Category: Bisnis.com Tekno

  • Komdigi dan Telkomsel Cs Prediksi Lonjakan Trafik 30% pada Momen Nataru 2025

    Komdigi dan Telkomsel Cs Prediksi Lonjakan Trafik 30% pada Momen Nataru 2025

    Bisnis.com, JAKARTA—Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) memprediksi akan terjadi kenaikan trafik layanan data operator telekomunikasi pada momen Natal dan Tahun Baru (Nataru). 

    Hal tersebut disampaikan Menteri Komdigi Meutya Hafid saat Pelaksanaan Apel Bersama Posko Siaga Kualitas Layanan Telekomunikasi Natal 2025 dan Tahun Baru 2026. 

    “Kami memprediksi ada kenaikan 30% traffic untuk libur Nataru ini,” kata Meutya di Kantor Komdigi, Jumat (19/12/2025).

    Seiring dengan proyeksi tersebut, Meutya mengatakan Komdigi bersama operator telekomunikasi telah menyiapkan berbagai langkah antisipasi untuk menjaga kualitas layanan. 

    Salah satunya melalui pengoperasian posko monitoring yang melibatkan Komdigi dan operator seluler.

    “Totalnya ada 255 posko bersama yang akan bekerja mulai dari hari ini sampai tanggal 4 Januari untuk memastikan layanan berjalan dengan baik,” katanya.

    Meutya menekankan kesiapan operator seluler tidak hanya terbatas pada pengoperasian posko, tetapi juga mencakup aspek ketahanan energi. 

    Menurutnya, penyediaan pasokan listrik cadangan seperti genset dan baterai perlu dipastikan guna memitigasi potensi gangguan akibat curah hujan tinggi di akhir tahun. 

    Dia juga menyampaikan bahwa Presiden Prabowo Subianto mengingatkan adanya peringatan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) terkait potensi curah hujan yang tinggi.

    “Karena BMKG telah memberikan peringatan maka kita semua harus waspada,” katanya.

    Oleh sebab itu, Meutya juga meminta operator seluler memprioritaskan kesiapan power backup berupa genset dan baterai cadangan dengan kapasitas penuh, terutama di wilayah-wilayah kritis, sebagai bagian dari upaya mitigasi terhadap potensi cuaca ekstrem. 

    Sementara itu, Direktur Jenderal Infrastruktur Digital Komdigi Wayan Toni Supriyanto mengatakan operator seluler telah melakukan optimalisasi jaringan di sejumlah point of interest (POI) yang menjadi pusat aktivitas masyarakat selama libur Nataru. 

    Selain itu, operator juga menyiapkan mobile BTS di sepanjang jalur tol dan titik-titik strategis, serta menyediakan paket promo Nataru tanpa mengurangi kualitas layanan. 

    Selain kesiapan operator, lanjut Wayan, Komdigi membentuk satuan tugas posko bersama di 255 titik untuk melakukan pemantauan kualitas layanan telekomunikasi dan spektrum frekuensi radio. 

    Pemantauan tersebut dilakukan melalui 35 UPT Balai Monitoring Spektrum Frekuensi Radio dan berlangsung mulai 19 Desember hingga 4 Januari 2026. 

    “Guna memastikan kualitas layanan telekomunikasi tetap optimal setelah spektrum frekuensi tetap aman dari gangguan selama masa liburan Natal dan tahun baru 2026,” katanya.

    Wayan menjelaskan, posko bersama antara Komdigi dan operator seluler ditempatkan di 17 titik strategis, terutama pusat transportasi dan destinasi wisata. 

    Lokasi tersebut antara lain Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Pelabuhan Merak di Banten, Rest Area Kilometer 57, Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya, serta Pelabuhan Tanjung Pinang di Kabupaten Bintan. Posko juga ditempatkan di kawasan wisata seperti Pantai Kuta Bali, Art Center Rantepao Toraja, dan Manado Town Square.

    “Kemudian juga kami menempatkan posko di kantor pusat monitoring di Kementerian Komdigi yang juga berfungsi sebagai pusat koordinasi utama,” katanya.

    Selain itu, posko pemantauan juga ditempatkan di seluruh bandara serta di 35 lokasi UPT Balai Monitoring Spektrum Frekuensi Radio di seluruh Indonesia.

    “Posko milik Operator Seluler juga berfungsi sebagai sales dan customer service untuk layanannya masing-masing,” katanya.

    Lebih lanjut, Wayan mengatakan keberadaan satuan tugas posko bersama tidak hanya untuk menjaga kualitas layanan telekomunikasi, tetapi juga untuk memastikan keselamatan masyarakat, khususnya pada komunikasi transportasi yang menggunakan spektrum frekuensi radio. 

    Tidak hanya itu, Komdigi juga memberikan dukungan early warning system melalui pengiriman SMS blast informasi bencana di wilayah terdampak, termasuk informasi keselamatan lalu lintas. Dia mengatakan Komdigi bekerja sama dengan Korlantas Mabes Polri dalam penyampaian informasi darurat lalu lintas di jalan tol dan jalur rawan lainnya. Terdapat 78 titik lokasi potensi rawan kecelakaan yang dipantau melalui SMS blast.

    Selain itu, Komdigi juga mendukung operasional call center 112 selama libur Nataru yang telah tersedia di DKI Jakarta dan 179 kabupaten/kota di Indonesia.

    “Sehingga masyarakat lebih mudah mengakses bantuan darurat dimanapun terutama pada momen Natal dan Tahun Baru 2026,” katanya.

  • Xiaomi 17 Ultra Diluncurkan Akhir Desember 2025, Ini Spesifkasinya

    Xiaomi 17 Ultra Diluncurkan Akhir Desember 2025, Ini Spesifkasinya

    Bisnis.com, Jakarta — Xiaomi telah mengkonfirmasi Xiaomi 17 Ultra akan diluncurkan akhir Desember 2025 di China.

