Category: Bisnis.com Metropolitan

  • Otto Hasibuan Ungkap Alasan Prabowo 3 Kali Berikan Ampunan pada Kasus Korupsi

    Otto Hasibuan Ungkap Alasan Prabowo 3 Kali Berikan Ampunan pada Kasus Korupsi

    Bisnis.com, JAKARTA — Wakil Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Otto Hasibuan memberikan penjelasan terkait keputusan Presiden Prabowo Subianto yang kembali memberikan pengampunan yang ketiga kali dalam kasus korupsi.

    Menanggapi penilaian Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menyebut pemberian pengampunan sebagai bentuk intervensi dan berpotensi menjadi preseden buruk, Otto mengatakan bahwa keputusan Presiden didasarkan pada prinsip keadilan.

    “Bapak Presiden tidak mau terjadi ada orang yang tidak bersalah di hukum, dan tidak mau juga ada orang yang bersalah bebas. Itu tegas tadi Bapak Presiden sampai ke tempat saya. Jadi Bapak Presiden itu betul-betul melihat rasa keadilan masyarakat itu harus ditegakkan di Republik ini,” katanya di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (28/11/2025).

    Otto menjelaskan bahwa Presiden tidak ingin ada kekeliruan dalam proses hukum, baik menghukum orang yang tidak bersalah maupun membebaskan pelaku kejahatan.

    Lebih lanjut, dia menekankan bahwa kebijakan pengampunan bukan bentuk intervensi, melainkan pelaksanaan hak prerogatif Presiden.

    “Nah soal rehabilitasi, ini juga salah satu hal mungkin yang menjadi pertimbangan walaupun tidak spesifik tadi kita bicarakan. Tetapi mengenai soal rehabilitasi ini, ini adalah hak prerogatif dari Presiden yang berasal dan bersumber dari konstitusi,” ujarnya.

    Otto kemudian menjelaskan dua bentuk rehabilitasi dalam hukum, yakni yang bersifat yuridis dan yang bersifat konstitusional. Rehabilitasi yuridis, ujarnya, berlaku ketika seseorang dinyatakan tidak bersalah oleh pengadilan sehingga nama baiknya harus dipulihkan.

    Sementara itu, dia menegaskan bahwa rehabilitasi yang diberikan Presiden bersumber dari kewenangan konstitusional, khususnya sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UUD 1945.

    Menurutnya, pertimbangan Presiden dalam memberikan rehabilitasi sepenuhnya berada dalam ranah konstitusional.

    “Konstitusi mengatakan bahwa Presiden memperhatikan memberikan rehabilitasi. Nah, pertimbangan ini tentunya hanya Presiden yang tahu apa sebabnya dia memberikan itu,” ujarnya.

    Otto menegaskan bahwa penggunaan kewenangan tersebut tidak dapat disebut sebagai intervensi.

    “Jadi saya kira merupakan jauh daripada intervensi, justru dia melaksanakan hak dan kewajiban konstitusional dia yang dipandangnya tepat dan benar untuk kepentingan bangsa negara,” tandas Otto.

    Prabowo Subianto, dalam kapasitasnya sebagai Presiden, telah memberikan ampunan (baik dalam bentuk amnesti, abolisi, maupun rehabilitasi) kepada terdakwa atau terpidana kasus korupsi sebanyak tiga kali hingga November 2025.

    Ketiga pemberian ampunan tersebut adalah Amnesti kepada mantan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, Abolisi untuk mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong dan rehabilitasi kepada mantan Direktur Utama (Dirut) ASDP Ferry Indonesia atas nama Ira Puspadewi, Muhammad Yusuf Hadi, dan Muhammad Adhi Caksono.

  • Respons Eks Kapolri Badrodin Haiti Soal Fenomena Masyarakat Lapor Damkar

    Respons Eks Kapolri Badrodin Haiti Soal Fenomena Masyarakat Lapor Damkar

    Bisnis.com, SURABAYA – Anggota Komisi Percepatan Reformasi Polri, Badrodin Haiti merespons fenomena masyarakat yang lebih memilih melapor kepada pemadam kebakaran (damkar) dibandingkan dengan polisi saat terjebak permasalahan.

