Category: Detik.com Internasional

  • Korea Utara Bersiap Kirim Lebih Banyak Tentara ke Rusia

    Korea Utara Bersiap Kirim Lebih Banyak Tentara ke Rusia

    Seoul

    Korea Utara (Korut) dicurigai sedang bersiap mengirimkan lebih banyak tentaranya ke Rusia untuk bertempur melawan pasukan Ukraina. Pengiriman lebih banyak pasukan tetap dilakukan, meskipun Pyongyang mengalami kerugian dan mendapati beberapa tentaranya ditangkap oleh Kyiv.

    Dugaan tersebut, seperti dilansir Reuters, Jumat (24/1/2025), disampaikan oleh Kepala Staf Gabungan militer Korea Selatan (Korsel) atau JCS dalam pernyataan terbarunya pada Jumat (24/1) waktu setempat.

    “Empat bulan telah berlalu untuk pengiriman pasukan untuk perang Rusia-Ukraina, dan banyak korban jiwa dan tawanan telah terjadi,” sebut JCS dalam pernyataannya.

    “(Korut) Diduga mempercepat langkah lebih lanjut dan persiapan untuk pengiriman pasukan tambahan,” demikian pernyataan JCS.

    Analisis JCS tidak merinci langkah lebih lanjut apa yang mungkin diambil oleh Pyongyang.

    Menurut JCS dalam laporannya, Korut juga bersiap meluncurkan satelit mata-mata dan rudal balistik antarbenua (ICBM), meskipun tidak ada tanda-tanda hal itu akan dilakukan segera.

    Bulan ini, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengatakan dua tentara Korut telah ditangkap di wilayah Kursk, Rusia yang diduduki pasukan Kyiv. Itu menandai pertama kalinya Ukraina menangkap tentara Korut dalam keadaan hidup sejak mereka terlibat dalam perang pada musim gugur lalu.

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Dituduh Jadi Mata-mata AS, Pria Rusia Dihukum 17 Tahun Bui

    Dituduh Jadi Mata-mata AS, Pria Rusia Dihukum 17 Tahun Bui

    Moskow

    Seorang pria Rusia diadili atas tuduhan menjadi mata-mata Amerika Serikat (AS) dan dijatuhi hukuman 17 tahun penjara oleh pengadilan setempat. Pria Rusia ini dituduh berupaya menyampaikan informasi rahasia Moskow kepada Washington.

    Seperti dilansir AFP, Jumat (24/1/2025), pria Rusia bernama Dmitry Shatresov ini ditangkap pada Januari 2024 oleh otoritas Moskow.

    Shatresov, menurut kantor berita RIA, telah “secara ilegal memperoleh” rahasia negara dan “bermaksud untuk menyerahkannya ke perwakilan intelijen Amerika” sebelum dia ditangkap oleh aparat penegak hukum.

    Dalam persidangan pada Rabu (22/1) waktu setempat, menurut otoritas pengadilan Moskow, Shatresov dinyatakan bersalah atas dakwaan “pengkhianatan tingkat tinggi” dan dijatuhi hukuman 17 tahun penjara oleh pengadilan.

    Dia akan menjalani masa hukumannya di penjara dengan keamanan tinggi di negara tersebut.

    Rusia tanpa henti memburu orang-orang yang dituduh melakukan spionase dan pengkhianatan sejak negara itu melancarkan invasi skala besar ke Ukraina pada Februari 2022 lalu.

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Prajurit Perang Dunia II Dikubur Tanpa Otak, Jadi Bahan Penelitian Jerman

    Prajurit Perang Dunia II Dikubur Tanpa Otak, Jadi Bahan Penelitian Jerman

    Berlin

    Prajurit Skotlandia, Donnie MacRae, meninggal sebagai tawanan perang Jerman selama Perang Dunia Kedua. Tapi baru 80 tahun kemudian keluarganya tahu bahwa dia dikubur tanpa otak.

    Donnie meninggal di rumah sakit tawanan perang pada 1941 dan karena dia menderita kondisi neurologis yang langka, otopsi dilakukan.

    Selama otopsi, otak, dan sebagian sumsum tulang belakangnya diambil lantas dikirim ke Institut Kaiser di Munich untuk digunakan sebagai penelitian.

