Category: Bisnis.com Ekonomi

  • Hipmi Minta Single Profile Pajak hingga Bea Cukai Tak Bebani Pengusaha

    Hipmi Minta Single Profile Pajak hingga Bea Cukai Tak Bebani Pengusaha

    Bisnis.com, JAKARTA — Kalangan pebisnis meminta supaya integrasi basis data pajak, bea cukai hingga penerimaan negara bukan pajak (PNBP) melalui single profile tidak memicu beban baru berupa pelaporan kepatuhan maupun sanksi administratif. 

    Sekadar informasi, rencana untuk mengintegrasikan basis data sejumlah unit di bawah Kementerian Keuangan (Kemenkeu) itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.70/2025 tentang Rencana Strategis (Renstra) Kemenkeu 2025-2029. 

    Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) menyatakan dukungan terhadap rencana pembangunan single profile yang dinilai sebagai upaya modernisasi sistem penerimaan negara. 

    “Dunia usaha pada prinsipnya mendukung penguatan basis data yang terintegrasi, selama implementasinya dilakukan secara bertahap, transparan, dan tetap menjaga kepastian berusaha,” terang Sekretaris Jenderal (Sekjen) Hipmi Anggawira kepada Bisnis, Kamis (13/11/2025). 

    Menurutnya, ada beberapa manfaat yang bakal didapatkan pelaku usaha dari upaya integrasi basis data penerimaan negara.

    Pertama, kepastian dan konsistensi regulasi meningkat. Anggawira melihat bahwa data yang terintegrasi membuat penilaian risiko, penetapan kewajiban, dan pelayanan menjadi lebih standar sehingga mengurangi potensi perbedaan interpretasi di lapangan.

    Kedua, mempermudah layanan dan mengurangi duplikasi dokumen. Basis data yang sama untuk ketiga penerimaan negara itu dinilai bisa membuat proses administrasi lebih efisien. 

    “Mulai dari ekspor-impor, restitusi pajak, hingga perizinan. Ini sejalan dengan agenda ease of doing business [kemudahan berusaha],” ujar Anggawira. 

    Ketiga, mendorong reformasi birokrasi berbasis data. Single profile itu dinilai bisa meminimalisasi kontak fisik serta menekan biaya-biaya tak resmi. 

    Akan tetapi, Anggawira juga mencatat otoritas perlu memastikan berbagai hal sejak awal. Misalnya, perlindungan data yang kuat dengan standar cyber-security, governance dan audit data yang jelas. 

    Selanjutnya, perbedaan sistem historis antar direktorat sering membuat validasi data tidak selalu linier. Dia mewanti-wanti agar jangan sampai terjadi mismatch yang pada akhirnya membebani wajib pajak.

    Anggawira, yang juga menjabat Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi Mineral dan Batu Bara (Aspebindo), turut meminta pemerintah bisa memastikan agar integrasi basis data itu justru tidak menambah beban kepatuhan. 

    “Kami ingin memastikan single profile tidak melahirkan kewajiban pelaporan tambahan atau sanksi administratif baru. Integrasi harus membuat proses lebih ringan, bukan lebih rumit,” terangnya. 

    Doktor lulusan Tsinghua University, China itu menilai single profile yang berhasil akan menciptakan sistem fiskal yang lebih berkeadilan (fair), modern, dan berbasis risiko, sehingga mendorong iklim investasi yang lebih sehat.

    “Hipmi dan dunia usaha pada dasarnya mendukung penuh transformasi digital Kemenkeu. Namun keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada proses transisi, keamanan data, serta ruang dialog yang berkelanjutan antara pemerintah dan pelaku usaha,” tuturnya. 

  • Harga Biodiesel Melonjak, BPDP Terapkan Skema Fleksibel

    Harga Biodiesel Melonjak, BPDP Terapkan Skema Fleksibel

    Bisnis.com, NUSA DUA, BALI – Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) menerapkan skema fleksibel untuk menanggung selisih harga biodiesel berbasis sawit dan solar fosil.

    Langkah ini diambil menyusul lonjakan harga minyak sawit dunia yang membuat program mandatori biodiesel menghadapi tekanan tinggi dan risiko beban subsidi yang membengkak.

    Direktur Utama BPDP Eddy Abdurrachman mengatakan skema fleksibel ini memungkinkan kadar campuran biodiesel disesuaikan berdasarkan perbedaan harga antara biodiesel dan solar. Jika gap harga melebar, maka persentase campuran bisa diturunkan sehingga program tetap berjalan tanpa membebani fiskal secara berlebihan.

    “Rekomendasi kami itu pakai skema fleksibel. Persentase campuran biodiesel bisa naik atau turun tergantung selisih harga sawit dan solar. Kalau gap-nya besar, seperti sekarang, baurannya bisa diturunkan,” ujar Eddy saat ditemui di sela-sela acara 21st Indonesian Palm Oil Conference and 2026 Price Outlook (IPOC) di BICC, The Westin Resort Nusa Dua, Bali, Kamis (13/11/2025). 

    Sesuai regulasi yang berlaku, Eddy menjelaska, produsen biodiesel diwajibkan menjual biodiesel kepada perusahaan distribusi solar, yang kemudian menyalurkan solar tersebut ke konsumen dengan harga yang setara dengan harga solar fosil.

    Ini artinya, apabila harga biodiesel lebih tinggi daripada solar fosil, maka BPDP bertugas untuk menanggung selisih harga tersebut. Mekanisme ini memastikan produsen biodiesel tetap dapat menjual produknya meski harga biodiesel lebih mahal dari solar fosil.

    Adapun saat ini, selisih harga biodiesel dan solar yang ditanggung BPDP mencapai sekitar Rp6.000 per liter, termasuk ongkos angkut, pajak, dan PPN. Namun, angka tersebut bersifat sangat fluktuatif, mengikuti pergerakan harga minyak sawit mentah (CPO) di pasar global.

    Dia menambahkan, harga biodiesel tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi produksi domestik, namun juga oleh dinamika pasar internasional.

    Eddy menuturkan, produksi minyak nabati pesaing seperti minyak kedelai dan minyak bunga matahari di negara lain dapat menekan harga sawit dunia. Sebaliknya, jika pasokan global terbatas, maka harga bisa melonjak dan memengaruhi besarnya subsidi yang harus ditanggung BPDP.

    “Ini bukan cuma soal produksi dalam negeri. Dunia yang menentukan. Kalau produksi pesaing banyak, harga bisa turun karena orang beralih. Tapi kalau pasokannya sedikit, harga naik. Pokoknya ekonomi ini mengikuti market price global,” jelasnya.

    Eddy menambahkan, mekanisme fleksibel akan menjadi lebih relevan seiring rencana pemerintah menerapkan B50 pada semester II/2026. Namun hingga saat ini, pembahasan tersebut masih berlangsung dan belum ada proyeksi terhadap potensi tambahan beban subsidi jika harga sawit global kembali melonjak.

    Selain itu, Eddy menekankan program biodiesel tetap menjadi bagian dari strategi pemerintah dalam energi terbarukan dan pencapaian target energi nasional.

    “Program ini dapat mengurangi ketergantungan pada solar impor, menghemat miliaran dolar setiap tahunnya, dan meningkatkan neraca perdagangan Indonesia,” ujarnya.

    Di samping itu, menurut Eddy, bauran biodiesel juga mendorong inovasi teknologi dan pengembangan energi terbarukan alternatif, seperti used cooking oil, hydrotreated vegetable oil (HVO), dan bahan bakar efisien lainnya.

  • Tuah Purbaya Effect ke Perekonomian Indonesia

    Tuah Purbaya Effect ke Perekonomian Indonesia

    Bisnis.com, JAKARTA—Kalangan ekonom menilai efek Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sudah terasa bagi aktivitas ekonomi Tanah Air kendati baru dua bulan menjabat.

    Chief Economist The Indonesia Economic Intelligence (IEI) Sunarsip menilai dampak paling nyata terlihat dari likuiditas perbankan. Setelah dilantik, Purbaya menempatkan dana Rp200 triliun di sistem perbankan. Langkah ini mendorong penyaluran kredit tumbuh dari 6,96% pada Agustus menjadi 7,2%.

    “Pertumbuhan kredit itu sebagian besar masih ditopang oleh debitur BUMN. Dari 1,69% naik menjadi 10,04%,” ujar Sunarsip dalam keterangan resmi acara Katadata Policy Dialogue di Jakarta, Kamis (13/11/2025).

    Kementerian Keuangan mencatat, dana pemerintah senilai Rp200 triliun yang ditempatkan di bank-bank milik negara (Himbara) telah banyak terserap untuk pembiayaan kredit. Dana tersebut baru disalurkan pada 12 September 2025.

    Dia menilai, tanpa tambahan kredit yang merupakan bagian dari Purbaya Effect, pertumbuhan ekonomi kuartal III/2025 kemungkinan tak akan mencapai 5,04%.

    “Itu sebabnya saya bilang Purbaya Effect sudah bekerja,” kata Sunarsip.

    Sunarsip menilai, pertumbuhan ekonomi saat ini masih cukup baik, namun belum didukung oleh perbaikan konsumsi masyarakat. Pertumbuhan ekonomi saat ini banyak ditopang oleh konsumsi pemerintah yang tumbuh 5,49% pada kuartal III/2025.

    Sunarsip menyarankan agar pemerintah mengubah pendekatan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Jika sebelumnya fokus pada peningkatan permintaan, kini perlu diarahkan pada penguatan suplai sektoral.

    “Kalau saya, lebih baik perbaiki sisi supply-nya, bukan demand,” ujarnya.

    Dia menilai, konsumsi rumah tangga yang masih stagnan di bawah 5% disebabkan oleh belum pulihnya sejumlah sektor industri pascapandemi Covid-19.

    Tenaga Ahli Utama Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Lutfi Ridho menegaskan bahwa pemerintah sebenarnya terus berupaya memperkuat konsumsi rumah tangga. Namun, kunci utamanya adalah membangun kepercayaan publik terhadap prospek pendapatan mereka.

    “Mereka harus yakin terutama keyakinan pendapatan di masa yang akan datang,” kata Lutfi.

    Ia menambahkan bahwa DEN akan memfokuskan perhatian pada peningkatan optimisme dan stabilitas pendapatan masyarakat. Jika kepercayaan itu terbentuk, konsumsi rumah tangga bisa kembali jadi motor utama pertumbuhan ekonomi, meski investasi masih akan jadi pendorong utama tahun depan.

    Luthfi Ridho mengatakan, tahun depan pemerintah berupaya untuk meningkatkan daya beli kelompok kelas menengah. Menurut dia, pertumbuhan ekonomi saat ini masih bisa dimaksimalkan potensinya.

    “Tren konsumsi rumah tangga turun, dan ini yang ingin kami balikkan. Kelas menengah harus percaya diri atas peluang pendapatan ke depan,” ucap Luthfi.

    Dia menekankan, ada dua kebijakan besar yang menjadi fokus tahun depan, yaitu formula UMP yang seimbang dan perbaikan aturan investasi termasuk terkait tingkat kandungan dalam negeri (TKDN).

    “Semoga keduanya bisa menjawab turunnya daya beli. Tapi output-nya tetap perlu kerja sama semua pihak agar Indonesia semakin kompetitif,” kata Luthfi.

    Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III 2025 sebesar 5,04%secara year on year (yoy). Angka tersebut dinilai sebagai capaian yang baik.

    Menurut Chief Economist Permata Bank Josua Pardede, capaian di kuartal III/2025 sudah sesuai ekspektasi. Hal itu sekaligus membuka ruang optimistis untuk tahun depan terutama jika konsumsi kelas menengah bisa dipulihkan.

    “Pertumbuhan tahun depan berpeluang lebih baik dari tahun ini. Kuncinya ada pada sinergitas kebijakan internal, yakni fiskal, moneter, dan sektor riil, sembari memberi ‘vitamin C’, yaitu confidence. Demand dan suplai harus dijaga bersama,” ujar Josua.

    Secara kuartalan, merujuk data BPS, pertumbuhan ekonomi mengalami perlambatan dibanding kuartal II yang mencapai 5,12%. Namun, dilihat secara tahunan, pencapaian kuartal III lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

    “Kuartal III sesuai proyeksi kami, termasuk perlambatan konsumsi rumah tangga yang sifatnya musiman. Motor pertumbuhan tetap konsumsi, lalu investasi, dan net ekspor. Tapi memang data BPS menunjukkan daya beli kelas menengah turun,” tutur Josua.

