan dan melancarkan serangan balasan. Hal ini membalikkan arus konflik sehingga tentara Korea Utara terpaksa mundur ke utara dan kembali melintasi perbatasan garis lintang 38 derajat.

    Namun berbekal resolusi PBB, MacArthur bertekad menghancurkan pasukan komunis sepenuhnya. Ia lantas memerintahkan pasukannya untuk mengejar pasukan Korea Utara hingga melintasi perbatasan.

    Pada 19 Oktober 1950, pasukan PBB telah merebut Pyongyang dan bergerak maju menuju Sungai Yalu di perbatasan China. Situasi yang begitu mengerikan bagi Korea Selatan beberapa bulan sebelumnya kini tampaknya telah berubah.

    Baca juga:

    Truman ragu untuk memperluas konflik karena bisa menyeret China dan Rusiayang saat itu telah mengembangkan bom atomnya sendirike dalam perang dunia ketiga.

    Namun MacArthur yakin bahwa ia bisa meraih kemenangan yang akan menyatukan kembali Korea di bawah kepemimpinan Korea Selatan yang pro-Barat. Ia meyakinkan Truman bahwa perang akan berakhir sebelum Natal.

    Namun, kemajuan pesat PBB menuju perbatasan China membuat pemimpin komunis Tiongkok, Mao Zedong, gelisah.

    Getty ImagesSejumlah serdadu Korea Utara dan China menjadi tahanan perang pasukan PBB pada Juni 1950.

    Mao memerintahkan tentara China untuk berkumpul secara diam-diam di perbatasan untuk menghadapi pasukan MacArthur yang terus bergerak maju. Pada akhir November, tentara China mengubah arah Perang Korea.

    Ribuan tentara Tiongkok melancarkan serangkaian serangan terhadap pasukan PBB.

    Menderita kerugian besar dan bertempur dalam kondisi musim dingin, pasukan MacArthur tidak mampu mempertahankan wilayah luas yang telah mereka rebut beberapa minggu sebelumnya.

    Pada Pertempuran Sungai Ch’ongch’on, pasukan Tiongkok mengalahkan pasukan PBB secara telak, yang disebut-sebut sebagai salah satu penarikan mundur paling berdarah dalam sejarah Korps Marinir AS.

    Ancaman perang nuklir

    Karena tidak mampu menghentikan laju pasukan China yang tak kenal lelah, MacArthur memutuskan untuk meninggalkan Pyongyang.

    Pasukan PBB diperintahkan untuk membakar semua perlengkapan dan peralatan, yang menyebabkan banyak bangunan di kota itu dilalap api.

    Getty ImagesWarga sipil Korea mengungsi ke arah selatan pada Januari 1951.

    Menyadari bahwa tentara Korea Utara dan China mengancam akan membersihkan siapa pun yang dicurigai membantu pasukan PBB, ribuan penduduk Pyongyang meninggalkan kota itu dalam ketakutan dan kondisi lelah.

    Juru kamera BBC, Cyril Page, merekam orang-orang Korea ini yang berusaha mati-matian untuk menyeberangi Sungai Taedong agar tidak terjebak di Pyongyang saat pasukan PBB pergi.

    “Karena prioritasnya adalah kendaraan militer, para pengungsi tidak diizinkan menyeberangi jembatan di atas Sungai Taedong sebelah selatan Pyongyang,” demikian BBC melaporkan.

    Baca juga:

    Para teknisi militer AS sengaja mengatur agar jembatan-jembatan ini meledak setelah kendaraan militer pasukan gabungan PBB melintasinya demi memperlambat laju pasukan Korea Utara.

    “Namun, karena takut tertinggal di kota, ribuan orang berjalan ke tepi sungai,” lanjut laporan BBC. “Di sana, berbagai jenis kapal disiapkan untuk membawa mereka menyeberang.”

    Page sendiri diperintahkan untuk meninggalkan lapangan terbang sebelum senja. Ketika ia tiba di lapangan terbang itu, ia mendapati bahwa sebagian besar lapangan terbang itu juga dibakar pasukan PBB karena khawatir fasilitas itu dapat digunakan oleh Korea Utara.

