Category: Bisnis.com Metropolitan

  • Menteri Hukum Tegaskan RUU Perampasan Aset Masih jadi Inisiatif Pemerintah

    Menteri Hukum Tegaskan RUU Perampasan Aset Masih jadi Inisiatif Pemerintah

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas menegaskan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset (RUU PA) masih merupakan inisiasi dari pemerintah. 

    Namun yang jelas, dia menegaskan hingga sejauh ini RUU Perampasan Aset masih menjadi inisiatif pemerintah. Namun, nanti akan ada evaluasi Program Legislasi Nasional (Prolegnas) setelah masa reses DPR usai.

    “Apakah DPR ingin menginisiasi atau tetep pemerintah, bagi saya dan bagi presiden terutama yang penting RUU itu siapapun yang inisiasi tapi hasilnya selesai,” ungkapnya di Masjid Istiqlal, Jakarta, Jumat (6/6/2025).

    Dengan ini, menurutnya hingga kini belum ada pembicaraan lebih lanjut soal RUU PA karena masih menunggu evaluasi Prolegnas, meskipun draf priode lalu dari pemerintah sudah ada.

    “Kan drafnya yang lalu udah ada, sekarang ada keinginan DPR untuk meminta mengambil alih. Ya bagi kami sekali lagi, kementerian hukum dan pemerintah, dalam hal ini presiden, siapapun yang menjadi penginisiasi itu tidak penting. Entah pemerintah atau DPR, yang penting bagi pemerintah dan presiden itu RUU itu selesai dibahas,” beber Supratman.

    Supratman turut mengklaim bahwa pihak pemerintah sudah mendorong agar pembahasan RUU Perampasan Aset ini dilakukan, seperti saat Presiden Prabowo Subianto pidato di Hari Buruh beberapa waktu lalu.

    Dia juga berujar Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi sudah menyatakan bahwa tidak hanya ke Parlemen, Prabowo juga sudah mengkomunikasikan soal ini dengan ketum-ketum partai politik (parpol).

    “Apa gunanya masuk Prolegnas kalo kemudian nanti pemerintah serahkan kemudian itu tidak selesai juga. Nah sekarang presiden sudah melakukan komunikasi dengan ketum-ketum parpol, saya yakin itu pasti akan lebih baik,” ungkapnya.

    Eks Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI ini kembali menegaskan untuk soal draf memakai yang periode lalu atau tidak, itu tergantung dari Prolegnasnya terlebih dahulu.

    “Begitu Prolegnasnya DPR mau minta, ya drafnya kita kasih. Apakah ini digunakan ya tergantung DPR. Tapi kalo DPR menyatakan lebih bagus pemerintah, ya draf yang yg akan kita masukan,” pungkasnya.

  • Polisi Bongkar Kasus Penipuan Catut Nama Taspen, Begini Modusnya

    Polisi Bongkar Kasus Penipuan Catut Nama Taspen, Begini Modusnya

    Bisnis.com, JAKARTA — Polda Metro Jaya telah membongkar kasus penipuan yang mencatut nama PT Taspen (Persero) melalui modus file aplikasi pdf jaringan internasional.

    Kasubbid Penmas Polda Metro Jaya AKBP Reonald Simanjuntak mengatakan dalam perkara ini pihaknya telah menangkap dua tersangka yakni EC (28) dan IP (35).  Selain itu, terdapat DPO sekaligus tersangka berinisial AN (29). Dia merupakan pelajar yang saat ini berada di Kamboja. Korban dalam perkara ini mencapai 100 orang.

    “Untuk pelaku tiga orang [EC, IP, dan AN],” ujarnya di Polda Metro Jaya, Kamis (5/6/2025).

    Di lain sisi, Kasubdit Siber IV, Kompol Herman Eco Tampubolon menjelaskan modus para tersangka dalam menipu korbannya. Dia menuturkan mayoritas korbannya adalah pensiun PNS dengan umur di atas 60 tahun. Tiga pelaku mengincar pensiunan PNS ini lantaran diduga mudah dimanipulasi.

    Mulanya, pelaku mencari data korban. Setelah memperoleh data, pelaku menghubungi korban dengan mengonfirmasi data diri korban. Selanjutnya, pelaku kemudian mengaku sebagai petugas PT Taspen untuk melancarkan aksinya itu.