    Berdasarkan rumor yang beredar, Xiaomi 17 Ultra diperkirakan meluncur pada 22, 26, atau 27 Desember 2025. Sementara itu, perangkat ini disebut akan mulai tersedia untuk preorder di China pada 25 Desember 2025.

    Xiaomi juga mengumumkan peningkatan kerja samanya dengan Leica di bidang pencitraan. Kemitraan tersebut kini mengusung model kreasi bersama strategis, dengan Xiaomi 17 Ultra menjadi produk pertama hasil kerja sama terbaru ini.

    Dikutip dari GSMArena, Jumat (19/12/2025),  hasil kolaborasi ini dijanjikan akan membawa peningkatan signifikan pada performa kamera telefoto dan kualitas foto dalam kondisi cahaya rendah (low-light).

    Xiaomi 17 Ultra baru-baru ini telah memperoleh sertifikasi FCC, sehingga mempunyai peluang besar untuk peluncuran global, tidak hanya terbatas di pasar China.

    Spesifikasi Xiaomi 17 Ultra 

    Berdasarkan rangkuman dari berbagai sumber, berikut spesifikasi yang diperkirakan akan dibawa Xiaomi 17 Ultra:

    – Prosesor: Qualcomm Snapdragon 8 Elite Gen 5 (3nm, octa-core)

    – Sistem Operasi: Android 16

    – Layar:

    -LTPO AMOLED 6,82 inci

    -Resolusi 1440 × 3200 piksel

    -Refresh rate 120Hz

    -Touch sampling rate 300Hz

    -Dilindungi Xiaomi Shield Glass 2.0

    -Desain punch-hole

    – Kamera Belakang:

    -Kamera utama 50MP (sensor 1 inci, LYT-900, OIS)

    -Kamera telefoto 200MP

    -Kamera ultrawide 50MP

    -Mendukung perekaman video hingga 8K -UHD 30fps

    – Kamera Depan: 32MP

    – Memori:

    -RAM 16GB

    -Penyimpanan internal 512GB (tanpa slot ekspansi)

    – Baterai & Pengisian Daya:

    -Kapasitas 7.000mAh

    -Teknologi HyperCharge 200W (klaim pengisian penuh di bawah 8 menit)

    -Pengisian nirkabel 80W

    -Mendukung reverse wired & wireless charging

    – Konektivitas:

    -4G, 5G, VoLTE, Vo5G

    -Wi-Fi, Bluetooth 6.0

    -NFC, USB-C 3.2, IR Blaster

    – Fitur Tambahan:

    -Sensor sidik jari di dalam layar

    -Diperkirakan memiliki layar belakang kecil di dekat modul kamera, mirip Xiaomi 17 Pro (Nur Amalina)

  • Starlink Elon Musk Jatuh ke Bumi Akibat Anomali Orbit, NASA Turun Tangan

    Starlink Elon Musk Jatuh ke Bumi Akibat Anomali Orbit, NASA Turun Tangan

    Bisnis.com, Jakarta — Salah satu satelit internet Starlink milik SpaceX mengalami masalah serius saat berada di orbit Bumi pada Rabu, 17 Desember. Akibat masalah ini, satelit tersebut kehilangan kendali, berputar-putar, dan kini sedang jatuh menuju Bumi.

    Kecelakaan ini menyebabkan hilangnya komunikasi dengan pesawat ruang angkasa Starlink, yang mengorbit pada ketinggian 418 kilometer.

    SpaceX menjelaskan bahwa terjadi anomali (gangguan teknis tak terduga) yang membuat kontak dengan satelit terputus. Selain itu, sebagian kecil bagian satelit juga terlepas dan menjadi puing-puing kecil di luar angkasa.

    Dilansir dari Space.com, Jumat (19/12/2025), perwakilan Starlink, perusahaan yang dimiliki SpaceX, mengatakan, “Anomali tersebut menyebabkan kebocoran tangki propulsi, penurunan cepat pada sumbu semi-mayor sekitar 4 km, dan pelepasan sejumlah kecil objek berkecepatan relatif rendah yang dapat dilacak.”

    Masalah ini diduga terjadi karena kebocoran atau kerusakan pada tangki bahan bakar satelit, yang membuat orbit satelit menurun dengan cepat sehingga satelit tidak bisa lagi bertahan di posisinya.

    Saat ini, SpaceX bekerja sama dengan NASA dan Angkatan Luar Angkasa Amerika Serikat untuk memantau puing-puing tersebut. Meski begitu, SpaceX menegaskan bahwa tidak ada bahaya besar yang perlu dikhawatirkan.

    “Satelit tersebut sebagian besar masih utuh, berputar-putar, dan akan memasuki kembali atmosfer Bumi serta hancur sepenuhnya dalam beberapa minggu.”

    SpaceX juga menyatakan bahwa para insinyurnya sedang menyelidiki penyebab utama masalah ini dan akan memperbarui sistem perangkat lunak satelit agar kejadian serupa tidak terulang.

    “Kami menanggapi kejadian ini dengan serius. Para insinyur kami sedang bekerja cepat untuk menemukan akar penyebab dan mengurangi sumber anomali tersebut, dan saat ini sedang dalam proses menerapkan perangkat lunak ke wahana kami yang meningkatkan perlindungan terhadap jenis kejadian ini.”

    Saat ini, Starlink merupakan jaringan satelit terbesar di dunia, dengan hampir 9.300 satelit aktif, atau sekitar 65% dari seluruh satelit aktif di orbit Bumi. Jumlah ini terus bertambah, SpaceX telah meluncurkan 122 misi Starlink tahun ini saja, mengirimkan lebih dari 3.000 satelit ke orbit Bumi rendah.

