Category: Bisnis.com Metropolitan

  • Emas, Tekstil, & Nikel Paling Banyak Diselundupkan, Transaksinya Rp208 Triliun!

    Emas, Tekstil, & Nikel Paling Banyak Diselundupkan, Transaksinya Rp208 Triliun!

    Bisnis.com, JAKARTA – Emas, tekstil dan nikel menjadi tiga komoditas ekspor paling banyak diselundupkan selama tahun 2021 sampai dengan kuartal III/2024. Aktivitas ilegal tersebut telah merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah.

    Publikasi terbaru Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam judul ‘Kenali Tipologi Penyelundupan Pencucian Uang: Sumber Kebocoran Keuangan Negara” mengungkap bahwa transaksi penyelundupan yang berhasil diidentifikasi mencapai Rp216,7 triliun. Nilai itu dihitung dari hasil analisis tahun 2021 sampai dengan kuartal III/2024.

    “Jenis komoditas terbesar pada sektor komoditas emas sebesar Rp189 triliun, sektor komoditas tekstil sebesar Rp16 triliun, dan sektor komoditas nikel sebesar Rp3,5 trilun,” tulis  laporan yang dikutip Bisnis, Jumat (31/1/2025).

    PPATK mengemukakan bahwa besarnya angka penyelundupan tersebut merupakan konsekuensi dari nilai keuntungan ekonomi dan permintaan tinggi terhadap ketiga komoditas itu. Namun demikian,  lembaga intelijen keuangan itu juga menyoroti bahwa praktik tidak terpuji tersebut telah berimplikasi cukup signifikan terhadap industri dalam negeri maupun penerimaan negara.

    Dalam laporan yang dipublikasikan 24 Januari 2025, PPATK juga mengungkapkan bahwa selama periode kuartal IV/2024 hingga Januari 2025  terdapat beberapa hasil analisis (HA) PPATK yang menunjukkan indikasi penyelundupan benih bening lobster (BBL) ke Vietnam.

    Angka perputarannya tidak main-main, mencapai Rp2,6 triliun dan total nilai transaksi yang berindikasi tindak pidana sebesar Rp46,5 miliar.

    Modus Penyelundupan

    Berdasarkan hasil identifikasi dan analisis peristiwa kasus yang berindikasi penyelundupan dan tindak pidana pencucian uang terdapat beberapa modus yang sering digunakan oleh para penyeludup. Pertama, modus importasi barang ilegal di kawasan pelabuhan.

    Kedua, modus penyalahgunaan Kawasan Berikat (KB)/Gudang Berikat (GB)/Pusat Logistik Berikat (PLB) dan Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE).

    PPATK mengungkap adanya penyalahgunaan barang sisa produksi di Kawasan Berikat maupun barang impor baru di gudang berikat keluar memasuki wilayah pabean melebihi 50% total ekspornya tanpa membayar kewajiban perpajakan dan kepabeanan.

    Ketiga, modus Penyelewenangan Izin Angka Pengenal Impor-Produsen dan Angka Pengenal Impor-Umum (API-U). Keempat, modus fasilitas Impor Borongan, undername dan pengalihan kuota melalui platform E-commerce.

    Kelima, modus jasa titipan melalui barang bawaan dan barang kiriman. Keenam, modus penyelundupan melalui jalur tidak resmi atau jalur hitam.

  • Verifikasi Kreditur Sritex: Tagihan Pajak Rp402 Miliar, Bea Cukai Rp195,4 Miliar

    Verifikasi Kreditur Sritex: Tagihan Pajak Rp402 Miliar, Bea Cukai Rp195,4 Miliar

    Bisnis.com, JAKARTA – Tim Kurator PT Sri Rejeki Isman Tbk. atau Sritex dan tiga anak usahanya telah menyusun daftar piutang tetap (DPT) usai melakukan verifikasi kreditur dalam rapat yang berlangsung pada hari, Kamis (31/1/2025).

    Dokumen DPT yang dikutip Bisnis, memaparkan bahwa total tagihan yang sudah diakui oleh Kurator Sritex mencapai Rp29,8 triliun. Jumlah itu terdiri dari kreditur preferen atau yang diprioritaskan dibayar terlebih dahulu mencapai Rp619,5 miliar, kreditur sparatis (pemegang jaminan) senilai Rp919,7 miliar, dan kreditur konkuren (tidak memiliki hak istimewa) senilai Rp28,3 triliun.

    Di antara tagihan tersebut, Sritex tercatat masih memiliki utang kepada Direktorat Jenderal Pajak alias Ditjen Pajak senilai Rp402,3 miliar.

    Utang pajak itu terdiri dari tagihan di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Sukoharjo senilai Rp28,6 miliar dan KPP Penanaman Modal Asing Empat senilai Rp373,7 miliar.

    Selain pajak, Sritex juga tercatat memiliki utang kepada otoritas kepabeanan dan cukai alias Bea Cukai sebagai kreditur preferen sekitar Rp195,45 miliar.

    Jumlah tagihan tersebut terdiri dari Rp189,2 miliar di Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai Tipe Madya Pabean B Surakarta, KPP BC Madya Pabean A Semarang Rp4,9 miliar, Kanwil DJBC Jateng dan DIY Rp995,6 juta, serta KPP BC Tipe Madya Pabean A Semarang Rp356,9 juta.

    Tolak 83 Tagihan

    Di sisi lain, Tim Kurator menolak total 83 piutang kreditur kepada PT Sri Rejeki Isman Tbk. atau Sritex dan tiga anak usahanya dengan nilai keseluruhan hampir mendekati Rp200 miliar.

    Hal itu terungkap dalam rapat antara Kurator, kreditur, dan debitur terkait pengurusan kepailitan Sritex di Pengadilan Niaga Semarang, Kamis (30/1/2025).

    Berdasarkan dokumen yang dilihat Bisnis, dari total 83 daftar kreditur yang memiliki piutang terhadap Sritex berasal dari perusahaan yang sama. Adapun keseluruhan nilai piutang emiten berkode SRIL yang ditolak itu yakni Rp199.988.112.356,95. 

