Category: Bisnis.com Metropolitan

  • Iwan Lukminto Klaim Karyawan Sritex Tak Persoalkan Kasus Kredit: Kami Keluarga

    Iwan Lukminto Klaim Karyawan Sritex Tak Persoalkan Kasus Kredit: Kami Keluarga

    Bisnis.com, JAKARTA — Mantan Direktur Utama PT Sri Rejeki Isman Tbk. alias Sritex (SRIL) Iwan Kurniawan Lukminto mengklaim karyawan Sritex tidak begitu merespons terkait dengan penegakan hukum kasus dugaan korupsi pemberian kredit.

    Sejauh ini, Iwan menekankan, proses hukum rasuah pemberian kredit itu belum berdampak pada hubungan antara dirinya dengan karyawan Sritex. “Selama ini tidak ada respons ya dari mereka dan kami menganggap karyawan-karyawan kami adalah keluarga besar kami,” ujar Iwan di Kejagung, dikutip Kamis (19/6/2025).

    Menurutnya, hubungan dirinya dengan karyawan Sritex masih baik-baik saja lantaran kasus pemberian kredit ini masih belum memperoleh putusan inkrah apakah merupakan perkara korupsi atau tidak. “Jadi ini kan masih belum bisa disimpulkan sebagai ada tidak pidana korupsi. Dari mereka pun tetap mendukung kita sebagai keluarga besar Sritex,” pungkasnya.

    Sekadar informasi, total Iwan Kurniawan telah diperiksa Kejagung RI sebanyak tiga kali. Paling anyar, Iwan diperiksa pada Rabu (18/6/2025).

    Dalam pemeriksaannya itu, Iwan dicecar 12 pertanyaan oleh penyidik Jampidsus Kejagung RI soal pengetahuan hingga perannya dalam pemberian kredit terhadap Sritex. 

    Penetapan 3 Tersangka 

    Dalam catatan Bisnis, Kejagung baru menetapkan tiga tersangka dalam perkara Sritex. Mereka yakni eks Dirut Bank DKI Zainuddin Mappa (ZM) dan Pemimpin Divisi Komersial dan Korporasi Bank BJB Dicky Syahbandinata (DS).

    Di samping itu, Kejagung juga telah menetapkan Eks Dirut Sritex Iwan Setiawan Lukminto (ISL) sebagai tersangka. Iwan diduga telah menggunakan dana kredit dari bank tersebut untuk membayar utang Sritex dan pembelian aset non-produktif seperti tanah di Solo dan Yogyakarta. 

    Dalam hal ini, Dirdik Jampidsus Kejagung RI, Abdul Qohar menyatakan bahwa seharusnya dana kredit itu dipakai untuk modal kerja. “Untuk modal kerja tetapi disalahgunakan untuk membayar utang dan membeli aset nonproduktif sehingga tidak sesuai dengan peruntukan yang seharusnya,” tutur Qohar.

    Adapun, hingga saat ini kerugian keuangan negara dalam perkara Sritex itu mencapai Rp692 miliar. Kerugian Negara itu dihitung dari total pinjaman dana dari Bank DKI Rp149 miliar dan Bank BJB Rp543 miliar. 

    “Terkait kerugian keuangan negara ini adalah sebesar Rp692 miliar. Ini terkait dengan pinjaman PT Sritex kepada dua bank. Tadi saya sampaikan Bank DKI Jakarta dan Bank BJB,” tutur Qohar.

  • KPK Mulai Selidiki Kasus Dugaan Korupsi Kuota dan Penyelenggaraan Haji

    KPK Mulai Selidiki Kasus Dugaan Korupsi Kuota dan Penyelenggaraan Haji

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai mengusut dugaan korupsi terkait dengan pelaksanaan ibadah haji. Penanganan kasus tersebut masih dalam tahap penyelidikan. 

    Hal itu dikonfirmasi oleh Pelaksana Tugas (Plt.) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu, Kamis (19/6/2025). 

