Category: Bisnis.com Ekonomi

  • Pengusaha Vs Kemenkeu: Dua Sisi Wacana Penerapan Single Profile Wajib Pajak

    Pengusaha Vs Kemenkeu: Dua Sisi Wacana Penerapan Single Profile Wajib Pajak

    Bisnis.com, JAKARTA — Rencana penerapan integrasi data antara wajib pajak pajak, bea cukai, dan wajib bayar PNBP dalam format single profile menuai pro dan kontra.

    Pemerintah memastikan bahwa integrasi data akan meningkatkan kepatuhan dan mengoptimalkan penerimaan. Sementara itu, kalangan pengusaha berharap penerapan single profile tidak menjadi beban baru ke pelaku usaha.

    Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu Deni Surjantoro menjelaskan, single profile bertujuan untuk mengintegrasikan data para pengguna layanan Kemenkeu.

    Sekadar catatan, saat ini data wajib pajak (WP), pengguna jasa kepabeanan dan cukai maupun wajib bayar PNBP dikoordinasikan oleh masing-masing direktorat jenderal berbeda di Kemenkeu.

    Single profile merupakan salah satu inisiatif untuk mengkalibrasi profil pelaku usaha berdasarkan profil pengguna layanan digital, yang saat ini telah ada di masing-masing layanan elektronik di bawah berbagai unit Kemenkeu.

    “Rencana implementasi single profile untuk berbagai layanan akan dilakukan secara bertahap serta dilakukan perluasan penerapan di beberapa sistem dan layanan Kemenkeu lainnya,” terang Deni kepada Bisnis, Kamis (13/11/2025). 

    Dia menyebut pihaknya berharap program ini dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, seperti peningkatan layanan dan mendukung kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku. 

    “Termasuk menunjang intensifikasi dan ekstensifikasi penerimaan negara ke depan,” lanjut Deni. 

    Namun demikian, Deni mengungkap rencana pembuatan single profile secara spesifik belum mengarah ke integrasi data dengan unit kementerian/lembaga lain, meskipun PMK No.70/2025 menyebut integrasi basis data penerimaan negara melalui single profile dilakukan untuk antarunit Kemenkeu maupun antarkementerian. 

    Deni hanya menambahkan bahwa, sebelum adanya rencana pembangunan single profile, integrasi data salah satu unit Kemenkeu seperti Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sudah diintegrasikan dengan kementerian atau lembaga lainnya. Dia mencontohkan misalnya, dengan data nomor induk berusaha (NIB) yang diterbitkan oleh Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). 

    Integrasi basis data Bea Cukai dan BKPM itu terkait dengan layanan elektronik di bidang ekspor-impor maupun logistik, yang kini dikoordinasikan oleh Lembaga National Single Window (LNSW), salah satu unit di bawah Kemenkeu juga. Data eksportir maupun importir serta pelaku logistik lainnya sudah berdasarkan single stakeholder information. 

    Sementara itu, Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai Kemenkeu, Nirwala Dwi Heryanto menjelaskan bahwa data bea cukai sudah diintegrasikan dengan kementerian dan lembaga lain khususnya terkait dengan ekspor dan impor. Koordinasi dilakukan di bawah unit Kemenkeu lainnya, yakni Lembaga National Single Window (LNSW).

    “Melalui SINSW, sistem Bea Cukai terhubung secara langsung dengan berbagai K/L teknis yang menerbitkan izin ekspor maupun impor. Artinya, setiap kali pelaku usaha mengajukan dokumen kepabeanan, sistem secara otomatis akan memeriksa apakah perizinan dari instansi terkait telah terpenuhi, dan apakah dokumen yang diajukan sudah sesuai dengan ketentuan,” terang Nirwala kepada Bisnis melalui keterangan tertulis.

    Sudah Berlangsung Lama

    Di sisi lain, Direktorat Jenderal Pajak juga sudah mengintegrasikan datanya dengan berbagai instansi seperti Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

    Salah satu contohnya adalah pemadanan identitas nomor induk kependudukan (NIK), yang dikoordinasikan oleh Ditjen Pendudukan dan Catatan Sipil Kemendagri, sebagai nomor pokok wajib pajak (NPWP).

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kemenkeu, Rosmauli juga menyebut data WP sudah diintegrasikan dengan data Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum terkait dengan data badan usaha. 

    Sementara itu, lanjut Rosmauli, antarunit Kemenkeu yakni Ditjen Pajak serta Ditjen Bea Cukai sudah saling bertukar data terkait dengan ekspor impor maupun profil wajib pajak pelaku usahanya. 

    Dia mengeklaim integrasi basis data sejatinya sudah berjalan dan sedang dalam tahap penyempurnaan, serta perluasan cakupan. Akan tetapi, otoritas pajak disebut bakal menyiapkan data-data sesuai dengan profil yang ingin dibangun oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa. 

    “Untuk keperluan pembuatan single profile, data yang diperlukan dari DJP tentunya sesuai dengan profile apa yang akan dibangun. DJP berkomitmen untuk mendukung pembangunan single profile wajib pajak,” terangnya kepada Bisnis.

    Adapun mengutip Renstra Kemenkeu 2025-2029, nantinya pembuatan single profile akan dikoordinasikan oleh Sekretariat Jenderal Kemenkeu, serta unit baru di kementerian itu yakni Badan Teknologi, Informasi dan Intelijen Keuangan (BATII). 

    Jangan Bebani Pengusaha

    Sementara itu, Ketua Umum Apindo Shinta W. Kamdani, dunia usaha melihat langkah pemerintah membangun single profile ini sebagai kebijakan strategis dan sejalan dengan kebutuhan tata kelola penerimaan negara yang lebih berbasis data, transparan, dan efisien.