    Satelit Starlink dirancang untuk beroperasi sekitar lima tahun. Sebelum masa pakainya habis, SpaceX sengaja menurunkan orbit satelit agar tidak rusak dan menjadi sampah antariksa.

    SpaceX juga menerapkan sistem penghindaran tabrakan otomatis. Dalam enam bulan pertama 2025, satelit Starlink tercatat melakukan sekitar 145.000 manuver penghindaran, atau rata-rata empat kali per satelit setiap bulan.

    Meski demikian, tidak semua operator satelit di luar angkasa memiliki tingkat tanggung jawab yang sama. (Nur Amalina)

  • Insentif Biaya Energi Diperlukan untuk Percepat Investasi Swasta di Bidang AI

    Insentif Biaya Energi Diperlukan untuk Percepat Investasi Swasta di Bidang AI

    Bisnis.com, Jakarta — Dorongan penguatan insentif, seperti biaya listrik yang terjangkau, menjadi sorotan dalam upaya Indonesia mempercepat pengembangan Kecerdasan Artifisial (KA). 

    Senior Vice President Regulatory and Government Affairs PT Indosat Tbk, Ajar A. Edi menilai insentif memegang peranan penting dalam mendorong sektor swasta berinvestasi membangun infrastruktur KA di Tanah Air. 

    “Salah satu cara untuk boost agar swasta mau masuk adalah melalui insentif. Insentif itu sendiri bentuknya beragam,” ujar Ajar, dalam acara Editor Meeting dengan tema “Menjelajahi Peta Jalan Kecerdasan Artificial Nasional, Pijakan Untuk Berdikari?” Jakarta, Kamis (18/12/2025).

    Menurutnya, agar sektor swasta tertarik membangun infrastruktur AI, diperlukan kombinasi kebijakan regulasi yang jelas dan insentif yang tepat sasaran. 

    Beberapa insentif yang dinilai krusial antara lain harga energi yang kompetitif, mengingat pengembangan AI membutuhkan daya listrik besar, terutama untuk operasional pusat data.

     “AI itu butuh daya besar, sehingga tarif listrik untuk data center seharusnya bisa dibuat lebih murah dibandingkan negara lain,” jelasnya.

    Selain itu, Ajar juga menyoroti pentingnya keringanan pajak impor untuk perangkat yang belum dapat diproduksi di dalam negeri, seperti GPU, server, dan perangkat pendukung data center. 

    Perlunya kemudahan visa serta kebijakan pemulangan diaspora talenta AI agar para ahli Indonesia yang bekerja di luar negeri bersedia kembali dan berkontribusi dalam pengembangan teknologi nasional.

    Ajar meyakini bahwa pemberian insentif yang tepat tidak hanya mendorong investasi, tetapi juga berkontribusi terhadap pencapaian target pertumbuhan ekonomi sebesar 8%. 

    “Semakin kuat infrastrukturnya, insentif diberikan, konektivitas dibenahi, lalu kampus dan ekosistemnya digroom, saya yakin ini bisa menutupi gap menuju pertumbuhan ekonomi 8%,”

    Tantangan Indonesia untuk mewujudkan Kecerdasan Artificial Nasional

    Ajar mengakui pengembangan AI di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan. 

    Infrastruktur data center dan GPU dinilai masih terbatas, sementara minat investasi swasta relatif rendah karena belum adanya insentif yang menarik, seperti keringanan pajak atau harga energi yang kompetitif. 

    Di sisi lain, ketersediaan talenta lokal juga belum memadai, dan banyak diaspora AI yang belum difasilitasi secara optimal untuk kembali ke Indonesia.

    Ajar juga menyoroti lemahnya kedaulatan data dan infrastruktur nasional, serta belum adanya regulasi dan standar etika AI yang jelas. 

    Riset di perguruan tinggi dinilai belum sepenuhnya menjawab kebutuhan industri, sementara konektivitas digital masih menjadi hambatan di sejumlah wilayah.

    Di tengah persaingan global, Ajar menegaskan bahwa pengembangan AI menjadi agenda strategis bagi banyak negara karena dampaknya yang besar terhadap ekonomi. 

    “AI bisa menutup gap untuk forecast economic growth 8%. Ekonomi AI itu nyata.”

    Pentingnya komitmen kuat dari pemerintah untuk memastikan pembangunan ekosistem AI berjalan berkelanjutan. 

    “Kalau pemerintah punya komitmen terhadap data sovereignty, infrastructure sovereignty, dan model sovereignty, itu tiga hal kritikal yang harus dibangun.”

    Tanpa komitmen pemerintah yang kuat serta kolaborasi lintas sektor antara negara, industri, dan akademisi, Indonesia dinilai akan menghadapi tantangan besar dalam membangun ekosistem AI yang mandiri dan mampu bersaing di tingkat global. (Nur Amalina)

  • Industri Telko Minta Regulasi AI Pro-Pemain Lokal, Belajar dari Kasus Whatsapp Cs

    Industri Telko Minta Regulasi AI Pro-Pemain Lokal, Belajar dari Kasus Whatsapp Cs

    Bisnis.com, JAKARTA — Sektor industri telekomunikasi mendesak agar pemerintah Indonesia mengesahkan regulasi Kecerdasan Artifisial (KA) yang memberi proteksi pada pemain domestik. 

    Fokus utamanya adalah memastikan adanya medan permainan yang sama bagi pelaku lokal untuk mencegah disrupsi masif yang pernah dialami oleh industri tersebut di masa lalu.

    VP Head of Ecosystem Regulatory Affairs PT Indosat Tbk Machdi Fauzi mengatakan bahwa mereka berharap kebijakan dari pemerintah nantinya akan mengatur dengan jelas tentang bagaimana percepatan ekosistem AI di Indonesia.