    Menurut Badrodin, fenomena tersebut merupakan suatu kenyataan yang dirasakan oleh masyarakat. Dia menyebut bahwa masyarakat membutuhkan kecepatan petugas dalam merespons dan meminta bantuan untuk mengatasi problem yang tengah dihadapi.

    “Tidak hanya ke polisi, mungkin lapor, ada keperluan misalnya ke balai desa, ke aparat pemerintah yang lain, kepolisian, memang memerlukan respon yang cepat,” ungkap Badrodin usai diskusi publik dan penyampaian aspirasi agenda reformasi kepolisian di Universitas Airlangga, Surabaya, Kamis (27/11/2025).

    Mantan Kapolri periode 2015-2016 ini menyebut, salah satu penyebab polisi agak lamban merespons keluhan masyarakat karena terlalu banyak rantai birokrasi yang tumbuh di manajemen kepolisian. Sehingga, masyarakat akan memilih institusi yang lebih cepat merespons permasalahan di lapangan.

    Atas berbagai realita yang terjadi itu, Badrodin pun menyerukan kepada institusi kepolisian untuk segera berbenah.

    “Polisi sudah ada mengaktifkan [layanan hotline] kembali, harapannya bisa lebih cepat merespon. Mungkin juga bisa, beberapa kota itu dilakukan digitalisasi dengan sistem,  sehingga secara online itu bisa dilihat responnya itu berapa lama sih. Kalau orang lapor terus di responnya itu berapa menit, itu bisa diukur,” paparnya.

    Walau begitu, Badrodin menyebut bahwa respons cepat polisi atas laporan masyarakat juga tidak melulu dihitung dengan waktu. Menurutnya, sifat keikhlasan, jiwa “civilian police” dari masing-masing aparat juga penting untuk dilaksanakan.

    “Kalau dia melayani dengan grundel, dengan muka yang tidak bersahabat kan, juga masyarakat juga tidak nyaman dengan seperti itu. Oleh karena itu, keikhlasan dia meneladani itu juga perlu gitu buat polisi,” pungkasnya. 

    Sebelumnya, Wakapolri Komjen Dedi Prasetyo mengakui minimnya respons Polri terhadap laporan masyarakat masih lambat dibandingkan dengan Pemadam Kebakaran (Damkar). 

    Berdasarkan data yang ada, respons cepat aduan masyarakat di Polri rata-rata masih di atas 10 menit. Sebaliknya, Damkar justru lebih cepat merespons aduan masyarakat dibandingkan dengan Polri.

    “Saat ini masyarakat lebih mudah melaporkan segala sesuatu ke Damkar karena Damkar quick response-nya cepat,” ujar Dedi saat rapat kerja dengan Komisi III DPR RI, Selasa (18/11/2025).

  • Putusan MK Larang Polisi Rangkap Jabatan Sipil, Badrodin: Eksekusinya Ada di Tangan Kapolri

    Putusan MK Larang Polisi Rangkap Jabatan Sipil, Badrodin: Eksekusinya Ada di Tangan Kapolri

    Bisnis.com, SURABAYA — Anggota Komisi Percepatan Reformasi Polri, Badrodin Haiti angkat suara mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 tentang larangan bagi anggota Polri untuk menduduki jabatan di luar institusi kepolisian atau jabatan sipil selama masih berstatus aktif.

    Badrodin menjelaskan bahwa implementasi atau pelaksanaan atas putusan yang menghapus Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002–yang menurut MK bertentangan dengan UUD 1945 tersebut menjadi kewenangan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, sepenuhnya

    “Ini [Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025] sangat tergantung dari pada penilaian Kapolri,” ungkap Badrodin kepada Bisnis usai diskusi publik dan penyampaian aspirasi agenda reformasi kepolisian di Universitas Airlangga, Surabaya, Kamis (27/11/2025).

    Mantan Kapolri periode 2015-2016 ini juga menegaskan bahwa putusan MK tersebut sudah sepatutnya untuk segera dilaksanakan sepenuhnya oleh instansi kepolisian. Dia menyebut, sudah banyak pakar hukum yang telah membahas mengenai putusan MK tersebut, hingga mendesak agar kepolisian aktif untuk segera menanggalkan jabatannya di institusi sipil.

    “Kalau secara hukum kan sudah ada banyak pakar-pakar yang sudah berbicara tentang keputusan MK itu, dan sudah memang bunyinya seperti itu, dan harus dilaksanakan, tetapi dilaksanakan atau tidak, bukan dari kami, tapi dari Kapolri sendiri,” tegasnya.

