Category: Bisnis.com Metropolitan

  • Bebas Bersyarat, Setnov Tetap Wajib Lapor hingga 2029

    Bebas Bersyarat, Setnov Tetap Wajib Lapor hingga 2029

    Bisnis.com, JAKARTA — Terpidana kasus korupsi KTP elektronik atau E-KTP, Setya Novanto alias Setnov resmi bebas bersyarat dari Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, pada 16 Agustus 2025.

    Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Mashudi mengatakan meskipun telah bebas, Setnov tetap harus wajib lapor sampai 2029.

    “Dia melaporkan ke lapas yang ada terdekat itu bisa, ke Bandung juga bisa. Ya sebulan sekali [wajib lapor hingga 2029],” ujarnya, Minggu (17/8/2025).

    Bebasnya mantan Ketua DPR RI itu berdasarkan surat Keputusan Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan tanggal 15 Agustus 2025 No. PAS-1423 PK.05.03 Tahun 2025. Status Setnov berubah dari narapidana menjadi klien pemasyarakatan pada Balai Pemasyarakatan Bandung.

    Adapun Kepala Bagian Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Rika Aprianti menjabarkan bahwa salah satu alasan Setnov dapat menghirup udara bebas di luar penjara adalah menjadi inisiator klinik hukum.

    “Aktif dalam program kemandirian di bidang pertanian dan perkebunan, dan inisiator program klinik hukum di Lapas Sukamiskin,” jelasnya.

    Setnov juga telah menjalani 2/3 dari masa tahanan. Diketahui, masa penahanan Setnov telah dipotong dari 15 tahun menjadi 12 tahun 6 bulan.

    Di sisi lain, Setnov telah membayar denda sebesar Rp500 juta dan membayar uang pidana pengganti Rp43 miliar dengan sisa Rp5,3 miliar subsider 2 bulan 15 hari.

    Rika menekankan bahwa pemberian keringanan hukum berlaku untuk seluruh narapidana jika dirasa memenuhi syarat sesuai ketentuan yang berlaku.

    “Itu jadi pertimbangan dan semua warga binaan yang diberikan program kebebasan bersyarat. Itu juga dicek pertimbangan-pertimbangannya seperti itu. Jadi bukan hanya Setnov,” paparnya. 

  • BPS Nonaktifkan Ahmad Hanafi, Tersangka Utama Kasus Pembunuhan Pegawainya

    BPS Nonaktifkan Ahmad Hanafi, Tersangka Utama Kasus Pembunuhan Pegawainya

    Bisnis.com, JAKARTA— Badan Pusat Statistik (BPS) memberhentikan sementara, Ahmad Hanafi, sebagai pegawai. Ahmad Hanafi adalah tersangka dalam kasus kematian pegawai BPS Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara, Karya Listyanti Pertiwi.

    BPS memastikan bahwa langkah ini berlaku hingga adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht).

    “BPS juga memberikan dukungan terhadap seluruh akses informasi untuk membantu penyelidikan kasus ini. Apresiasi kami sampaikan atas dukungan seluruh pegawai maupun pihak-pihak lainnya yang membantu pengungkapan kasus ini,” tulis BPS dalam keterangan resmi, Minggu (17/8/2025).

    BPS menegaskan telah mengawal penuh proses hukum sejak ditemukannya jenazah almarhumah di rumah dinas BPS Kabupaten Halmahera Timur.

    Tim hukum BPS secara intensif bekerja sama dengan keluarga, jajaran BPS Kabupaten Halmahera Timur, BPS Provinsi Maluku Utara, pihak kepolisian, serta pihak-pihak lain untuk mengusut tuntas kasus ini.

    “Saat ini, proses hukum sedang berjalan oleh pihak yang berwajib. BPS terus berkomitmen untuk mengawal pengungkapan kasus ini secara terang benderang agar keadilan bagi almarhumah dapat ditegakkan,” tulis BPS.

    Selain mengawal jalannya penyidikan, BPS juga memberikan pendampingan bagi keluarga korban.