    Tim Kurator mencatat adanya sederet alasan mengapa tagihan-tagihan tersebut ditolak. Misalnya, ada piutang yang ditolak karena terafiliasi dengan debitur pailit sendiri yakni Iwan Setiawan Lukminto. Perusahaan dimaksud adalah PT Golden Nusajaya yang memiliki tiga daftar nilai piutang, dengan nilai terbesarnya Rp631 juta. 

    Tim Kurator mencatat bahwa tagihan piutang ditolak karena Wawan Lukminto diketahui merupakan pemegang saham terbesar, serta menjabat komisaris maupun direktur utama. 

    “Dasar tagihan yaitu invoice tiket kepada orang-orang yang statusnya tidak diketahui apakah merupakan karyawan dari Para Debitur Pailit,” demikian bunyi temuan Tim Kurator. 

    Kemudian, ada tagihan yang ditolak dari PT Jaya Kencana senilai Rp36,4 juta karena berkaitan dengan keperluan pribadi yaitu pemasangan unit AC di rumah dinas yang terletak di Banjarsari. 

    Tagihan piutang Sritex terbesar yang ditolak oleh Tim Kurator adalah senilai Rp61 miliar dari PT Multi International Logistic. Nilai piutang itu meliputi empat pokok piutang masing-masing terdiri dari Rp13,6 miliar, Rp170,6 juta, Rp705,5 juta serta Rp40 miliar (ditambah bunga Rp6,49 miliar). 

    Tim Kurator mencatat bahwa tagihan piutang tersebut ditolak karena underlying dari debitur kepada kreditur adalah perbuatan ilegal. 

    Hal itu berdasarkan Surat Persetujuan Perpanjangan Kredit dari Bank INA kepada Kreditur pada poin persyaratan Umum Lainnya angka 1 yang menyebutkan, debitur menggunakan fasilitas kredit dari bank hanya untuk kepentingan sebagaimana dimaksud dalam tujuan penggunaan kredit, bukan untuk kepentingan lainnya. 

    “Tagihan kepada PT Sri Rejeki Isman Tbk., PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries dan PT Primayudha Mandirijaya tidak dapat menunjukkan bukti tagihan yang jelas berupa PO, invoice dan/atau Perjanjian Kerja Pengiriman Barang,” ungkap Tim Kurator. 

    Selain itu, sebagian besar alasan penolakan tagihan piutang SRIL lainnya yaitu ketidaklengkapan dokumen tagihan yang diminta oleh Tim Kurator. 

    Voting Going Concern Batal

    Adapun pada perkembangan lain, proses pengambilan suara untuk opsi Going Concern atau keberlangsungan usaha Sritex dan tiga anak usahanya batal digelar pada hari ini, Kamis (30/1/2025) di Pengadilan Negeri Semarang.

    Rapat tersebut dihadiri oleh perwakilan debitur, kreditur, serta tim kurator dengan agenda verifikasi lanjutan dan usulan dari pihak kreditur.

    “Hasil dari hari ini, yaitu kami harus berkoodinasi dengan kurator untuk menyediakan satu skema untuk opsi apabila Going Concern seperti apa, kalau penyelesaian atau insolvent seperti apa. Supaya nanti menjadi pertimbangan seluruh kreditur,” jelas Iwan Kurniawan Lukminto, Direktur Utama Sritex saat ditemui wartawan usai rapat.

    Iwan menjelaskan bahwa pihaknya siap untuk berdikusi dengan Tim Kurator. Sesuai dengan arahan dari Hakim Pengawas kasus kepailitan Sritex, pihak manajemen juga bakal menyiapkan data yang diperlukan sebagai bekal analisis kelayakan atau feasibility studies perusahaan tersebut.

    “Agenda berikutnya kami berdiskusi dengan kurator. Skemanya seperti apa, penjualannya berapa, lalu profitnya seperti apa. Ini kan harus dikomparasi. Kalau insolvent, pemberesan dari sisi kreditur ini seperti apa. Jadi ini tim kurator mempunyai satu kewajiban untuk pertanggung jawaban kepada kreditur juga,” jelas Iwan.

  • Polri Usut Dugaan Fraud dan Pencucian Uang di LPEI

    Polri Usut Dugaan Fraud dan Pencucian Uang di LPEI

    Bisnis.com, JAKARTA — Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortastipikor) Polri mengusut dugaan korupsi terkait penyaluran kredit Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) serta pencucian uang.

    Kasus yang sudah naik ke tahap penyidikan itu diduga merugikan keuangan negara dalam jumlah signifikan. 

    Kepala Kortastipidkor Irjen Pol Cahyono Wibowo mengemukakan bahwa, kasus itu melibatkan dua debitur LPEI yang mendapatkan fasilitas kredit ekspor selama periode 2012-2016. Dua debitur dimaksud adalah PT Duta Sarana Technology (PT DST) dan PT Maxima Inti Finance (PT MIF) 

    Awalnya, Kortastipidkor melakukan penyelidikan yang berawal dari temuan penyimpangan pada pemberian kredit Eximbank ke dua perushaaan itu. Ada dugaan pemberian kredit ekspor tidak sesuai prosedur. 

    “Akibatnya, dana yang disalurkan digunakan untuk kepentingan yang tidak sesuai dengan tujuan awal, berujung pada kerugian negara yang besar. Kami akan menuntaskan penyidikan ini secara profesional guna menemukan tersangka dan memulihkan kerugian negara,” ujar Cahyono, dikutip dari siaran pers, Jumat (31/1/2025). 

    Menurut keterangan penyidik, fasilitas kredit LPEI awalnya diberikan kepada PT DST sejak 2012 hingga 2014. Fasilitas pembiayaan itu diduga diberikan oleh LPEI secara tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku. Alhasil, terjadi kredit macet senilai Rp45 miliar dan US$4,1 juta. 

    Selanjutnya, dengan skema novasi, PT MIF mengambil alih kewajiban PT DST, namun pembiayaan yang diberikan kepada PT MIF juga digunakan tidak sesuai dengan ketentuan. Dana tersebut sebagian besar digunakan untuk membayar utang PT DST dan kepentingan lain yang tidak terkait dengan tujuan pemberian kredit.