    “Ya, benar. Kayaknya masih penyelidikan,” ujar Asep kepada wartawan melalui pesan singkat. 

    Asep juga membenarkan bahwa penyelidikan yang tengah dilakukan KPK itu juga berkaitan dengan dugaan praktik korupsi terkait dengan penentuan kuota haji.

    Pria yang juga menjabat Direktur Penyidikan KPK itu namun belum memerinci lebih lanjut terkait dengan kapan dugaan korupsi itu terjadi, dan siapa saja pihak-pihak yang telah dimintai keterangan. 

    Berdasarkan pemberitaan sebelumnya, DPR periode 2019-2024 melalui Pansus Haji mendorong penegak hukum, termasuk KPK, untuk mengusut dugaan korupsi pada penyelenggaraan ibadah Haji 2024. 

    KPK pun menyatakan terbuka untuk menerima laporan pengaduan masyarakat terkait dengan dugaan rasuah itu. Untuk diketahui, Pansus Haji DPR pada periode sebelumnya menunjukkan adanya indikasi tindak pidana korupsi yang saat itu masih diselenggarakan penuh oleh Kementerian Agama (Kemenag). 

    Temuan Pansus DPR

    Pada 2024 lalu, Pansus Angket DPR untuk Pengawasan Haji 2024 mengisyaratkan adanya temuan baru dalam penyelenggaraan ibadah haji. Selain pengalihan kuota haji, Pansus Angket DPR mencium adanya indikasi korupsi.

    Hal itu diungkapkan anggota Pansus Angket DPR untuk Pengawasan Haji 2024, Luluk Nur Hamidah. Adapun, Pansus Angket DPR untuk Pengawasan Haji 2024 disepakati pembentukannya dalam Rapat Paripurna DPR RI yang digelar, Selasa (9/7/2024).

    Luluk menjelaskan, pengalihan kuota haji pada 2024 telah melanggar UU No. 8/2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umroh. Regulasi itu, khususnya Pasal 64, Ayat 2, menetapkan alokasi haji khusus hanya sebesar 8% dari kuota haji Indonesia.

    Berdasarkan informasi yang pihaknya terima, kata Luluk, pengalihan kuota haji reguler ke haji khusus sebanyak 50% itu terindikasi korupsi. 

    “Bukan hanya ada indikasi pelanggaran terhadap UU, tapi kami juga mencium adanya indikasi korupsi dalam pengalihan kuota haji reguler ke haji khusus,” katanya, dalam keterangan resmi, Rabu (10/7/2024).

    Oleh karena itu, jelasnya, Pansus Angket DPR akan mendalami terlebih dahulu informasi tersebut. Bahkan, pansus akan memanggil pihak-pihak terkait untuk menyelidiki kebenaran informasi tersebut.

    “Kami akan dalami dan selidiki apakah benar informasi yang kami terima itu. Kami akan panggil para pihak terkait dengan hal ini nanti,” ujarnya.

    Menurutnya, Pansus Angket DPR telah mengindikasikan penggunaan alokasi kuota tambahan pada 2024 itu terkait dengan penyalahgunaan wewenang pemerintah.

    “Ada rasa keadilan yang diabaikan oleh Pemerintah/Kemenag dari pengalihan kuota ini. Apalagi antrean jemaah yang sangat panjang. Khususnya antrean jemaah lansia reguler yang bisa kita prioritaskan melalui tambahan kuota 20 ribu tersebut,” ucapnya.

    DPR, jelasnya, berharap Pansus Angket dapat membongkar kotak pandora pengalihan kuota haji yang berdasarkan UU hanya diperbolehkan sebesar 8% untuk haji khusus.

    “Tapi justru digunakan 50% oleh Kemenag ke Haji Khusus,” katanya.