    Jenazahnya dikubur oleh pemerintah Jerman dan selanjutnya dikubur kembali oleh pihak sekutu di pemakaman Commonwealth War Graves di Berlin, tapi tidak seorang pun tahu bahwa otaknya telah diambil.

    Secara keseluruhan, sekitar 160 potongan kecil otak dan sumsum tulang belakang Donnie disimpan di pusat arsip penelitian Munich yang kemudian berganti nama menjadi Institut Max Planck untuk Psikiatri sejak saat itu.

    Sebuah dokumenter BBC Radio 4 berjudul Shadow of War: A Tainted Anatomy membahas mengapa hal ini terjadi dan tentang pekerjaan menyatukan kembali jenazah sang prajurit di kuburannya.

    Penyuka musik dan penjahit berbakat

    Donnie MacRae tumbuh sebagai penutur bahasa Gaelik di Gairloch yang terletak di pantai barat Skotlandia.

    Ia berencana menggunakan kain wol yang ditenun dengan tangan dari desa asalnya untuk mendirikan bisnis menjahit di Blair Atholl, Perthshire, tempat saudaranya tinggal dan bekerja sebagai sopir di sebuah hotel setempat.

    Namun pada 1939, ketika negara itu berada di ambang perang, Donnie bergabung dengan Tentara Teritorial dan dipanggil agar ikut berperang.

    Dia adalah prajurit Seaforth Highlanders dan ditangkap sebagai tawanan perang saat bertempur di St Valery, Prancis, pada Juni 1940.

    Pada tahun berikutnya, Donnie meninggal di usia 33 tahun di rumah sakit kamp tawanan perang.

    Donnie MacRae meninggal sebagai tawanan perang dan dimakamkan di Berlin (Libby MacRae)

    Meskipun keluarga MacRae mengetahui penangkapan dan kematian Donnie, mereka tidak pernah diberi tahu tentang otopsi atau soal pengambilan sampel dari otaknya.

    Baru pada 2020, ketika Profesor Paul Weindling dari Universitas Oxford Brookes menghubungi, keponakan Donnie yakni Libby MacRae tahu apa yang terjadi setelah kematian sang paman.

    Weindling merupakan bagian dari kelompok peneliti internasional yang meneliti catatan dari ribuan otak yang disimpan di Max Planck Society di Jerman.

    Tujuan dari proyek ini adalah untuk mengidentifikasi semua korban dan mengenang mereka dengan sebaik-baiknya.

    “Salah satu kelompok yang terabaikan tentu saja tawanan perang yang otaknya diambil untuk penelitian neuropatologis oleh Jerman dan disimpan selama bertahun-tahun,” kata Weindling.

    Jerman ingin menjadi yang terdepan dalam penelitian medis dan alasan mengapa otak Donnie berakhir di institut di Munich, diketahui dari bagaimana ia mati.

    Ketika dia ditangkap, Donnie terluka oleh peluru senapan di lutut dan punggung kiri. Meskipun lukanya sembuh, ia dirawat kembali di rumah sakit. Hanya saja kondisinya terus memburuk dalam beberapa bulan berikutnya.

    Kondisi langka

    Mulanya penglihatan Donnie kabur, ujung jarinya kesemutan dan kesulitan berbicara.

    Kondisi ini dengan cepat menyebabkan kelumpuhan di kedua lengan dan ketidakmampuan berbicara.

    Beberapa hari sebelum kematiannya, dia tidak bisa bergerak.

    Donnie meninggal pada 6 Maret 1941 karena kondisi langka yang disebut Kelumpuhan Landryatau di Inggris dikenal sebagai sindrom Guillain-Barre situasi ketika sistem kekebalan tubuh menyerang sistem saraf.

    Donnie MacRae dimakamkan kembali di pemakaman Commonwealth War Graves di Berlin (Paul Weindling)

    Kondisi ini biasanya tidak fatal dan sebagai akibatnya dilakukan otopsi, termasuk pembedahan otak.

    Sabine Hildebrandt, dosen di Harvard Medical School yang sangat tertarik dengan etika pada masa itu berkata kepada BBC, “fakta yang sangat mengerikan” bahwa pengangkatan jaringan setelah kematian bukanlah hal yang lazim.

    “Saya tidak mengatakan bahwa perbuatan itu benar secara etika, tapi tindakan tersebut merupakan bagian dari proses rutin kerja ilmiah pada saat itu,” ujar Hildebrandt.