    Pimpinan BPS telah mengunjungi keluarga korban di Magelang, Jawa Tengah untuk memberikan penguatan. BPS turut menyediakan layanan konseling psikologis bagi keluarga maupun jajaran BPS Kabupaten Halmahera Timur yang terdampak kasus ini.

    BPS berharap proses hukum dapat berjalan sebaik dan seadil mungkin. BPS juga menyebut peristiwa tersebut menjadi duka mendalam bagi seluruh jajaran. Sosok Tiwi dinilai sebagai pegawai yang amanah dan profesional.

    “Duka cita terdalam seluruh jajaran BPS atas kepergian Tiwi. Pimpinan dan segenap pegawai BPS seluruh Indonesia turut memberikan doa supaya Tiwi mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah SWT dan keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan dan kekuatan,” tulis BPS.

  • Bebas Bersyarat, Setya Novanto Keluar dari Lapas Sukamiskin, Dapat Remisi 28 Bulan 15 Hari

    Bebas Bersyarat, Setya Novanto Keluar dari Lapas Sukamiskin, Dapat Remisi 28 Bulan 15 Hari

    Bisnis.com, JAKARTA – Mantan terpidana kasus korupsi E-KTP, Setya Novanto atau Setnov resmi bebas bersyarat dari Lapas Sukamiskin pada 16 Agustus 2025.

    Bebasnya mantan Ketua DPR RI itu berdasarkan surat Keputusan Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan tanggal 15 Agustus 2025 No. PAS-1423 PK.05.03 Tahun 2025. Status Setnov berubah dari narapidana menjadi klien pemasyarakatan  pada Balai Pemasyarakatan Bandung.

    Kepala Bagian Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Rika Aprianti menjabarkan bahwa salah satu alasan Setnov dapat menghirup udara bebas di luar penjara adalah menjadi inisiator klinik hukum.

    “Aktif dalam program kemandirian di bidang pertanian dan perkebunan, dan inisiator program klinik hukum di Lapas Sukamiskin,” jelasnya kepada wartawan di Lapas Kelas IIA Salemba, Minggu (17/8/2025).

    Setnov juga telah menjalani 2/3 dari masa tahanan. Diketahui, masa penahanan Setnov telah dipotong dari 15 tahun menjadi 12 tahun 6 bulan.

    Di sisi lain, Setnov telah membayar denda sebesar Rp500 juta dan membayar uang pidana pengganti Rp43 miliar dengan sisa Rp5,3 miliar subsider 2 bulan 15 hari.

    Rika menekankan bahwa pemberian keringanan hukum berlaku untuk seluruh narapidana jika dirasa memenuhi syarat sesuai ketentuan yang berlaku.

    “Itu jadi pertimbangan dan semua warga binaan yang diberikan program kebebasan bersyarat. Itu juga dicek pertimbangan-pertimbangannya seperti itu. Jadi bukan hanya Setnov,” paparnya. 

    Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Mashudi mengatakan meskipun Setnov telah bebas, dia tetap harus wajib lapor sampai 2029.

    “Dia melaporkan ke lapas yang ada terdekat itu bisa, ke Bandung juga bisa. Ya sebulan sekali [wajib lapor hingga 2029],” ujarnya.

    Adapun Setnov telah mendapatkan remisi semasa masa pidananya sebanyak 28 bulan 15 hari.

  • Terpidana Kasus E-KTP Setya Novanto Bebas Bersyarat saat HUT ke-80 RI

    Terpidana Kasus E-KTP Setya Novanto Bebas Bersyarat saat HUT ke-80 RI

    Bisnis.com, JAKARTA — Mantan Ketua DPR sekaligus terpidana kasus korupsi proyek E-KTP (KTP elektronik) Setya Novanto dikonfirmasi telah bebas bersyarat pada saat perayaan HUT ke-80 RI. 

    Setnov, sapaannya, dijebloskan ke Lapas Sukamiskin, Jawa Barat pada 2018 lalu akibat terbukti terlibat dalam korupsi proyek e-KTP.

    Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan, Agus Andrianto mengonfirmasi bahwa Setnov sudah bebas bersyarat karena sudah melalui proses asesmen. Di samping itu, hukuman Setnov yang awalnya 15 tahun telah dipangkas menjadi 12,5 tahun berkat putusan Peninjauan Kembali (PK) oleh Mahkamah Agung (MA).