  • Jaksa Agung Perintahkan Kejati Tingkatkan Pengawasan Tambang Nikel Ilegal di Maluku Utara

    Jaksa Agung Perintahkan Kejati Tingkatkan Pengawasan Tambang Nikel Ilegal di Maluku Utara

    Bisnis.com, JAKARTA — Jaksa Agung (JA) ST Burhanuddin memerintahkan jajarannya agar mengoptimalkan pengawasan dan penegakan hukum pertambangan nikel di Maluku Utara.

    Dia menyampaikan, Maluku Utara merupakan salah satu wilayah yang terkenal atas kekayaan nikel di Indonesia. Bahkan, cadangan nikel itu berkontribusi dalam pemenuhan kebutuhan secara global.

    “Maluku Utara dikenal memiliki cadangan nikel yang melimpah dan merupakan salah satu provinsi penghasil nikel tertinggi di Indonesia dan berkontribusi juga dalam memenuhi kebutuhan nikel secara global,” ujar Burhanuddin dalam keterangan tertulis, Kamis (19/6/2025).

    Oleh sebab itu, Burhanuddin menginstruksikan kepada Kejaksaan Tinggi Maluku Utara agar memetakan potensi pelanggaran pertambangan ilegal di wilayahnya.

    Alasannya, instruksi itu dikeluarkan agar korps Adhyaksa bisa meminimalisir kebocoran keuangan negara dari yang bisa diperoleh negara dari sektor pertambangan.

    “Hal itu dilakukan guna meminimalisir kebocoran keuangan negara dari yang seharusnya diperoleh negara dari pendapatan pajak melalui industri pertambangan,” imbuhnya.

    Burhanuddin juga menyampaikan kepada jajarannya agar bisa fokus dan profesional dalam menjalankan penegakan hukum di mana pun berada. Pasalnya, dia menilai saat ini tengah ada serangan yang diduga ditujukan untuk menjatuhkan Kejaksaan RI.

    “Saya minta seluruh jajaran untuk tetap fokus dan profesional. Poin ini saya tegaskan untuk pentingnya menjawab kritik dengan data dan fakta serta menjaga soliditas internal,” pungkasnya.

  • Marcella Santoso Bantah Buat Konten Tolak RUU TNI & Indonesia Gelap

    Marcella Santoso Bantah Buat Konten Tolak RUU TNI & Indonesia Gelap

    Bisnis.com, JAKARTA — Pengacara sekaligus tersangka Marcella Santoso (MS) membantah telah membuat konten negatif terkait Indonesia Gelap dan RUU TNI.

    Hal itu disampaikan Marcella usai keluar di Gedung Bundar Kejaksaan Agung (Kejagung) pada Rabu (18/6/2025).

    “Saya tidak buat konten RUU TNI, saya tidak buat Indonesia Gelap,” ujar Marcella.

    Kemudian, Marcella enggan menjelaskan lebih detail terkait dengan pernyataannya yang diputar oleh Kejagung pada saat konferensi pers (17/6/2025). 

    Dia juga tidak menjawab ada atau tidaknya unsur paksaan dalam pembuatan video itu. Pasalnya, Marcella hanya berulang kali membantah telah membuat konten negatif soal RUU TNI-Indonesia Gelap.

    “Bukan saya yang bikin,” ujar Marcella.

    Diberitakan sebelumnya, jawaban Marcella terbaru ini telah bertolak belakang dengan pernyataannya sebelumnya.

    Dalam video itu, Marcella secara eksplisit mengakui telah membuat konten negatif yang menyerang pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, yakni soal RUU TNI dan Indonesia Gelap.

    “Antara lain terkait dengan isu kehidupan pribadi Bapak Jaksa Agung, isu Bapak Jampidsus, isu Bapak Dirdik, dan bahkan terdapat juga isu pemerintahan Bapak Presiden Prabowo, seperti petisi RUU TNI dan juga Indonesia Gelap,” tutur Marcella dalam video tersebut.