    Potongan otak dan sumsum tulang belakang Donnie dimasukkan dalam larutan dan diletakkan pada wadah mikroskop kaca untuk digunakan sebagai penelitian tentang kondisinya.

    Libby yang merupakan keponakan Donnie, berkata: “Sulit untuk mengatakan seperti apa rasanya.”

    “Menurut saya, sungguh mengerikan membayangkan hal itu.”

    Baca juga:

    Selain Donnie, Weindling dan timnya menemukan catatan empat tawanan perang Inggris yang otaknya diambil dan ditahan untuk tujuan penelitian selama tahun 1941.

    Mereka adalah Patrick O’Connell, Donald McPhail, Joseph Elston, dan William Lancaster.

    Sampai saat ini, tidak ada keluarga dari para tawanan itu tahu apa yang terjadi pada kerabat mereka.

    Otak dari empat tawanan itu termasuk di antara sekitar 2.000 otak yang diambil untuk penelitian oleh lembaga-lembaga terkemuka di Berlin dan Munich selama Perang Dunia Kedua yang di antaranya ada otak anak-anak yang terbunuh selama Holocaust.

    Ribuan korban tersebut juga termasuk orang Yahudi dan Katolik Polandia. Mereka disebut memiliki penyakit mental, tahanan politik, pejuang perlawanan Belgia, dan prajurit Prancis serta Polandia.

    Lembaga-lembaga Jerman lainnya juga diketahui telah mengambil bagian-bagian tubuh mereka untuk penelitian.

    Hildebrand mengatakan hasil penelitian dari lembaga-lembaga Jerman itu sangat banyak dan para peneliti di seluruh dunia merasa “iri” dengan banyaknya karya yang dihasilkan negara tersebut.

    Setelah perang, pihak sekutu menyelidiki kejahatan yang dilakukan Nazi dan Pengadilan Nuremberg memutuskan hampir 200 orang dihukum karena kejahatan perang.

    Tapi, lembaga penelitian Kaiser Wilhelm dan para ahli anatomi yang terlibat diizinkan untuk melanjutkan pekerjaan mereka.

    Hal ini sebagian disebabkan oleh fakta bahwa meskipun sekarang dianggap sangat tidak etis untuk menyimpan jaringan manusia tanpa persetujuan, pada saat itu hal tersebut merupakan norma.

    Baca juga:

    Namun muncul pertanyaan mengapa selama ini tidak ada yang dilakukan terhadap materi yang disimpan di arsip Jerman.

    Pada akhir 1980-an ada desakan dari pemerintah Jerman untuk membuang semua spesimen yang “bersumber” dari Perang Dunia Kedua, khususnya semua sampel dari kelompok yang dianiaya.

    Bahkan akan ada penguburan massal ratusan ribu sampel jaringan “slide mikroskop” di Munich dengan tenggat waktu yang singkat hanya beberapa bulan saja.

    Prof Heinz Wssle, yang saat itu menjabat sebagai kepala departemen neurologi di Max Planck Institute for Brain Research di Berlin, berkata ada tekanan untuk bertindak sangat cepat.

    “Kami tidak bisa mengetahui secara cepat bagian mana yang berasal dari korban dan mana yang hanya bahan neuropatologi biasa, oleh karena itu keputusan kami adalah mengubur semua bagian dari tahun 1933 hingga 1945.”

    Tidak ada yang tahu otak Donnie MacRae telah diangkat (Libby MacRae)

    Tetapi, lembaga Munich memilih kebijakan yang berbeda.

    Lembaga ini hanya mengubur mereka yang diduga memiliki hubungan dengan apa yang disebut program eutanasia, yang merujuk pada pembunuhan sistematis terhadap mereka yang dianggap “tidak layak hidup” oleh Nazi karena dugaan penyakit atau cacat genetik.

    Banyak sampel jaringan “slide mikroskop” dianggap memiliki kepentingan ilmiah, tetap disimpan.

    Sampel Donnie MacRae pun disimpan untuk tujuan penelitian hingga 2015, ketika kemudian dimasukkan ke dalam koleksi arsip.

    Sekarang lebih dari 80 tahun setelah kematiannya, pekerjaan untuk menyatukan kembali bagian tubuh Donnie dengan sisa jenazahnya sedang dilakukan di Berlin.