    “Kita agak sedikit trauma dengan kejadian masa lalu,” ujar Machdi dalam acara Diskusi Publik Menjelajahi Peta Jalan Kecerdasan Artifisial Nasional Pijakan Untuk Berdikari di Bisnis Indonesia Kamis (18/12/2025).

    Dia menyampaikan industri telekomunikasi dulu pernah mengalami masa gelap di masa lalu. Penyedia layanan Over-The-Top (OTT) seperti WhatsApp mampu menghancurkan pendapatan dari layanan telepon dan SMS yang sebelumnya sangat besar. 

    Kekhawatiran ini menjadi landasan mengapa regulasi AI harus diatur pemerintah sedemikian rupa agar pemain luar dapat masuk dengan ketentuan yang memang diatur dengan sangat baik, sementara pemain di dalam negeri juga terproteksi, ujarnya.

    Meskipun proteksi menjadi perhatian, kebijakan tersebut diharapkan tidak bersifat mengisolasi, melainkan terbuka namun dengan syarat yang jelas.

    Di samping perlindungan pasar, urgensi pengembangan AI lokal juga didorong oleh aspek teknis, yakni keunikan data di Indonesia. 

    Akademisi Binus University Nurul Qomariah menyatakan model AI impor yang dilatih dengan data Barat seringkali bias dan tidak efektif untuk konteks lokal, terutama di sektor kesehatan.

    Dia menceritakan kasus di rumah sakit lokal dimana model AI impor gagal mendeteksi penyakit umum Indonesia karena ketidaksesuaian data pelatihan. “Akhirnya memang kebutuhan kita harus difasilitasi dari dalam negeri karena unik gitu,” ujarnya dalam acara yang sama.

    Nurul juga memaparkan inovasi AI yang tumbuh di ekosistem akademik juga harus diarahkan agar sesuai dengan kebutuhan pasar nasional, sehingga Indonesia dapat memasok kebutuhan dalam negeri dengan inovasi dari dalam sendiri (Muhammad Diva Farel Ramadhan).

  • Pemerintah Ingin AI Berdikari, Namun Dukungan dari APBN Belum Terlihat

    Pemerintah Ingin AI Berdikari, Namun Dukungan dari APBN Belum Terlihat

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah mendorong pengembangan sovereign artificial intelligence (AI) atau kecerdasan artifisial yang berdikari. 

    Konsep sovereign AI merujuk pada kemampuan suatu negara untuk menciptakan, mengelola, dan mengamankan teknologi AI dengan sumber daya sendiri, mulai dari infrastruktur data hingga talenta manusia.

    Upaya tersebut salah satunya ditempuh melalui program unggulan AI Talent Factory yang digadang-gadang menjadi langkah strategis pemerintah dalam mencetak 12 juta talenta digital. 

    Namun, untuk mencapai sovereign AI secara utuh, Indonesia dinilai masih tertinggal jauh dibandingkan negara lain, terutama dari sisi dukungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

    Executive Director Catalyst Policy Works Wahyudi Djafar menilai hingga kini belum terlihat alokasi anggaran negara yang signifikan untuk pengembangan AI.

    “India misalnya memperkuat software AI melalui India AI Mission. Ini inisiatif yang mencapai US$,25 miliar. Kalau kita lihat APBN 2026, belum nampak ini angka sampai US$1 miliar untuk pengembangan AI,” kata Wahyudi dalam Diskusi Publik “Menjelajahi Peta Jalan Kecerdasan Artifisial Nasional, Pijakan untuk Berdikari?” di Kantor Bisnis Indonesia, Kamis (18/12/2025).

    Kondisi tersebut, menurut Wahyudi, memunculkan tanda tanya mengenai tingkat keseriusan pemerintah dalam mewujudkan sovereign AI. 

    Dia menyebut sejumlah negara telah melangkah lebih jauh dengan membangun kolaborasi strategis lintas perusahaan untuk mengembangkan model AI lokal atau sovereign foundation model.

    Dia mencontohkan Uni Emirat Arab, Prancis, dan Korea Selatan yang telah menunjuk atau memfasilitasi kerja sama antarperusahaan untuk pengembangan model AI nasional. 

    Arab Saudi bahkan memanfaatkan sovereign fund untuk mendorong inisiatif serupa. Sementara itu, Kanada dan Inggris telah membentuk unit khusus di tingkat pemerintahan yang secara spesifik menangani pengembangan sovereign AI.

    Menurutnya, pembentukan unit semacam Sovereign AI Unit di Inggris menunjukkan pengembangan AI berkaitan erat dengan kepentingan strategis, termasuk keamanan nasional. Oleh karena itu, negara-negara tersebut secara aktif mendorong kemandirian AI melalui kebijakan, kelembagaan, dan pendanaan yang jelas.

    Lebih lanjut, Wahyudi menekankan pencapaian sovereign AI sangat bergantung pada komitmen pemerintah dalam menyiapkan berbagai prasyarat utama. 

    Prasyarat tersebut mencakup ketersediaan infrastruktur data, penguatan talenta, hingga standar kompetensi yang jelas agar tenaga kerja benar-benar siap terlibat dalam pengembangan AI tingkat lanjut. Dia menyoroti peluncuran AI Talent Factory oleh Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) yang telah dilakukan beberapa bulan lalu. Namun, menurutnya, capaian konkret dari program tersebut masih belum tergambarkan secara jelas.

    “Tapi kita kan belum mengetahui secara jelas ya, AI Talent Factory ini, talent yang diciptakan itu sampai pada level, apakah dia sebatas bisa melakukan prompt dengan baik, ataupun dia sampai level mana gitu kan,” katanya.

    Dia mempertanyakan apakah talenta yang dihasilkan sudah mencapai tingkat hands-on dalam pemodelan, atau bahkan telah didorong untuk melakukan riset dan pengembangan model AI secara mandiri. 