    “Yang bersangkutan berdasarkan hasil pemeriksaan PK itu sudah melampaui waktunya. Harusnya tanggal 25 [Juli] yang lalu,” terang Agus usai menghadiri Upacara HUT ke-80 RI di Istana Kepresidenan, Jakarta, Minggu (17/8/2025).

    Menurut Agus, Setnov sudah tidak perlu lagi melapor ke pihak berwajib karena pidana denda subsidair yang dijatuhkan kepadanya sudah dibayarkan ke negara.

    “Enggak ada [wajib lapor]. Karena kan denda subsidair sudah dibayar,” ungkap mantan Wakapolri itu.

    Agus mengatakan Setnov sudah bebas bersyarat berkat menang PK di MA beberapa waktu lalu.

    “Putusan PK kan kalau enggak salah. Putusan peninjauan kembali kepada yang bersangkutan dikurangi masa hukumannya,” ucap Agus.

    Sebelumnya, MA mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) terpidana kasus korupsi proyek KTP elektronik, atau e-KTP, sekaligus mantan Ketua DPR Setya Novanto. Hukuman pidananya dipangkas dari 15 tahun penjara menjadi 12,5 tahun.

    Berdasarkan salinan putusan perkara No.32 PK/Pid. Sus/2020, PK yang dimohonkan oleh pria yang juga mantan Ketua Umum Partai Golkar itu, PK tersebut diputus oleh Majelis Hakim sejak 4 Juni 2025. 

    Pada amar putusannya, Majelis Hakim menyatakan Setnov terbukti melanggar pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang (UU) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Majelis Hakim juga memangkas hukuman kepada Setnov menjadi 12,5 tahun. 

    “Kabul. Terbukti Pasal 3 jo Pasal 18 UU PTPK jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Pidana penjara selama 12 tahun dan 6 (enam) bulan,” demikian bunyi amar putusan hakim. 

    Setnov juga diketahui telah mendapatkan remisi dari pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 2024. 

  • Komjen Dedi Prasetyo Resmi Dilantik jadi Wakapolri Hari Ini

    Komjen Dedi Prasetyo Resmi Dilantik jadi Wakapolri Hari Ini

    Bisnis.com, JAKARTA —Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo resmi melantik Komisaris Jenderal (Komjen) Dedi Prasetyo menjadi Wakapolri pada hari ini, Sabtu (16/8/2025).

    Pelantikan itu sekaligus agenda penyerahan jabatan Dedi sebelumnya selaku Irwasum Polri. Adapun, pelantikan ini berlangsung dalam Upacara Korps Raport di Gedung Rupatama Mabes Polri.

    “Pada pagi hari ini telah dilaksanakan kegiatan pelantikan Bapak Wakapolri, Bapak Komjen Pol Dedi Prasetyo, yang tadinya beliau adalah Irwasum Polri,” ujar Kadiv Humas Polri Irjen Sandi Nugroho di Mabes Polri, Sabtu (16/8/2025).

    Sandi menambahkan, Dedi telah menyatakan bakal secara maksimal mendukung dan membantu Kapolri Sigit menjalankan tugasnya. Lebih khusus, terkait dengan menindaklanjuti arahan dari Presiden Prabowo Subianto untuk merealisasikan program Asta Cita

    “Ya tentunya Pak Wakapolri sudah dilantik oleh Bapak Kapolri dan sekaligus juga pada saat dilantiknya beliau menyatakan kesiapan untuk all out mendukung Bapak Kapolri,” pungkasnya.

    Profil Dedi Prasetyo

    Berdasarkan informasi yang dihimpun, Dedi merupakan pria kelahiran 26 Juli 1968 di Madiun. Dedi ditempatkan sebagai pama Polda Jatim usai dilantik sebagai perwira Polri pada 1990.

    Kemudian, Dedi menjabat sebagai Kapolsek Deket (1992) dan Kapolsek Serpong (1997). Selanjutnya, Dedi memutuskan untuk mengikuti pendidikan di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) dan lulus pada 1999.

