Foto Internasional
Intip Bangunan Struktur Kayu Terbesar Dunia di World Expo Osaka 2025
News
6 jam yang lalu

Foto Internasional
Intip Bangunan Struktur Kayu Terbesar Dunia di World Expo Osaka 2025
News
6 jam yang lalu

Jakarta, CNBC Indonesia — Nikita Casap, seorang remaja di Wisconsin, Amerika Serikat (AS) membunuh kedua orang tuanya dan mencuri properti senilai lebih dari US$10.000 dan penyalahgunaan identitas untuk mendapatkan uang.
Menurut otoritas Waukesha County pembunuhan dan pencurian itu dilakukan Casap untuk melancarkan rencana membunuh Presiden AS Donald Trump.
Adapun mengutip ABC News, Minggu (13/4/2025), ayah tiri remaja itu, Donald Mayer, 51 tahun, dan ibunya, Tatiana Casap, 35 tahun, ditemukan tewas di dalam rumah mereka oleh Departemen Sheriff Waukesha County pada tanggal 1 Maret, menurut siaran pers dari departemen tersebut.
Departemen sheriff mengeluarkan surat perintah penggeledahan dan mengatakan mereka menemukan materi di ponsel remaja tersebut terkait dengan “The Order of Nine Angles,” yang merupakan “jaringan individu yang memegang pandangan ekstremis bermotivasi rasial Nazi baru,” menurut para penyelidik.
Biro Investigasi Federal meninjau dokumen yang diduga ditulis oleh remaja tersebut, yang menyerukan pembunuhan Trump dan dimulainya revolusi untuk “menyelamatkan ras kulit putih,” menurut dokumen pengadilan federal.
Selain itu juga ditemukan tulisan yang diduga menunjukkan gambar Adolf Hitler dengan teks berikut: “HAIL HITLER HAIL THE WHITE RACE HAIL VICTORY,” menurut dokumen pengadilan.
“Dia berhubungan dengan pihak lain tentang rencananya untuk membunuh Presiden dan menggulingkan pemerintah Amerika Serikat. Dan dia membayar, setidaknya sebagian, sebuah pesawat nirawak dan bahan peledak untuk digunakan sebagai senjata pemusnah massal untuk melakukan serangan,” kata penyelidik dalam pernyataan tertulis federal.
“Pihak lain, yang dihubungi Casap, tampaknya mengetahui rencana dan tindakannya dan telah memberikan bantuan kepada Casap dalam melaksanakannya,” menurut surat pernyataan itu.
Casap hadir di pengadilan pada tanggal 9 April untuk sidang pendahuluan atas tuduhan negara bagiannya. Ia belum mengajukan pembelaan dan masih dalam tahanan. Sidang pengadilan berikutnya adalah untuk dakwaan pada tanggal 7 Mei, menurut berkas pengadilan Waukesha County.
(mkh/mkh)

Jakarta, CNBC Indonesia — Tupperware menutup bisnisnya di Indonesia. Hal ini merupakan bagian dari strategi global perusahaan.
MengutipInstagram resmi Tupperware Indonesia, Minggu (13/4/2025), Tupperware telah hadir di Tanah Air selama 33 tahun. “Dengan berat hati, kami mengumumkan bahwa Tupperware Indonesia secara resmi telah menghentikan operasional bisnisnya sejak 31 Januari 2025,” tulis @tupperwareid.
Tupperware mengatakan 33 tahun bukan waktu yang singkat untuk menjadi bagian dari rumah tangga di Indonesia. Sebagaimana diketahui Tupperware sejak era 1990-an menjadi bagian dari dapur, meja makan, hingga bekal anak.
“Ayah, bunda, kakak dan adik. Jangan dihilangin lagi Tupperwarenya ya, gak ada gantinya lagi loh sekarang,” tulis Instagram Tupperware.
Sebagai informasi, Tupperware global sempat berada di ujung kebangkrutan. Namun kemudian, hakim kebangkrutan di AS menyetujui kesepakatan untuk menyelamatkan perusahaan asal Massachusetts tersebut.
Berdasarkan kesepakatan tersebut, Tupperware akan menjual nama merek dan aset utamanya kepada sekelompok pemberi pinjaman dengan harga US$23,5 juta tunai dan US$63 juta dalam bentuk keringanan utang.
Perjanjian penjualan tersebut juga mengharuskan Tupperware untuk menjadi perusahaan swasta di bawah kepemilikan yang mendukung dari kelompok pemberi pinjaman pembelian, meliputi manajer dana lindung nilai Stonehill Capital Management dan Alden Global Capital. Berdasarkan kesepakatan perusahaan tersebut akan menjadi perusahaan swasta dan dihapus dari bursa saham.
Adapun Tupperware didirikan pada tahun 1946 oleh ahli kimia Earl Tupper. Produk wadah plastik kedap udaranya membantu makanan bertahan lebih lama bagi keluarga yang masih berjuang setelah perang dan Depresi Besar.
Merek tersebut memperoleh popularitas pada pertengahan abad ke-20 dengan “pesta Tupperware” yang terkenal. Model penjualan langsung yang memberi banyak wanita kesempatan untuk mendapatkan penghasilan tambahan dengan menjual kepada teman dan tetangga.
Sementara merek tersebut berkembang untuk mencakup berbagai produk dapur selama bertahun-tahun, persaingan dari pesaing baru- seperti Rubbermaid dan OXO- dan pergeseran preferensi konsumen ke arah wadah kaca mengikis dominasinya. Perusahaan berusia 78 tahun tersebut telah berjuang selama bertahun-tahun untuk menghidupkan kembali peruntungannya.
Pandemi memberi Tupperware dorongan penjualan sementara karena lebih banyak orang memasak di rumah, tetapi itu tidak cukup untuk mengimbangi perjuangan merek tersebut. Di tengah utang lebih dari US$1,2 miliar, perusahaan itu mengajukan kebangkrutan pada September 2023.
(mkh/mkh)