    Badrodin juga menerangkan, pasca Reformasi 1998 saat institusi TNI dan Polri secara resmi dipisahkan, pada tahun 2000 terbit beleid yang menyatakan bahwa polisi merupakan bagian dari sipil.

    Walau polisi sudah dinyatakan sebagai bagian dari sipil sejak 25 tahun silam, tetapi Badrodin menegaskan bahwa jajaran aparat kepolisian belum sepenuhnya menunjukkan sifat sebagai seorang “civilian police”. 

    Menurutnya, hal tersebut dapat dibuktikan dengan masih kentalnya kultur militeristik yang terjadi pada tubuh kepolisian hingga saat ini. Apalagi, sebut Badrodin, budaya tersebut yang justru menghambat usaha pelayanan dan pengayoman yang dilakukan polisi kepada masyarakat. 

    “Kalau tadi ada penilaiannya bahwa polisi itu memang sudah sipil sejak tahun 2000, tetapi perilakunya yang masih belum menunjukkan civilian police. Jadi, masih kultur militernya itu masih cukup kental, sehingga ini yang seringkali menjadi problem yang dihadapi oleh masyarakat,” pungkasnya. 

    Diberitakan sebelumnya, Mabes Polri mengungkap data anggota polisi yang saat ini menduduki jabatan sipil mencapai 300 orang. 

    Kadiv Humas Polri, Irjen Sandi Nugroho mengatakan ratusan orang itu menduduki jabatan manajerial di kementerian maupun lembaga. Hanya saja, Sansi tidak memerinci ratusan orang yang menjabat di luar struktur itu. 

    “Ada sekitar 300 orang yang [anggota duduki jabatan sipil],” ujar Sandi di Mabes Polri, Senin (17/11/2025).

    Dia menambahkan, ratusan orang itu berasal dari 4.132 anggota yang terdiri dari staf, ajudan, pengawal hingga pendukung di Kementerian/Lembaga terkait.

    Adapun, kata Sandi, ribuan orang ini tidak dilibatkan dalam manajerial pada struktur kementerian maupun lembaga. “Sisanya adalah jabatan-jabatan pendukung non-manajerial. Seperti yang saya sampaikan,” imbuhnya.

    Sementara itu, Sandi menegaskan bahwa selama ini penugasan anggota Polri di luar struktur merupakan permintaan dari kementerian maupun lembaga terkait. 

    Setelah permintaan itu, Kapolri menunjuk AS SDM untuk melakukan asesmen pejabat yang relevan dengan permintaan kementerian/lembaga. Selanjutnya, Kapolri mengeluarkan surat perintah terkait penugasan itu. 

    Khusus anggota Polri dengan pangkat bintang dua ke atas, maka harus diusulkan terlebih dahulu ke Presiden. Sementara, anggota Polri di bawah bintang dua maka akan diusulkan ke pejabat setingkat menteri.

    “Selama ini pelaksanaan tugas dan tanggung jawab anggota Polri yang bekerja di luar struktur didasarkan pada mekanisme yang ditentukan undang-undang. Jadi, penentuan untuk penugasan di luar struktur, itu karena adanya permintaan dari kementerian lembaga terkait,” pungkasnya.

  • ICW Soroti Intervensi Prabowo di Kasus Korupsi, Wamenko Otto: Tidak Tepat & Terlalu Subjektif

    ICW Soroti Intervensi Prabowo di Kasus Korupsi, Wamenko Otto: Tidak Tepat & Terlalu Subjektif

    Bisnis.com, SURABAYA — Wakil Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Otto Hasibuan angkat suara mengenai desakan Indonesia Corruption Watch (ICW) kepada Presiden Prabowo Subianto untuk tidak mengintervensi putusan pengadilan tindak pidana korupsi karena dikhawatirkan dapat merusak tatanan sistem peradilan pidana.

    Otto menegaskan bahwa pernyataan ICW tersebut tidaklah tepat karena presiden memiliki hak prerogatif yang telah diatur dalam undang-undang dasar. Menurutnya, presiden memiliki kewenangan untuk menggunakan hak prerogatif tersebut, termasuk dalam melakukan rehabilitasi, yang telah diamanatkan konstitusi.