    Menurutnya, hal tersebut sangat bergantung pada keseriusan pemerintah dalam menyiapkan prasyarat pendukung secara menyeluruh. Wahyudi menegaskan, tantangan sovereign AI tidak hanya soal talenta, tetapi juga mencakup sejauh mana pemerintah menyalurkan dukungan terhadap infrastruktur digital, pengembangan tenaga kerja, riset dan inovasi, kerangka regulasi dan etika, stimulasi industri AI, hingga kerja sama internasional.

    Pengembangan AI di Berdikari di Jepang …..

  • Ruang Pengembangan Infrastruktur Penunjang AI Masih Luas

    Ruang Pengembangan Infrastruktur Penunjang AI Masih Luas

    Bisnis.com, JAKARTA— Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mengungkapkan Indonesia membutuhkan dukungan pembangunan infrastruktur untuk mendukung pengembangan kecerdasan buatan (AI).

    Wakil Menteri Komdigi Nezar Patria mengatakan pemerintah telah menyusun strategi pengembangan AI yang terukur dalam tiga horizon. 

    Pada jangka pendek 2025–2027, peta jalan AI akan difokuskan pada penguatan tata kelola ekosistem, pencetakan 100.000 talenta AI per tahun, serta pembangunan infrastruktur pusat data berdaulat.

    Nezar menekankan talenta digital dan infrastruktur merupakan dua pilar utama yang tidak dapat dipisahkan dalam pengembangan AI nasional.

    “Dan yang penting yang harus kita lakukan adalah bagaimana mencari strategi yang tepat apakah pengembangan talenta ini dilakukan bersama dengan pendekatan pembangunan infrastruktur atau kita fokus terlebih dahulu dalam pembangunan talenta digital,” kata Nezar dalam Diskusi Publik “Menjelajahi Peta Jalan Kecerdasan Artifisial Nasional, Pijakan untuk Berdikari?” di Kantor Bisnis Indonesia, Kamis (18/12/2025).

    Namun demikian, Nezar menilai infrastruktur penunjang pengembangan AI di Indonesia masih belum memadai, terutama dari sisi industri hulu. 

    Menurutnya, Indonesia hingga kini belum memiliki industri strategis yang terintegrasi, termasuk di sektor semikonduktor. 

    Dia mencontohkan komoditas mineral strategis seperti nikel dan pasir silika yang melimpah di dalam negeri, tetapi belum dimanfaatkan secara optimal karena minimnya hilirisasi. 

    Akibatnya, Indonesia masih mengekspor bahan mentah ke luar negeri untuk kemudian diolah dan dijual kembali ke pasar global.

    “Saya kira ini harus dihentikan, kita harus melakukan downstreaming, kita harus melakukan mineralisasi, setidaknya kita bisa masuk dalam rantai pasok global ini,” katanya.

    Nezar kemudian menggambarkan pengalamannya saat berkunjung ke sebuah pabrik semikonduktor di Batam sebagai ilustrasi tantangan industri nasional. 

    Dari kunjungan tersebut, dia melihat seluruh proses produksi di pabrik tersebut telah sepenuhnya terotomatisasi dan berbasis mesin, dengan ribuan tenaga kerja yang sebagian besar hanya berperan sebagai pengawas proses. 

    Namun, meskipun pabrik tersebut beroperasi di Indonesia, hampir seluruh komponen dan bahan baku yang digunakan berasal dari luar negeri. Dia menyoroti penggunaan gold wire dalam proses moldingchip yang seluruhnya diimpor dari Jepang, meskipun Indonesia memiliki cadangan emas yang melimpah. 

    Hal itu terjadi karena lisensi dan teknologi pembuatan gold wire untuk industri semikonduktor masih dikuasai negara lain. Kondisi tersebut menunjukkan Indonesia belum terlibat dalam rantai pasok bernilai tambah tinggi, meskipun memiliki sumber daya alam yang sangat besar. 

    Menurut Nezar, situasi inilah yang mendorong pemerintah lintas kementerian, termasuk Kementerian Perindustrian, Komdigi, dan Kementerian Investasi, untuk kembali memetakan potensi sumber daya nasional sekaligus membuka peluang kerja sama dengan negara-negara strategis, khususnya Jepang. 

    Dia menilai masih banyak peluang yang selama ini luput dimanfaatkan, termasuk pengolahan pasir silika menjadi bahan baku semikonduktor yang bernilai tinggi.

    Nezar meyakini seluruh modal dasar untuk membangun kedaulatan ekosistem AI sejatinya sudah dimiliki Indonesia, asalkan diolah melalui strategi industri yang tepat.

    “Saya kira dengan pembuatan peta jalan kecerdasan artificial ini, kita mungkin bisa maju satu step dibandingkan dengan negara-negara di Asia. Namun demikian, mau membangun software AI itu saya kira harus membuka pikiran. Kita belajar lebih banyak dengan negara-negara yang sudah mencoba membangun itu “ ungkapnya, 

    Dalam kerangka jangka menengah, pemerintah juga mendorong penguatan riset AI di sektor publik melalui penyediaan platform sandbox untuk menguji inovasi-inovasi lokal. 

    Dari sisi pembiayaan, peran lembaga pendanaan seperti Danantara dinilai akan sangat krusial. Komdigi mengarahkan pembentukan sovereign AI fund serta skema blended financing guna memastikan keberlanjutan proyek-proyek strategis nasional.

    Sebelumnya, Komdigi mengungkapkan dua regulasi terkait kecerdasan buatan, yakni peta jalan AI dan etika AI, kini tinggal menunggu tanda tangan Presiden Prabowo Subianto. Kedua regulasi tersebut akan diterbitkan dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres). 