    Prasasti makam Gaelik

    Prof Weindling dan rekan-rekannya telah menghubungkan sampel mikroskop dengan catatan pasien dan menghubungi keluarga terdekat.

    Komisi Makam Perang Persemakmuran baru-baru ini setuju untuk menerima sampel otak dan sumsum tulang belakang Donnie dari Institut Max Planck serta menyatukannya kembali dengan jenazah yang telah dikubur di pemakaman mereka di Berlin.

    “Kami berharap ini berarti kami berada dalam posisi untuk menguburkan kembali jenazah pada akhir tahun ini,” kata mereka.

    Libby berharap melihat sebuah prasasti di makam Donnie MacRae (Paul Weindling)

    Libby, keponakan Donnie, juga berharap situasi yang menyakitkan ini terselesaikan.

    “Saya sangat senang mendengar bahwa Komisi Makam Perang Persemakmuran akhirnya akan menguburkan spesimen tersebut dan semua bagian tubuh Donnie akan bersama di tempat yang damai,” katanya.

    Keinginannya adalah melihat prasasti Gaelik baru di makam Donnie di Berlin “Faodaidh an saoghal tighinn gu crch ach mairidh gaol is cel gu brth”.

    Artinya: “Dunia mungkin kiamat, tapi cinta dan musik akan bertahan selamanya.”

    (nvc/nvc)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Trump Bilang Akan Kontak Kim Jong Un Lagi, Bahas Apa?

    Trump Bilang Akan Kontak Kim Jong Un Lagi, Bahas Apa?

    Pyongyang dan Seoul secara teknis masih berperang sejak tahun 1950-1953 silam, yang berakhir dengan gencatan senjata, bukan perjanjian damai.

    Trump dan Kim Jong Un memiliki hubungan yang sangat kuat selama masa jabatan pertama Trump. Dalam pernyataannya baru-baru ini, Trump menggambarkan hubungan antara dirinya dan Kim Jong Un sebagai “sangat, sangat baik” dan dia menyebut pemimpin Korut itu sebagai “sosok yang pintar”.

    Selama masa jabatan pertamanya, Trump bertemu Kim Jong Un dalam tiga kesempatan terpisah antara tahun 2018 dan tahun 2019.

    Namun setelah Trump meninggalkan Gedung Putih, rezim Kim Jong Un melakukan rentetan uji coba senjata dan peluncuran rudal, bahkan memamerkan program nuklirnya.

    AS dan negara-negara lainnya memperingatkan bahwa program nuklir Korut mengganggu stabilitas, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengeluarkan beberapa resolusi yang melarang upaya-upaya Pyongyang terkait program tersebut.

    Dalam wawancara dengan Fox News, Trump mengenang upayanya mewujudkan kesepakatan dengan sekutu Korut, seperti Rusia dan China, pada akhir masa jabatan pertamanya. Upaya tahun 2019 itu akan menetapkan batasan baru bagi senjata nuklir Moskow yang tidak diregulasi dan membujuk Beijing bergabung dengan pakta pengendalian senjata.

    “Saya hampir mencapai kesepakatan. Saya akan mencapai kesepakatan dengan (Presiden Vladimir) Putin mengenai denuklirisasi… Tapi kita mengalami pemilu yang buruk yang mengganggu kita,” ucapnya, merujuk pada kekalahannya dari mantan Presiden Joe Biden dalam pemilu tahun 2020.

    (nvc/idh)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Israel Sambut Baik Langkah Trump Tetapkan Houthi ‘Organisasi Teroris’

    Israel Sambut Baik Langkah Trump Tetapkan Houthi ‘Organisasi Teroris’

    Tel Aviv

    Israel menyambut baik keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dalam kembali menetapkan kelompok Houthi, yang bermarkas di Yaman, sebagai “organisasi teroris”. Tel Aviv menyebut Houthi, yang didukung Iran, sangat mengganggu stabilitas regional dan tatanan global.

    “Houthi adalah proksi Iran yang mengganggu kebebasan navigasi, mengancam perdagangan global dan mengganggu stabilitas regional dan tatanan global,” sebut Menteri Luar Negeri Israel, Gideon Saar, dalam tanggapannya via media sosial X, seperti dilansir Reuters dan Al Arabiya, Jumat (24/1/2025).