    Dedi juga sempat bertugas sebagai Sekretaris Pribadi Wakapolri pada 2004-2005; Kapolresta Kediri 2008; Kapolres Lumajang 2009; hingga akhirnya pecah bintang 1 pada 2017 saat menjadi Wakapolda Kalteng.

    Selang setahun, Dedi dimutasi menjadi Karopenmas Divisi Humas Polri. Karirnya yang moncer di Korps Bhayangkara membuatnya dipercaya sebagai Kadiv Humas Polri pada 2018.

    Selanjutnya, Dedi memperoleh bintang dua atau menjadi Irjen saat menjabat sebagai Kapolda Kalteng pada 2020. Selang setahun, Dedi menjadi AS SDM Kapolri (2023) dan Irwasum Polri (2024).

  • Bareskrim Tetapkan Direktur PT Karya Lisbeth jadi Tersangka Kasus Tambang Zirkon

    Bareskrim Tetapkan Direktur PT Karya Lisbeth jadi Tersangka Kasus Tambang Zirkon

    Bisnis.com, JAKARTA — Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri telah menetapkan satu tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana pertambangan mineral bukan logam di Kalimantan Tengah (Kalteng).

    Direktur Tindak Pidana Tertentu (Dirtipidter) Bareskrim Polri, Brigjen Nunung Syaifuddin mengatakan satu tersangka itu adalah Direktur PT Karya Lisbeth, Marcel Sunyoto (MS).

    “Sudah ditetapkan sebagai tersangka (MS),” kata Nunung saat dikonfirmasi, dikutip Sabtu (16/8/2025).

    Nunung menyampaikan penetapan tersangka itu dilakukan setelah pihaknya melakukan gelar perkara pada pekan lalu. Adapun, MS menjadi tersangka sejak Rabu (6/8/2025).

    Sebagai tindak lanjut, Nunung mengatakan bahwa Marcel telah dipanggil untuk menjalani pemeriksaan dalam kapasitasnya sebagai tersangka hari ini.

    “Sudah hadir,” ujar Nunung.

    Adapun, jenderal polisi bintang satu ini mengatakan bahwa Marcel berpotensi bakal dilakukan penahanan oleh Bareskrim. Pasalnya, ancaman pidananya penjara lima tahun.

    “Dapat ditahan, bukan harus, tapi kalau nanti yang bersangkutan kooperatif ya ngapain ditahan,” pungkasnya.

    Sekadar informasi, kasus ini berkaitan dengan persetujuan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) tahap operasi produksi dari Dinas ESDM Kalteng.

    Surat itu terbit setelah mendapatkan evaluasi rekonsiliasi dan monitoring kegiatan usaha pertambangan mineral bukan logam jenis tertentu, dalam hal ini galian Zirkon.

    Dalam hal ini, Bareskrim Polri menduga bahwa aktivitas tambang ini dilakukan tanpa izin, sehingga melanggar Pasal 158 dan 161 UU Minerba.

  • KPK Panggil Rektor USU, Saksi Kasus Korupsi PUPR Jalan Sumut

    KPK Panggil Rektor USU, Saksi Kasus Korupsi PUPR Jalan Sumut

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan memanggil Rektor Universitas Sumatera Utara/ Rektor USU, Muryanto Amin, sebagai saksi dari kasus dugaan korupsi proyek pembangunan jalan di Provinsi Sumatera Utara.

    Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan bahwa pemanggilan Rektor USU sebagai langkah KPK untuk mengusut kasus dugaan korupsi proyek pembangunan jalan di Sumut.

    “Hari ini Jumat (15/8/2025), KPK menjadwalkan pemeriksaan terhadap saksi dugaan TPK pada proyek pembangunan jalan di Provinsi Sumatera Utara (Sumut),” ujar Budi dalam keterangan tertulis, Jumat (15/8/2025).

    Budi menuturkan bahwa pemeriksaan Rektor USU dilakukan di Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Padang, Sidempuan.

    Selain Rektor USU, Muryanto Amin, KPK juga melakukan pemeriksaan 13 saksi lain di lokasi yang sama.