    “Ada suatu rehabilitasi yang dilakukan secara yuridis, tetapi kalau soal hak apa untuk memberikan rehabilitasi itu adalah kewenangan yang dimiliki oleh presiden yang diberikan oleh konstitusi, khususnya dalam pasal 14 undang-undang dasar,” ucap Otto kepada Bisnis usai diskusi publik dan penyampaian aspirasi agenda reformasi kepolisian di Universitas Airlangga, Surabaya, Kamis (27/11/2025).

    Otto juga menuding bahwa pernyataan ICW yang menyebutkan hak prerogatif tersebut dapat berpotensi mengacaukan sistem peradilan pidana, bersifat terlalu subjektif. Ia menegaskan kembali bahwa hak prerogatif tersebut melekat pada diri presiden, sebagaimana telah diamanatkan oleh undang-undang dasar.

    “Jadi, bagaimana kita bisa mengatakan seorang presiden itu merusak tatanan hukum karena dia melaksanakan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang dasar, kan enggak mungkin. Jadi, itu saya kira pendapat yang terlalu subjektif ya,” tegasnya.

    Otto yang juga dikenal sebagai pengacara kondang ini menyatakan bahwa hak prerogatif yang dijalankan presiden terhadap peradilan tindak pidana korupsi tersebut dilakukan semata-mata hanya untuk kepentingan umum. Maka, pemberian rehabilitasi, abolisi, ataupun amnesti seyogyanya sah di mata hukum karena berlandaskan konstitusi negara.

    “Percayalah, bahwa presiden menggunakan kewenangannya itu dengan sebaik-baiknya dan pasti untuk kepentingan umum dan kepentingan yang lebih besar. Begitu kira-kira. [Hak prerogatif presiden] sah karena dilaksanakan berdasarkan undang-undang dasar,” pungkasnya. 

    Diberitakan sebelumnya, ICW mendesak Presiden Prabowo Subianto tidak mengintervensi hasil putusan pengadilan tindak pidana korupsi. 

    Hal ini buntut dari pemberian rehabilitasi bagi Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry tahun 2017–2024 Ira Puspadewi, Direktur Komersial dan Pelayaran tahun 2019–2024 Muhammad Yusuf Hadi, dan Direktur Perencanaan dan Pengembangan tahun 2020–2024 Harry Muhammad Adhi Caksono. 

    Mereka sebelumnya dinyatakan bersalah korupsi oleh pengadilan Tipikor dalam kasus akuisisi kapal PT Jembatan Nusantara oleh PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP). Terlebih, sebelumnya Prabowo juga memberikan abolisi bagi Thomas Trikasih Lembong dan amnesti bagi Hasto Kristiyanto. ICW menilai, intervensi presiden memperlemah putusan pengadilan.

    “Intervensi Presiden terhadap putusan pengadilan merupakan bentuk pelemahan terhadap lembaga yudikatif dan pengabaian terhadap prinsip pemisahan cabang kekuasaan. Terlebih, kasus ini masih belum inkracht atau berkekuatan hukum tetap,” tulis ICW melalui laman resminya, Kamis (27/11/2025). 

    Apalagi pemberian rehabilitasi sebelum putusan berstatus tetap atau inkrah. Diketahui, Ira dijatuhi vonis pada 20 November 2025 dan diberikan waktu tujuh hari untuk mengajukan banding yang dalam hal ini tenggat waktu sampai 27 November 2025.

    Menurut, ICW lembaga yudikatif harus bersifat transparan dan independen, serta bebas dari intervensi politik. Pemberian rehabilitasi maupun amnesti tanpa pertimbangan yang jelas dapat mencederai prinsip tersebut. 

    “Dalam institusi peradilan seharusnya Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung diposisikan sebagai ruang koreksi yuridis untuk menguji ketepatan pertimbangan hukum pengadilan yang berada di bawahnya,” lanjut rilis tersebut.

    ICW khawatir pemberian rehabilitasi maupun amnesti dimanfaatkan oleh pelaku tindak pidana korupsi dengan membangun narasi-narasi belas kasih sehingga memperoleh hak prerogatif presiden. 

    Selain itu, mudahnya menggunakan hak prerogatif berpotensi mengacaukan sistem peradilan pidana yang patutnya bersifat objektif. 