    “Ini merupakan langkah penting dalam memerangi teror dan memerangi unsur-unsur yang mengganggu stabilitas di kawasan kita,” ucapnya.

    Trump, pekan ini, kembali menetapkan Houthi sebagai Organisasi Teroris Asing (FTO) setelah pemerintahan mantan Presiden Joe Biden membatalkan penetapan tersebut.

    Langkah membatalkan penetapan FTO itu diambil Biden karena pada saat itu dianggap menghambat pengiriman bantuan kemanusiaan ke Yaman, yang mengalami salah satu krisis kemanusiaan paling parah di dunia.

    Langkah Trump kembali menetapkan Houthi sebagai FTO menandai kedua kalinya dia mengambil kebijakan tersebut, setelah melakukan hal serupa pada masa jabatan pertamanya. Perintah yang ditandatangani Trump ini juga mengutuk Iran karena mendukung Houthi.

    Kelompok Houthi memberikan reaksi keras atas langkah terbaru Trump tersebut. Houthi menuduh AS menetapkan kelompok mereka sebagai organisasi teroris karena mereka mendukung rakyat Palestina, yang menjadi motif kelompok itu menyerang Israel dan kapal-kapal di Laut Merah selama berbulan-bulan.

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Polusi Udara Bangkok Makin Parah, Lebih dari 350 Sekolah Diliburkan

    Polusi Udara Bangkok Makin Parah, Lebih dari 350 Sekolah Diliburkan

    Bangkok

    Polusi udara yang menyelimuti Bangkok, ibu kota Thailand, semakin parah. Otoritas kota Bangkok mengumumkan lebih dari 350 sekolah terpaksa diliburkan akibat kondisi udara yang buruk.

    Bangkok, menurut pemantau kualitas udara IQAir seperti dilansir AFP, Jumat (24/1/2025), menduduki peringkat ketujuh sebagai kota besar paling tercemar atau paling mengalami polusi di dunia.

    Polusi udara musiman telah lama melanda Thailand, seperti banyak negara di kawasan sekitarnya. Namun kondisi berkabut pada pekan ini telah menyebabkan sebagian besar sekolah diliburkan — situasi semacam ini berlangsung sejak tahun 2020 lalu.

    “Otoritas Metropolitan Bangkok telah meliburkan 352 sekolah di sebanyak 31 distrik karena polusi udara,” demikian pesan otoritas kota Bangkok yang dibagikan dalam grup LINE resminya pada Jumat (24/1) waktu setempat.

    Sehari sebelumnya, atau pada Kamis (23/1), lebih dari 250 sekolah di Bangkok diliburkan karena polusi udara, dengan para pejabat setempat mengimbau warga untuk bekerja dari rumah dan membatasi kendaraan berat di area ibu kota.

    Polusi udara melanda Thailand secara musiman, karena udara musim dingin yang lebih dingin dan stagnan ditambah dengan asap dari aktivitas pembakaran tunggul tanaman dan asap kendaraan bermotor.

    Pada Jumat (24/1) waktu setempat, menurut IQAir, level polutan PM2.5 — mikropartikel penyebab kanker yang cukup kecil untuk memasuki aliran darah melalui paru-paru — mencapai 108 mikrogram per meter kubik.

    Lihat juga Video ‘Drone Pun Dikerahkan Berantas Polusi di Bangkok’:

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Trump Ancam Tambah Sanksi Terkait Perang Ukraina, Rusia Bilang Begini

    Trump Ancam Tambah Sanksi Terkait Perang Ukraina, Rusia Bilang Begini

    Moskow

    Ancaman Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk menerapkan sanksi baru ditanggapi santai oleh Rusia. Kremlin atau kantor kepresidenan Rusia menyebut ancaman seperti itu dari Trump sebagai hal yang biasa.

    Pernyataan ini disampaikan oleh juru bicara Kremlin Dmitry Peskov, seperti dilansir kantor berita TASS, Jumat (24/1/2025), setelah Trump sebelumnya mengancam akan memberlakukan sanksi-sanksi baru dan tarif terhadap ekspor Rusia jika perang di Ukraina tidak diakhiri dalam waktu dekat.

    “Kami tidak melihat adanya unsur baru di sini. Anda mengetahui bahwa Trump, pada masa jabatan pertamanya, adalah Presiden AS yang terlalu sering menggunakan metode sanksi,” ujar Peskov.