    “Saat hari mulai gelap, hanggar dan bengkel yang menyala-nyala menerangi langit malam,” sebut laporan BBC. “Pada tengah malam, ratusan rumah pribadi di dekat lapangan terbang itu juga terbakar.”

    Saat pesawat yang ditumpangi Page lepas landas, ia mengambil gambar terakhir Pyongyang, yang sempat menjadi tempat kemenangan MacArthur tetapi saat itu melambangkan kegagalan strategi militernya.

    “Hari sudah hampir fajar ketika juru kamera kami meninggalkan lapangan udara Pyongyang,” BBC melaporkan, “dan saat pesawatnya berangkat, ia melihat pasukan PBB mundur ke selatan bersama barisan kendaraan yang tampaknya tak berujung.”

    Baca juga:

    Pada 6 Desember 1950, saat pasukan China dan Korea Utara kembali memasuki Pyongyang, strategi AS untuk mengakhiri perang mulai bergeser ke arah yang jauh lebih berbahaya.

    Hubungan Truman dengan MacArthur selalu sulit karena sang jenderal cenderung melangkahi wewenangnya dan mengabaikan perintah langsung.

    Kini, saat menghadapi situasi yang memburuk di Korea, kedua pria itu berulang kali berselisih pendapat mengenai arah perang.

    MacArthur, yang sebelumnya meremehkan kekhawatiran Truman bahwa Mao Zedong mungkin akan campur tangan, kini mulai secara terbuka menganjurkan peningkatan konflik.

    Ia berpendapat bahwa AS harus mengancam menggunakan senjata nuklir dan mengebom China jika pasukan komunis di Korea tidak meletakkan senjata mereka.

    MacArthur tidak sendirian dalam hal ini: Curtis LeMay, kepala Komando Strategis Udara AS selama Perang Korea, juga mendukung serangan pendahuluan.

    LeMay, yang percaya bahwa perang nuklir tidak dapat dihindari, belakangan mencoba membujuk Presiden John F Kennedy agar ia diizinkan untuk mengebom lokasi rudal nuklir saat Krisis Rudal Kuba.

    Desakan untuk menggunakan senjata nuklir ini sangat mengkhawatirkan negara-negara PBB lainnya yang terlibat dalam konflik Korea, termasuk Perdana Menteri Inggris, Clement Attlee. Dia bahkan sengaja terbang ke Washington DC untuk menolak gagasan tersebut.

    Namun MacArthur berkeras bahwa rencananya akan berhasil, karena ia yakin Rusia akan terintimidasi dan tidak akan melakukan apa pun terhadap serangan AS ke China.

    Kembali ke garis awal

    Pada 9 Desember 1950, MacArthur secara resmi meminta kewenangan untuk menggunakan senjata nuklir. Truman menolaknya.

    Dua pekan kemudian, MacArthur menyerahkan daftar target serangan, termasuk yang berada di China. Dia bahkan mencantumkan jumlah bom atom yang akan dibutuhkannya.

    Ia terus mendesak Pentagon untuk memberinya keleluasaan menggunakan senjata nuklir kapanpun diperlukan.

    Pada akhir Desember 1950, pasukan PBB telah didorong mundur melintasi perbatasan garis lintang 38 derajat. Adapun pasukan China dan Korea Utara merebut kembali kota Seoul yang terkepung dan dibom pada Januari 1951.

    “Mungkin jika beberapa komandan seperti Curtis LeMay lebih dekat dengan presiden, mereka mungkin akan menggunakan senjata nuklir karena komandan seperti LeMay dan MacArthur memang ingin menggunakannya,” kata Dr. Miller.

    “Mereka berpikir, ‘Apa gunanya punya senjata nuklir kalau kita tidak menggunakannya?’”