    Selain menuntut batasan pemberian rehabilitasi hingga amnesti, ICW juga mendesak DPR segera mengatur pemberian hak prerogatif presiden sebagaimana tertuang dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.

  • Pelajari Keppres Rehabilitasi, KPK Jamin Proses Pembebasan Eks Dirut ASDP Diproses Cepat

    Pelajari Keppres Rehabilitasi, KPK Jamin Proses Pembebasan Eks Dirut ASDP Diproses Cepat

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih mempelajari surat Kementerian Hukum (Kemenkum) terkait Keppres rehabilitasi eks Dirut ASDP Ira Puspadewi dkk.

    Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo mengatakan surat itu masih dibahas secara internal untuk menentukan tindak lanjut proses hukum terhadap Ira dan mantan direksi ASDP lainnya.

    “Nanti kami akan pelajari ya terkait dengan surat keputusan rehabilitasi itu seperti apa ya,” ujar Budi di KPK, Jumat (27/11/2025).

    Budi menambahkan, dirinya tidak bisa berandai-andai terkait dengan waktu pembebasan dari Ira Puspadewi dkk. Pasalnya, masih ada proses administrasi yang harus ditinjau terlebih dahulu oleh KPK.

    Namun demikian, Budi menekankan bahwa proses eksekusi rehabilitasi itu bakal dilakukan secepatnya.

    “Ya, ini kan masih berprogres ya. kami akan proses secepatnya. Jadi memang ada hal-hal administratif juga yang kemudian harus dilakukan oleh KPK sebagai tindak lanjut diterimanya surat tersebut,” Imbuhnya.

    Adapun, Budi juga menekankan bahwa dalam proses eksekusi Ira dkk tidak memiliki kendala.

    “Saya kira tidak ada kendala ya. Jadi memang surat sudah kami terima pagi ini dan langsung kami proses di internal KPK,” pungkas Budi.

    Sebelumnya, informasi rehabilitasi diumumkan Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad yang didampingi oleh Mensesneg Prasetyo Hadi, dan Seakan Teddy Indra Wijaya di Istana Negara pada Selasa (25/11/2025).

    Surat rehabilitasi tersebut merupakan tindak lanjut dari berbagai aspirasi masyarakat yang masuk ke DPR sejak kasus yang menjerat jajaran direksi ASDP mulai diselidiki pada Juli 2024.

    Setelah itu, DPR RI kemudian meminta kepada komisi hukum untuk melakukan kajian terhadap perkara untuk mulai dilakukan penyelidikan sejak bulan Juli 2024. Singkatnya, hasil kajian ini disampaikan kepada Presiden Prabowo Subianto.

    Berdasarkan kewenangannya, Presiden pun membuat keputusan untuk memberikan rehabilitasi terus Ira Puspadewi dkk di kasus korupsi akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh ASDP.

    Adapun, Ira sejatinya sudah ditetapkan bersalah melakukan korupsi akuisisi PT JN. Ira kemudian divonis 4,5 tahun penjara dengan denda Rp500 juta. 

    Sementara itu, mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP, Harry Muhammad Adhi Caksono, dan eks Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP, Muhammad Yusuf Hadi divonis 4 tahun dan denda Rp250 juta.

  • KPK Terima Surat Keppres Rehabilitasi dari Prabowo, Eks Dirut ASDP Ira Cs Segera Dibebaskan

    KPK Terima Surat Keppres Rehabilitasi dari Prabowo, Eks Dirut ASDP Ira Cs Segera Dibebaskan

    Bisnis.com, JAKARTA —  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan telah menerima surat Keputusan Presiden (Keppres) terkait rehabilitasi eks Dirut ASDP Ira Puspadewi.

    Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo mengatakan surat itu dikirimkan melalui delegasi Kementerian Hukum (Kemenkum).

    “Surat sudah diterima, kami segera proses,” ujar Budi saat dikonfirmasi, Jumat (28/11/2025).

    Adapun, melalui salinan surat Keppres ini, pembebasan Ira Puspadewi dan mantan direksi ASDP lainnya dari Rutan KPK bakal segera terwujud.

    Di samping itu, berdasarkan pantauan Bisnis di Rutan KPK 05.30 WIB, nampak keluarga sudah berkumpul untuk menunggu kebebasan Ira Puspadewi. Terlihat, dari rombongan keluarga itu terdapat suami Ira, Zaim Ucrowi yang sudah datang sejak 05.00 WIB.