    Peskov, dalam pernyataannya, menyebut Trump gemar menggunakan sanksi sebagai alat dalam memberikan tekanan.

    “Dia menyukai alat-alat semacam itu (tekanan sanksi), setidaknya dia menyukainya selama masa jabatan pertama kepresidenannya,” sebutnya.

    Trump sebelumnya mengatakan dirinya akan menerapkan sanksi baru dan tarif terhadap ekspor Rusia jika Presiden Vladimir Putin menolak untuk berunding dan membuat kesepakatan untuk mengakhiri perang yang berkecamuk selama hampir tiga tahun terakhir.

    “Jika kita tidak membuat ‘kesepakatan’, dan dalam waktu dekat, saya tidak memiliki pilihan lain selain menerapkan Pajak, Tarif, dan Sanksi tingkat tinggi terhadap apa pun yang dijual oleh Rusia kepada Amerika Serikat, dan berbagai negara lainnya yang berpartisipasi,” kata Trump seperti dilansir Reuters.

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Trump Berharap Hindari Serangan ke Fasilitas Nuklir Iran

    Trump Berharap Hindari Serangan ke Fasilitas Nuklir Iran

    Pada masa jabatan pertamanya, Trump dengan tegas menarik AS dari perjanjian nuklir Iran, yang dinegosiasikan di bawah mantan Presiden Barack Obama, dan kembali menerapkan sanksi besar-besaran terhadap Teheran.

    Langkah Trump pada saat itu menuai pujian dari Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu, yang menyebut pemerintahan yang dikelola ulama di Teheran sebagai ancaman nyata.

    Trump, yang saat itu bersumpah akan memberikan tekanan maksimum terhadap Iran, juga memerintahkan serangan pada tahun 2020 yang menewaskan jenderal senior Iran, Qassem Soleimani, di Baghdad, Irak.

    Namun Trump kemudian terkesan menarik diri dari seruan aksi militer yang lebih luas, dan sejak kembali ke Gedung Putih, dia menjauhkan diri dari para penasihat yang memilih tindakan agresif terhadap Iran.

    Menurut laporan media terkemuka New York Times, Elon Musk, penguasa miliarder dan orang kepercayaan Trump, bertemu dengan seorang pejabat senior Iran setelah pilpres untuk berupaya meredakan ketegangan.

    (nvc/idh)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Italia Ditegur ICC Usai Bebaskan Terduga Penjahat Kemanusiaan Libya

    Italia Ditegur ICC Usai Bebaskan Terduga Penjahat Kemanusiaan Libya

    Roma

    Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni dihujani kritik usai membebaskan seorang warlord Libya atas alasan pelanggaran prosedur. Dia sebelumnya ditahan atas perintah penangkapan dari Mahkamah Pidana Internasional, ICC, dengan dakwaan kejahatan kemanusiaan.

    ICC sebenarnya rutin mengeluarkan tanggapan diplomatis dalam berbagai kasus hukum. Tapi dalam kasus al-Masri, pengadilan yang berpusat di Den Haag itu bernada lebih keras dari biasanya.

    Dalam pernyataannya, ICC mengingatkan Italia akan kewajiban untuk “bekerja sama sepenuhnya” dengan aparat hukum. ICC juga mengaku masih menunggu penjelasan resmi dari pemerintah di Roma.

    Hal ini terjadi setelah pemerintah Italia membebaskan dan memulangkan Ossama Anijem, yang juga dikenal sebagai Ossama al-Masri, yang mengepalai cabang Tripoli dari Lembaga Reformasi dan Rehabilitasi, sebuah jaringan pusat penahanan terkenal yang dijalankan oleh Pasukan Pertahanan Khusus yang didukung pemerintah.

    Jagal dari Tripoli

    Kisruh bermula ketika pemerintah Italia memulangkan Ossama Aniyem, juga dikenal sebagai Ossama al-Masri, yang mengepalai kamp tahanan tersohor milik Pasukan Pertahanan Khusus di Tripoli.

    Dia ditahan pada hari Minggu (19/1) di Turin, setelah menyambangi pertandingan sepak bola Liga Italia antara Juventus melawan AC Milan semalam sebelumnya.