    Selama periode 2014 hingga 2016, LPEI memberikan pembiayaan kepada PT MIF sebesar US$47,5 juta. Namun, proses pemberiannya diduga penuh dengan penyimpangan dan melanggar ketentuan yang ada, termasuk analisis permohonan kredit yang tidak tepat dan kurangnya monitoring terhadap penggunaan dana. 

    Pada akhirnya, PT MIF di 2022 mengalami kebangkrutan dan gagal membayar utang kepada sebesar US$43,6 juta.

    “Dari hasil penyelidikan yang dilakukan, kami menemukan adanya potensi tindak pidana pencucian uang yang berasal dari tindak pidana korupsi, di mana dana hasil pembiayaan yang disalurkan digunakan untuk kepentingan pribadi dan perusahaan yang tidak sesuai dengan peruntukannya,” tambah Cahyono.

    Periksa 27 Saksi

    Penyidik Kortastipidkor telah memeriksa 27 saksi dan mengumpulkan berbagai dokumen terkait proses pemberian pembiayaan, perjanjian kredit, serta hasil audit yang menunjukkan adanya penyimpangan. 

    Selain itu, penyidik telah berkoordinasi dengan instansi terkait, seperti BPK dan PPATK untuk mendalami lebih lanjut dugaan pencucian uang dalam kasus ini.

    Cahyono mengungkap bahwa penyidik saat ini belum menetapkan pihak-pihak sebagai tersangka. Namun, penyidikan dilakukan untuk menemukan pihak-pihak yang bisa dimintai tanggung jawab secara pidana maupun melakukan proses penhembalian kerugian keuangan negara. 

    “Penyidikan ini akan terus kami lakukan dengan komitmen tinggi, untuk mengungkap pihak-pihak yang bertanggung jawab serta memastikan bahwa keuangan negara dapat dipulihkan,” tutup Cahyono.

    Ditangani Kejagung dan KPK

    Dalam catatan Bisnis, kasus dugaan fraud LPEI juga ditangani oleh penegak hukum lain seperti Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) namun dengan debitur yang berbeda-beda.

    Pada Agustus 2024, Kejagung secara resmi melimpahkan kasus yang ditangani dan seluruh bukti yang telah dihimpun ke KPK. Sebab, debitur yang ditangani Kejagung beririsan dengan KPK. 

    Komisi antirasuah pun telah menetapkan tujuh orang sebagai tersangka perseorangan. Sementara itu, ada sekitar 11 debitur LPEI yang diduga melakukan fraud dalam penyaluran kredit pembiayaan ekspor tersebut.

    Pada kasus tersebut, KPK menduga nilai kerugian keuangan negara mencapai Rp1 triliun.

  • Abraham Samad Cs Laporkan Proyek PIK 2 ke KPK

    Abraham Samad Cs Laporkan Proyek PIK 2 ke KPK

    Bisnis.com, JAKARTA — Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi melaporkan dugaan korupsi terkait proyek Pantai Indah Kapuk atau PIK 2 ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat (31/1/2025).

    Konglomerat pemilik Agung Sedayu Group Sugianto Kusuma alias Aguan dan Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) ikut terseret. 

    Koalisi Masyarakat Sipil yang menjadi pihak pelapor itu terdiri dari sejumlah mantan pimpinan KPK seperti Abraham Samad dan M Jasin, Ketua PBHI Nasional Julius Ibrani, dan tokoh masyarakat sipil lainnya seperti Said Didu dan Roy Suryo. 

    Para anggota koalisi masyarakat sipil itu menyerahkan laporan tersebut langsung ke pimpinan KPK. Sejumlah komisioner komisi antirasuah yang menerima langsung audiensi Abraham Samad cs yakni Ketua KPK Setyo Budiyanto serta Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto serta Ibnu Basuki Widodo. 

    “Kebetulan kita membawa laporannya juga yang sudah dibuat oleh teman-teman koalisi. Yaitu dugaan korupsi ya. Yang terjadi di proyek. Proyeknya ya, saya katakan, di Proyek Strategis Nasional PIK 2,” ungkapnya kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (31/1/2025).

    Mantan Ketua KPK periode 2011-2015 itu menerangkan, pihaknya ingin KPK melakukan investigasi terhadap proyek PIK 2 yang disebutnya mendapatkan status Proyek Strategis Nasional (PSN). Menurutnya, terdapat dugaan korupsi pada penetapan proyek PIK 2 sebagai PSN. 

    Pelaporan ke KPK dilakukan karena lembaga tersebut dinilai memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan terhadap penyelenggara negara, baik yang ada di tingkat daerah maupun yang ada di tingkat pusat. 

    “Karena kita bisa duga bahwa penetapan PIK menjadi PSN itu tidak terlepas dari praktik kongkalikong, praktik suap menyuap, ya. Dan lebih jauh kita bisa melihat bahwa di situ ada kerugian negara sebenarnya ya,” ucapnya. 

    Adapun Samad dan koalisi masyarakat sipil tak hanya melaporkan dugaan korupsi pada penetapan PIK 2 sebagai PSN. Mereka turut melaporkan soal penerbitan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) maupun Sertifikat Hak Milik (SHM) di kawasan laut Tangerang, yang diduga erat berkaitan dengan Agung Sedayu.

    Sertifikat Pagar Laut

    Sebagaimana diketahui, pemerintah mengungkap bahwa temuan pagar laut di Desa Kohod, Tangerang, Banten itu berkaitan dengan kepemilikan SHGB dan SHM di atas kawasan laut sepanjang 30,16 kilometer (km).

    Terdapat total 280 SHGB dan SHM yang diterbitkan di sana kendati undang-undang mengatur bahwa kawasan laut tidak bisa diterbitkan hak milik.

    Adapun pemilik HGB yakni sebanyak 263 sertifikat terdaftar sebagai PT Intan Agung Makmur (IAM) dan PT Cahaya Inti Sentosa (CIS). Keduanya terafiliasi Agung Sedayu Group milik Aguan, yang juga pemilik proyek PIK 2.

    “Kita meminta supaya KPK tidak usah khawatir memanggil orang yang merasa dirinya kuat selama ini, yaitu Aguan. Karena nama ini seolah-olah diciptakan mitos bahwa dia tidak tersentuh oleh hukum. Oleh karena itu kita ingin mendorong KPK supaya orang ini segera diperiksa. Tidak boleh ada seseorang secara individu mengatur negara ini,” paparnya.