    TNI Bakal Dalami Peran Marcella

    Tentara Nasional Indonesia (TNI) mendukung penuh langkah Kejaksaan Agung untuk mendalami peran Marcella Santoso terkait konten negatif terhadap Undang-Undang TNI (UU TNI).

    Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Mayjen TNI Kristomei Sianturi menyebut dukungan ini ditujukan untuk menjaga wibawa hukum dan kepercayaan publik, serta mengungkap aktor di balik pembentukan opini negatif.

    Dia menyebut segala bentuk tindakan yang dapat memecah belah kepercayaan publik, merusak citra institusi negara, ataupun mengganggu stabilitas nasional perlu dihadapi dengan profesional, terukur, dan berdasarkan hukum.

    “Kami mendukung penuh pengungkapan aliran dana, jaringan buzzer, dan pihak mana pun yang terlibat,” ungkapnya dalam keterangan tertulis, dikutip Rabu (18/6/2025).

  • Ekspos Uang Sitaan dan Tersangka Dinilai Berlebihan, Pakar Minta Diatur Dalam Revisi KUHAP

    Ekspos Uang Sitaan dan Tersangka Dinilai Berlebihan, Pakar Minta Diatur Dalam Revisi KUHAP

    Bisnis.com, JAKARTA — Pakar Hukum Pidana, Chairul Huda memandang tindakan aparat penegak hukum yang memajang uang hasil sitaan dan menunjukkan terduga tersangka dalam konferensi pers kepada publik adalah hal yang berlebihan dan tidak bermanfaat.

    Selain itu, baginya lucu bila terduga tersangka hanya disebut inisialnya, tetapi jabatannya disebut lengkap. Hal tersebut dia sampaikan kala menghadiri Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi III DPR RI, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (19/6/2025).

    Padahal menurutnya, praktek-praktek seperti itu seharusnya dapat dikontrol secara jelas dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Karena selama ini dia melihat aparat hukum kerap kali bertindak sewenang-wenang.

    “Kalau menurut saya ini tindakan yang berlebihan dan itu sepertinya tidak terkontrol oleh KUHAP. Padahal orang belum tentu bersalah nih, kan baru diduga bersalah, baru jadi tersangka. Nah proses-proses ini menurut saya menggambarkan proses yang tidak wajar, proses yang berlebihan,” bebernya.

    Selain dianggap berlebihan dan tidak bermanfaat, dia juga menilai tindakan hal yang dilakukan aparat hukum tersebut dapat memengaruhi pengambilan keputusan hakim. 

    Menurutnya, ada kekhawatiran hakim bisa jadi tidak objektif dalam menilai kasus karena masyarakat sudah terlanjur beropini yang macam-macam. Padahal, orang terduga tersangka itu belum tentu benar melakukan tindak pidana.

    “Ya hormati dong hak-haknya. Jangan kemudian seolah-olah dibentuk suatu opini seolah-olah dia sudah pasti bersalah. Dan itu menyulitkan Hakim. Ya Hakim jadi kesulitan mengambil putusan sehingga kecenderungannya adalah ya sudah bersalah saja deh. Padahal nanti di pengambilan pada tingkat kasasi dibebaskan,” terangnya.

    Lebih jauh, Chairul mengatakan meskipun sistem peradilan pidana harus efektif dalam menanggulangi kejahatan (crime control), akan tetapi tetap harus menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan perlindungan bagi seseorang yang belum tentu terbukti bersalah.

    “Jangan sampai tindakan yang dilakukan itu mendahului proses yang seharusnya misalnya puncaknya ada di pengadilan,” ucapnya.

    Sebab itu, dia mengusulkan agar revisi KUHAP didesain secara netral, tidak semata-mata hanya berpihak pada crime control, tetapi juga due process juga perlu diperhatikan.