    Ini nama saksi yang diperiksai KPK terkait dugaan kasus korupsi PUPR Jalan Sumut: 

    Edison selaku Kepala Seksi Dinas PUPR Sumut
    Asnawi Harahap selaku Kabag Pengadaan Barang Jasa Kabupaten Padang Lawas Utara
    Ahmad Juni sebagai Kepala Dinas PUPR Kab. Padang Sidempuan
    Said Safrizal selaku Bendahara BBPJN Sumut
    Manaek Manalu selaku PNS Kementerian PU – Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional Sumatera Utara
    Ratno Adi Setiawan selaku Kasatker Wil III BBPJN Sumut
    Munson Ponter Paulus Hutauruk selaku PPK Wil I 2023 BBPJN Sumut
    PT DELI TUNAS ADIMULIA merupakan SHOWROOM MOBIL
    Rahmat Parinduri selaku PNS/ Kasatker Wil 1 2023
    Deddy Rangkuti selaku Wiraswasta
    Afrizal Nasution sebagai PNS/Sekwan Kab Mandailing Natal
    Randuk Efendi Siregar 
    Sekretaris BPKAD  Pemerintah Kab Mandailing Natal

    Dilansir laman resmi KPK, penyidik melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di wilayah Sumatera Utara terkait dugaan korupsi proyek pembangunan jalan di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR), serta proyek preservasi jalan pada satuan kerja Pembangunan Jalan Nasional (PJN) wilayah I Sumatera Utara, pada 26 Juni 2025. 

    Dalam OTT tersebut, KPK menetapkan lima orang tersangka, yaitu TOP selaku Kepala Dinas PUPR Sumut, RES (Kepala UPTD Gn. Tua Sumut merangkap Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), HEL (PPK Satker PJN Wilayah I Sumut), KIR (Direktur Utama PT DNG), serta RAY (Direktur PT RN). Para Tersangka kemudian ditahan untuk 20 hari pertama terhitung mulai tanggal 28 Juni s.d 17 Juli 2025 di Rutan Cabang KPK Gedung Merah Putih. Adapun nilai proyek mencapai Rp231,8 miliar.

    Adapun proyek pembangunan jalan pada Dinas PUPR yang sedang didalami oleh KPK adalah pembangunan jalan Sipiongot Batas Labusel dan pembangunan jalan Hutaimbaru-Sipiongot. Sedangkan proyek pada PJN Wilayah I Sumut yaitu Preservasi Jalan Sp. Kota Pinang-Gunung Tua-SP. Pal XI Tahun 2023, Preservasi Jalan Sp. Kota Pinang-Gunung Tua-Sp. Pal XI Tahun 2024, Rehabilitasi Jalan Sp. Kota Pinang-Gunung Tua-Sp. Pal XI dan penanganan longsoran Tahun 2025, dan Preservasi Jalan Sp. Kota Pinang-Gunung Tua-Sp. Pal XI Tahun 2025. Adapun total keseluruhan nilai proyek tersebut ditaksir mencapai lebih dari Rp231,8 miliar.

  • Bupati Pati Kembalikan Uang Kasus DJKA, KPK: Tapi Tidak Menghapus Pidana

    Bupati Pati Kembalikan Uang Kasus DJKA, KPK: Tapi Tidak Menghapus Pidana

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut bahwa pengembalian uang terkait kasus dugaan suap pembangunan dan pemeliharaan jalur kereta api di lingkungan Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Perhubungan yang melibatkan Bupati Pati Sadewo tidak menghapus unsur pidananya.

    “Pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapus pidananya,” ujar Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (14/8), dikutip dari Antaranews.

    Meskipun uang terkait kasus dikembalikan, namun unsur pidana tetap akan berlanjut sesuai Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.

    Dalam Pasal 4 dalam UU tersebut berbunyi, “Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3”.

    Oleh sebab itu, Asep meminta semua pihak untuk menunggu, terutama terkait pemanggilan mantan anggota DPR RI tersebut oleh KPK.

    “Kemudian kapan dipanggil? Ya ditunggu saja ya,” katanya.

    Diketahui, Bupati Sadewo disebut oleh KPK sebagai salah satu terduga yang menerima aliran dana korupsi proyek kereta Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Perhubungan.