    Selain itu, nampak juga keluarga dari rekan Ira yakni Harry Muhammad Adhi Caksono dan Muhammad Yusuf telah hadir menunggu momen kebebasan ini.

    Kemudian, dari dalam Rutan KPK masih belum ada pergerakan dari karyawannya. Petugas pengamanan pun belum nampak disiagakan di lokasi pembebasan Ira Dkk.

    Kuasa Hukum Ira, Firmansyah mengatakan kliennya sudah seharusnya dipastikan bebas pada hari ini. Sebab, berdasarkan hitungan pacavonis, hari ini terhitung sudah mencapai batas pengajuan banding atau massa pikir-pikir.

    “Hari ini dipastikan. Harus hari ini ya, karena kan memang hitungannya sudah sudah ini ya, sudah selesai ya, hitungan dari tujuh hari. Insyaallah hari ini,” ujar Firmansyah di Rutan KPK, Jumat (28/11/2025).

  • Suasana Rutan KPK Jelang Eks Dirut ASDP Ira Puspadewi Dibebaskan Hari Ini

    Suasana Rutan KPK Jelang Eks Dirut ASDP Ira Puspadewi Dibebaskan Hari Ini

    Bisnis.com, JAKARTA — Mantan Direktur Utama (Dirut) ASDP Ira Puspadewi dikabarkan akan menghirup udara bebas usai mendapatkan rehabilitasi dari Presiden Prabowo Subianto.

    Berdasarkan pantauan Bisnis di Rutan KPK 05.30 WIB, nampak keluarga sudah berkumpul untuk menunggu kebebasan Ira Puspadewi.

    Terlihat, dari rombongan keluarga itu terdapat suami Ira, Zaim Ucrowi yang sudah datang sejak 05.00 WIB di gedung KPK.

    Selain itu, nampak juga keluarga dari rekan Ira, yakni Harry Muhammad Adhi Caksono dan Muhammad Yusuf telah hadir menunggu momen kebebasan ini.

    Di lain sisi, dari dalam Rutan KPK masih belum ada pergerakan dari karyawannya. Petugas pengamanan pun belum nampak disiagakan di lokasi pembebasan Ira Puspadewi dan dua rekannya.

    Kuasa Hukum Ira, Firmansyah mengatakan saat ini pihaknya masih menunggu informasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait Keppres rehabilitasi kliennya.

    “Kami dapat info sih, dapatnya itu jam 05.30. Jam 05.30 dapat info. Namun kami belum tahu di dalam apakah sudah diterima, yaitu Keppres-nya, suratnya,” ujar Firmansyah di sekitar Rutan KPK, Jakarta, Jumat (28/11/2025).

    Dia menambahkan kliennya seharusnya dipastikan bebas pada hari ini. Sebab, berdasarkan hitungan pacavonis PN Jakpus, hari ini terhitung sudah mencapai batas pengajuan banding atau masa pikir-pikir.

    “Hari ini dipastikan. Harus hari ini ya, karena kan memang hitungannya sudah sudah ini ya, sudah selesai ya, hitungan dari tujuh hari. Insyaallah hari ini,” pungkasnya.

    Sebelumnya, kabar rehabilitasi diumumkan Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad yang didampingi oleh Mensesneg Prasetyo Hadi, dan Seskab Teddy Indra Wijaya di Istana Negara pada Selasa (25/11/2025).

    Surat rehabilitasi tersebut merupakan tindak lanjut dari berbagai aspirasi masyarakat yang masuk ke DPR sejak kasus yang menjerat jajaran direksi ASDP mulai diselidiki pada Juli 2024.

    Setelah itu, DPR RI kemudian meminta kepada komisi hukum untuk melakukan kajian terhadap perkara untuk mulai dilakukan penyelidikan sejak bulan Juli 2024. Singkatnya, hasil kajian ini disampaikan kepada Presiden Prabowo Subianto.

    Berdasarkan kewenangannya, Presiden pun membuat keputusan untuk memberikan rehabilitasi terus Ira Puspadewi dkk di kasus korupsi akuisisi PT Jembatan Nusantara (PT JN) oleh ASDP.