  • KPK Panggil Politisi PDIP, PKS hingga Deputi BI di Kasus CSR

    KPK Panggil Politisi PDIP, PKS hingga Deputi BI di Kasus CSR

    Bisnis.com, JAKARTA — Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Wakil Ketua Komisi XI DPR Dolfie Othniel Frederic Palit sebagai saksi kasus dugaan korupsi penyaluran dana Program Sosial Bank Indonesia atau PSBI. 

    Dolfie dipanggil oleh tim penyidik KPK untuk untuk dimintai keterangan hari ini, Kamis (19/6/2025), bersama dengan tiga orang saksi lainnya. 

    Meski demikian, berdasarkan pengumuman KPK, anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) itu dipanggil dalam kapasitasnya sebagai Ketua Panja Pengeluaran Rencana Kerja dan Anggaran Otoritas Jasa Keuangan (OJK). 

    Sebagaimana diketahui, Komisi XI atau Komisi Keuangan DPR bermitra dengan lembaga pemerintah seperti BI, OJK, LPS hingga Kementerian Keuangan, yang merupakan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). 

    “Hari ini Kamis (19/6), KPK menjadwalkan pemeriksaan terhadap saksi dugaan TPK terkait penyaluran dana Program Sosial Bank Indonesia (PSBI). Pemeriksaan dilakukan di Gedung Merah Putih KPK atas nama DOF Ketua Panja Pengeluaran Rencana Kerja dan Anggaran OJK,” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo kepada wartawan, Kamis (19/6/2025). 

    Selain Dolfie, penyidik KPK turut menjadwalkan pemeriksaan terhadap anggota DPR lainnya. Dia adalah Ecky Awal Mucharam, anggota Komisi XI DPR 2019-2024 dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). 

    Kemudian, dua orang saksi lainnya yang turut dipanggil adalah Deputi Gubernur BI Filianingsih Hendarta serta Sahruldin, seorang karyawan swasta. 

    Adapun terkait dengan pemanggilan Filianingsih, Ketua KPK Setyo Budiyanto mengonfirmasi bahwa tim penyidik telah mengirimkan surat pemanggilan terhadapnya beberapa waktu lalu. Dia berharap Filianingsih, yang merupakan salah satu anggota Dewan Gubernur BI, hadir pada pemeriksaan yang sudah dijadwalkan.  

    “Permintaan keterangan untuk besok,” ujar Setyo kepada Bisnis, Rabu (18/6/2025). 

    Untuk diketahui, kasus dugaan korupsi penyaluran dana CSR telah diusut KPK di tahap penyidikan sejak sekitar akhir 2024. Pada Desember 2024, penyidik menggeledah kantor BI dan OJK di Jakarta. Salah satu ruangan yang digeledah di kompleks perkantoran BI, adalah ruangan kerja Gubernur BI Perry Warjiyo. 

    Selain kantor BI dan OJK, tim penyidik sudah melakukan penggeledahan di beberapa tempat seperti rumah dua anggota DPR Komisi XI periode 2019-2024, Satori dan Heri Gunawan.

    Satori dan Heri juga telah diperiksa oleh penyidik KPK sebagai saksi. Satori, yang merupakan politisi Nasdem, serta Heri yang merupakan politisi Gerindra, diduga menerima dana CSR melalui yayasan milik mereka di daerah pemilihan (dapil) masing-masing.

  • Diminta Kejagung Serahkan Uang Kasus CPO, Musim Mas Bakal Ikuti Wilmar?

    Diminta Kejagung Serahkan Uang Kasus CPO, Musim Mas Bakal Ikuti Wilmar?

    Bisnis.com, JAKARTA — Musim Mas Group merespons pernyataan Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait dengan penyerahan uang dalam perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) korporasi.

    Sebelumnya, Wilmar Group telah menyerahkan Rp11,8 triliun terkait dengan kasus rasuah tersebut. Uang triliunan tersebut kemudian disita atas penetapan pengadilan.

    Kemudian, Direktur Penuntutan (Dirtut) Sutikno mengharapkan bahwa dua terdakwa korporasi lainnya yakni Musim Mas Group dan Permata Hijau Group agar mengambil langkah yang serupa dengan Wilmar.