    Modusnya, pelaku selalu melakukan konfirmasi kepada korban apabila ingin mencairkan tunjangan pensiunan PNS. Setelah mengiyakan ajakan pelaku, korban kemudian bakal diminta kontak WhatsApp dan mengirimkan file aplikasi Taspen palsu.

    “Kemudian pelaku akan mengirimkan file PDF dan mengarahkan korban untuk mendownload dan mengisi dari dokumen PDF tersebut,” katanya.

    Setelah diterapkan, korban kemudian diminta untuk melakukan video call dengan tujuan melakukan verifikasi wajah dan tidak bisa diwakilkan orang lain. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan izin akses dari ponsel korban. Selanjutnya, pelaku mengarahkan korban untuk memasukkan username dan password yang biasa digunakan pada aplikasi Taspen.

    “Nah disitulah biasanya korban dengan spontan akan membuat username dan password yang biasa digunakan mereka, karena korban mayoritas adalah pensiunan yang umurnya sudah tua,” ucapnya. 

    Singkatnya, setelah akses ponsel korban diperoleh, pelaku kemudian menggasak uang pada aplikasi m-banking korban yang telah berhasil diambil alih pelaku. Dalam hal ini, EC berperan sebagai admin yang menghubungi korban dengan tugas memperoleh kode otp milik korban. IP merupakan bendahara penipuan Taspen palsu. Sementara itu, AN merupakan tim perekrut WNI yang ingin bekerja di Kamboja untuk melakukan scam tersebut.

    “Terhadap tersangka-tersangka lainnya, kami subdit siber, direktorat siber polda metro jaya akan terus melakukan penyelidikan dan pendalaman dan akan terus mendalami dengan bekerjasama dengan instansi terkait, guna mengungkap sampai kepada pelaku utama yang ada di luar negeri,” tutur Herman. 

  • Kasus APD Covid-19: Eks Pejabat Kemenkes Divonis 3 Tahun Bui dan Pengusaha 11 Tahun

    Kasus APD Covid-19: Eks Pejabat Kemenkes Divonis 3 Tahun Bui dan Pengusaha 11 Tahun

    Bisnis.com, JAKARTA — Tiga orang terdakwa kasus korupsi pengadaan alat pelindung diri (APD) Covid-19 di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dinyatakan bersalah dan divonis hukuman pidana penjara. 

    Ketua Majelis Hakim Syofia Marlianti mengatakan salah satu dari tiga orang terdakwa itu yakni mantan Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes, sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek APD, Budi Sylvana. Dua terdakwa lainnya adalah pengusaha yang menggarap proyek pengadaan APD sebanyak 5 juta set yakni Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (EKI) Satrio Wibowo, serta Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PPM), Ahmad Taufik. 

    Terdakwa Budi mendapatkan hukuman yang jauh lebih ringan dari dua orang pengusaha itu yakni pidana penjara selama tiga tahun dan denda sebesar Rp100 juta subsidair kurungan 2 bulan.

    “Menyatakan Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sehingga melanggar Pasal 3 juncto Pasal 16 Undang-Undang (UU) No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No.20/2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sebagaimana dakwaan alternatif kedua,” ujarnya di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Kamis (5/6/2025). 

    Sementara itu, kedua pengusaha yang menggarap proyek APD selama pandemi Covid-19 dengan total 5 juta set itu mendapatkan masing-masing sekitar 11 tahun. 

    Bagi terdakwa Satrio, pengusaha itu dijatuhi vonis 11 tahun penjara dan 6 bulan, serta denda Rp1 miliar subsidair 4 bulan kurungan. Dia juga diminta untuk membayar uang pengganti Rp59,98 miliar subsidair 3 tahun penjara. 

    Sementara itu, terdakwa Taufik dijatuhi vonis 11 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsidair 4 bulan kurungan. Uang pengganti yang diminta oleh Pengadilan untuk dibayar Taufik jauh lebih tinggi yakni Rp224,18 miliar subsidair 4 tahun penjara. 