    Di sisi lain, Ketua PBHI Julius Ibrani memastikan pihaknya tidak hanya mengadukan Aguan serta perusahaannya pada laporan dugaan korupsi ke KPK siang ini. Dia mengaku ada penyelenggara negara yang turut dilaporkan mulai dari tingkat pusat hingga daerah.

    Sementara itu, nama Presiden ke-7 Joko Widodo juga turut terseret sebagai salah satu pihak terlapor. Said Didu, yang turut hadir di KPK, menilai ada keterkaitan peran Jokowi dalam proyek PIK 2 yang diperkarakan itu.

    Dia menuding bahwa proyek PIK 2 sebagai puncak gunung es dari korupsi terstruktur, sistematis dan masif (TSM) selama 10 tahun terakhir. Dia menyoroti status PSN untuk PIK 2 yang disetujui saat Jokowi menjabat presiden.

    “Kasus itu kita laporkan siapapun yang terlibat mulai kepala desa sampai kepada presiden ya harus diperiksa semua,” ucapnya. 

    PIK 2 Bukan PSN 

    Adapun sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Perkenomian Airlangga Hartarto menyebut bahwa proyek Pantai Indah Kapuk atau PIK 2 yang digarap Agung Sedayu Group bukan merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN).

    Airlangga menjelaskan bahwa PIK 2 sedari awal bukan merupakan PSN, melainkan hanya kawasan tropical coastland untuk ecopark tourism.

    “PIK 2 tidak pernah jadi PSN, yang menjadi PSN adalah ecopark tourism, tropical coastland [red],” ujar Airlangga kepada wartawan saat ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (21/1/2025).

    Sementara itu, perusahaan milik konglomerat Sugianto Kusuma atau Aguan buka suara terkait proyek strategis nasional (PSN) yang diinisiasi PT Pantai Indah Kapuk Dua Tbk. (PANI) membangun Tropical Coastland.

    Presiden Direktur Agung Sedayu Group, Nono Sampono menegaskan bahwa apa yang dikerjakan oleh PANI di PSN PIK 2 itu merupakan hal yang legal. Bahkan, pengembangan kawasan itu dilakukan dalam rangka mengamankan aset negara.

    “Jadi gini, jadi gini, barang ini kan barang halal. Punya negara yang mau diselamatkan. Karena negara kepentingannya banyak, jadi ini dikerjakan oleh swasta,” kata Nono dikutip dari Youtube Agung Sedayu Group, Selasa (18/12/2024).

  • Buruh Sritex Tuntut Pesangon Rp53 Miliar, Kurator: Belum Ada PHK

    Buruh Sritex Tuntut Pesangon Rp53 Miliar, Kurator: Belum Ada PHK

    Bisnis.com, SEMARANG – Tim Kurator dalam kasus kepailitan PT. Sri Rejeki Isman Tbk. (SRIL) atau Sritex belum mengabulkan tagihan senilai Rp53 miliar untuk pesangon pekerja di salah satu anak usaha. 

    Nanang Setiyono, perwakilan serikat pekerja PT. Bitratex Industries, menjelaskan bahwa tagihan tersebut telah diajukan sejak 25 November 2024 silam. “Intinya, kami sudah mengajukan tagihan sejak awal dan sudah lengkap syaratnya sebagai kreditur,” jelasnya saat dihubungi pada Jumat (31/1/2025).

    Nanang berharap tagihan yang diajukan itu dapat diterima Tim Kurator sehingga memberikan jaminan bagi pekerja di PT. Bitratex Industries. Anak usaha grup Sritex yang berlokasi di Kota Semarang itu menjadi satu dari tiga anak usaha Sritex yang ikut diputus pailit oleh Pengadilan Negeri Semarang.

    “Kami akan tetap mengawal karena ada hak yang masih kami titipkan dalam kepailitan ini dan kami tidak tahu, apakah ending-nya Going Concern ataukah pemberesan,” ucap Nanang.

    Menurutnya, pengambilan suara untuk memutuskan opsi Going Concern yang semestinya dilakukan pada Kamis (30/1/2025) kemarin batal dilakukan lantaran masih banyak kreditur yang ragu akan skema dan kemampuan Sritex dalam menjalankan opsi tersebut.

    “Makanya kami, karyawan Bitratex, tetap mengawal terus,” tambahnya.

    Sebelumnya, Denny Ardiansyah anggota Tim Kurator dalam kasus kepailitan Sritex dan tiga anak usahanya, menyampaikan bahwa tagihan yang diajukan pekerja di PT. Bitratex Industries masuk ke dalam kelompok kreditur preferen.

    “Tagihan untuk saat ini belum [diterima], karena mereka belum [menerima] pemutusan hubungan kerja (PHK). Kalau kami terima kemarin, kasihan teman-teman kehilangan hak. Jadi [tagihan piutang] diterima setelah ada PHK,” jelasnya pada Kamis (30/1/2025).

    Jumlah piutang yang telah diterima Tim Kurator dan masuk dalam Daftar Piutang Tetap (DPT) berkisar di angka Rp29,8 triliun. Namun, Tim Kurator masih belum bisa memastikan jumlah aset yang dimiliki oleh Sritex.

    “Ada Laporan Keuangan Konsolidasi Tahun 2024, ya kurang lebih seperti itu. Kami belum appraisal jadi kami belum tahu nilai fix-nya,” jelas Denny.

  • Patgulipat Korupsi Timah hingga Mengalir ke Eks Bos Sriwijaya Air Hendry Lie

    Patgulipat Korupsi Timah hingga Mengalir ke Eks Bos Sriwijaya Air Hendry Lie

    Bisnis.com, JAKARTA — Skandal korupsi rata niaga timah di PT Timah Tbk. (TINS) memasuki babak baru. Setelah heboh kasus suami Sandra Dewi, Harvey Moeis, dakwaan jaksa mengungkap dugaan aliran dana senilai Rp1,05 triliun ke bekas bos Sriwijaya Air, Hendry Lie.

    Dokumen dakwaan jaksa mengungkap bahwa Hendry Lie selaku pemegang saham mayoritas PT Tinindo Inter Nusa (TIN) diduga telah bersekongkol dengan sejumlah pihak, termasuk mantan Dirut PT Timah Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dalam kasus ini.