Serangan terhadap Sumy adalah serangan skala besar kedua yang merenggut nyawa warga sipil hanya dalam waktu seminggu, menyusul serangan rudal mematikan di kampung halaman Zelenskyy, Kryvyi Rih, pada 4 April yang menewaskan sekitar 20 orang, termasuk sembilan anak-anak. (Russian Defense Ministry Press Service via AP)

Jakarta, CNBC Indonesia — Presiden ke-6 RI yang juga Ketua The Yudhoyono Institute Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengingatkan bahwa isu dunia saat ini bukan hanya eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat dengan China.
Akan tetapi ada sejumlah agenda global yang tidak kalah mendesak untuk diselesaikan, seperti krisis iklim dan kemiskinan global. SBY pun mengkritisi para pemimpin dunia yang dia nilai mulai abai terhadap isu-isu tersebut.
“Kita cemas, saya cemas, kalau perhatian para pemimpin dunia, tentu bukan hanya Amerika Serikat dan China, tapi semua pemimpin dunia, makin tidak peduli dari kewajiban internasional yang lain. Misalnya, menyelamatkan bumi kita dari climate disaster, yang menurut saya sekarang makin mencemaskan. No longer climate change, tapi climate crisis,” katanya dalam acara The Yudhoyono Institute dengan tema Dinamika dan Perkembangan Dunia Terkini: Geopolitik, Keamanan dan Ekonomi Global di Hotel Sahid, Jakarta, Minggu (13/4/2025).
Ia mengingatkan bahwa isu ketimpangan dan kemiskinan dunia adalah pekerjaan rumah bersama umat manusia. Namun, bila perhatian global hanya terfokus pada konflik ekonomi dan kekuatan geopolitik, maka agenda-agenda besar lainnya akan terabaikan.
“Pendekatan dalam mengatasi persoalan regional melalui geopolitics of power, melalui perang, melalui apa-apa yang merupakan hard power, power politics seperti itu, yang sebetulnya makin menjauh dari kewajiban global yang lain,” jelasnya.
SBY mendorong agar Indonesia juga tidak tinggal diam. Ia menekankan, politik luar negeri bebas aktif bukan berarti pasif atau enggan bersuara.
“Kita dari bumi Indonesia harus juga ikut bicara. Jangan diam, politik bebas aktif tidak berarti diam, tidak berarti tidak berpendapat. Tentu kita harus bisa dengan penuh tanggung jawab, dengan tujuan yang baik, ikut menyampaikan pikiran-pikiran kita,” pungkasnya.
Adapun SBY menilai konflik ekonomi antara dua negara adidaya, Amerika Serikat dan China memang berpotensi mengguncang perekonomian dunia dan menimbulkan dampak yang luas, terutama bagi negara-negara miskin.
“Saya ingin menyampaikan, sekali terjadi guncangan ekonomi, tidak mudah untuk mengatasinya dan cost-nya sangat tinggi,” kata SBY.
Ia mengingatkan, perang tarif dan perang dagang bukan sekadar urusan bilateral dua negara, melainkan isu global yang bisa menurunkan pertumbuhan ekonomi dunia, menaikkan angka pengangguran, bahkan memicu krisis kematian di negara-negara rentan.
“Bagaimana kalau pertumbuhan global menurun, bagaimana kalau pengangguran meledak di mana-mana, bagaimana kalau inflasi terjadi di seluruh belahan dunia, bagaimana nasib negara-negara miskin, bagaimana kalau death crisis,” ujarnya prihatin.
SBY juga mengajak dunia internasional untuk tidak tinggal diam. Ia menekankan pentingnya partisipasi global untuk meredam ketegangan dan mencari solusi bersama.
“Mengapa tidak kalau kita menjadi bagian dari solusi. Katakan sesuatu, lakukan sesuatu, agar ini tidak makin menjadi-jadi,” ucap dia.
Ia pun menyadari tidak semua negara memiliki kapasitas penuh untuk mengubah keadaan, tetapi baginya, upaya sekecil apapun tetap penting. “Paham, kita juga memiliki batas kemampuan, tapi kenapa kita tidak coba dengan sebaiknya? Untuk apa yang bisa kita lakukan menyelamatkan perekonomian dunia yang dipicu dari perang tarif dan perang dagang sekarang ini,” sambungnya.
(mkh/mkh)