    Perintah penangkapan oleh Mahkamah Pidana Internasional, ICC dikeluarkan sehari sebelumnya. Di dalamnya, al-Masri dituduh melakukan kejahatan kemanusiaan di penjara Mitiga pada tahun 2015. Dia diancam hukuman penjara seumur hidup.

    Al-Masri diduga melakukan pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan dan kekerasan seksual terhadap tahanan. Menurut ICC, perintah penangkapan dikirimkan ke semua negara anggota pada hari Sabtu (18/1), termasuk Italia. Pengadilan juga mengklaim telah mendapat informasi secara langsung tentang masuknya tersangka ke wilayah Eropa.

    Tapi al-Masri tiba-tiba dibebaskan oleh sebuah pengadilan di Roma pada Selasa (21/1), dan diterbangkan kembali ke Libya dengan pesawat milik dinas rahasia Italia. Pengadilan berdalih, proses penangkapannya melanggar prosedur resmi.

    Tamparan bagi korban

    Menurut pengadilan, prosedur dilanggar ketika Menteri Kehakiman Carlo Nordio tidak mendapat informasi terkait sebelum penangkapan. Kementerian Kehakiman berwenang menangani semua urusan dengan ICC.

    Buntutnya, kelompok hak asasi manusia mengecam Italia karena membebaskan al-Masri. “Putusan ini merupakan pukulan telak bagi para korban, penyintas, dan pencari keadilan di dunia,” kata Esther Major dari Amnesty International, wakil direktur penelitian untuk Eropa.

    Dia menyebut lolosnya al Masri sebagai “kesempatan yang hilang untuk memutus siklus impunitas di Libya.”

    Italia memiliki hubungan dekat dengan pemerintah yang diakui secara internasional di Tripoli, terutama demi mencegah gelombang migran menyeberang.

    Diperikrakan, Italia khawatir proses persidangan terhadap al-Masri di Den Haag dapat ikut mengungkap praktik migrasi Italia dan kerja sama dengan otoritas Libya, yang dibiayai Roma untuk mencegah arus migran.

    Berbagai kelompok HAM telah mendokumentasikan ragam pelanggaran berat di fasilitas penahanan Libya, tempat para migran ditahan. Mereka menuduh Italia terlibat dalam kejahatan tersebut.

    rzn/as (dpa,ap)

    Lihat juga Video ‘Hamas hingga Eropa Respons Surat ICC Tangkap Netanyahu-Gallant’:

    (nvc/nvc)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Siapa Pendeta yang Ceramahi Trump Soal LGBT dan Imigran?

    Siapa Pendeta yang Ceramahi Trump Soal LGBT dan Imigran?

    Washington DC

    Uskup Mariann Edgar Budde merupakan pendukung hak-hak LGBT+ dan perlindungan imigran. Khotbahnya yang meminta Trump mengampuni kelompok LGBT+ dan imigran mencuat di tengah pertentangan antara kelompok Kristen progresif dan konservatif.

    Bagi banyak orang Kristen progresif di Amerika Serikat, ucapan Uskup Mariann Edgar Budde agar Presiden Donald Trump menunjukkan belas kasihan kepada orang-orang LGBTQ+ dan imigran adalah contoh kepemimpinan Kristen yang terbaik.

    Sebaliknya, bagi sebagian umat Kristen konservatif, ucapan Budde pada ibadah pelantikan di Katedral Nasional Washington justru ditanggapi dengan cibiran.

    Seorang pendeta menyebut perkataan Budde “tidak pantas dan memalukan”. Presiden Donald Trump mengecam Budde di platform media sosial miliknya, Truth Social.

    Ia menyebut Budde “seorang Radikal Kiri, pembenci Trump garis keras”.

    Trump juga menuntut permintaan maaf publik dari Budde.

    Siapa sosok Budde?

    Dalam khotbah selama 15 menit di Katedral Nasional Washington, Budde membicarakan tentang isu imigran ilegal dan juga kelompok LGBTQ+ yang ia sebut tengah dalam ketakutan menghadapi masa depan.

    BBC

    BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.

    Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

    BBC

    Khotbah ini disampaikan kala Trump mulai menerapkan sejumlah kebijakan, termasuk pengakuan atas dua gender: laki-laki dan perempuan. Selain itu, Trump juga telah mengumumkan kebijakan lain terkait penghentian migrasi ilegal dan klaim suaka di perbatasan AS.

