Bisnis.com, JAKARTA – Pakar hak kekayaan intelektual (HKI) global menanggapi isu mengenai royalti atas musik dan lagu yang diputar di ruang publik, seperti kafe, restoran, hingga hotel, yang belakangan ini mencuat dan memicu polemik di Indonesia.
Director of Policy and Legal Affairs International Intellectual Property Alliance (IIPA), Pete C. Mehravari mengatakan persoalan royalti ini sejatinya berpangkal pada satu hal mendasar, yakni transparansi.
Pete menilai, selama ini publik tidak mengetahui secara pasti ke mana dana royalti yang dipungut disalurkan. Padahal, di Amerika Serikat, praktik serupa diatur melalui collective management organizations (CMO) atau lembaga manajemen kolektif yang berbentuk nirlaba dan dijalankan oleh industri musik sendiri.
CMO berfungsi mencatat dan melaporkan dengan jelas berapa dana yang dipungut serta bagaimana pendapatan itu didistribusikan kepada musisi, pencipta lagu, produser, dan label. Adapun di Indonesia juga memiliki lembaga CMO serupa, yakni Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
“Prinsipnya sederhana: CMO harus sukarela, transparan, akuntabel, dan efisien agar uang benar-benar sampai kepada para kreator,” ujar Pete dalam wawancara dengan Bisnis.com, dikutip Rabu (24/9/2025).
Sistem di AS, lanjut Pete, menetapkan tarif royalti berdasarkan jumlah pemutaran lagu (per play), berbeda dengan Indonesia yang menerapkan skema berdasarkan jumlah kursi. Penentuan tarif di AS dilakukan melalui negosiasi industri, dengan pengawasan copyright royalty board, yang merupakan lembaga pemerintah beranggotakan tiga hakim yang meninjau tarif secara berkala.
Menurut Pete, sebaiknya komunitas bisnis dan industri menjadi pihak utama dalam penetapan harga, sementara pemerintah cukup menyediakan kerangka regulasi yang transparan dan menjadi mediator bila terjadi konflik.
Ia juga menekankan bahwa royalti musik lintas negara, misalnya lagu dari AS yang diputar di Indonesia, harus tetap dihormati. Sebab, setiap lagu menyimpan banyak hak eksklusif di baliknya, mulai dari komposer, penulis lagu, hingga produser. Fondasi utamanya, menurutnya, adalah kepatuhan pada hak cipta.
“Pertanyaannya kembali pada keseriusan Indonesia dalam menegakkan aturan. Ini bukan hanya soal musik Amerika, tetapi juga musik Indonesia yang sering tidak mendapatkan kompensasi layak,” tegasnya.
Pete menilai Indonesia telah memiliki payung hukum, namun aturan yang ada belum cukup tegas sehingga kerap ditafsirkan berbeda oleh komunitas bisnis atau sektor industri.
“Solusinya adalah transparansi. Dengan transparansi, alur keluar masuk sistem dapat dipantau dengan jelas. Dan yang paling penting, setiap sistem HKI harus memberi kepastian hukum,” jelasnya.
Menurut Pete, tujuan utama sistem HKI adalah mendorong kreativitas, mempercepat inovasi, serta menumbuhkan kewirausahaan. Karena itu, pemerintah perlu hadir memberikan perlindungan hukum yang kokoh, sementara sektor swasta menjadi motor penggerak diskursus HKI.
“Kehidupan kreator sudah penuh ketidakpastian. Jangan biarkan hukum yang seharusnya melindungi justru menambah kerumitan,” pungkasnya.