    Lantaran Truman tidak yakin dirinya bisa mengendalikan MacArthur, ditambah kekhawatiran bahwa sikap agresif sang jenderal dapat memicu Perang Dunia Ketiga, Truman memecatnya atas tuduhan pembangkangan pada April 1951.

    Baca juga:

    Getty ImagesPasukan PBB yang mundur dari Pyongyang menuju selatan dengan melintasi perbatasan garis lintang paralel ke-38, pada 1950.

    Perang Korea terus berlanjut selama dua tahun berikutnya. Adapun Seoul berpindah tangan lagi untuk keempat kalinya.

    Karena tidak ada pihak yang mampu meraih kemenangan yang menentukan, perang ini berubah menjadi perang yang berkepanjangan dan berdarah.

    “Salah satu ironi terbesar dari perang ini adalah, garis depan kedua pasukan berada pada musim semi tahun 1951 tidak jauh dari garis lintang 38 derajat,” kata Dr. Miller.

    “Setelah semua kerugian besar ini terjadi di kedua belah pihak, kehancuran sipil yang terjadi, tetapi mereka kurang lebih kembali ke garis awal.”

    Korsel dan Korut akhirnya mengakhiri pertempuran dengan gencatan senjata pada 1953, tetapi mereka tidak menandatangani perjanjian damai. Artinya, secara teknis mereka masih berperang.

    Konflik tersebut merusak Semenanjung Korea. Perkiraannya bervariasi, tetapi diyakini bahwa sekitar empat juta orang tewas selama Perang Korea dan setengahnya adalah warga sipil. Lebih banyak lagi yang mengungsi atau kelaparan.

    Pengeboman udara menghancurkan negara itu, menghancurkan seluruh kota. Keluarga yang terpisah akibat pemisahan tersebut tidak pernah bersatu kembali.

    Puluhan tahun kemudian, kedua negara masih terjebak dalam konflik, dipisahkan oleh zona demiliterisasi sepanjang 250 km yang dipenuhi ranjau darat dan dijaga oleh ratusan tentara.

    Warisan perang yang tidak pernah berakhir.

    Artikel ini dapat Anda baca dalam versi bahasa Inggris berjudul ‘As darkness fell, blazing hangars lit up the sky’: How the fall of Pyongyang brought the world to the brink of crisis pada laman BBC Culture.

    (ita/ita)

  • Viral Ular Besar Muncul di Tengah Banjir Thailand

    Viral Ular Besar Muncul di Tengah Banjir Thailand

    Bangkok

    Penampakan seekor ular berukuran besar di tengah banjir yang melanda Thailand, terlihat dalam video yang beredar dan ramai dibahas di media sosial pada Rabu (4/12). Keberadaan ular besar itu memicu kekhawatiran masyarakat.

    Video yang menampilkan ular besar itu, seperti dilansir Bangkok Post, Rabu (4/12/2024), diduga direkam di wilayah Provinsi Pattani, yang terletak di Thailand bagian selatan. Pattani merupakan salah satu dari beberapa provinsi, termasuk Narathiwat, Songkhla dan Yala, yang dilanda banjir beberapa hari terakhir.

    Video tersebut tampaknya direkam oleh penduduk setempat dan diunggah ke media sosial Facebook.

    “Ular besar ini, kemungkinan seekor ular piton, terlihat terombang-ambing di tengah banjir di Thailand bagian selatan, menimbulkan sejumlah kekhawatiran,” tulis Bangkok Post dalam laporannya.

    Jika dilihat sekilas, ular berukuran besar itu tampak seperti sudah mati dan pergerakannya seperti terlihat dalam video disebabkan oleh arus banjir di area tersebut.

    Namun bagian perut ular besar itu terlihat membengkak, yang menandakan reptil itu baru saja memangsa sesuatu.

    “Banyak penonton yang mengatakan bahwa ular itu sudah mati, pergerakannya disebabkan oleh arus banjir yang mengalir, dan perutnya membengkak yang menandakan ular itu baru saja makan — mungkin anjing lokal,” sebut Bangkok Post dalam artikelnya.