    Adapun, Ira Puspadewi sejatinya sudah ditetapkan bersalah melakukan korupsi akuisisi PT JN. Ira kemudian divonis 4,5 tahun penjara dengan denda Rp500 juta. 

    Sementara itu, mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP, Harry Muhammad Adhi Caksono, dan eks Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP, Muhammad Yusuf Hadi divonis 4 tahun dan denda Rp250 juta.

  • Pengacara: Arya Daru Sempat Ketakutan saat Ubah Haluan ke Gedung Kemlu

    Pengacara: Arya Daru Sempat Ketakutan saat Ubah Haluan ke Gedung Kemlu

    Bisnis.com, JAKARTA — Pengacara keluarga mengungkap almarhum Diplomat Arya Daru Pangayunan sempat merasa ketakutan saat menuju Gedung Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI.

    Sebagaimana diketahui, menjelang ditemukan tewas dengan kondisi muka terlilit lakban, Arya sempat berada di mal Grand Indonesia. Setelah itu, dia memesan taksi dengan tujuan bandara.

    Pengacara Keluarga Arya, Nicholay Aprilindo menyatakan dalam momen itu Arya telah mengubah arah tujuannya menjadi ke gedung Kemlu RI.

    Tidak diketahui pasti alasan Arya mengganti tujuannya itu. Namun, kata Nicholay, Arya sempat mengalami ketakutan saat berada di dalam taksi tersebut.

    “Menurut keterangan saksi, sopir taksi melihat almarhum ketakutan sambil memegang telepon menoleh ke kanan ke kiri, melihat ke belakang dan mengubah arah yang tadinya tujuan ke bandara, kemudian diubah ke Kemlu,” ujar Nicholay di Jakarta, Kamis (27/11/2025).

    Keluarga, kata Nicholay, penyidik Polda Metro Jaya perlu mendalami keterangan dari sopir taksi itu, termasuk security yang menjaga gedung Kemlu saat Arya menuju lantai atas.

    “Kami mempertanyakan apakah sudah diperdalam sopir taksi itu? Melihat siapa? Kemudian ketika almarhum sampai di Kemlu, kemudian naik ke Rooftop, kemudian melihat ke bawah seperti orang kebingungan apakah sudah diperdalam security yang menjaga itu?” pungkasnya.

    Kronologi Arya Daru Ditemukan Tewas

    Dalam catatan Bisnis, Polda Metro Jaya sempat merangkum catatan CCTV pergerakan Arya Daru sebelum ditemukan tewas. Mulanya, Arya terpantau berada di mal Grand Indonesia sekitar 17.52 WIB.

    Tak sendiri, Arya tampak bersama dua rekannya, Vara dan Dion. Setelah berada di GI, Arya kemudian bergegas keluar dengan tujuan menuju bandara.

    Namun, saat di tengah jalan, Arya memutuskan untuk memutar balik tujuannya ke Gedung Kemlu RI. Arya terpantau memasuki Gedung Kemlu sekitar 21.39 WIB.

    Selanjutnya Arya berada di rooftop gedung Kemnlu pada lantai 12 pada pukul 21.43 WIB. Di atas Gedung Kemlu itu, Arya sempat membawa tas belanja dan tas gendongnya. Namun, saat turun dari rooftop, Arya sudah melepaskan kedua tasnya itu. 

    Dugaannya, Arya juga sempat memanjat tembok di atas rooftop tersebut. Kemudian, sekitar 22.12 WIB, Arya terpantau keluar dari Gedung Kemlu RI.

    Diplomat itu kemudian tiba di rumah kos sekitar 23.23 WIB. Sempat, Arya juga membuang sampah saat tiba di kamar indekosnya, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (7/7/2025).

    Sehari berselang, Arya kemudian ditemukan tewas dengan kepala terbungkus lakban kuning. Posisi Arya juga nampak terlentang dengan tertutup selimut.

  • Keluarga Diplomat Arya Daru Pertanyaan Luka Memar di Jenazah Almarhum

    Keluarga Diplomat Arya Daru Pertanyaan Luka Memar di Jenazah Almarhum

    Bisnis.com, JAKARTA — Keluarga Diplomat Kemlu RI Arya Daru Pangayunan mempertanyakan luka memar pada dada di jenazah Arya akibat benda tumpul.

    Pengacara Keluarga, Nicholay Aprilindo mengatakan hal tersebut diketahui dari hasil forensik dokter dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.