    “Memperkaya Terdakwa Hendry Lie melalui PT Tinindo Inter Nusa setidak tidaknya Rp1,05 triliun,” ujar jaksa penuntut umum alias JPU dalam sidang dakwaan di PN Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (30/1/2025) kemarin.

    Jaksa juga menyatakan bahwa Hendry Lie telah memerintahkan Rosalina dan tersangka Fandy Lingga surat kerja sama sewa alat timah dengan PT Timah Tbk pada (3/8/2018). 

    Kemudian, Hendry Lie melalui PT TIN juga didakwa telah mengumpulkan bijih timah dari penambangan ilegal di IUP PT Timah melalui perusahaan boneka.

    Selanjutnya, Hendry Lie disebut telah menyetujui permintaan terdakwa Harvey Moeis untuk melakukan pembayaran biaya pengamanan sebesar US$500-US$750 per ton.

    Biaya pengamanan itu dicatat sebagai dana tanggung jawab sosial atau Corporate Social Responsibility (CSR) dari smelter swasta yaitu CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa dan PT Tinindo Inter Nusa.

    Adapun, Hendry Lie telah menyepakati harga sewa processing pelogaman timah sebesar US$4.000 per ton untuk PT Refined Bangka Tin dan USD3700 per ton untuk 4 smelter swasta termasuk PT TIN. 

    Selain itu, JPU menyatakan bahwa Hendry Lie telah bekerja sama dengan sejumlah pihak untuk menerbitkan SPK di IUP dengan tujuan melegalkan pembelian bijih timah dari penambangan ilegal. Serangkaian perbuatan itu, kemudian didakwa telah merugikan keuangan negara Rp300 triliun.

    “Yang merugikan Keuangan Negara sebesar Rp300.003.263.938.131,14 berdasarkan laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara perkara dugaan tindak pidana korupsi tata niaga komoditas timah di IUP PT Timah,” ucap JPU.

    Dakwaan Eks Dirjen Minerba 

    Selain eks bos Sriwijaya Air, mantan Direktur Jenderal Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono juga telah didakwa melakukan perbuatan melawan hukum lantaran menyetujui RKAB 2019 PT Timah.

    Padahal, menurut JPU, Gatot mengetahui bahwa masih ada kekurangan yang belum dilengkapi terkait dengan studi amdal dan kelayakan dalam rangka mengakomodir pembelian bijih timah ilegal.

    “Padahal mengetahui masih terdapat kekurangan yang belum dilengkapi yaitu aspek studi Amdal dan Studi Kelayakan untuk memfasilitasi PT Timah, Tbk dalam mengakomodir pembelian bijih timah ilegal,” ujar jaksa.

    Gatot juga didakwa telah menerbitkan persetujuan proyek area PT Timah meskipun kegiatan kerja sama sewa alat processing PT Timah dengan sejumlah smelter swasta sudah dilakukan terlebih dahulu.

    Bahkan, kerja sama antara PT Timah dengan kelima smelter mulai dari PT Refined Bangka Tin, CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa dan PT Tinindo Internusa tidak termuat dalam RKAB 2019.

    “Dan smelter swasta tersebut dapat dengan leluasa melakukan pengambilan dan pengolahan bijih timah hasil penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah, Tbk,” tambah jaksa.

    Selain itu, Bambang Gatot juga diduga telah menerima sejumlah uang dan fasilitas untuk menyetujui RKAB 2019 itu. Perinciannya, uang Rp60 juta, sponsorship kegiatan golf tahunan yang dilaksanakan oleh IKA Minerba Golf, Mineral Golf Club, dan Batubara Golf Club yang difasilitasi oleh PT Timah.

    Hadiah kegiatan golf itu juga difasilitasi PT Timah berupa tiga ponsel Iphone 6 Rp12 juta dan tiga jam beerek Garmen seharga Rp21 juta.

    Di sisi lain, Direktur Operasi Produksi PT Timah Tbk 2017-2020 Alwin Albar serta mantan Plt. Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bangka Belitung Supianto yang didakwa melakukan korupsi bersama-sama dengan Bambang beserta terdakwa lainnya.

    Atas perbuatannya, ketiga terdakwa ini telah mengakibatkan terjadinya kerugian pada PT Timah dan kerusakan lingkungan baik di kawasan hutan maupun di luar Kawasan hutan dalam wilayah IUP PT Timah , berupa kerugian ekologi, kerugian ekonomi lingkungan, dan pemulihan lingkungan. Totalnya, kerugian itu mencapai Rp300 triliun.

    5 Korporasi Jadi Tersangka

    Sementara itu, Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan 5 tersangka korporasi sebagai tersangka dalam kasus tata niaga timah di IUP PT Timah Tbk. (TINS) periode 2015-2022.

    Jaksa Agung (JA) Burhanuddin mengatakan lima korporasi yang dijadikan tersangka itu yakni PT Refined Bangka Tin (RBT), PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS), PT Stanindo Inti Perkasa (SIP), PT Tinindo Inter Nusa (TIN) dan CV Venus Inti Perkasa (VIP).

    “Pertama adalah PT RBT yang ke-2 adalah PT SB yang ke-3 PT SIP yang ke-4 TIN dan yang ke-5 VIP,” ujar Burhanuddin di Kejagung, Kamis (2/1/2025).

    Di lain sisi, Jampidsus Kejagung RI, Febrie Adriansyah mengatakan bahwa pihaknya telah memutuskan pembebanan uang kerugian negara kepada lima tersangka korporasi itu.

    Secara terperinci, kerugian lingkungan hidup Rp271 triliun kasus timah ditanggung PT RBT sebesar Rp38 triliun, PT SB Rp23 triliun, PT SIP Rp24 triliun, PT TIN Rp23 triliun, dan PT VIP Rp42 triliun.

    “Ini sekitar Rp152 triliun,” tutur Febrie. 

    Sementara itu, Febrie menyatakan pihak yang bertanggung jawab dari sisa kerugian lingkungan hidup sebesar Rp119 triliun masih dihitung oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

    “Sisanya dari Rp271 triliun yang telah diputuskan hakim itu jadi kerugian negara sedang dihitung BPKP siapa yang bertanggung jawab tentunya akan kita tindak lanjuti,” pungkasnya.

  • Jalan Berliku Proses Kepailitan Sritex: Going Concern atau Penyelesaian?

    Jalan Berliku Proses Kepailitan Sritex: Going Concern atau Penyelesaian?

    Bisnis.com, JAKARTA — Proses pengurusan kepailitan PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex dan tiga anak usahanya berlangsung alot. Kurator terancam menjadi ‘macan ompong’ karena tidak kunjung menguasai  sepenuhnya aset Sritex yang telah diputus pailit.

    Di sisi lain, kreditur berhadap kurator dan manajemen Sritex mengambil langkah mediasi. Mereka ingin opsi yang terbaik dalam proses kepailitan emiten tekstil tersebut, apakah opsi going concern atau berujung upaya penyelesaian.

    “Ini baru membangun komunikasi. Mungkin sekarang jauh lebih baik,” ujar salah satu kurator Sritex, Deny Ardiansyah, di Pengadilan Niaga Semarang, Kamis (31/1/2025).

    Kisruh kepailitan Sritex bermula Oktober lalu. Sritex, salah satu raksasa tekstil diputus pailit. Pemohon pailit adalah PT Indo Bharat Rayon, perusahaan milik konglomerasi bisnis asal India, Aditya Birla Group. Indo Bharat meminta majelis hakim Pengadilan Niaga Semarang, untuk membatalkan proposal perdamaian yang sebelumnya telah menjalani proses homologasi.   

    Dalam catatan Bisnis, gugatan Indo Bharat itu sejatinya diajukan pasca Pengadilan Negeri Semarang tanggapan dari gugatan Sritex sebelumnya. Sritex pernah menggugat status Indo Bharat sebagai kreditur ke PN Semarang.
    Gugatan dengan nomor 45/Pdt.Sus-Gugatan Lain-lain/2023/PN Niaga Smg telah terdaftar pada 22 Desember 2023 lalu. Ada 3 poin gugatan Sritex kepada pihak Indo Bharat. 

    Pertama, meminta supaya majelis hakim menerima dan mengabulkan gugatan para penggugat seluruhnya. Kedua, menyatakan Indo Bharat bukan kreditur dalam Perjanjian Perdamaian yang telah disahkan dalam putusan homologasi. Ketiga, menghapus kedudukan Indo Bharat Rayon sebagai kreditur dalam Perjanjian Perdamaian yang telah disahkan dalam putusan Homologasi. 

    Sritex Perbesar

    Hakim menolak permohonan Sritex. Indo Bharat kemudian menggugat balik Sritex. Mereka meminta hakim membatalkan homologasi proposal perdamaian. Gugatan Indo Barat dengan nomor 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg terregistrasi pada tanggal 22 September 2024. 

    Permohonan Indo Bharat akhirnya dikabulkan hakim. Sritex resmi pailit. Kalau mengacu kepada Undang-undang No.37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang alias PKPU, aset Sritex seharusnya telah berada di dalam pengawasan kurator. Namun hal itu tidak kunjung terlaksana.

    Proses kepailitan Sritex menjadi kian menjadi polemik, setelah muncul pernyataan-pernyataan dari pemerintah salah satunya dari Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer alias Noel. Noel pernah menjanjikan tidak akan ada PHK dan aktivitas Sritex tetap akan berjalan normal.

    “Fokus kita tetap memastikan tidak adanya PHK di Sritex, dan kami meminta manajemen untuk menjamin hal tersebut,” ujar Noel dalam pemberitaan Bisnis,  (8/1/2025) lalu.

    Rupanya pernyataan inilah yang menjadi pegangan manajemen Sritex untuk tetap beroperasi kendati telah diputus pailit. Aktivitas itu termasuk keluar masuk barang yang seharusnya kalau mengacu mekanisme kepailitan, semua aktivitas seharusnya di bawah pengawasan kurator.

    Direktur Utama PT. Sri Rejeki Isman Tbk. (SRIL) atau Sritex Iwan Kurniawan Lukminto tidak menampik hal tersebut. Dia bahkan memastikan bahwa Sritex masih beroperasi secara normal pasca putusan pailit.

     “Kami selama ini menjalankan amanah pemerintah dimana pemerintah meminta kami bisa operasional normal, tidak ada pemutusan hubungan kerja (PHK), ini menjadi pegangan kami untuk bisa terus menjalankan operasional [perusahaan] ini senormal-normalnya,” jelasnya, Selasa (21/1/2025).

    Voting Batal

    Di sisi lain, voting untuk opsi Going Concern atau keberlangsungan usaha Sritex dan tiga anak usahanya batal digelar pada, Kamis (30/1/2025) kemarin. Rapat tersebut dihadiri oleh perwakilan debitur, kreditur, serta tim kurator dengan agenda verifikasi lanjutan dan usulan dari pihak kreditur.

    Sebagai informasi, dalam UU No.37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dijelaskan bahwa usulan Going Concern dapat diterima apabila telah disetujui oleh kreditur yang mewakili 1/2 atau setengah dari jumlah piutang perusahaan yang telah diputus pailit.

    Sebelum proses verifikasi kreditur, tercatat ada Rp32,6 triliun piutang yang ditagihkan kepada Sritex Group. Namun jumlah tersebut kemungkinan bakal mengalami penyusutan usai melewati proses verifikasi dari Tim Kurator.

    “Hasil dari hari ini [kemarin], yaitu kami harus berkoodinasi dengan kurator untuk menyediakan satu skema untuk opsi apabila Going Concern seperti apa, kalau penyelesaian atau insolvent seperti apa. Supaya nanti menjadi pertimbangan seluruh kreditur,” jelas Iwan Kurniawan Lukminto, Direktur Utama Sritex saat ditemui wartawan usai rapat.

    Direktur Utama PT Sri Rejeki Isman Tbk. Iwan Kurniawan Lukminto/M Faisal Nur IkhsanPerbesar

    Iwan menjelaskan bahwa pihaknya siap untuk berdiskusi dengan Tim Kurator. Sesuai dengan arahan dari Hakim Pengawas kasus kepailitan Sritex, pihak manajemen juga bakal menyiapkan data yang diperlukan sebagai bekal analisis kelayakan atau feasibility studies perusahaan tersebut.