    Direktur Jenderal Ekosistem Digital Komdigi Edwin Hidayat Abdullah mengatakan draf regulasi tersebut telah disampaikan ke Kementerian Hukum dan HAM untuk proses lanjutan.

    “Karena akan dibuat Keppres-nya sendiri. Jadi, Keppresnya itu apa? Keppres untuk perpres-perpres yang akan ditandatangani di 2026,” kata Edwin usai peresmian AI Innovation Hub di Kampus ITB, Bandung, Jawa Barat.

  • Catalyst Policy Works Beberkan 6 Prasyarat untuk Capai AI Berdikari

    Catalyst Policy Works Beberkan 6 Prasyarat untuk Capai AI Berdikari

    Bisnis.com, JAKARTA— Catalyst Policy Works mendorong Indonesia untuk menerapkan sovereign artificial intelligence (AI) atau kecerdasan artifisial berdikari.

    Sovereign AI merujuk pada kemampuan sebuah bangsa untuk menciptakan, mengelola, dan mengamankan teknologi AI dengan sumber daya sendiri, mulai dari infrastruktur data hingga talenta manusia.

    Executive Director Catalyst Policy Works Wahyudi Djafar menjelaskan terdapat sejumlah prasyarat yang harus dipenuhi untuk mencapai sovereign AI.

    Prasyarat pertama berkaitan dengan ketersediaan infrastruktur digital. Menurutnya, Indonesia membutuhkan infrastruktur yang memadai dan berada di dalam negeri untuk mendukung pengembangan AI.

    “Seperti seberapa besar kapasitas GPU ya, graphic positioning unit yang bisa digunakan untuk learning AI dan sebagainya,” kata Wahyudi dalam editor meeting bertajuk Menjelajah Peta Jalan Kecerdasan Artifisial Nasional: Pijakan untuk Berdikari di Kantor Bisnis Indonesia, Kamis (18/12/2025).

    Prasyarat berikutnya menyangkut pengembangan tenaga kerja (workforce development), khususnya terkait talenta.

    Wahyudi menekankan pentingnya menyiapkan sumber daya manusia yang mumpuni dan mampu mengembangkan model AI serta teknologi turunannya. Selanjutnya, prasyarat lain adalah research development and innovation.

    Dia menjelaskan aspek ini menuntut adanya koordinasi dan hubungan yang solid antarpemangku kepentingan.

    “Hubungan yang pas gitu, antara dunia academic, universitas, lembaga-lembaga riset, BRIN, dan sebagainya, dengan industri, dengan inovasi,” katanya.

    Wahyudi mencontohkan Arab Saudi yang secara serius memanfaatkan sovereign fund untuk mengembangkan riset model AI berbasis bahasa Arab. “Nah disini kan Danantara belum melakukan itu kayaknya gitu kan, itu satu hal,” katanya.

    Prasyarat berikutnya berkaitan dengan regulatory and ethical framework yang mencakup regulasi serta prinsip etika.

    Menurut Wahyudi, Indonesia masih berada pada tahap awal karena baru mengandalkan pendekatan sukarela melalui surat edaran, tanpa regulasi yang lebih mengikat. Menurutnya, di tingkat regulasi, pengaturan AI di Indonesia juga masih sangat terbatas.

    “Karena basis regulasi undang-undang informasi dan transaksi elektronik, maupun juga undang-undang pelindung data pribadi, itu masih sangat terbatas bicara tentang artificial intelligence, bicara tentang kecerdasan artifisial,” katanya.

    Direktur Eksekutif Catalyst Policy-Works Wahyudi Djafar (dari kanan), SVP Regulatory and Government Affairs PT Indosat Tbk. Ajar A. Edi, dan Asisten Manajer Konten Bisnis Indonesia Leo Dwi Jatmiko berbincang seusai Editor Meeting di Jakarta, Kamis (18/12/2025).

    Selain itu, Wahyudi menyoroti pentingnya stimulating AI industry atau pemberian stimulus bagi industri AI, termasuk dalam bentuk kebijakan perpajakan, insentif fiskal lainnya, serta dukungan terhadap pengembangan sumber daya manusia.

    “Nah terakhir tentu international cooperation, jadi meskipun pada akhirnya ingin mencapai apa namanya, kecerdasan artifisial berdikasi. Tapi kerjasama internasional itu tetap diperlukan,” katanya.

    Menurutnya, pemenuhan seluruh elemen yang dibutuhkan dalam pengembangan kecerdasan artifisial berdikari tetap membutuhkan keterlibatan banyak negara. Setiap negara, lanjut Wahyudi, memiliki fokus yang berbeda dalam pengembangan AI.

    PERANG DINGIN AI

    Dia menyebutkan saat ini terdapat tiga kekuatan utama dalam “perang dingin” AI global, yakni Amerika Serikat, Uni Eropa, dan China.

    Wahyudi menjelaskan Amerika Serikat memprioritaskan investasi besar dalam riset teknologi canggih untuk mempercepat inovasi AI yang berkelanjutan dan kompetitif.

    “Nah menariknya adalah, kompetisi itu terjadi antar perusahaan Amerika Serikat sendiri, bagaimana investasi jor-joran yang dilakukan oleh Meta, Google, IBM, termasuk Microsoft gitu kan untuk berkejaran satu sama lain dalam konteks pengembangan AI ini,” katanya.

    Selain itu, Amerika Serikat juga menempatkan perlindungan kekayaan intelektual sebagai prioritas utama guna menjaga keunggulan kompetitif dalam pengembangan AI.

    “Nah ini yang kita juga masih mencari sebenarnya ya. Misalnya ketika kita bicara perlindungan kekayaan intelektual di dalam surat edaran Menkominfo 9/2023, itu kira-kira fokusnya kan seperti apa sih gitu kan,” katanya.