    Kemudian, Nicholay mengaku masih belum mendapatkan jawaban yang memuaskan dari penyelidik penyebab luka memar pada jenazah Arya.

    “Kami menanyakan terkait kekerasan akibat benda tumpul itu. Apakah itu benda tumpul yang pasif atau aktif? Yang maksud kami menanyakan yang pasif atau aktif,” ujar Nicholay di Jakarta, Kamis (27/11/2025).

    Dia menjelaskan, apabila memang luka memar itu akibat benda tumpul pasif maka ada kemungkinan Arya membenturkan dirinya ke benda tumpul.

    Sebaliknya, jika benda tumpul itu aktif maka hal itu bisa jadi disebabkan oleh seseorang yang menghantamkan benda tersebut.

    “Ini pun tidak bisa dijawab oleh pihak penyelidik. Tentang benda tumpul yang ada luka benda tumpul yang ada di dada korban. Kemudian luka-luka lain terkait kekerasan, yaitu luka memar. Itu juga tidak bisa dijelaskan akibat apa luka memar itu,” pungkasnya.

    Sebelumnya, Dokter Forensik RSCM, Yoga Tohijiwa menyampaikan hasil lengkap autopsi terhadap jenazah Diplomat Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Arya Daru Pangayunan (39).

    Yogi menjelaskan pihaknya telah menerima surat permintaan visum dari kepolisian pada (8/7/2025). Setelah itu, tim medis RSCM langsung melakukan pemeriksaan jenazah Arya.

    Hasilnya, telah ditemukan luka terbuka pada bibir bagian dalam; luka lecet pada wajah dan leher serta memar-memar pada wajah; dan memar anggota gerak atas kanan akibat kekerasan benda tumpul. 

    “Diinformasikan oleh penyidik bahwa pada saat di Kemenlu itu di rooftop-nya di lantai 12 ada kegiatan untuk memanjat ke tembok. Nah itu yang dapat menyebabkan adanya memar pada lengan atas kanan,” kata Yogi di Polda Metro Jaya, Selasa (29/7/2025).

  • Ini Alasan Polisi, Sidik Jari di Lakban Diplomat Arya Tak Bisa Diidentifikasi

    Ini Alasan Polisi, Sidik Jari di Lakban Diplomat Arya Tak Bisa Diidentifikasi

    Bisnis.com, JAKARTA — Polda Metro Jaya menjelaskan alasan temuan sidik jari lain pada lakban yang melilit di jenazah Diplomat Kemlu RI Arya Pangayunan (ADP) tak bisa diidentifikasi.

    Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Budi Hermanto menyatakan penyidik memang menemukan ada tiga sidik jari pada lakban tersebut.

    “Ada 3 sidik jari yang ditemukan,” ujar Budi saat dihubungi, Kamis (27/11/2025).

    Dia menambahkan, dari tiga sidik jari itu hanya milik Arya Daru yang bisa diidentifikasi. Alasannya, dua lainnya tidak memenuhi syarat untuk dilakukan identifikasi sidik jari.

    “Akan tetapi hanya 1 yang memenuhi syarat untuk dilakukan identifikasi,” pungkasnya.

    Diberitakan sebelumnya, Kuasa hukum keluarga Arya, Nicholay Aprilindo menyatakan ada empat sidik jari yang ditemukan pada lakban yang melekat pada jenazah Arya.

    Dia mengatakan informasi tersebut berasal dari hasil audiensi yang dilakukan bersama dengan penyidik di Polda Metro Jaya.

    Nicholay mengemukakan dari empat sidik jari yang ditemukan, hanya satu yang bisa dilakukan identifikasi. Satu sidik jari yang bisa diidentifikasi yakni milik Arya Daru.

    Dia menambahkan, pihaknya juga sempat bertanya soal alasan tiga sidik jari lainnya tidak bisa teridentifikasi. Namun, berdasarkan klaim Nicholay, penyidik tidak bisa menjawab temuan sidik jari itu.

    “Oleh karena itu saya tanya apakah yang tiga itu tidak bisa teridentifikasi Itu milik siapa? Almarhum Atau orang lain? Penyidik mengatakan mereka tidak bisa menjawab itu,” ujarnya di Polda Metro Jaya, Rabu (26/11/2025).