Jakarta, CNBC Indonesia — Presiden ke-6 RI yang juga Ketua The Yudhoyono Institute, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengungkapkan kecemasannya terhadap eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China yang terus memanas.
Menurutnya, konflik ekonomi dua negara adidaya ini berpotensi mengguncang perekonomian dunia dan menimbulkan dampak yang luas, terutama bagi negara-negara miskin.
“Saya ingin menyampaikan, sekali terjadi guncangan ekonomi, tidak mudah untuk mengatasinya dan cost-nya sangat tinggi,” kata SBY dalam acara The Yudhoyono Institute dengan tema Dinamika dan Perkembangan Dunia Terkini: Geopolitik, Keamanan dan Ekonomi Global di Hotel Sahid, Jakarta, Minggu (13/4/2025).
Ia mengingatkan, perang tarif dan perang dagang bukan sekadar urusan bilateral dua negara, melainkan isu global yang bisa menurunkan pertumbuhan ekonomi dunia, menaikkan angka pengangguran, bahkan memicu krisis kematian di negara-negara rentan.
“Bagaimana kalau pertumbuhan global menurun, bagaimana kalau pengangguran meledak di mana-mana, bagaimana kalau inflasi terjadi di seluruh belahan dunia, bagaimana nasib negara-negara miskin, bagaimana kalau death crisis,” ujarnya prihatin.
SBY juga mengajak dunia internasional untuk tidak tinggal diam. Ia menekankan pentingnya partisipasi global untuk meredam ketegangan dan mencari solusi bersama.
“Mengapa tidak kalau kita menjadi bagian dari solusi. Katakan sesuatu, lakukan sesuatu, agar ini tidak makin menjadi-jadi,” ucap dia.
Ia pun menyadari tidak semua negara memiliki kapasitas penuh untuk mengubah keadaan, tetapi baginya, upaya sekecil apapun tetap penting. “Paham, kita juga memiliki batas kemampuan, tapi kenapa kita tidak coba dengan sebaiknya? Untuk apa yang bisa kita lakukan menyelamatkan perekonomian dunia yang dipicu dari perang tarif dan perang dagang sekarang ini,” sambungnya.
Lebih jauh, SBY juga mengkritisi para pemimpin dunia yang menurutnya mulai abai terhadap agenda-agenda global yang tak kalah mendesak, seperti krisis iklim dan kemiskinan global.
“Kita cemas, saya cemas, kalau perhatian para pemimpin dunia, tentu bukan hanya Amerika Serikat dan China, tapi semua pemimpin dunia, makin tidak peduli dari kewajiban internasional yang lain. Misalnya, menyelamatkan bumi kita dari climate disaster, yang menurut saya sekarang makin mencemaskan. No longer climate change, tapi climate crisis,” tegasnya.
Ia mengingatkan bahwa isu ketimpangan dan kemiskinan dunia adalah pekerjaan rumah bersama umat manusia. Namun, bila perhatian global hanya terfokus pada konflik ekonomi dan kekuatan geopolitik, maka agenda-agenda besar lainnya akan terabaikan.
“Pendekatan dalam mengatasi persoalan regional melalui geopolitics of power, melalui perang, melalui apa-apa yang merupakan hard power, power politics seperti itu, yang sebetulnya makin menjauh dari kewajiban global yang lain,” jelasnya.
SBY mendorong agar Indonesia juga tidak tinggal diam. Ia menekankan, politik luar negeri bebas aktif bukan berarti pasif atau enggan bersuara.
“Kita dari bumi Indonesia harus juga ikut bicara. Jangan diam, politik bebas aktif tidak berarti diam, tidak berarti tidak berpendapat. Tentu kita harus bisa dengan penuh tanggung jawab, dengan tujuan yang baik, ikut menyampaikan pikiran-pikiran kita,” pungkasnya.
(mkh/mkh)