    “Agenda berikutnya kami berdiskusi dengan kurator. Skemanya seperti apa, penjualannya berapa, lalu profitnya seperti apa. Ini kan harus dikomparasi. Kalau insolvent, pemberesan dari sisi kreditur ini seperti apa. Jadi ini tim kurator mempunyai satu kewajiban untuk pertanggung jawaban kepada kreditur juga,” jelas Iwan.

    Sementara itu, Denny Ardiansyah, anggota Tim Kurator dalam kasus kepailitan Sritex, menjelaskan bahwa pihaknya dan debitur bakal bertemu dalam jangka waktu 21 hari ke depan.

    “Setelah 21 hari, kami akan mengundang kreditur untuk hadir lagi rapat di Pengadilan Negeri Semarang untuk membahas hasil pertemuan kami dengan debitur,” jelasnya.

    Denny menjelaskan bahwa dalam persidangan tersebut, Tim Kurator sempat mengusulkan untuk menghadirkan ahli independen untuk melakukan audit secara luas.

    Namun demikian, kreditur mengusulkan agar Tim Kurator bersama debitur melakukan diskusi bersama bagaimana skema terbaik untuk penyelesaian kasus kepailitan tersebut.

    “Nanti kurator akan meneliti itu, dan secara berimbang akan disampaikan ke kreditur. Kembali lagi, yang menentukan adalah kreditur,” jelas Denny.

  • Kejagung Mulai Selidiki Dugaan Korupsi di Pagar Laut Tangerang

    Kejagung Mulai Selidiki Dugaan Korupsi di Pagar Laut Tangerang

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) membenarkan soal penyelidikan kasus dugaan korupsi terkait dugaan korupsi penerbitan SHM dan SHGB di perairan Tangerang.

    Sebelumnya, beredar soal surat permintaan data dari Kejagung ke Kepala Desa Kohod terkait kasus tersebut. Dalam surat itu, memuat Kejagung tengah melakukan penyelidikan dengan Nomor: PRIN- 01/F.2/Fd. 1/01/2025 tertanggal 21 Januari 2025.

    “Ya, surat yang beredar itu surat dari kita. Saya sudah konfirmasi ke teman-teman di Pidsus,” ujar Kapuspenkum Kejagung RI, Harli Siregar di kantornya, Kamis (30/1/2025).

    Dia menekankan bahwa saat ini pihaknya masih dalam proses penyelidikan berupa pengumpulan bahan, data dan keterangan dari pihak-pihak yang berkaitan atau Pulbaket.

    Pengumpulan bahan itu, kata Harli, dilakukan agar korps Adhyaksa tidak tertinggal dalam mendapatkan informasi terkait persoalan hukum yang ada.

    “Ini sifatnya penyelidikan, pulbaket. Jadi tidak mendalam seperti katakanlah proses penyelidikan dan seterusnya. Kami hanya mengumpulkan bahan data keterangan,” tambahnya.

    Adapun, Harli menegaskan, saat ini pihaknya masih belum mendalami secara intensif terkait dengan polemik pemagaran laut di Tangerang itu.

    Sebab, saat ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) masih melakukan pengusutan temuan pagar laut tersebut.

    “Kami kejaksaan tentu akan mendahulukan instansi atau lembaga atau kementerian yang menjadi leading sektor dalam hal ini. Katakan misalnya KKP atau dan lain sebagainya,” pungkasnya.

  • Kurator Tolak 83 Kreditur Sritex, Ada Perusahaan Terafiliasi Keluarga Lukminto

    Kurator Tolak 83 Kreditur Sritex, Ada Perusahaan Terafiliasi Keluarga Lukminto

    Bisnis.com, JAKARTA — Tim Kurator menolak total 83 piutang kreditur kepada PT Sri Rejeki Isman Tbk. atau Sritex dan tiga anak usahanya dengan nilai keseluruhan hampir mendekati Rp200 miliar.

    Hal itu terungkap dalam rapat antara Kurator, kreditur, dan debitur terkait pengurusan kepailitan Sritex di Pengadilan Niaga Semarang, Kamis (30/1/2025).

    Berdasarkan dokumen yang dilihat Bisnis, dari total 83 daftar kreditur yang memiliki piutang terhadap Sritex berasal dari perusahaan yang sama. Adapun keseluruhan nilai piutang emiten berkode SRIL yang ditolak itu yakni Rp199.988.112.356,95. 

    Tim Kurator mencatat adanya sederet alasan mengapa tagihan-tagihan tersebut ditolak. Misalnya, ada piutang yang ditolak karena terafiliasi dengan debitur pailit sendiri yakni Iwan Setiawan Lukminto. Perusahaan dimaksud adalah PT Golden Nusajaya yang memiliki tiga daftar nilai piutang, dengan nilai terbesarnya Rp631 juta. 

    Tim Kurator mencatat bahwa tagihan piutang ditolak karena Wawan Lukminto diketahui merupakan pemegang saham terbesar, serta menjabat komisaris maupun direktur utama. 

    “Dasar tagihan yaitu invoice tiket kepada orang-orang yang statusnya tidak diketahui apakah merupakan karyawan dari Para Debitur Pailit,” demikian bunyi temuan Tim Kurator. 

    Kemudian, ada tagihan yang ditolak dari PT Jaya Kencana senilai Rp36,4 juta karena berkaitan dengan keperluan pribadi yaitu pemasangan unit AC di rumah dinas yang terletak di Banjarsari. 

    Tagihan piutang Sritex terbesar yang ditolak oleh Tim Kurator adalah senilai Rp61 miliar dari PT Multi International Logistic. Nilai piutang itu meliputi empat pokok piutang masing-masing terdiri dari Rp13,6 miliar, Rp170,6 juta, Rp705,5 juta serta Rp40 miliar (ditambah bunga Rp6,49 miliar). 

    Tim Kurator mencatat bahwa tagihan piutang tersebut ditolak karena underlying dari debitur kepada kreditur adalah perbuatan ilegal. 