    Keduanya terbukti menyebabkan kerugian keuangan negara sekitar Rp319 miliar sebagaimana audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). 

    “Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sebagaimana dakwaan alternatif pertama,” terang Hakim Ketua. 

    Apabila dibandingkan dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), maka vonis kepada ketiga terdakwa lebih ringan dari tuntutan. Budi awalnya dituntut 4 tahun penjara, sedangkan Satrio 14 tahun dan 10 bulan penjara serta Taufik 14 tahun dan 4 bulan penjara. 

    Adapun pidana uang pengganti yang dijatuhkan kepada Satrio dan Taufik sama besarannya sebagaimana yang dituntut oleh JPU KPK. 

    Berdasarkan catatan Bisnis, anggaran yang digunakan untuk pengadaan APD itu berasal dari Dana Siap Pakai (DSP) milik Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Penyidik KPK pun mengendus dugaan penggelembungan harga pengadaan APD atau mark-up.

    Kasus dugaan korupsi itu bermula ketika pemerintah berupaya untuk memenuhi kebutuhan APD saat awal pandemi Covid-19 sekitar empat tahun lalu. Pengadaan dilakukan dengan turut melibatkan aparat seperti TNI dan Polri.  

    Bahkan, APD itu langsung diambil oleh TNI dari Kawasan Berikat berdasarkan instruksi Kepala BNBP yang saat itu memimpin Gugus Tugas Covid-19. Dia tidak lain dari Letjen TNI Doni Monardo, yang kini sudah meninggal dunia.  

    APD lalu diambil aparat pada 21 Maret 2020 untuk disebar ke 10 provinsi. Namun, pengambilan dilakukan tanpa kelengkapan dokumentasi, bukti pendukung, serta surat pemesananan.

  • Uang Pemerasan TKA di Kemnaker Rp53 Miliar, 85 Pegawai Termasuk OB Ikut Dapat

    Uang Pemerasan TKA di Kemnaker Rp53 Miliar, 85 Pegawai Termasuk OB Ikut Dapat

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga aliran uang hasil pemerasan terkait dengan Rencana Pengurusan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) turut sampai ke pegawai, termasuk office boy (OB).

    Untuk diketahui, lembaga antirasuah menduga uang hasil pemerasan terhadap agen TKA oleh delapan tersangka dari kasus tersebut mencapai sekitar Rp53,7 miliar pada periode 2019-2024. 

    Pelaksana Harian (Plh) Direktur Penyidikan KPK Budi Sokmo mengatakan dari total Rp53,7 miliar itu, beberapa di antaranya turut dibagikan oleh para tersangka setiap dua minggu untuk makan malam pegawai di Direktorat Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing (PPTKA). Uang tersebut juga diberikan kepada hampir seluruh pegawai Direktorat PPTKA Kemnaker sekurang-kurangnya sebesar Rp8,94 miliar. 

    “Selain delapan orang tersebut ternyata, sejumlah Rp53 miliar tadi ada juga digunakan sebagai uang makan dari para staf di Kemnaker, terutama di Ditjen Binapenta. Kurang lebih Rp8 miliar yang dinikmati bersama baik untuk keperluan makan siang, maupun kegiatan-kegiatan yang istilahnya di luar non-budgeter,” ujarnya dalam konferensi pers, Kamis (5/6/2025).

    Beberapa dari pegawai yang diduga ikut menerima aliran uang hasil pemerasan itu telah diperiksa oleh KPK sebagai saksi. Mereka pun disebut telah mengembalikan sebagian dari Rp8,94 miliar yang diterima, sekitar Rp5 miliar.  Uang yang telah dikembalikan itu langsung disita oleh penyidik KPK untuk menjadi bukti perkara tersebut.

    “Inilah yang tadi saya sampaikan kurang lebih Rp5 miliar yang telah diterima baik OB serta staf-staf lainnya yang mengurus terkait dengan pekerjaan sehari-hari di Binapenta, juga menerima semua. Mereka telah mengembalikan kurang lebih Rp5 miliar,” terang Budi.

    Adapun sejalan dengan proses penyidikan, penyidik KPK telah menggeledah sebanyak 15 lokasi termasuk kantor Kemnaker, Jakarta. Dari penggeledahan itu, beberapa barang yang telah disita meliputi delapan mobil serta uang dalam bentuk dolar Amerika Serikat (AS), dolar Singapura, euro dan rupiah. 