    “Saudara SDW merupakan salah satu pihak yang diduga juga menerima aliran commitment fee terkait dengan proyek pembangunan jalur kereta,” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dikutip dari Antara, Rabu (13/8).

    Hal ini pun membuat KPK membuka peluang untuk memanggil Sadewo sebagai saksi kasus tersebut.

    Sebelumnya, nama Sadewo sempat muncul dalam sidang kasus tersebut dengan terdakwa selaku Kepala Balai Teknik Perkeretaapian (BTP) Jawa Bagian Tengah Putu Sumarjaya, dan pejabat pembuat komitmen BTP Jawa Bagian Tengah Bernard Hasibuan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang, Jateng, 9 November 2023.

    Dalam sidang itu, KPK disebut menyita uang dari Sudewo sekitar Rp3 miliar. Jaksa Penuntut Umum KPK menunjukkan barang bukti foto uang tunai dalam pecahan rupiah dan mata uang asing yang disita dari rumah Sudewo.

    Namun Sadewo membantah hal tersebut. Dia juga membantah menerima uang sebanyak Rp720 juta yang diserahkan pegawai PT Istana Putra Agung, serta Rp500 juta dari Bernard Hasibuan melalui stafnya yang bernama Nur Widayat.

    Sementara itu, KPK pada 12 Agustus 2025, menahan tersangka ke-15 kasus tersebut, yakni aparatur sipil negara (ASN) di Kemenhub atas nama Risna Sutriyanto (RS).

    Kasus tersebut terkuak berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK pada 11 April 2023 di Balai Teknik Perkeretaapian Kelas I Wilayah Jawa Bagian Tengah DJKA Kemenhub. Saat ini BTP Kelas I Wilayah Jawa Bagian Tengah telah berganti nama menjadi BTP Kelas I Semarang.

    KPK lantas menetapkan 10 orang tersangka yang langsung ditahan terkait dengan kasus dugaan korupsi proyek pembangunan dan pemeliharaan jalur rel kereta api di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi.

    Setelah beberapa waktu, atau hingga November 2024, KPK telah menetapkan sebanyak 14 tersangka. KPK juga telah menetapkan dua korporasi sebagai tersangka kasus tersebut.

    Kasus dugaan tindak pidana korupsi tersebut terjadi pada proyek pembangunan jalur kereta api ganda Solo Balapan-Kadipiro-Kalioso; proyek pembangunan jalur kereta api di Makassar, Sulawesi Selatan; empat proyek konstruksi jalur kereta api dan dua proyek supervisi di Lampegan Cianjur, Jawa Barat; dan proyek perbaikan perlintasan sebidang Jawa-Sumatera.

    Dalam pembangunan dan pemeliharaan proyek tersebut, diduga telah terjadi pengaturan pemenang pelaksana proyek oleh pihak-pihak tertentu melalui rekayasa sejak proses administrasi sampai penentuan pemenang tender.

  • Eks Kajari Jaksel Ungkap Alasan Silfester Matutina Tak Dieksekusi 2019

    Eks Kajari Jaksel Ungkap Alasan Silfester Matutina Tak Dieksekusi 2019

    Bisnis.com, JAKARTA — Eks Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (Kajari Jaksel), Anang Supriatna menjelaskan hambatan saat mengeksekusi putusan pengadilan terkait Silfester Matutina pada 2019.

    Anang menyampaikan bahwa sejatinya dirinya telah memerintahkan eksekusi putusan pengadilan setelah inkrah. Hanya saja, putusan itu belum di eksekusi karena dinyatakan hilang.

    “Kita sudah lakukan, sudah inkrah. Saat itu tidak sempat dieksekusi karena sempat hilang,” ujar Anang di Kejagung, Kamis (14/8/2025) malam.

    Singkatnya, kala itu Silfester telah ditemukan. Namun, kata Anang, muncul kendala lain dalam melakukan eksekusi Silfester lantaran Indonesia dilanda pandemi Covid-19.

    “Kemudian keburu covid, jangankan memasukkan orang, yang di dalam aja harus dikeluarkan,” imbuhnya.