    Adapun, Corporate Communication Musim Mas, Reza Rinaldi menyatakan bahwa perusahaan selama ini telah mendukung kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan sebaik mungkin sesuai dengan peraturan yang berlaku.

    “Saat ini, perusahaan terus berkoordinasi dengan pihak otoritas terkait, termasuk Kantor Kejaksaan Agung untuk mendukung kelancaran proses hukum yang sedang berlangsung,” ujar Reza saat dihubungi, Kamis (19/6/2025).

    Berkaitan dengan penyerahan itu, Reza meminta agar semua pihak bisa menunggu dan menghargai setiap penanganan hukum yang ada.

    Pada intinya, Musim Mas menyatakan bahwa perusahaan bakal mengikuti dan taat kepada proses hukum terkait perkara CPO tersebut.

    “Kami berkomitmen untuk tetap menjalin komunikasi yang konstruktif dengan semua pemangku kepentingan dan taat akan proses hukum yang berlaku,” pungkas Reza.

    Selain Musim Mas dan Wilmar, Permata Hijau Group juga merupakan terdakwa dalam perkara CPO ini. Dalam catatan Bisnis, jaksa penuntut umum (JPU) sebelumnya telah menuntut uang pengganti kepada Permata Hijau Group mencapai Rp937,56 miliar. 

    Sementara itu, untuk Musim Mas Group Rp4,9 miliar. Keduanya juga dihukum agar dibebankan juga denda Rp1 miliar.

  • Saling Klaim Kejagung Vs Wilmar Soal Status Uang Rp11,8 Triliun pada Kasus Korupsi CPO

    Saling Klaim Kejagung Vs Wilmar Soal Status Uang Rp11,8 Triliun pada Kasus Korupsi CPO

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Wilmar Group saling klaim terkait dengan status uang senilai Rp11,8 triliun ats perkara dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) alias minyak goreng korporasi.

    Sitaan fantastis oleh penyidik korps Adhyaksa ini kemudian menuai sorotan lantaran penyitaan tersebut berlangsung ketika perkara belum berkekuatan hukum tetap alias inkrah.

    Dalam hal ini, Wilmar Group selaku salah satu terdakwa kasus ekspor CPO yang menyerahkan uang ke penyidik Kejagung. Tak cuma-cuma, Wilmar menyatakan bahwa uang tersebut merupakan dana jaminan.

    Oleh karena itu, uang tersebut bisa dikembalikan apabila hakim agung di tingkat kasasi menguatkan vonis pengadilan pertama PN Tipikor Jakarta Pusat.

    Artinya, menguatkan vonis lepas alias ontslag. Vonis itu pada intinya telah menggugurkan kewajiban tiga terdakwa korporasi untuk membayar denda maupun uang pengganti senilai Rp17,7 triliun.

    “Dana jaminan akan dikembalikan kepada pihak Wilmar tergugat apabila Mahkamah Agung Republik Indonesia menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,” tulis Wilmar International Limited dalam siaran pers yang diterima Bisnis, Rabu (18/6/2025).

    Sebaliknya, apabila hakim pada Mahkamah Agung (MA) menyatakan Wilmar Group bersalah, maka korporasi sudah bersedia menyerahkan uang belasan triliun itu disita sebagian atau sepenuhnya ke pengacara negara.

    Di samping itu, Wilmar Group menyatakan tidak ada alasan lain terkait penyerahan uang Rp11,8 triliun ke Kejagung. Pasalnya, hal tersebut merupakan bentuk itikad baik perusahaan untuk penegakan hukum yang ada.

    “Pihak Wilmar [selaku] tergugat tetap menyatakan bahwa seluruh tindakan yang dilakukan telah dilakukan dengan itikad baik dan tanpa niat koruptif apa pun,” pungkasnya.