    Pendeta berusia 65 tahun tersebut merupakan pemimpin spiritual untuk 86 jemaat episkopal di District of Columbia dan juga empat distrik di Maryland. Budde merupakan perempuan pertama yang memegang jabatan tersebut. Ia juga bertugas melayani umat di Katedral Nasional Washington.

    Uskup Mariann Edgar Budde meminta Trump menunjukkan belas kasihan kepada kaum LGBT dan migran (Getty Images)

    Laporan hasil wawancara Washington Post pada 2011 dengan Budde tak lama pasca pelantikannya sebagai uskup Episkopal Washington menggambarkan dirinya sebagai “liberal yang tanpa basa-basi”. Dalam wawancara itu, Budde menyatakan dukungannya terhadap pernikahan sesama jenis.

    Pandangannya tersebut diterima warga DC, yang didominasi simpatisan Partai Demokrat.

    Sementara itu, Gereja Episkopal dinilai sebagai salah satu gereja paling liberal yang membentuk Komuni Anglikan global.

    Situs web gereja ini menuliskan misinya “bercita-cita untuk menyampaikan dan mencontohkan kasih Tuhan bagi setiap manusia. Gereja ini juga mengatakan “semua jenis kelamin dan orientasi seksual” menjabat sebagai uskup, pendeta, dan diaken.

    Unggahan soal Uskup Budde di situs web gerejanya menggambarkan dirinya sebagai “seorang advokat dan organisator yang mendukung masalah keadilan, termasuk kesetaraan ras, pencegahan kekerasan senjata, reformasi imigrasi, (dan) inklusi penuh bagi orang-orang LGBTQ+.”

    Trump mengumumkan darurat nasional di perbatasan AS-Meksiko (Getty Images)

    Pertentangan antara Kristen progresif dan konservatif

    Hal ini sangat kontras dengan pandangan banyak penganut Kristen yang lebih konservatif, seperti kelompok Evangelis yang merupakan kelompok inti pendukung Donald Trump.

    Bagi kelompok konservatif, peningkatan hak LGBT+ bertentangan dengan ajaran Alkitab. Mereka juga khawatir pembiaran terhadap imigrasi membahayakan Amerika, serta menuduh mantan Presiden Biden mendorong perdagangan manusia.

    Ini bukan pertama kalinya Budde berselisih dengan Donald Trump.

    Ia pernah mengecam Donald Trump karena difoto sedang memegang Alkitab di luar Gereja Episkopal St. John di Washington D.C. Foto itu diambil di tengah protes kematian George Floyd warga kulit hitam yang mengalami kekerasan oleh polisi – pada bulan Juni 2020.

    Dalam sebuah wawancara saat itu, Budde menuduh Trump “semua yang dia katakan dan lakukan bertujuan untuk mengobarkan kekerasan… Kita membutuhkan kepemimpinan moral, dan dia telah melakukan segalanya untuk memecah belah kita.”

    Ini menunjukkan adanya pertentangan nilai dalam skala yang lebih luas di tengah warga Amerika, antara dua visi yang saling bertentangan tentang apa artinya menjadi seorang Kristen.

    Kaum progresif berpendapat bahwa hidup seperti Yesus berarti menerima orang lain dan memperjuangkan keadilan sosial. Banyak kaum konservatif memandang negara mereka dalam keadaan kemerosotan moral akibat tidak mengikuti firman Tuhan.

    Pertentangan ini pun terbawa dalam pemilihan presiden, Para pemimpin Evangelis terkemuka seperti Franklin Graham menyebut kemenangan Trump sebagai “kemenangan besar bagi umat Kristen, bagi kaum Evangelis”.

    Kemungkinan pertentangan ini kembali hadir lewat pernyataan Budde di depan Trump pada ibadah pelantikan tersebut.

    Dalam salah satu pernyataannya, Gereja Episkopal menegaskan kembali dukungannya terhadap para migran, dengan menyatakan bahwa “sebagai orang Kristen, iman kita dibentuk oleh kisah Alkitab tentang orang-orang yang dipimpin Tuhan ke negara-negara asing untuk melarikan diri dari penindasan.”

    Lewat akun X, anggota parlemen Republik Mike Collins mencuitkan mengenai Uskup Budde, yang ia sebut “orang yang menyampaikan khotbah ini harus ditambahkan ke daftar deportasi.”

    (nvc/nvc)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu