Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka memasuki usia satu tahun pada 20 Oktober 2025. Sejumlah prestasi berhasil dicapai, meskipun masih ada tantangan yang perlu diselesaikan.
Salah satu prestasi yang perlu diangkat ke permukaan adalah soal komitmen Presiden Prabowo dalam pemberantasan korupsi. Data kinerja penegakan hukum terkait kasus korupsi (20 Oktober 2024—26 April 2025) misalnya menyebutkan, sejumlah kasus besar dan kakap berhasil terbongkar.
Seperti kasus tata niaga Pertamina yang ditaksir kerugian negara mencapai Rp968 triliun, korupsi tata kelola sawit (sekitar 3 juta hektare/ha), termasuk Duta Palma 221.870 ha yang disita dengan potensi kerugian negara Rp1.000 triliun. Begitu pula dengan kasus korupsi PLTU Kalimantan Barat (Rp1,3 triliun), kasus pemberian kredit LPEI (Rp11 trilun), kasus kerja sama ASDP (Rp893 miliar), kasus pengadaan iklan BJB (Rp222 miliar), dan lain sebagainya.
Di bawah pemerintahan Prabowo, tercatat bahwa Kejaksaan RI telah menetapkan 490 kasus baru dan 648 tersangka baru, sementara Kepolisian RI menetapkan 73 kasus baru dan 156 tersangka baru. Adapun, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan 20 kasus baru dan 56 tersangka baru. Data ini tentu mencengangkan, karena tidak hanya begitu banyak kasus yang terbongkar, tetapi potensi kerugian negara dalam kasus megakorupsi ini mencapai ribuan triliun rupiah.
Lantas pertanyaannya, mengapa pemberantasan korupsi di Indonesia penting dan menjadi salah satu agenda fundamental dalam pemerintahan Prabowo–Gibran? Menurut penulis, paling tidak ada tiga alasan. Pertama, karena korupsi merupakan akar dari ketimpangan sosial dan ekonomi di Indonesia. Korupsi tidak hanya menggerogoti keuangan negara, tetapi juga memutus rantai keadilan sosial.
Setiap rupiah yang dikorupsi berarti ada hak rakyat yang terampas, baik dalam bentuk layanan pendidikan, kesehatan, maupun pembangunan infrastruktur dasar. Kedua, pemberantasan korupsi adalah prasyarat utama bagi pertumbuhan ekonomi yang sehat dan berkelanjutan. Investor baik dari dalam negeri maupun luar negeri membutuhkan jaminan transparansi dan kepastian hukum.
Jika korupsi terus berakar dalam sistem birokrasi, maka reformasi ekonomi sebesar apa pun akan kehilangan efektivitasnya. Dalam konteks ini, langkah tegas pemerintahan Prabowo dalam menindak kasus korupsi berskala besar dapat dilihat sebagai sinyal kuat bahwa Indonesia sedang memperkuat fondasi keperca-yaannya di mata dunia usaha dan komunitas global.
Itulah mengapa dalam sejumlah kesempatan, Presiden Prabowo selalu menyinggung istilah “serakahnomics” dalam kasus korupsi di Indonesia. Tentu istilah “serakahnomics” ini bisa dimaknai sebagai upaya Presiden Prabowo mengatasi ketimpangan dengan menyindir para pelaku bisnis dan kekuasaan yang tamak, lantaran mengeruk untung banyak sembari menindas rakyat kecil, bahkan bermetamorfosis sebagai ‘vampir ekonomi’ yang menghisap darah rakyat.
Hal itu penting karena data menyebutkan bahwa 10% orang terkaya di Indonesia menguasai sekitar 60% kekayaan nasional. Padahal jika merujuk pada studi Dana Moneter Internasional (IMF), ketika pendapatan hanya meningkat di kelompok orang kaya saja, maka pertumbuhan ekonomi justru akan mengalami kelambatan.
Artinya, pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan akan sulit diraih ketika ketimbangan sosial masih menjadi problem serius yang tidak teratasi. Ketiga, pemberantasan korupsi juga berhubungan erat dengan penguatan demokrasi. Demokrasi tanpa akuntabilitas hanya akan melahirkan oligarki baru yang menguasai sumber daya publik demi kepentingan kelompok kecil.
Prabowo tampaknya memahami hal ini: penegakan hukum yang kuat akan menjadi penopang legitimasi politiknya, sekaligus bukti nyata bahwa kekuasaan tidak digunakan untuk melindungi kepentingan pri-badi atau kroni politik.
PENGAWASAN
Tentu saja, di balik capaian dan prestasi gemilang tersebut, sejumlah tantangan juga masih menanti. Masyarakat menuntut agar semangat pemberantasan korupsi tidak berhenti di level penindakan, tetapi juga menyentuh reformasi sistemik: mulai dari perbaikan tata kelola birokra-si, digitalisasi pelayanan publik, hingga penataan ulang mekanisme pengawasan internal di kementerian dan lembaga.
Tanpa reformasi sistemik, pemberantasan korupsi berisiko menjadi siklus yang tidak pernah berakhir karena terus terulang.
Satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran dengan segala capaian dan tantang-annya telah menunjukkan bahwa arah baru pemberantasan korupsi mulai dibangun secara kokoh. Konsistensi, transparansi, dan keberanian menindak siapa pun tanpa pandang bulu akan menjadi penentu apakah janji perubahan itu akan bertransformasi menjadi kepercayaan publik yang nyata.
Seperti pernah dikatakan mantan Sekjen PBB Kofi Annan bahwa “korupsi adalah penyakit, korupsi adalah kanker. Ia menggerogoti keyakinan masyarakat, merusak demokrasi, dan menghambat pembangunan.” Karena itu, saatnya rakyat Indonesia bersatu padu dalam satu irama untuk membumihanguskan praktik korupsi dari ibu pertiwi.