    Sementara itu, Uni Eropa menekankan regulasi perlindungan data yang ketat. Wahyudi menyebut Uni Eropa menetapkan standar tinggi dalam perlindungan privasi data untuk memastikan penggunaan AI berjalan secara etis.

    Dengan penerapan EU GDPR, Eropa juga menurunkan berbagai panduan yang dikembangkan oleh European Data Protection Board, khususnya dalam pemrosesan data pribadi untuk pengembangan AI. Selain itu, aspek etika menjadi perhatian utama dalam penerapan teknologi tersebut.

    “Karena di sana kalau kita baca EU AI Act, mereka kan sebenarnya mencoba untuk balancing, menyeimbangkan antara kepentingan inovasi dan ekonomi Uni Eropa dengan perlindungan terhadap fundamental rights dari warga negara Eropa gitu ya,” katanya.

    Menurut Wahyudi, negara-negara Uni Eropa juga mendorong kolaborasi lintas negara guna mencapai kedaulatan digital bersama di bidang AI. Adapun China, lanjut Wahyudi, memiliki tiga prioritas utama.

    Pertama adalah riset AI terpadu yang telah dilakukan dalam jangka panjang untuk memperkuat fondasi teknologi dan inovasi kecerdasan buatan. Termasuk di dalamnya pengembangan dan produksi chip khusus AI guna mendukung ekosistem AI yang mandiri.

    “Ini juga satu hal yang sedang digelut oleh pemerintah Indonesia kalau kita mengikuti kementerian koordinator bidang perekonomian yang itu sedang menyusun draft meta jalan semiproductor ya,” katanya.

    Wahyudi menambahkan ketersediaan chip menjadi faktor krusial bagi pengembangan AI. Selain itu, China juga mendorong aplikasi komersial AI melalui implementasi di berbagai sektor untuk mempercepat adopsi teknologi dan memperkuat kemandirian pasar.

    “Jadi ini tiga contoh yang apa namanya three peak ya di dalam konteks pertarungan dari AI,” ungkapnya.

  • RI Butuh Kendali Data untuk Capai Kecerdasan Artifisial Berdikari

    RI Butuh Kendali Data untuk Capai Kecerdasan Artifisial Berdikari

    Bisnis.com, JAKARTA — PT Indosat Tbk. (ISAT) menekankan bahwa ambisi Indonesia untuk mencapai kedaulatan di bidang Kecerdasan Artifisial (AI) atau Sovereign AI harus ditopang oleh ekosistem yang kuat. 

    Kedaulatan ini dinilai krusial untuk memperkuat daya saing nasional dan menutup celah pertumbuhan ekonomi digital di masa depan.

    SVP Regulatory and Government Indosat Ajar Edi menyatakan Indonesia harus memegang kendali penuh atas komponen-komponen krusial dalam rantai nilai AI, terutama terkait infrastruktur dan pengelolaan data di dalam negeri.

    “Kita yakin kita punya backbone-nya, talentanya juga ada. Namun, negara harus memiliki kendali atas infrastruktur dan data yang dikelola agar benar-benar berdaulat,” ujar Ajar Edi di Kantor Wisma Bisnis Indonesia Jakarta, Kamis (18/12/2025).

    Ajar menegaskan penguatan ekosistem AI nasional setidaknya harus bertumpu pada tiga fondasi utama yaitu, investasi infrastruktur, pengembangan talenta, dan komitmen regulasi yang jelas. 

    Ketersediaan infrastruktur digital yang mumpuni adalah syarat mutlak, menurutnya. Pemerintah dan pelaku industri perlu memastikan bahwa sebanyak mungkin infrastruktur AI, termasuk kapasitas GPU dan data center, berada di bawah yurisdiksi hukum Indonesia.

    Menurutnya, makin banyak pusat data yang beroperasi di dalam negeri, maka kerangka AI nasional akan makin kuat. Dia mengibaratkan infrastruktur ini sebagai tulang penyangga sistem yang menentukan seberapa jauh AI dapat diimplementasikan secara efektif untuk kebutuhan nasional.

    Namun, untuk menarik minat investasi swasta pada perangkat keras yang mahal seperti GPU, Ajar menilai pemerintah perlu menghadirkan berbagai insentif. 

    Insentif yang dimaksud adalah dengan adanya harga energi yang kompetitif hingga keringanan pajak saat mendatangkan barang-barang teknologi yang belum bisa diproduksi di dalam negeri.

    Selain itu, kepastian regulasi juga sangat dinantikan oleh pelaku industri. Hal ini mencakup jaminan bahwa data harus diolah dan disajikan menggunakan infrastruktur AI yang berada di wilayah Indonesia demi menjaga keamanan dan kedaulatan data nasional.

    Selanjutnya, ekosistem AI yang kuat memerlukan dukungan sumber daya manusia (SDM) yang kompeten. Ajar menyoroti peran strategis perguruan tinggi dan universitas yang menjadi fasilitator bagi kebutuhan industri. (Muhammad Diva Farel Ramadhan)

  • Era AI dan Tantangan Bisnis di Indonesia

    Era AI dan Tantangan Bisnis di Indonesia

    Bisnis.com, JAKARTA — Dalam beberapa tahun terakhir, dunia bisnis Indonesia menghadapi percepatan teknologi yang tidak dapat lagi diabaikan. Prediksi Goldman Sachs (2025) mengenai potensi gelombang pengurangan tenaga kerja akibat artificial intelligence (AI) memang menimbulkan kekhawatiran, tetapi bagi para pemimpin perusahaan, isu ini seharusnya dibaca sebagai momentum untuk meninjau kembali arah bisnis dan kesiapan organisasi.

    Kita memasuki fase di mana kemampuan membaca tanda-tanda zaman menjadi sama pentingnya dengan kemampuan mengelola operasi. Perusahaan tidak lagi cukup hanya efisien; mereka harus adaptif, presisi, dan bergerak dengan kecepatan yang sejalan dengan perubahan teknologi.