  • Laba Singapore Airlines Anjlok 82% per Kuartal III/2025, Efek Kecelakaan Air India

    Laba Singapore Airlines Anjlok 82% per Kuartal III/2025, Efek Kecelakaan Air India

    Bisnis.com, JAKARTA — Singapore Airlines (SIA) mencatat penurunan laba bersih sebesar 82% menjadi Rp668 miliar atau Sin$52 juta (kurs Rp12.860 per dolar Singapura) pada kuartal III/2025, menuju level terendah dalam tiga setengah tahun.

    Penurunan ini terjadi seiring dengan tantangan yang terus dihadapi Air India Ltd., yang berdampak negatif pada kinerja keuangan grup SIA.

    Melansir Bloomberg, Kamis (13/11/2025), meski laba menurun, pendapatan SIA naik 2,2% menjadi Sin$4,9 miliar. Setelah menghapus kontribusi dari perusahaan afiliasi, laba operasional kuartalan SIA meningkat sekitar 23% menjadi Sin$398 juta.

    Maskapai ini berencana membayar dividen khusus sebesar 10 sen Singapura per saham per tahun selama tiga tahun, dengan total sekitar Sin$900 juta, serta mengumumkan dividen interim sebesar 5 sen Singapura per saham untuk paruh pertama 2025.

    Namun, SIA masih menghadapi tantangan dari Air India, di mana grup memiliki kepemilikan saham 25,1%. Bagian hasil dari perusahaan afiliasi ini turun Sin$417 juta secara tahunan pada paruh pertama 2025, mencerminkan kerugian yang dialami maskapai India tersebut.

    Air India sendiri masih terdampak oleh kecelakaan fatal awal tahun ini dan tengah mencari dukungan keuangan setidaknya 100 miliar rupee (US$1,1 miliar) dari pemiliknya, Tata Sons Pvt. dan Singapore Airlines. SIA menyatakan komitmennya untuk bekerja sama dengan Tata Sons dalam mendukung rencana pemulihan Air India.

    Pada tingkat grup, yield penumpang—indikator keuntungan penerbangan—turun 3% menjadi 9,8 sen Singapura per kilometer. Penurunan yield ini melambat, menandakan prospek kompetitif yang membaik setelah penutupan maskapai pesaing kecil Jetstar Asia selama periode fiskal.

    SIA juga diuntungkan oleh biaya operasional yang relatif stabil, sementara biaya bahan bakar turun pada kuartal tersebut.

    Meskipun mengalami penurunan laba bersih kuartal ketiga berturut-turut dan menghadapi tantangan dari ketegangan geopolitik, hambatan ekonomi, serta kendala rantai pasokan, SIA tetap optimis terhadap prospek jangka pendek. Permintaan perjalanan udara tetap tangguh menjelang kuartal ketiga, menurut maskapai.

    SIA Group mengangkut rekor 10,5 juta penumpang pada kuartal tersebut. Baik merek utama SIA maupun unit berbiaya rendah Scoot mengalami penerbangan yang lebih penuh seiring peningkatan kapasitas akibat permintaan yang kuat.

    Scoot menonjol dengan faktor muatan melebihi 90% selama enam bulan berturut-turut hingga September, kemungkinan besar mendapat manfaat dari penghentian layanan Jetstar Asia pada Juli, di mana Scoot dan SIA mengisi celah yang ditinggalkan.

    Pasca rilis hasil kuartal III/2025, saham Singapore Airlines turun 0,5%, meski secara keseluruhan naik 3,3% sepanjang tahun ini.

  • Freeport Dapat Izin ESDM Operasikan Kembali Tambang DMLZ dan Big Gossan di Grasberg

    Freeport Dapat Izin ESDM Operasikan Kembali Tambang DMLZ dan Big Gossan di Grasberg

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memberikan izin kepada PT Freeport Indonesia (PTFI) untuk membuka kembali dua tambang bawah tanah yang tidak terdampak longsor di tambang Grasberg Block Cave (GBC). Kedua tambang tersebut adalah Deep Mill Level Zone (DMLZ) dan Big Gossan.

    Dirjen Mineral dan Batu Bara (Minerba) ESDM, Tri Winarno, menjelaskan bahwa izin telah diberikan, namun saat ini PTFI masih belum mengoperasikan kedua tambang tersebut karena tengah mempersiapkan kembali proses produksi.

    “Sudah-sudah [diberi izin] untuk DMLZ dan Big Gossan, tapi belum produksi,” ujar Tri di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (13/3/2025).

    Tri menambahkan, kapasitas produksi bijih dari kedua tambang milik Freeport tersebut sekitar 600.000 ton per tahun, atau sekitar 30% dari total kapasitas produksi seluruh tambang Freeport.

    Produksi bijih dari dua tambang ini rencananya akan dipasok ke smelter PTFI di Manyar, Gresik, yang sebelumnya sempat berhenti beroperasi karena kekurangan pasokan konsentrat tembaga.

    “Iya, dipasok ke smelter Manyar, karena memang kurang pasokan,” tegas Tri.

    PTFI sebelumnya berencana mengoperasikan kembali tambang Grasberg, Papua Tengah, yang tidak terdampak insiden luncuran material basah. Tri mengatakan pihaknya tengah mempertimbangkan izin operasi untuk area yang aman dari longsor.

    “Iya, sementara mereka mau mengajukan proposal. Itu kan tidak ada pengaruh dari situ, ya, jadi mereka ingin memulai produksi di sana,” ujar Tri kepada wartawan, dikutip Kamis (30/10/2025).

    Sementara itu, produksi tambang bawah tanah (underground) di area Grasberg Block Cave (GBC) masih terhenti akibat longsor pada 8 September 2025. Meskipun DMLZ dan Big Gossan tidak terdampak longsoran, kedua tambang ini juga belum berproduksi.

    “Freeport sudah melakukan evaluasi. Untuk sementara, daerah yang terdampak kecelakaan belum boleh beroperasi,” tambah Tri.

    Sebelumnya, induk PTFI, Freeport-McMoRan Inc (FCX), melaporkan bahwa insiden luncuran material basah dari bekas tambang terbuka Grasberg ke GBC pada 8 September 2025 menghentikan sementara operasi penambangan. Penghentian ini bertujuan memprioritaskan evakuasi tujuh korban serta penyelidikan penyebab utama insiden.