    Kejagung Bantah Ada Dana Jaminan

    Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar menekankan bahwa dalam proses penanganan tindak pidana korupsi tidak memiliki istilah dana jaminan. Oleh karena itu, uang Rp11,8 triliun tersebut berstatus sitaan.

    “Dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi terkait kerugian keuangan negara tidak ada istilah dana jaminan, yang ada uang yang disita,” ujarnya saat dihubungi, Rabu (18/6/2025).

    Dia menambahkan, uang yang disita itu merupakan barang bukti untuk memulihkan kerugian keuangan negara akibat adanya uang perkara rasuah tersebut.

    Sebagai tindak lanjut, Harli menyatakan bahwa uang belasan triliun itu nantinya akan dimasukkan dalam barang bukti pada memori kasasi. Nantinya, hal itu diharapkan dapat dipertimbangkan oleh hakim agung pada pengadilan tingkat kasasi.

    “Karena perkaranya masih sedang berjalan maka uang pengembalian tersebut disita untuk bisa dipertimbangkan dalam putusan pengadilan,” imbuhnya.

    Lebih jauh, Harli tidak menjelaskan secara eksplisit terkait dengan nasib uang Rp11,8 triliun itu ketika MA memutuskan untuk memperkuat putusan ontslag atau bebas pada pengadilan sebelumnya. Meskipun begitu, Kejagung menyatakan sikap optimistis atas pengajuan kasasi tersebut.

    “Kita harus optimis Mas karena kita juga menyitanya sdh mendapatkan persetujuan dari pengadilan dan JPU sesuai rilis telah memasukkan tambahan memori kasasi terkait penyitaan uang tersebut,” pungkas Harli.

    Dua Korporasi Diminta Serahkan Uang

    Direktur Penuntutan (Dirtut) Jampidsus Kejagung RI, Sutikno meminta agar Musim Mas Group dan Permata Hijau Group melakukan langkah yang serupa dengan Wilmar group.

    Dalam catatan Bisnis, jaksa penuntut umum (JPU) sebelumnya telah menuntut uang pengganti kepada Permata Hijau Group mencapai Rp937,56 miliar. Sementara itu, Musim Mas Group Rp4,9 miliar. Keduanya juga dibebani juga denda Rp1 miliar.

    “Untuk Permata Hijau dan Musim Mas Grup, kita berharap kedepan mereka juga membayar seperti yang dilakukan oleh Wilmar. Nanti akan kita rilis juga seperti kalau ada pengembalian yang dilakukan oleh kedua grup tersebut,” ujar Sutikno di Kejagung, Selasa (18/6/2025).

  • Bos Sritex Iwan Lukminto Ngaku Hanya Tahu Kredit Bank Dipakai untuk Usaha

    Bos Sritex Iwan Lukminto Ngaku Hanya Tahu Kredit Bank Dipakai untuk Usaha

    Bisnis.com, JAKARTA — Bos PT Sri Rejeki Isman Tbk. (SRIL) alias Sritex (SRIL) Iwan Kurniawan Lukminto (IKL) mengaku tak tahu menahu soal kredit bank untuk Sritex dibelikan untuk aset non-produktif.

    Calvin Wijaya, pengacara Iwan Kurniawan, mengatakan bahwa kliennya itu hanya mengetahui pemberian kredit digunakan untuk mengembangkan usaha Sritex Group 

    “Yang diketahui oleh klien saya ini kredit itu hanya untuk mengembang usaha dan untuk pembayaran kepada kerja. Nah, itu sesuai semuanya, sesuai peruntukannya itu sesuai,” ujarnya di Kejaksaan Agung (Kejagung) Rabu (18/6/2025).

    Dia menambahkan, pihaknya juga saat ini telah memberikan penjelasan terhadap penyidik Jampidsus Kejagung terkait hal-hal yang dipersoalkan menjadi korupsi.