    Klaus Schwab, melalui konsep Fourth Industrial Revolution, mengingatkan bahwa teknologi bukan lagi sekadar elemen pendukung operasional, tetapi faktor struktural yang membentuk lanskap kompetisi. Namun kenyataannya, banyak organisasi masih menempatkan teknologi sebagai alat, bukan sebagai bagian dari strategi inti.

    Situasi ini menyebabkan perusahaan hanya memperbaiki permukaan, tetapi tidak mengubah fondasi. Padahal, dalam era yang penuh ketidakpastian, ketepatan membaca arah perubahan menentukan keberlanjutan perusahaan.

    Evolusi Pemikiran Digital: Dari Perubahan Bentuk ke Perubahan Logika

    Para pemikir seperti Yoo et al. (2010) telah membedakan secara jelas antara digitizing dan digitalization: yang pertama hanya memindahkan bentuk analog menjadi digital, sementara yang kedua mengubah proses dan logika organisasi.

    Digital transformation, sebagaimana dijelaskan oleh Westerman, McAfee, dan Brynjolfsson (MIT, 2014), merupakan fase ketika teknologi bukan lagi pelengkap, tetapi menjadi pusat strategi perusahaan. Perusahaan yang berhasil bertransformasi adalah perusahaan yang memahami bahwa teknologi membentuk cara baru untuk menciptakan dan menangkap nilai.

    Memasuki era AI, Soni (2019), Holmström (2021), dan Davenport (2018) menekankan bahwa AI membawa perubahan yang jauh lebih mendasar. AI tidak hanya melakukan otomatisasi; ia menjadi cognitive enabler yang memperluas kemampuan organisasi menganalisis, memahami pola, dan mengambil keputusan.

    Dengan kata lain, AI mengubah cara perusahaan berpikir, bekerja, dan berkompetisi. Bagi perusahaan Indonesia, ini berarti membangun kemampuan baru yang lebih dalam daripada sekadar membeli teknologi.

    Tiga Fondasi Strategis di Era AI

    Pertama, Data Advantage. Keunggulan bersaing hari ini bertumpu pada kualitas data. Bukan sekadar banyaknya data, tetapi kemampuan organisasi mengumpulkan, membersihkan, menghubungkan, dan menggunakan data untuk pengambilan keputusan.

    Davenport serta Brynjolfsson & McAfee menegaskan bahwa tanpa fondasi data yang kuat, AI tidak akan memberikan nilai strategis. Data bukan hanya aset, melainkan sumber augmented intelligence. Perusahaan yang menunda membangun fondasi data akan tertinggal jauh.

    Kedua, Network Effects. Ekonomi digital dibangun di atas logika jaringan. Nilai perusahaan meningkat seiring bertambahnya pengguna dan interaksi. Parker dan Van Alstyne menyebutnya sebagai “mesin pertumbuhan eksponensial.” AI pun bekerja dalam logika yang sama: semakin banyak input, semakin tajam kemampuan analitisnya.

    Pemimpin bisnis perlu memahami ini, karena network effects menjadi pengungkit pertumbuhan yang tidak mungkin dicapai oleh model linear tradisional. Keunggulan kompetitif hari ini bukan hanya soal produk, tetapi soal jejaring.

    Ketiga, Ecosystem Power. Menurut Richard Adner, keberhasilan inovasi tidak ditentukan hanya oleh kompetensi internal, tetapi oleh kemampuan perusahaan mengorkestrasi kolaborasi lintas pihak.

    Pemenang masa depan bukan lagi perusahaan yang paling kuat secara individual, tetapi perusahaan yang mampu menjadi pusat gravitasi dalam sebuah ekosistem. Dalam konteks Indonesia, kemampuan menghubungkan mitra, pelanggan, regulator, dan teknologi menjadi faktor penentu keberhasilan transformasi.

    Pergeseran Pola Pikir Pemimpin: Dari Alat ke Arah Strategis

    Di tengah perubahan besar ini, pemimpin perusahaan dituntut meninggalkan pemikiran lama yang melihat teknologi hanya sebagai alat efisiensi. Era AI memerlukan pemimpin yang mengintegrasikan teknologi ke dalam inti strategi yang dimulai dari perumusan visi, pemetaan model bisnis, penataan struktur organisasi, hingga pola pengambilan keputusan.

    Pertanyaan kunci bagi pemimpin hari ini bukan lagi “teknologi apa yang harus dibeli,” tetapi “bagaimana teknologi mengubah model bisnis saya?”

    Era AI tidak bergerak pelan dan bertahap. Ia bersifat eksponensial. Menunggu hingga semuanya jelas justru membuat perusahaan kehilangan momentum. Transformasi bukan lagi pilihan tambahan; ia adalah keharusan strategis. Organisasi yang mampu bergerak cepat akan memimpin. Yang ragu-ragu akan tertinggal. Keberanian untuk melakukan lompatan menjadi kunci.

    Inilah waktu bagi para pemimpin perusahaan Indonesia untuk bergerak dan berani berpikir lebih jauh, berinovasi lebih berani, dan berkolaborasi lebih luas. Karena masa depan tidak menunggu untuk terjadi; masa depan harus dipimpin agar terwujud.

    Di tengah derasnya teknologi dan melimpahnya data, kita diingatkan oleh kerangka DIKW dari Russell Ackoff bahwa data, informasi, dan pengetahuan hanya menjadi keputusan yang benar ketika dipadukan dengan wisdom dan discernment.

    Di sinilah pemimpin tetap membutuhkan hikmat Tuhan agar setiap langkah bisnis tidak hanya cerdas, tetapi juga membawa kebaikan bagi manusia dan masa depan Indonesia yang sedang kita bangun bersama.