    PTFI menyatakan proses evakuasi selesai pada 5 Oktober 2025, dan proses investigasi hampir rampung. Kajian dampak kerusakan yang dilakukan bersamaan dengan pembersihan lumpur diperkirakan selesai akhir 2025.

    FCX dan PTFI, bersama ahli eksternal, menyelesaikan penyelidikan penyebab insiden luncuran lumpur serta menentukan langkah-langkah pencegahan agar kejadian serupa tidak terulang.

    Bersamaan dengan itu, rencana produksi ke depan sedang dievaluasi bersama pemerintah, dan penilaian kerusakan sedang diselesaikan. Setelah itu, PTFI akan mengevaluasi nilai buku aset terdampak untuk menentukan kemungkinan penghapusan nilainya (write-off).

    Cebakan bijih GBC mewakili 50% cadangan terbukti dan terkira PTFI per 31 Desember 2024, serta sekitar 70% proyeksi produksi tembaga dan emas PTFI hingga 2029.

    PTFI memperkirakan tambang Big Gossan dan DMLZ, yang tidak terdampak longsor, dapat mulai beroperasi kembali pada kuartal IV/2025, diikuti pemulihan bertahap tambang bawah tanah GBC sepanjang 2026.

    Berdasarkan skenario pemulihan bertahap ini, yang masih bergantung pada banyak faktor, produksi PTFI pada 2026 diproyeksikan sekitar 35% lebih rendah dibanding estimasi sebelum insiden, dengan estimasi sebelumnya sekitar 1,7 miliar pound tembaga dan 1,6 juta ounce emas.

  • Peran Sektor Properti Mendorong Ekonomi

    Peran Sektor Properti Mendorong Ekonomi

    Bisnis.com, JAKARTA—Pemerintah bersama pelaku industri dan lembaga keuangan memprediksi pengembangan investasi dan sektor properti mampu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

    Mewakili Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala BKPM Todotua Pasaribu, Ricky Kusmayadi, Staf Ahli Bidang Hubungan Kelembagaan Kementerian Investasi/BKPM, menyampaikan bahwa pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 8% pada 2029, dengan investasi sebagai engine of growth menuju visi Indonesia Emas 2045.

    Hal itu disampaikan dalam Forum Inabanks Investment & Property Outlook: Peluang dan Tantangan Bisnis Tahun 2026, Rabu (12/11/2025). Forum ini menghadirkan pandangan strategis dari pemerintah, perbankan, dan sektor swasta mengenai arah perekonomian Indonesia menjelang tahun 2026.

    Ricky menyampaikan hingga kuartal III/2025, realisasi investasi nasional telah mencapai Rp1.434,3 triliun, atau 75,3 persen dari target tahunan. Komposisi tersebut terdiri atas Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sebesar Rp789,7 triliun dan Penanaman Modal Asing (PMA) sebesar Rp644,6 triliun.

    Tiga sektor dengan kontribusi terbesar adalah industri logam dasar (Rp196,4 triliun), transportasi dan telekomunikasi (Rp163,3 triliun), serta perumahan dan kawasan industri (Rp105,2 triliun).

    Menurut Ricky, sektor properti dan konstruksi memiliki multiplier effect yang tinggi bagi perekonomian nasional. “Properti dan bahan bangunan tidak hanya memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, tetapi juga membuka lapangan kerja dan menggerakkan rantai pasok nasional,” ujarnya dalam siaran pers, Kamis (13/11/2025).

    Untuk memperkuat iklim investasi, pemerintah terus memperluas reformasi regulasi dan digitalisasi perizinan, termasuk melalui Omnibus Law (UU No.6/2023) serta PP No.28/2025 tentang Perizinan Berbasis Risiko.

    Implementasi sistem Online Single Submission (OSS) kini dilengkapi dengan prinsip fiktif positif dan Service Level Agreement (SLA) untuk memastikan kepastian waktu bagi pelaku usaha.

    “Kepastian hukum dan proses perizinan yang efisien adalah fondasi bagi pertumbuhan investasi yang sehat dan berkelanjutan,” kata Ricky mewakili Wamen Todotua Pasaribu.

    Selain itu, pemerintah juga menyiapkan berbagai insentif fiskal dan dukungan investasi strategis, terutama di sektor hilirisasi sumber daya alam. Nilai investasi hilirisasi sepanjang 2025 tercatat mencapai Rp431,4 triliun, naik 58,1% dibanding tahun sebelumnya dan berkontribusi hingga 30% terhadap total investasi nasional.

    “Investasi hilirisasi akan memperkuat struktur ekonomi domestik, menciptakan nilai tambah di dalam negeri, dan membuka hingga 3 juta lapangan kerja baru dalam lima tahun ke depan,” tambahnya.

    Dari sisi perumahan, Buhari Sirait, Direktur Pembiayaan Perumahan Perkotaan, Direktorat Jenderal Perumahan Perkotaan Kementrian PKP menegaskan bahwa pemerintah menargetkan pembangunan dan renovasi tiga juta unit rumah hingga tahun 2029. Program ini menjadi bagian integral dari peta jalan penyediaan hunian layak dan berkelanjutan, serta mendukung agenda nasional pengentasan kemiskinan dan pemerataan ekonomi.

    Menurutnya, Indonesia masih menghadapi backlog perumahan mencapai 9,9 juta rumah tangga, dengan 26,9 juta rumah tangga tinggal di hunian tidak layak — 79% di antaranya di wilayah perkotaan.

    “Kami ingin memastikan bahwa setiap keluarga, terutama masyarakat berpenghasilan rendah, memiliki akses terhadap hunian layak yang aman dan terjangkau,” ujarnya.

    Kementerian PKP berperan sebagai operator, regulator, dan fasilitator. Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan pembebasan BPHTB, retribusi PBG, dan percepatan perizinan pembangunan rumah bagi MBR maksimal 10 hari kerja melalui SKB Tiga Menteri.

    Selain itu, pemerintah juga memperkuat pembiayaan melalui FLPP sebesar Rp25,1 triliun untuk 350.000 unit rumah dan KUR Perumahan Rp130 triliun guna mendukung pengembang serta kontraktor kecil.

    “Skema rent-to-own juga akan diperluas bagi pekerja informal agar mereka dapat memiliki rumah melalui pola sewa-beli yang lebih fleksibel,” tambah Buhari.