    Di samping itu, Anang yang saat ini menjabat sebagai Kapuspenkum Kejagung RI menegaskan membantah adanya tekanan politik dari pihak manapun untuk mengeksekusi Silfester.

    “Tidak ada [tekanan politik]. Pas setelah Covid [sudah tak jabat Kajari Jaksel],” pungkas Anang.

    Sekadar informasi, Silfester dilaporkan tim Jusuf Kalla ke Bareskrim Polri pada Mei 2017. Kala itu, Silfester dilaporkan atas orasinya yang menuding Jusuf Kalla sebagai akar permasalahan bangsa hingga menggunakan isu rasial dalam Pilkada Jakarta 2017.

    Singkatnya, Silfester dinyatakan sah dan bersalah atas perkara itu. Kemudian, Silfester Matutina divonis 1 tahun pada 2018. Vonis itu kemudian dikuatkan pada sidang banding di PT Jakarta pada (29/10/2025). 

    Selain itu, upaya hukum Silfester di tingkat kasasi juga ditolak dan bahkan diperberat menjadi pidana 1,5 bulan pada 2019. Namun, hingga saat ini Silfester belum mendekam dipenjara.

  • MK Tolak Uji Materi UU Sisdiknas soal Negara Biayai Pendidikan hingga Kuliah

    MK Tolak Uji Materi UU Sisdiknas soal Negara Biayai Pendidikan hingga Kuliah

    Bisnis.com, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang meminta negara untuk menjamin tersedianya pembiayaan di seluruh jenjang pendidikan, termasuk hingga perguruan tinggi atau kuliah.

    “Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 111/PUU-XXIII/2025 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (14/8/2025).

    Permohonan itu diajukan oleh Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMID) bersama empat pemohon lainnya, yakni seorang ibu bernama Sri Rahmawati, mahasiswa bernama Sentia Dewi dan Danang Putra Nuryana, serta pelajar bernama Naufal Aksa Al Anra.

    Para pemohon menguji konstitusionalitas norma Pasal 11 ayat (2) UU Sisdiknas yang lengkapnya berbunyi, “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.” 

    Mereka mempersoalkan frasa “yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun”.

    Menurut para pemohon, beleid itu membatasi jaminan pembiayaan pendidikan hanya pada jenjang dasar sehingga dikhawatirkan menghambat warga negara untuk mengembangkan diri dan meningkatkan kualitas hidup melalui pendidikan hingga ke jenjang perkuliahan.

    Namun, menurut Mahkamah, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 sejatinya telah memberikan tingkatan yang berbeda atas urgensi pendidikan dasar dengan jenjang pendidikan lainnya.

    Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan, kewajiban bagi negara untuk membiayai pendidikan dasar secara eksplisit dinyatakan oleh Pasal 31 ayat UUD NRI Tahun 1945. Dengan demikian, penekanan khusus bagi pendidikan dasar merupakan amanat konstitusi yang tidak dapat diartikan.

    “Oleh karena itu, menurut Mahkamah, adalah tidak tepat mengonstruksikan pemaknaan jaminan pemerintah atas tersedianya dana/anggaran bagi terselenggaranya seluruh jenjang pendidikan pada norma Pasal 11 ayat (2) UU 20/2003 (UU Sisdiknas),” ucap Arief membacakan pertimbangan hukum. 

    Mahkamah menilai, meskipun seluruh jenjang pendidikan merupakan objek yang menjadi tanggung jawab negara dalam sistem pendidikan nasional, pemaknaan yang dimintakan oleh para pemohon justru dapat mengaburkan kewajiban negara untuk mengutamakan pendidikan dasar.

    Terlebih, dalam putusan sebelumnya, yakni Nomor 3/PUU-XXII/2024, MK berpendirian agar alokasi anggaran pendidikan diutamakan untuk mengupayakan terselenggaranya pendidikan dasar yang tidak memungut biaya atau gratis.

    Atas dasar pertimbangan tersebut, MK berkesimpulan tidak terdapat persoalan konstitusionalitas dalam norma Pasal 11 ayat (2) UU Sisdiknas sehingga dalil yang diajukan LMID bersama empat pemohon lainnya itu tidak beralasan menurut hukum.