    Hingga tanggal 19 Mei 2025, KPK telah menetapkan delapan orang sebagai tersangka. Dua di antaranya mantan Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Binapenta dan PKK) Kemnaker, yakni Suhartono (2020-2023) dan Haryanto (2024-2025).

    Lembaga antirasuah menduga kedelapan tersangka itu melakukan pemerasan terhadap calon tenaga kerja asing (TKA) yang ingin melakukan pekerjaan di Indonesia. 

    Untuk diketahui, agar bisa bekerja di Indonesia, calon pekerja migran dari luar negeri itu harus mendapatkan RPTKA. Sementara itu, RPTKA dikeluarkan oleh Ditjen Binapenta dan PKK. 

  • Kejagung: Ada 5 Vendor di Pusaran Kasus Pengadaan Laptop Kemendikbudristek

    Kejagung: Ada 5 Vendor di Pusaran Kasus Pengadaan Laptop Kemendikbudristek

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap ada sekitar lima vendor dalam pengadaan program digitalisasi pendidikan di Kemendikbudristek periode 2019-2022.

    Kapuspenkum Kejagung RI, Harli Siregar mengatakan hingga saat ini pihaknya masih belum bisa menjelaskan terkait dengan identitas dari kelima vendor tersebut.

    “Daftarnya ada lima [vendor]. Nanti kita pastikan,” ujarnya di Kejagung, Kamis (5/6/2025).

    Dia menekankan bahwa pihaknya masih belum mengetahui apakah kelima vendor itu berkaitan dengan penyelenggara atau tidak.

    Namun demikian, hal-hal yang berkaitan dengan kelima vendor ini baru akan didalami dalam proses penyidikan khusus atau lanjutan.

    “Vendor itu ada, tapi itu yang saya jadikan biarkan dulu itu menjadi bagian dari penyidikan. Kenapa? Supaya penyidik ini fokus. Karena ini kan masih penyidikan umum,” pungkasnya.

    Sekadar informasi, kasus ini bermula saat Kemendikbud Ristek menyusun pengadaan peralatan TIK bagi SD, SMP dan SMA. Peralatan TIK yang dimaksud adalah laptop Chromebook.

    Singkatnya, perangkat TIK itu dinilai tidak efektif. Oleh sebab itu, Kejagung menilai ada dugaan pemufakatan jahat dalam pengadaan alat TIK senilai Rp9,9 triliun.

  • Kasus Pemerasan TKA, KPK Bakal Periksa Eks Menaker Hanif Dhakiri dan Ida Fauziyah

    Kasus Pemerasan TKA, KPK Bakal Periksa Eks Menaker Hanif Dhakiri dan Ida Fauziyah

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan memeriksa dua mantan Menteri Ketanagakerjaan (Menaker) sebagai saksi terkait dengan kasus dugaan pemerasan Rencana Pengurusan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). 

    Dua orang mantan menteri itu yakni Hanif Dhakiri, yang menjabat Menaker 2014-2019, serta Ida Fauziyah, yang menjabat selama 2019-2024. Keduanya kini merupakan anggota DPR periode 2024-2029 dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

    Pelaksana Harian (Plh) Direktur Penyidikan KPK Budi Sokmo mengakui, kedua mantan menteri itu bakal dimintai klarifikasi lantaran adanya dugaan penerimaan gratifikasi secara berjenjang dari staf hingga pimpinan tertinggi kementerian. Para tersangka yang ditetapkan mulai dari staf hingga selevel direktur jenderal (dirjen).

    Untuk diketahui, KPK menjerat sebanyak delapan orang tersangka dari internal Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Ditjen Binapenta dan PKK) Kemnaker, dengan pasal pemerasan dan gratifikasi.

    “Tadi sudah saya sampaikan juga ya berjenjang dari Menteri HD sampai IF pasti akan kita klarifikasi terhadap beliau-beliau terhadap praktik yang ada di bawahnya, karena secara manajerial, beliau-beliau adalah pengawasnya,” terang Budi pada konferensi pers, Kamis (5/6/2025).