Jakarta, CNBC Indonesia — Presiden Indonesia ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan kegundahan atas kondisi global saat ini. Dia menilai betapa kacau dunia akibat kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
SBY pun menyusun tujuh butir pandangan mengenai bagaimana Indonesia sebaiknya merespons kebijakan Trump. Meski tidak semua ia publikasikan, ia mengaku bersyukur ketika melihat bahwa langkah pemerintah Indonesia saat ini sejalan dengan pandangannya.
“Saya bersyukur karena yang dijelaskan oleh para menteri Indonesia, tentu termasuk Presiden Prabowo Subianto, itu boleh dikatakan 80% sama dengan apa yang saya pikirkan,” ujarSBY dalam acara diskusi The Yudhoyono Institute dengan tema Dinamika dan Perkembangan Dunia Terkini: Geopolitik, Keamanan dan Ekonomi Global di Hotel Sahid, Jakarta, Minggu (13/4/2025).
Ia pun mengingatkan agar Indonesia tidak bereaksi berlebihan. “Saya khawatir kalau Indonesia terlalu reaktif, lebih emosional dan kurang rasional. Kita harus tahu kemampuan dan batas kemampuan kita,” tegasnya.
Meski kini lebih dikenal sebagai pelukis dan seniman, SBY mengaku masih mengikuti perkembangan ekonomi dan geopolitik global. Ia juga menyampaikan dukungan terhadap kebijakan fiskal dan moneter pemerintah dalam meredam gejolak pasar.
“Yang dilakukan memang diperlukan untuk menenangkan pasar, menenangkan masyarakat kita,” katanya.
Lebih jauh, ia menekankan pentingnya kesiapsiagaan menghadapi situasi global yang tidak pasti. “Indonesia memang harus bergerak cepat, tapi siap-siap berlari jauh. Tidak ada yang tahu sampai kapan kehebohan, gonjang-ganjing, chaos, disorder ini akan berlangsung,” ungkapnya.
Di akhir pernyataannya, SBY mendorong Indonesia agar tak hanya bersikap pasif. “Bukan hanya bergerak untuk yang terbaik, bersiap untuk yang terburuk, tapi lebih dari itu. Katakan sesuatu, lakukan sesuatu, dan menjadi bagian dari solusinya. Saya yakin Indonesia bisa,” pungkasnya.
(mkh/mkh)

Jakarta, CNBC Indonesia- CNBC Indonesia bersama The Yudhoyono Institute menggelar The Yudhoyono Institute Panel Discussion dengan tema “Dinamika dan Perkembangan Dunia Terkini: Geopolitik, Keamanan dan Ekonomi Global” pada Minggu, 13 April 2025 sebagai forum untuk membahas berbagai isu global serta merumuskan rekomendasi dan pandangan strategis yang dapat menjadi referensi bagi para pembuat kebijakan dan pemimpin di kawasan Indo-Pasifik dan dunia pada umumnya.
Presiden RI Ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam The Yudhoyono Institute Panel Discussion menyampaikan pandangannya terhadap dinamika dan perkembangan dunia terkini.
SBY menyampaikan 7 pandangannya dan rekomendasi kepada pemerintah RI terhadap respons Indonesia terhadap pengenaan tarif impor AS sebesar 32%. Pemerintah RI tidak disarankan untuk terlalu reaktif dan menyadari posisinya di dunia global sekaligus mendorong peran otoritas untuk menenangkan gejolak pasar keuangan nasional.
Saat ini Indonesia harus berjaga-jaga, mempersiapkan antisipasi menghadapi hal terburuk serta melakukan sesuatu untuk melakukan sebuah solusi di kawasan ataupun dunia global baik di ekonomi maupun politik dan keamanan dunia.
Selengkapnya saksikan dalam The Yudhoyono Institute Panel Discussion,CNBC Indonesia (Minggu, 13/04/2025)