    Dia optimistis sektor perumahan akan tumbuh positif pada 2026, ditopang oleh penurunan suku bunga BI ke level 4,75%, stimulus fiskal, serta proyek infrastruktur strategis seperti MRT Fase 2, LRT Jabodebek, dan Tol Layang Jabodetabek.

    Dalam kesempatan yang sama, Praka Mulia Agung, SVP Consumer Business 1 Bank Syariah Indonesia (BSI), menegaskan peran perbankan syariah sebagai katalis dalam mendukung sektor properti dan ekonomi umat.

    “Kami mengawal momentum pemulihan sektor properti melalui produk pembiayaan yang inklusif, berkelanjutan, dan sesuai prinsip syariah,” ujarnya.

    Data Office of Chief Economist BSI menunjukkan bahwa KPR nasional tumbuh 7,66% (YoY) hingga Juni 2025, sementara BSI Griya mencatat pertumbuhan lebih tinggi yakni 8,51% (YoY). Dengan rasio NPF hanya 2,10%, BSI menjadi tiga besar bank nasional dengan kualitas aset KPR terbaik, di tengah tren kenaikan NPL di bank konvensional.

    BSI kini menempati posisi keenam terbesar untuk portofolio KPR nasional, dengan outstanding Rp59,5 triliun per September 2025.

    “Kinerja ini menunjukkan daya tahan model pembiayaan syariah terhadap fluktuasi pasar dan tekanan daya beli,” jelas Praka.

    BSI juga memperluas kolaborasi dengan pengembang seperti Summarecon, CitraLand, dan Bosowa Bina Insani, guna menghadirkan solusi hunian yang terintegrasi dengan kebutuhan nasabah prioritas, dokter, guru, dan pelaku usaha.

    Kepala Badan Advokasi dan Perlindungan Anggota REI, Adri Istambul Lingga Gayo Sinulingga, menekankan pentingnya paradigma baru “Propertinomic” yang memandang sektor properti sebagai pengungkit utama perekonomian nasional.

    Berdasarkan riset LPEM UI, sektor ini menyumbang sekitar 16% terhadap PDB nasional, senilai Rp2.300–Rp2.800 triliun, serta menciptakan 19 juta lapangan kerja yang tersebar di lebih dari 185 sektor turunan.

    “Properti bukan hanya bisnis atau aset investasi, tetapi juga katalis pertumbuhan dan instrumen pemerataan kesejahteraan,” jelas Adri.

    Dia menilai kombinasi PPN Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) hingga 2027, program 3 juta rumah, serta digitalisasi OSS akan mempercepat ekspansi properti nasional tahun depan.

  • Siasat Airnav Indonesia Ikut Tekan Harga Tiket Pesawat di Momen Nataru 2025/2026

    Siasat Airnav Indonesia Ikut Tekan Harga Tiket Pesawat di Momen Nataru 2025/2026

    Bisnis.com, BANDUNG — Perum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (LPPNPI) atau AirNav Indonesia mengungkap sejumlah upaya yang dilakukan untuk menekan harga tiket pesawat selama momentum Natal 2025 dan Tahun Baru 2026 (Nataru).

    Direktur Utama AirNav Indonesia, Avirianto Suratno, menjelaskan bahwa pihaknya berkomitmen mengimplementasikan pembebasan pengenaan biaya parkir advance dan extend selama periode puncak Nataru 2025/2026.

    “Supaya kita juga bisa berusaha menekan harga tiket, karena kadang-kadang harga tiket itu naik saat Nataru. Nah, dengan memberikan layanan extend free, kami berharap bisa membantu menekan harga,” ujarnya di Bandung, Kamis (13/11/2025).

    Saat dikonfirmasi mengenai besaran penurunan harga tiket dari kebijakan tersebut, dia enggan menjawab. Avirianto menjelaskan bahwa akumulasi diskon tarif tiket pesawat akan ditentukan langsung oleh pemerintah.

    Lebih lanjut, AirNav memprediksi puncak arus mudik Nataru akan jatuh pada 19–20 Desember 2025, dengan total pergerakan pesawat sekitar 4.922 hingga 4.930 pergerakan per hari. Sementara itu, puncak arus balik diprediksi terjadi pada 3–4 Januari 2026, dengan total pergerakan harian 4.295 hingga 4.303 unit.

    Berdasarkan catatan Bisnis, pemerintah telah resmi memberlakukan penurunan tarif tiket pesawat sebesar 13–14% untuk penerbangan domestik, yang dapat dipesan mulai Rabu (22/10/2025). Diskon ini berlaku untuk keberangkatan pada 22 Desember 2025 hingga 10 Januari 2026, selama momen libur Natal dan Tahun Baru (Nataru).

    Berikut ini penyesuaian komponen biaya yang berdampak pada penurunan tarif:

    Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) sebesar 6%, sehingga pemerintah menanggung sisa PPN 5% dari total 11%.
    Potongan tarif 50% terhadap Tarif Pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara (PJP2U) alias Passenger Service Charge (PSC), serta Tarif Pelayanan Jasa Pendaratan, Penempatan, dan Penyimpanan Pesawat Udara (PJP4U) bagi maskapai nasional.

    Penurunan biaya tambahan bahan bakar atau fuel surcharge (FS) melalui Surat Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 50/2025, yakni 2% untuk pesawat jet dan 20% untuk pesawat propeller.

  • Shell Bersiap Balik ke Hulu Migas RI, Bisnis SPBU Ikut Terpompa?

    Shell Bersiap Balik ke Hulu Migas RI, Bisnis SPBU Ikut Terpompa?

    Bisnis.com, JAKARTA – Shell Plc kembali melirik peluang investasi di sektor hulu migas Indonesia setelah sempat hengkang beberapa tahun lalu. Raksasa migas asal Inggris itu tengah mengkaji prospek di sejumlah wilayah.

    Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Djoko Siswanto memberi bocoran bahwa Shell akan melakukan studi bersama atau joint study di lima prospek migas, baik di darat (onshore) maupun lepas pantai (offshore), dengan Kuwait Foreign Petroleum Exploration Company (Kufpec).

    Kelima prospek tersebut tersebar di wilayah Sulawesi Barat, Bali, dan Nusa Tenggara Barat (NTB).

    “Dua wilayah onshore, offshore Sulawesi Barat. Tiga wilayah offshore, Bali dan NTB,” ucap Djoko di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (12/11/2025).

    Djoko mengatakan bahwa Shell dan Kufpec melakukan joint study bersama dengan porsi 50:50. Proposal joint study tersebut diajukan kepada Direktorat Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

    Dia menambahkan bahwa saat ini Ditjen Migas sedang mengevaluasi kepastian blok migas yang diminati Shell untuk dieksplorasi.

    Kabar kembalinya Shell ke sektor hulu migas RI telah berhembus sejak awal 2025. Kala itu, Shell disebut tengah menjajaki peluang di lapangan eksis, yang berarti perusahaan tersebut akan berinvestasi di wilayah kerja yang saat ini juga dikelola kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) lain. 

    Sebelumnya, Deputi Eksplorasi, Pengembangan, & Manajemen Wilayah Kerja SKK Migas Rikky Rahmat Firdaus menuturkan, Shell tertarik kembali ke sektor hulu migas Indonesia karena banyak temuan lapangan baru, terutama di area lepas pantai dan laut dalam (deepwater). Menurutnya, temuan tersebut relevan dengan kompetensi Shell, yakni pengeboran minyak lepas pantai dan laut dalam.

    “Dengan temuan semua yang ada, kami sangat berharap nanti di bulan November kami ajak lagi Shell untuk benar-benar hadir di Indonesia,” ucap Rikky dalam acara Bisnis Indonesia Forum, Kamis (9/10/2025).

    Dia menambahkan, Shell sempat ragu untuk kembali masuk ke sektor hulu migas RI. Namun, pihaknya berhasil meyakinkan perusahaan asal Eropa itu.

    Menurut Rikky, Shell akan kembali karena prospek migas di Tanah Air memiliki daya tawar yang cukup baik.

    “Kita punya daya tawar yang cukup baik. Kita akan tetap bertemu, dan jadi Shell kan juga banyak entitasnya, jadi ini tone positif bagi rekan-rekan,” ujarnya.

    Adapun, Shell sebelumnya memutuskan untuk hengkang dari salah satu megaproyek migas Tanah Air, Blok Masela. Pada 2023, 35% hak partisipasi Shell di Blok Masela resmi diambil alih oleh Pertamina dan Petronas.

    Niat Shell hengkang mengemuka sejak 2019 dan menyebabkan pengembangan Blok Masela tersendat. Shell menilai bahwa investasi di negara lain lebih menguntungkan sehingga prioritas pada proyek Lapangan Abadi Blok Masela ditinggalkan. Imbasnya, Inpex harus mencari mitra baru untuk menggarap blok tersebut. Proses divestasi Shell juga berlarut-larut hingga 4 tahun lamanya.

    Bisnis SPBU

    Sementara itu, di bisnis hilir, Shell memilih untuk melepaskan bisnis stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) miliknya di Indonesia.

    PT Shell Indonesia, anak perusahaan yang sepenuhnya dimiliki oleh Shell Plc, bakal melepas bisnis SPBU ke perusahaan patungan baru (joint venture) antara Citadel Pacific Limited dan Sefas Group mulai 2026.

    Shell pun memastikan proses pengalihan kepemilikan SPBU yang tengah berjalan saat ini bukan disebabkan kondisi kelangkaan BBM yang terjadi sejak akhir Agustus 2025.

    Untuk diketahui, SPBU Shell tengah mengalami kekosongan stok BBM lantaran kuota impor mereka untuk tahun ini telah habis. 

    Berdasarkan catatan Bisnis, kuota impor BBM untuk Shell pada 2025 mencapai 329.704 kiloliter (kl) untuk RON 92, 119.601 kl untuk RON 95, dan 38.674 kl untuk RON 98.

    Vice President Corporate Relations Shell Indonesia Susi Hutapea menjelaskan, pihaknya terus berkoordinasi dengan pemerintah dan mengantisipasi hasil positif dalam proses pengalihan kepemilikan bisnis SPBU Shell di Indonesia. Menurutnya, semua pihak tetap berkomitmen dengan kesepakatan awal.

    “Tidak terdapat dampak pada proses pengalihan kepemilikan bisnis SPBU Shell di Indonesia. Semua pihak tetap berkomitmen pada kesepakatan tersebut,” kata Susi kepada Bisnis, Minggu (28/9/2025).

    Dia menuturkan, pengalihan kepemilikan bisnis SPBU Shell di Indonesia tunduk pada penerimaan persetujuan peraturan dan diharapkan selesai pada tahun 2026.

    Adapun, proses pengalihan kepemilikan bisnis SPBU Shell diharapkan selesai pada 2026. Setelah itu, nantinya merek Shell akan tetap berada di Indonesia melalui perjanjian lisensi merek.

    “Produk BBM akan dipasok melalui Shell dan pelanggan akan terus memiliki akses untuk menggunakan produk BBM berkualitas tinggi,” kata Susi.

    Langkah Shell melepas bisnis SPBU ke Citadel dan Sefas telah diumumkan sejak Mei 2025 lalu. Pengalihan kepemilikan merupakan bagian dari strategi Shell untuk transformasi portofolio dan sejalan dengan komitmen Capital Markets Day Shell.  

    Untuk diketahui, bisnis SPBU Shell di Indonesia mencakup jaringan SPBU Shell dan kegiatan pasokan serta distribusi BBM. Saat ini Shell memiliki sekitar 200 lokasi SPBU di Indonesia di mana lebih dari 160 di antaranya dimiliki perusahaan dan terminal BBM di Gresik, Jawa Timur. 

    Pemilik baru Shell yakni Citadel Pacific adalah perusahaan yang mapan dan terdiversifikasi dengan kegiatan operasional di seluruh Asia-Pasifik. Citadel merupakan pemegang lisensi merek Shell di Guam, Saipan, Republik Palau, Makau, dan Hong Kong. 

    Sementara itu, Sefas Group adalah distributor pelumas Shell terbesar di Indonesia.

    Meski demikian, Shell tak sepenuhnya melepas bisnis hilirnya di Indonesia. Shell tetap melihat Indonesia menjadi pasar pertumbuhan utama untuk bisnis pelumas Shell. Shell memiliki dan mengoperasikan pabrik pelumas dengan kapasitas mencapai 300 juta liter per tahun.

    Bahkan, saat ini sedang membangun pabrik manufaktur gemuk di Marunda yang akan memiliki kapasitas 12 kiloton per tahun. 

    Pada 2022, Shell mengakuisisi EcoOils yang memiliki dua fasilitas pengolahan di Indonesia. Akuisisi EcoOils ini menambah portofolio bisnis bahan bakar rendah karbon Shell di kawasan tersebut.

  • Jelang Nataru, Kemenhub Cari Solusi Atasi Macet Pelabuhan Ketapang

    Jelang Nataru, Kemenhub Cari Solusi Atasi Macet Pelabuhan Ketapang

    Bisnis.com, JAKARTA — Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan akan menyusun skema penanganan antrean kendaraan di Pelabuhan Penyeberangan Ketapang, agar pelayanan berjalan optimal jelang momen Natal dan Tahun Baru (Nataru). 

    Direktur Sarana, Prasarana dan Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan Sigit Widodo menyampaikan, lintas Ketapang – Gilimanuk merupakan salah satu lintas utama angkutan penyeberangan yang memiliki tingkat arus kendaraan dan penumpang sangat tinggi utamanya pada masa libur nasional.

    “Namun, dalam pelaksanaannya masih ditemukan tantangan-tantangan, termasuk antrean kendaraan yang panjang,” ungkapnya dalam keterangan resmi, dikutip pada Kamis (13/11/2025). 

    Antrean tersebut pun berdampak pada waktu tunggu yang lebih lama akibat lonjakan permintaan yang tidak diimbangi dengan kapasitas angkut dan infrastruktur yang memadai.

    Melihat fasilitas saat ini, Pelabuhan Ketapang memiliki empat dermaga Movable Bridge, yakni satu dermaga Ponton dan tiga dermaga Landing Craft Machine. 

    Dengan kondisi ini, masih terjadi antrean kendaraan yang berdampak signifikan utamanya pada distribusi logistik. 

    Oleh karena itu, dia menerangkan perlunya suatu pedoman pengaturan pergerakan kendaraan bermotor di Pelabuhan Penyeberangan Ketapang. Nantinya hal ini akan mengatur antrean kendaraan bermotor untuk masuk ke dalam kapal dan pengaturan sirkulasi kendaraan bermotor di dalam kawasan pelabuhan penyeberangan. 

    “Kami menemukenali adanya ketidakseimbangan demand dan supply ketika adanya kapal yang tidak beroperasi sebagaimana mestinya karena adanya pembatasan, kecelakaan dan kapal docking,” jelas Sigit.

    Selain itu, juga dikarenakan cuaca yang buruk, peak season seperti saat angkutan natal dan tahun baru, angkutan lebaran dan hari besar lainnya.

    Hal yang tidak luput dari perhatian, kata Sigit, juga saat adanya kondisi tertentu seperti demo di pelabuhan, pembelian tiket mendadak, kendaraan terbakar dan akses jalan ke pelabuhan yang terhambat.

    Untuk itu, akan ada strategi mitigasi untuk menangani antrean kendaraan di Pelabuhan Ketapang melalui optimalisasi pemberlakuan buffer zone, alternatif kapal perbantuan, pemasangan Variable Message Signs(VMS) di titik-titik tertentu pada akses jalan menuju Pelabuhan, pelaksanaan delaying system, pembatasan kendaraan barang, pembatasan kuota tiket, peningkatan kapasitas angkut harian, serta penyiapan contingency plan.

    “Tidak menutup kemungkinan, apabila terjadi kondisi tertentu lainnya dapat juga dilakukan manajemen dan rekayasa lalu lintas di dalam dan luar pelabuhan dengan berkoordinasi dengan stakeholders terkait,” imbuhnya.

    Adapun pengaturan pergerakan kendaraan di Pelabuhan Penyeberangan Ketapang akan dilaksanakan oleh Balai Pengelola Transportasi Darat Kelas II Jawa Timur dan berkoordinasi dengan Direktorat Lalu Lintas Kepolisian Daerah, Direktorat Jenderal Bina Marga, Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP), serta PT. ASDP Indonesia Ferry (Persero).

  • Pajak Pensiun dan Absennya Keadilan Fiskal

    Pajak Pensiun dan Absennya Keadilan Fiskal

    Bisnis.com, JAKARTA – Pemajakan uang pensiun memicu perdebatan serius. Sembilan karyawan swasta bahkan mengajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi atas ketentuan Pasal 4 ayat 1 UU No. 7/1983 tentang Pajak Penghasilan dan Pasal 17 UU PPH juncto UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Regulasi tersebut menetapkan bahwa pendapatan pensiun dianggap sebagai tambahan kemampuan ekonomis sehingga dapat dikenai Pajak Penghasilan (PPh 21).

    Namun, Mahkamah Konsti tusi (MK) menolak permohonan uji materi terkait Pajak Penghasilan (PPh) atas pensiun dan pesangon. Hakim MK menilai permohonan yang disampaikan tidak jelas atau kabur (obs-cuur). Putusan ini tak ayal menimbulkan kegelisahan sekaligus pertanyaan mendasar, pantaskah pendapatan/uang pensiun yang sejatinya merupakan hasil tabungan dan jerih payah pekerja selama puluhan tahun kembali harus dibebani pajak?

    Dasar hukum yang mema-yungi pemajakan atas uang pensiun bisa saja dibaca secara formal dan literal, tetapi membaca hukum tanpa memperhatikan fungsi ekonomi dan sosial dari objek yang dipajaki adalah problematik, mengapa?

    Pertama, komponen uang pensiun sejatinya adalah pengembalian modal dari iuran yang dipotong dari upah pekerja selama bertahun-tahun. Secara fundamental uang pensiun sangat berbeda dari pendapatan rutin. Pensiun bukan windfall yang menambah kemampuan konsumsi berkelanjutan, melainkan bantalan hidup bagi pekerja di masa senja. Kedua, memajaki uang pensiun bersifat sangat regresif bagi kelompok rentan, kelas menengah-bawah dan pekerja yang hidup pas-pasan tidak punya tabungan lain, apalagi investasi, atau jaring pengaman finansial lainnya. Ketika negara memotong uang pensiun dengan logika pajak penghasilan, yang terjadi bukan redistribusi dari kaya ke miskin, melainkan menjadi beban bagi kelompok paling rentan dengan memangkas satu-satunya pengaman ekonomi mereka. Bagi banyak pensiunan, uang pensiun tidak sama dengan tambahan kemampuan ekonomis dalam bentuk penghasilan tambahan, melainkan menjadi satu-satunya pendapatan setelah berhenti bekerja.