    Budi memastikan penyidik akan meminta klarifikasi apabila aliran uang hasil korupsi itu mencapai level paling atas Kemnaker. Penegak hukum juga akan mengklarifikasi semua bukti temuan saat penggeledahan.

    Dia mengatakan pimpinan tertinggi kementerian bakal diklarifikasi guna mengusut apabila praktik pemerasan maupun penerimaan gratifikasi itu berdasarkan sepengetahuan mereka atau tidak.

    “Apakah praktik ini sepengetahuan atau seijin atau apa, perlu kami klarifikasi. Hal tersebut sangat penting untuk dilaksanakan sehingga nanti apa yang kita lakukan ke depan upaya pencegahan juga in line dari atasnya sampai bawah satu perintah bahwa itu menteri bersih, Insyallah bawahnya bersih,” ujarnya. 

    Menurut Budi, penegak hukum turut menjerat para tersangka dengan pasal gratifikasi guna menjaga-jaga apabila bukti yang diperoleh tidak cukup untuk dugaan pemerasan. Pengenaan pasal gratifikasi juga diharapkan bisa menyasar ke pimpinan tertinggi kementerian apabila bukti terkait berhasil ditemukan. 

    “Sehingga nanti kalau bisa sampai ke level paling tinggi di kementerian tersebut bisa mencakup unsur-unsur pasal yang dikenakan,” papar Budi.

    Adapun 8 orang tersangka yang dimaksud adalah:

    1. SH (Suhartono), Dirjen Binapenta dan PKK 2020-2023;

    2. HY (Haryanto), selaku Direktur Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing (PPTKA) 2019-2024 kemudian diangkat menjadi Dirjen Binapenta dan PKK 2024-2025;

    3. WP (Wisnu Pramono), selaku Direktur PPTKA 2017-2019;

    4. DA (Devi Angraeni), selaku Koordinator Uji Kelayakan Pengesahan PPTKA 2020-Juli 2024 kemudian diangkat menjadi Direktur PPTKA 2024-2025;

    5. GTW (Gatot Widiartono), selaku Kepala Subdirektorat Maritim dan Pertanian Ditjen Binapenta dan PKK 2019-2021, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) PPTKA 2019-2024, serta Koordinator Bidang Analisis dan Pengendalian Tenaga Kerja Asing Direktorat PPTKA 2021-2025; 

    6. PCW (Putri Citra Wahyoe), selaku Staf pada Direktorat PPTKA 2019-2024;

    7. JMS (Jamal Shodiqin), selaku Staf pada Direktorat PPTKA 2019-2024; serta 

    8. ALF (Alfa Eshad), selaku Staf pada Direktorat PPTKA 2019-2024.

    Lembaga antirasuah menduga kedelapan tersangka itu melakukan pemerasan terhadap calon tenaga kerja asing (TKA) yang ingin melakukan pekerjaan di Indonesia. 

    Untuk diketahui, agar bisa bekerja di Indonesia, calon pekerja migran dari luar negeri itu harus mendapatkan RPTKA. Sementara itu, RPTKA dikeluarkan oleh Ditjen Binapenta dan PKK. 

    Sampai dengan saat ini, terang Budi, KPK menduga jumlah uang yang diterima para tersangka dan pegawai dalam Direktorat PPTKA Ditjen Binapenta dan PKK dari pemohonan RPTKA mencapai Rp53,7 miliar.

    “Bahwa penelusuran aliran uang dan keterlibatan pihak lain dalam perkara ini masih terus dilakukan penyidikan,” terang Budi.

  • Mengapa Kejagung Tak Kunjung Periksa Riza Chalid di Kasus Pertamina?

    Mengapa Kejagung Tak Kunjung Periksa Riza Chalid di Kasus Pertamina?

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan masih melakukan monitoring terhadap keberadaan pengusaha minyak pengusaha, Mohammad Riza Chalid atau Riza Chalid.

    Kapuspenkum Kejagung RI Harli Siregar mengatakan giat pemantauan tersebut berkaitan dengan kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina-KKKS periode 2018-2023.

    “Karena keberadaannya [Riza Chalid[ masih sedang terus dimonitor,” ujarnya di Kejagung, Jakarta, Kamis (5/6/2025).

    Harli menambahka, tidak diketahuinya posisi dari ayah salah satu tersangka kasus Pertamina, Kerry Andrianto Riza, itu membuatnya belum dilakukan pemeriksaan hingga saat ini.

    “Belum [Riza Chalid belum diperiksa],” pungkasnya.

    Dalam catatan Bisnis, nama Riza Chalid sempat menjadi sorotan publik usai kantor maupun kediamannya itu telah dilakukan penggeledahan.

    Perinciannya, penyidik korps Adhyaksa telah menggeledah dua rumah milik Riza Chalid di Jakarta Selatan dan kantornya di lantai 20 Plaza Asia.

    Dalam penggeledah itu, penyidik telah menyita uang tunai, dokumen hingga barang bukti elektronik (BBE).

    Sekadar informasi, Kejagung telah menetapkan sembilan tersangka dalam kasus ini. Sembilan tersangka itu mulai dari Riva Siahaan (RS) selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga; Yoki Firnandi (YF) selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping; hingga Kerry Andrianto Riza selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa.

    Pada intinya, kasus ini melibatkan penyelenggara negara dengan broker. Kedua belah pihak diduga bekerja sama dalam pengaturan proses pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang periode 2018-2023.

    Akibat adanya beberapa perbuatan melawan hukum tersebut, Kejagung mengungkap bahwa negara dirugikan sekitar Rp193,7 triliun.

  • Modus Pemerasan TKA di Kemnaker: Staf hingga Dirjen Diduga Terlibat

    Modus Pemerasan TKA di Kemnaker: Staf hingga Dirjen Diduga Terlibat

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga staf hingga pejabat setingkat direktur jenderal (dirjen) terlibat dalam kasus pemerasan terkait dengan pengurusan Rencana Pengurusan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker).

    Untuk diketahui, KPK telah menetapkan total delapan orang tersangka pada kasus tersebut. Keseluruhannya merupakan staf pegawai hingga dirjen di lingkungan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Binapenta dan PKK) Kemnaker.

    Pelaksana Harian (Plh) Direktur Penyidikan Budi Sokmo menjelaskan, para tersangka diduga melakukan pemerasan terhadap TKA yang melakukan pekerjaan di Indonesia. 

    “Dengan cara yaitu, para tenaga kerja asing ini apabila akan masuk ke Indonesia atau melakukan kerja, akan meminta izin berupa RPTKA. Nah, kewenangan pengeluaran RPTKA ini ada Ditjen Binapenta. Dari sini ternyata ada celah-celah,” ujar Budi pada konferensi pers, Kamis (5/6/2025). 

    Menurut Budi, para tersangka diduga menemukan sejumlah celah korupsi pada pengurusan RPTKA yang dilakukan para agen penyalur pekerja migran di Indonesia. 

    Salah satu celah, yakni pada wawancara setelah pengajuan data calon TKA secara online. Hasil verifikasi syarat administrasi pengajuan RPTKA itu akan diberitahukan kepada para agen dalam waktu lima hari, baik apabila dinyatakan lengkap atau masih perlu perbaikan.

    Lembaga antirasuah menduga, para agen yang tidak memberikan uang ke para tersangka, maka tidak akan pernah mendapatkan konfirmasi atas hasil persyaratan administrasi RPTKA yang diajukan. 

    “Bagi agen yang mengurus TKA ini telah menyerahkan sejumlah uang, karena memang sudah mengetahui untuk mengruus itu sudah diminta, maka pemberitahuannya tidak secara online tetapi diberikan secara pribadi melalui WhatsApp kepada para pengurus atau agen,” ujar Budi.

    Adapun para agen TKA yang tidak memberikan uang lalu akan mendatangi para tersangka untuk mengonfirmasi ihwal perkembangan pengajuan RPTKA mereka. Pada saat itu, terang Budi, tersangka dari level staf hingga Dirjen meminta sejumlah uang kepada para agen. 

    “Dari sinilah kemudian oknum-oknum tadi yang staf paling bawah tadi, atas perintah dari atasannya berjenjang sampai dengan dirjennya itu menentukan tarif-tarifnya berapa yang harus dipungut ketika perizinan bisa dikeluarkan. Di sinilah terjadi prosesnya permintaan sejumlah uang kepada para agen dengan alasan supaya RPTKA dikeluarkan,” papar Budi. 

    Celah lain yang diduga dilihat oleh para tersangka, kata Budi, yaitu soal pentingnya RPTKA bagi para calon pekerja migran. Apabila RPTKA tidak segera diterbitkan, para TKA akan terlambat mendapatkan penempatan sehingga diganjar denda. Besaran dendanya pun dihitung setiap hari.

    “Para agen tadi mau tidak mau, harus memmberikan. Kalau tidak ya mereka akan mendapatkan denda lebih besar daripada uang yang harus dikeluarkan untuk mengurus RPTKA tersebut,” ujar Budi.

    8 Tersangka Suap TKA

    1. SH (Suhartono), Dirjen Binapenta dan PKK 2020-2023;

    2. HY (Haryanto), selaku Direktur Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing (PPTKA) 2019-2024 kemudian diangkat menjadi Dirjen Binapenta dan PKK 2024-2025;

    3. WP (Wisnu Pramono), selaku Direktur PPTKA 2017-2019;

    4. DA (Devi Angraeni), selaku Koordinator Uji Kelayakan Pengesahan PPTKA 2020-Juli 2024 kemudian diangkat menjadi Direktur PPTKA 2024-2025;

    5. GTW (Gatot Widiartono), selaku Kepala Subdirektorat Maritim dan Pertanian Ditjen Binapenta dan PKK 2019-2021, Pejabat Pembuat 

    Komitmen (PPK) PPTKA 2019-2024, serta Koordinator Bidang Analisis dan Pengendalian Tenaga Kerja Asing Direktorat PPTKA 2021-2025; 

    6. PCW (Putri Citra Wahyoe), selaku Staf pada Direktorat PPTKA 2019-2024;

    7. JMS (Jamal Shodiqin), selaku Staf pada Direktorat PPTKA 2019-2024; serta 

    8. ALF (Alfa Eshad), selaku Staf pada Direktorat PPTKA 2019-2024.

    Sampai dengan saat ini, terang Budi, KPK menduga jumlah uang yang diterima para tersangka dan pegawai dalam Direktorat PPTKA Ditjen Binapenta dan PKK dari pemohonan RPTKA mencapai Rp53,7 miliar.

    “Bahwa penelususan aliran uang dan keterlibatan pihak lain dalam perkara ini masih terus dilakukan penyidikan,” pungkasnya.

    Selain dijerat dengan pasal pemerasan, para tersangka turut dijerat dengan pasal gratifikasi yang tertera pada Undang-Undang (UU) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). 

  • Eks Dirjen Binapenta dan PPK Kemnaker jadi Tersangka Kasus Pemerasan TKA

    Eks Dirjen Binapenta dan PPK Kemnaker jadi Tersangka Kasus Pemerasan TKA

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan delapan orang tersangka dari internal Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) pada kasus dugaan pemerasan terkait dengan pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA).

    Dari delapan tersangka itu, dua di antaranya mantan Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Binapenta dan PKK) Kemnaker, yakni Suhartono (2020-2023) dan Haryanto (2024-2025).

    “Per tanggal 19 Mei 2025 KPK telah menetapkan delapan orang tersangka terkait dengan tindak pidana korupsu yang saya sebutkan di atas,” ujar Pelaksana Harian (Plh) Direktur Penyidikan KPK Budi Sokmo pada konferensi pers, Kamis (5/6/2025).