    Hal itu berdasarkan Surat Persetujuan Perpanjangan Kredit dari Bank INA kepada Kreditur pada poin persyaratan Umum Lainnya angka 1 yang menyebutkan, debitur menggunakan fasilitas kredit dari bank hanya untuk kepentingan sebagaimana dimaksud dalam tujuan penggunaan kredit, bukan untuk kepentingan lainnya. 

    “Tagihan kepada PT Sri Rejeki Isman Tbk., PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries dan PT Primayudha Mandirijaya tidak dapat menunjukkan bukti tagihan yang jelas berupa PO, invoice dan/atau Perjanjian Kerja Pengiriman Barang,” ungkap Tim Kurator. 

    Selain itu, sebagian besar alasan penolakan tagihan piutang SRIL lainnya yaitu ketidaklengkapan dokumen tagihan yang diminta oleh Tim Kurator. 

    Voting Going Concern Batal

    Adapun pada perkembangan lain, proses pengambilan suara untuk opsi Going Concern atau keberlangsungan usaha Sritex dan tiga anak usahanya batal digelar pada hari ini, Kamis (30/1/2025) di Pengadilan Negeri Semarang.

    Rapat tersebut dihadiri oleh perwakilan debitur, kreditur, serta tim kurator dengan agenda verifikasi lanjutan dan usulan dari pihak kreditur.

    “Hasil dari hari ini, yaitu kami harus berkoodinasi dengan kurator untuk menyediakan satu skema untuk opsi apabila Going Concern seperti apa, kalau penyelesaian atau insolvent seperti apa. Supaya nanti menjadi pertimbangan seluruh kreditur,” jelas Iwan Kurniawan Lukminto, Direktur Utama Sritex saat ditemui wartawan usai rapat.

    Iwan menjelaskan bahwa pihaknya siap untuk berdikusi dengan Tim Kurator. Sesuai dengan arahan dari Hakim Pengawas kasus kepailitan Sritex, pihak manajemen juga bakal menyiapkan data yang diperlukan sebagai bekal analisis kelayakan atau feasibility studies perusahaan tersebut.

    “Agenda berikutnya kami berdiskusi dengan kurator. Skemanya seperti apa, penjualannya berapa, lalu profitnya seperti apa. Ini kan harus dikomparasi. Kalau insolvent, pemberesan dari sisi kreditur ini seperti apa. Jadi ini tim kurator mempunyai satu kewajiban untuk pertanggung jawaban kepada kreditur juga,” jelas Iwan.

  • Voting Going Concern Batal, Kreditur Minta Kurator & Sritex Berembuk

    Voting Going Concern Batal, Kreditur Minta Kurator & Sritex Berembuk

    Bisnis.com, SEMARANG – Pengambilan suara untuk opsi Going Concern atau keberlangsungan usaha PT Sri Rejeki Isman Tbk. (SRIL) alias Sritex dan tiga anak usahanya batal digelar pada hari ini, Kamis (30/1/2025) di Pengadilan Negeri Semarang.

    Rapat tersebut dihadiri oleh perwakilan debitur, kreditur, serta tim kurator dengan agenda verifikasi lanjutan dan usulan dari pihak kreditur.

    “Hasil dari hari ini, yaitu kami harus berkoodinasi dengan kurator untuk menyediakan satu skema untuk opsi apabila Going Concern seperti apa, kalau penyelesaian atau insolvent seperti apa. Supaya nanti menjadi pertimbangan seluruh kreditur,” jelas Iwan Kurniawan Lukminto, Direktur Utama Sritex saat ditemui wartawan usai rapat.

    Iwan menjelaskan bahwa pihaknya siap untuk berdikusi dengan Tim Kurator. Sesuai dengan arahan dari Hakim Pengawas kasus kepailitan Sritex, pihak manajemen juga bakal menyiapkan data yang diperlukan sebagai bekal analisis kelayakan atau feasibility studies perusahaan tersebut.

    “Agenda berikutnya kami berdiskusi dengan kurator. Skemanya seperti apa, penjualannya berapa, lalu profitnya seperti apa. Ini kan harus dikomparasi. Kalau insolvent, pemberesan dari sisi kreditur ini seperti apa. Jadi ini tim kurator mempunyai satu kewajiban untuk pertanggung jawaban kepada kreditur juga,” jelas Iwan.

    Sementara itu, Denny Ardiansyah, anggota Tim Kurator dalam kasus kepailitan Sritex, menjelaskan bahwa pihaknya dan debitur bakal bertemu dalam jangka waktu 21 hari ke depan.

    “Setelah 21 hari, kami akan mengundang kreditur untuk hadir lagi rapat di Pengadilan Negeri Semarang untuk membahas hasil pertemuan kami dengan debitur,” jelasnya.

    Denny menjelaskan bahwa dalam persidangan tersebut, Tim Kurator sempat mengusulkan untuk menghadirkan ahli independen untuk melakukan audit secara luas.

    Namun demikian, kreditur mengusulkan agar Tim Kurator bersama debitur melakukan diskusi bersama bagaimana skema terbaik untuk penyelesaian kasus kepailitan tersebut.

    “Nanti kurator akan meneliti itu, dan secara berimbang akan disampaikan ke kreditur. Kembali lagi, yang menentukan adalah kreditur,” jelas Denny.

    Sebagai informasi, dalam UU No.37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dijelaskan bahwa usulan Going Concern dapat diterima apabila telah disetujui oleh kreditur yang mewakili 1/2 atau setengah dari jumlah piutang perusahaan yang telah diputus pailit.

    Tercatat ada Rp32,6 triliun piutang yang ditagihkan kreditur Sritex grup. Jumlah tersebut kemungkinan bakal mengalami penyusutan usai melewati proses verifikasi dari Tim Kurator.

    Dalam rapat kreditur terakhir pada 21 Januari 2025 silam, Tim Kurator telah menolak 115 tagihan dari kreditur konkuren. Adapun jumlah kreditur konkuren yang diterima dan terverifikasi dalam kasus kepailitan Sritex grup itu mencapai 80-an.

    “Belum [termasuk kreditur] separatis dan preferen, itu sudah diverifikasi sebelumnya,” jelas Nurma C.Y. Sadikin, anggota Tim Kurator kepailitan Sritex saat ditemui wartawan pada 21 Januari 2025.