“Saya sangat berharap bahwa Expo 2025 Osaka, Kansai, Jepang akan menjadi kesempatan bagi orang-orang di seluruh dunia untuk menghargai tidak hanya kehidupan mereka sendiri, tetapi juga kehidupan orang-orang di sekitar mereka dan berbagai bentuk kehidupan yang ada di alam, dan untuk terinspirasi untuk bekerja sama guna menciptakan masa depan yang berkelanjutan,” kata Naruhito dalam pembukaan. (Jia Haocheng/Pool Photo via AP)

Jakarta, CNBC Indonesia – Di tengah memanasnya perang dagang antara Amerika Serikat dan China yang kembali mencapai puncaknya, Presiden Donald Trump ‘melunak’ dan menyatakan tetap optimistis bahwa kedua negara masih bisa mencapai kesepakatan tarif.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Juru Bicara Gedung Putih, Karoline Leavitt, dalam konferensi pers, hanya beberapa jam setelah Tiongkok menaikkan tarif atas produk-produk asal AS menjadi 125%, dari sebelumnya 84%.
Langkah terbaru Beijing ini merupakan bentuk retaliasi paling tajam sejauh ini terhadap kebijakan tarif yang diberlakukan oleh pemerintahan Trump dalam beberapa bulan terakhir. Meskipun eskalasi ini meningkatkan ketegangan, Gedung Putih menegaskan bahwa pintu negosiasi tetap terbuka.
“Presiden telah menyatakan dengan sangat jelas bahwa beliau terbuka untuk mencapai kesepakatan dengan China,” ujar Leavitt, dikutip dari Fox Business. “Presiden sangat optimistis bahwa kesepakatan dapat tercapai.”
Menurut Leavitt, Trump siap memberikan sikap terbuka dan ramah jika Beijing bersedia menyusun langkah konkret menuju kompromi dagang. Namun, ia juga menekankan bahwa langkah balasan yang terus berlanjut dari pihak China tidak akan menguntungkan mereka sendiri.
“Presiden … akan bersikap bijak jika China berniat membuat kesepakatan dengan Amerika Serikat. Namun, jika China terus melakukan retaliasi, itu bukan langkah yang baik bagi China,” lanjutnya.
“Amerika Serikat adalah ekonomi terkuat dan terbaik di dunia, seperti yang terbukti dari lebih dari 75 negara yang langsung menghubungi pemerintahan ini untuk menjalin kesepakatan yang menguntungkan.”
Leavitt menambahkan bahwa tujuan utama Presiden Trump adalah memperjuangkan kepentingan rakyat Amerika dan menciptakan praktik perdagangan yang adil di seluruh dunia.
Ketika ditanya apakah Trump menunggu langkah pertama dari China dalam pembicaraan dagang ini, Leavitt menolak memberikan pernyataan spesifik.
“Saya tidak akan mengomentari komunikasi yang sedang atau mungkin tidak sedang berlangsung,” katanya.
Namun demikian, ia menegaskan bahwa tim keamanan nasional AS siap untuk memfasilitasi dimulainya diskusi bilateral antara kedua negara. Leavitt juga menjanjikan bahwa pihak Gedung Putih akan menyampaikan perkembangan terbaru secara terbuka.
“Seperti biasa, demi keterbukaan, kami akan memberikan pembaruan seiring dengan berjalannya proses ini,” ucapnya.
Ketegangan antara AS dan China terkait tarif impor telah berlangsung sejak masa jabatan pertama Presiden Trump, dan semakin membara dalam beberapa bulan terakhir setelah ia menerapkan tarif timbal balik yang menyasar produk-produk China dengan tarif hingga 145%. Langkah itu menuai kekhawatiran global atas dampak terhadap rantai pasok internasional dan stabilitas ekonomi.
Sementara itu, berbagai negara lain juga tengah berupaya menavigasi ketidakpastian perdagangan global dengan memperkuat diplomasi ekonomi mereka. Namun bagi pemerintahan Trump, tekanan terhadap China tampaknya merupakan bagian dari strategi lebih luas untuk memaksa perubahan dalam praktik dagang yang dianggap tidak adil.
(luc/luc)