    Secara terperinci, delapan orang tersangka yang dimaksud adalah:

    1. SH (Suhartono), Dirjen Binapenta dan PKK 2020-2023;

    2. HY (Haryanto), selaku Direktur Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing (PPTKA) 2019-2024 kemudian diangkat menjadi Dirjen Binapenta dan PKK 2024-2025;

    3. WP (Wisnu Pramono), selaku Direktur PPTKA 2017-2019;

    4. DA (Devi Angraeni), selaku Koordinator Uji Kelayakan Pengesahan PPTKA 2020-Juli 2024 kemudian diangkat menjadi Direktur PPTKA 2024-2025;

    5. GTW (Gatot Widiartono), selaku Kepala Subdirektorat Maritim dan Pertanian Ditjen Binapenta dan PKK 2019-2021, Pejabat Pembuat 

    Komitmen (PPK) PPTKA 2019-2024, serta Koordinator Bidang Analisis dan Pengendalian Tenaga Kerja Asing Direktorat PPTKA 2021-2025; 

    6. PCW (Putri Citra Wahyoe), selaku Staf pada Direktorat PPTKA 2019-2024;

    7. JMS (Jamal Shodiqin), selaku Staf pada Direktorat PPTKA 2019-2024; serta 

    8. ALF (Alfa Eshad), selaku Staf pada Direktorat PPTKA 2019-2024.

    Lembaga antirasuah menduga kedelapan tersangka itu melakukan pemerasan terhadap calon tenaga kerja asing (TKA) yang ingin melakukan pekerjaan di Indonesia. 

    Untuk diketahui, agar bisa bekerja di Indonesia, calon pekerja migran dari luar negeri itu harus mendapatkan RPTKA. Sementara itu, RPTKA dikeluarkan oleh Ditjen Binapenta dan PKK. 

    Sampai dengan saat ini, terang Budi, KPK menduga jumlah uang yang diterima para tersangka dan pegawai dalam Direktorat PPTKA Ditjen Binapenta dan PKK dari pemohonan RPTKA mencapai Rp53,7 miliar.

    “Bahwa penelususan aliran uang dan keterlibatan pihak lain dalam perkara ini masih terus dilakukan penyidikan,” terang Budi.

    Adapun selain dijerat dengan pasal pemerasan, para tersangka turut dijerat dengan pasal gratifikasi yang tertera pada Undang-Undang (UU) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). 

  • Dugaan Korupsi Laptop, Kejagung Cegah 3 Eks Stafsus Nadiem Makarim ke Luar Negeri

    Dugaan Korupsi Laptop, Kejagung Cegah 3 Eks Stafsus Nadiem Makarim ke Luar Negeri

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menerbitkan pencekalan tiga staf khusus (stafsus) mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud) Nadiem Makarim. 

    Kapuspenkum Kejagung RI, Harli Siregar mengatakan tiga stafsus yang dicekal itu yakni adalah Fiona Handayani (FH), Jurist Tan (JT), dan Stafus sekaligus tenaga teknis Ibrahim Arief (IA).

    “Itu kemarin yang sudah digeledah, yang sudah ada dua berjenis kelamin perempuan dan satu laki-laki,” ujarnya di Kejagung, Kamis (5/6/2025).

    Dia menambahkan pencekalan itu dilakukan lantaran tiga orang yang berkapasitas sebagai saksi itu mangkir dalam pemanggilan pertama penyidik sebelumnya. 

    “Nah, tetapi sudah dijadwal bahwa tiga orang ini tidak menghadiri, tidak hadir dalam pemeriksaan yang sudah dijadwal kemarin dan dua hari yang lalu,” tambahnya.

    Dengan demikian, Harli menuturkan bahwa upaya cekal ini dilakukan agar tiga mantan anak buah Nadiem Makarim itu bisa kooperatif dalam perkara dugaan korupsi di Kemendikbudristek tersebut.

    Rencananya, Ibrahim, Fiona dan Jurist bakal dilakukan pemanggilan kedua pada pekan depan.

    “Oleh karenanya, seperti yang sudah kami sampaikan penyidik mempertimbangkan untuk melakukan upaya cegah tangkal [cekal] terhadap yang bersangkutan itu sudah dilakukan per tanggal 4 Juni 2025,” pungkas Harli.

    Sekadar informasi, kasus ini bermula saat Kemendikbudristek menyusun pengadaan peralatan TIK bagi SD, SMP dan SMA. Peralatan TIK yang dimaksud adalah laptop Chromebook.

    Singkatnya, perangkat TIK itu dinilai tidak efektif. Oleh sebab itu, Kejagung menilai ada dugaan pemufakatan jahat dalam pengadaan alat TIK senilai Rp9,9 triliun tersebut.