    Salah satunya pemberian kredit. Menurutnya, tidak semua perbuatan dalam pemberian kredit itu serta merta masuk ke dalam ranah korupsi.

    “Karena dari penyidik pun masih menyampaikan, ya untuk di setiap statement-statement-nya dugaan korupsi. Nah, jadi kita enggak bisa untuk menyampaikan dengan bahasa, langsung perbuatan korupsi,” pungkasnya.

    Di samping itu, Iwan Kurniawan mengaku telah dicecar 12 pertanyaan oleh penyidik Jampidsus Kejagung RI. Pemeriksaan ketiga kalinya itu dilakukan selama sekitar 7 jam.

    “Jadi tadi ada sekitar 12 pertanyaan oleh penyidik dan dokumen-dokumen kelengkapan juga sudah saya serahkan,” ujar Iwan.

    Sebelumnya, Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar mengatakan, agenda pemeriksaan lanjutan ini masih seputar pengetahuan Iwan Kurniawan terkait dengan proses pengajuan kredit Sritex Group.

    Dia menambahkan, Iwan Kurniawan juga diperiksa atas jabatannya sebagai direktur di tiga anak Sritex Group. Tiga anak usaha itu yakni PT Sinar Pantja Djaja, PT Biratex Industri, PT Primayuda Mandiri Jaya.

    Dalam hal ini, penyidik akan melakukan pendalaman terkait dengan dugaan penyaluran kredit dari sejumlah bank kepada tiga unit anak usaha Sritex tersebut.

    “Nah, di tiga anak perusahaan itu seperti apa, ini akan terus digali oleh penyidik selain apakah yang bersangkutan memiliki kewenangan atau keharusan untuk proses pengajuan kreditnya,” pungkas Harli.

  • Hakim: Uang Rp915 Miliar & 51 Kg Emas Milik Zarof Ricar Dirampas Negara

    Hakim: Uang Rp915 Miliar & 51 Kg Emas Milik Zarof Ricar Dirampas Negara

    Bisnis.com, JAKARTA — Majelis Hakim PN Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) memerintahkan agar uang tunai Rp915 miliar dan emas Rp51 kilogram milik eks Pejabat Mahkamah Agung (MA) agar dirampas untuk negara.

    Ketua Majelis Hakim Rosihan Juhriah Rangkuti mengatakan status barang yang sempat disita Kejagung itu sesuai dengan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU).

    “Majelis hakim menetapkan status barang bukti sesuai tuntutan Penuntut Umum, di mana aset hasil gratifikasi dirampas untuk negara,” ujar Rosihan di PM Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (18/6/2025).

    Dia menyampaikan dasar perampasan aset itu sesuai dengan ketentuan Pasal 38 b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi alias UU Tipikor.

    Pada intinya, aturan itu menyatakan, pelaku korupsi membuktikan asetnya bukan merupakan hasil korupsi jika tidak ingin dirampas.

    Sementara itu, majelis hakim menilai bahwa Zarof tidak mampu membuktikan uang Rp915 miliar serta emas 51 kilogram itu bukan berasal dari hasil korupsi atau khususnya gratifikasi.

    “Terdakwa gagal dalam membuktikan bahwa aset tersebut diperoleh secara legal melalui warisan, hibah, atau sumber penghasilan sah lainnya,” tambah Rosihan.

    Lebih jauh, terkait dengan temuan kode-kode atau catatan pada penyitaan di rumah Zarof Ricar. Hakim juga menilai bahwa aset Zarof terindikasi diperoleh dari hasil korupsi.

    “Mengindikasikan bahwa aset tersebut diperoleh dari gratifikasi yang berhubungan dengan penanganan perkara,” pungkas Rosihan.

    Sekadar informasi, Zarof Ricar telah divonis 16 tahun penjara dengan denda Rp1 miliar. Hukuman itu lebih rendah dari tuntutan jaksa alias JPU yang menuntut bekas pejabat MA itu dihukum 20 tahun penjara.