    Ketiga, kebijakan semacam ini mengabaikan peran negara sebagai pelindung sosial. Negara yang bijak menata kebijakan fiskalnya tidak berorientasi pada penerimaan jangka pendek, tetapi juga menempatkan perlindungan sosial sebagai tujuan kebijak-an terutama ketika menyangkut kelompok yang rentan seperti pensiunan. Memperlakukan uang pensiun seolah-olah gaji aktif menunjukkan miskonsepsi serius terhadap fungsi sosial dari uang pensiun. Memajakinya justru akan mengikis bantalan tersebut, yang berarti negara mele-mahkan proteksi pensiunan yang semestinya menjadi hak mereka, terutama bagi mereka yang tidak lagi punya sumber penghasilan lain

    ANOMALI

    Dalam laporan berjudul Pensions at a Glance Asia/Pacific 2024 terbitan OECD, menyatakan sejumlah besar negara-negara di Asia sama sekali tidak mengenakan pajak atas pendapatan/uang pensiun. Singapura dan Malaysia menjadi contohnya.

    Berdasarkan laporan yang sama, Singapura menempatkan dana pensiun sebagai bagian dari sistem perlindung-an sosial dan bukan sebagai objek fiskal. Pendapatan pensiun yang bersumber dari Central Provident Fund (dana pensiun Singapura), sepenuhnya bebas pajak. Singapura tidak menganggap dana tersebut sebagai penghasilan baru, melainkan hasil tabungan sosial yang dikumpulkan pekerja selama masa produktifnya. Selanjutnya, Malaysia menjadi negara yang juga paling konsisten melindungi dana pensiun dari beban pajak. Sistemnya mengikuti pola Exempt–Exempt–Exempt (EEE), yang berarti iuran, hasil investasi/tabungan, dan pencairan pensiun semuanya bebas pajak. Sejak awal, iuran yang disetorkan ke Employees Provident Fund (dana pensiun Malaysia), tidak dianggap sebagai penghasilan kena pajak.

    Bagaimana dengan Indonesia? Secara format, skema perpajakan Indonesia kerap mengikuti pola Exempt–Exempt–Taxed (EET). Pada tahap awal iuran dan hasil investasi dana pensiun tidak dipajaki, tetapi dikenai pajak saat pencairan. Dalam praktiknya, logika itu tidak berjalan sebagai-mana mestinya. Pemerintah tidak membedakan asal-usul dana pensiun yang dicairkan, entah itu dari iuran jaminan hari tua karyawan ataupun dari yang ditanggung oleh pemberi kerja. Padahal, sebagian dana itu, khususnya iuran yang diambil dari kantong pekerja berasal dari gaji bulanan yang sebenarnya sudah dikenai PPh 21 pada saat pekerja masih aktif, tetapi ketika uang pensiun tersebut dicairkan, ia tetap dipungut pajak kembali. Dengan logika yang demikian, posisi Indonesia terlihat anomali. Ketika Malaysia dan Singapura membebaskan sepenuhnya manfaat pensiun dari pajak, Indonesia justru memperlakukan pendapatan pensiun layaknya penghasilan bulanan yang masih aktif diperoleh.

    Padahal, konteks ekonominya sama sekali berbeda. Seorang pensiunan tidak lagi punya kapasitas untuk menambal beban fiskal itu melalui kerja produk-tif, sehingga memungutnya dari uang pensiun hanya memperkecil bantalan ekono-mi mereka di masa tua.

    KEADILAN FISKAL

    Pajak yang ideal tidak hanya mengacu pada kemampuan membayar (ability to pay), tetapi juga mempertimbangkan fungsi sosial dari objek yang dipajaki. Dalam konteks ini, uang pensiun jelas tidak bisa disamakan dengan pendapatan aktif, dan bukan tambahan kemampuan ekonomis sebagaimana yang diasumsikan undang-undang. Dalam kon disi seperti ini, negara perlu meninjau ulang cara pandangnya terhadap pendapatan pensiun, bukan semata sebagai sumber penerimaan, tetapi sebagai hak pekerja. Salah satu langkah korektif yang paling rasional ialah, pertama, memasukkan pendapatan pensiun ke dalam negative list PPh, yaitu daftar penghasilan yang secara eks-plisit dikecualikan dari objek pajak.

    Pendekatan ini penting bukan hanya untuk memastikan negara hadir dalam menajamin fungsinya sebagai pe lindung sosial, tetapi juga untuk menegaskan posisi moral negara.

    Kedua, menetapkan ambang bebas pajak khusus bagi pensiunan, mirip dengan skema senior citizen allowance di beberapa negara yang menyesuaikan dengan biaya hidup lansia dan kebutuhan kesehatan mereka. Kebijakan ini penting karena struktur pengeluaran pensiunan berbeda dari kelompok usia produktif. Sebagian besar pendapatan mereka ter-serap untuk kebutuhan kesehatan, obat-obatan, dan biaya perawatan jangka panjang. Ketiga, pemerintah perlu mencari sumber penerimaan lain yang lebih progresif ketimbang terus menekan kelompok pensiunan. Basis pajak dapat diperluas melalui optimalisasi pajak kekayaan, pajak warisan, atau pajak orang superkaya yang selama ini cenderung belum tergarap maksimal.

    Langkah-langkah korektif ini tentunya membutuhkan keberanian politik dan kejelasan arah kebijakan. Reformasi yang berpihak pada keadilan tidak akan per nah lahir bila negara terus bertumpu pada logika penerimaan jangka pendek. Pada akhirnya, memajaki pendapatan pensiun berarti mengorbankan rasa keadil-lan demi penerimaan jangka pendek. Negara yang adil seharusnya hadir melindungi hari tua warganya, bukan seolah memungut kembali hasil kerja keras pekerjanya di masa muda. Pada titik ini, pemajakan atas pendapatan pensiun kehilangan orientasi keadilannya, dan berubah menjadi mekanisme fiskal yang dingin tanpa mempertimbangkan nasib kelompok pensiunan yang renta