    Dia pun melihat rencana Menkeu Purbaya itu menjadi praktik terbaik (best practice) menuju pengelolaan fiskal yang lebih akurat, berkeadilan dan kredibel. 

    “Namun demikian, yang perlu kita pastikan bersama nantinya adalah bagaimana proses implementasi kebijakan ini berjalan secara terukur dan inklusif, agar tidak menimbulkan friction cost baru bagi pelaku usaha, baik dari sisi administratif, teknis, maupun kepastian hukum,” terang Shinta kepada Bisnis, Kamis (13/11/2025). 

    Untuk itu, lanjutnya, dunia usaha memerlukan peta jalan kebijakan single profile yang jelas, periode transisi yang memadai, proses sosialisasi dan konsultasi yang efektif, serta jaminan perlindungan data yang kuat. 

    CEO Sintesa Group itu menilai, profil tunggal data penerimaan negara yang ideal tidak hanya merupakan instrumen pengawasan. Dia berharap agar single profile yang ingin dibangun Kemenkeu itu terintegrasi, ramah pengguna, serta mengurangi biaya kepatuhan. 

    Selain itu, profil data tunggal untuk wajib pajak/wajib bayar/pengguna jasa kepabeanan dan cukai itu diharapkan mempercepat proses perizinan dalam bentuk kepabenan maupun restitusi pajak. 

    “Dengan kata lain, if designed well, this reform can be a catalyst for ease of doing business, not a barrier [apabila dirancang dengan baik, reformasi ini akan bisa menjadi katalis untuk kemudahan berusaha, bukan hambatan],” terang Shinta. 

    Menurut perempuan yang juga menjabat Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia itu, kebijakan single profile ini perlu dilihat sebagai dua sisi koin. Saat pemerintah ingin memperkuat basis penerimaan negara, pelaku usaha juga memerlukan kepastian dan kejelasan regulasi supaya bisa beroperasi secara efisien. 

    Shinta juga menyinggung bahwa upaya mendulang penerimaan negara harusnya lebih berorientasi pada perluasan basis ekonomi. Integrasi data fiskal semestinya menjadi instrumen kebijakan untuk memperluas basis penerimaan, bukan sekadar memperdalam pengawasan terhadap sektor yang sudah patuh. 

    “Dengan data yang lebih terkalibrasi dan terhubung lintas direktorat, Pemerintah dapat memetakan potensi penerimaan secara lebih objektif, mendorong kepatuhan sukarela, dan memperluas basis pajak tanpa menambah beban pelaporan bagi pelaku usaha,” ujarnya.

  • Premanisme Bisa Bikin Tekor Pengusaha, Ini Penjelasan Wamen Investasi

    Premanisme Bisa Bikin Tekor Pengusaha, Ini Penjelasan Wamen Investasi

    Bisnis.com, JAKARTA — Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi/Wakil Ketua BKPM Todotua Pasaribu mengungkapkan aksi premanisme seperti pemalakan dan pemerasan menjadi salah satu kontributor utama dalam biaya operasional dalam menjalankan proyek investasi.

    Todotua menjelaskan bahwa kondusivitas merupakan salah satu isu yang menjadi perhatian utama para investor sebelum mau menanamkan modalnya di suatu negara atau wilayah. Oleh sebab itu, sambungnya, Kementerian Investasi dan Hilirisasi terus berupaya menjaga kondusivitas dalam berusaha.

    Dia tidak menampik bahwa di lapangan masih kerap terjadi aksi premanisme. Contohnya, aksi meminta ‘jatah’ oleh organisasi masyarakat (ormas) di proyek PT Chandra Asri Alkali (CAA) di Cilegon, Jawa Barat yang sempat viral beberapa waktu lalu.

    Todotua pun mengungkapkan pihak berwenang langsung coba menindak tegas para pelaku. Menurutnya, aksi serupa langsung turun drastis usai kejadian tersebut.

    “Sampai ada yang ditindak pidana pada saat itu, dan semenjak itu signifikan drop. Semua bergerak juga, aparat penegak hukum, pemerintah daerah, gubernur Jawa Barat ini salah satu yang paling signifikan bergerak pada saat itu, tekan semuanya,” katanya dalam Forum Investasi Nasional 2025 yang disiarkan secara daring, Kamis (13/11/2025).

    Dia pun menekankan pentingnya menjaga kondusivitas agar tidak ada lagi calon investor yang ragu menanamkan modal. Apalagi, sambungnya, aksi premanisme bisa buat biaya bertambah signifikan.

    “Urusan-urusan begini itu berkontribusi terhadap 15% sampai dengan 40% daripada cost [biaya operasional],” ungkap Todotua.

    Mantan CEO Bomba Group ini pun mengingatkan bahwa investasi merupakan komponen terbesar kedua pembentukan produk domestik bruto (PDB). Pada kuartal III/2025 sendiri, Badan Pusat Statistik mencatat investasi berkontribusi hingga 29,09% untuk PDB (hanya kalah dari konsumsi rumah tangga sebesar 53,14%).

    Dengan demikian, Kementerian Investasi dan Hilirisasi coba terus menciptakan iklim usaha yang menarik investor sehingga target pertumbuhan ekonomi 8% bisa tercapai pada 2029. Dia meminta semua pihak bekerja sama dalam mencapai menciptakan iklim investasi yang bersahabat itu.

    “Orang mau investasi di sini susah, ditekan, diperas, dipalak, ya kan? Habis itu, enggak pasti izinnya keluar. Siapa yang mau masuk?” kata Todotua.

    Lebih lanjut, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8%, dia menjelaskan pemerintah telah menargetkan investasi sebesar tak kurang dari Rp13.000 triliun selama 2024—2029. Angka itu naik signifikan dibandingkan realisasi investasi sebesar Rp9.200 triliun selama 2014—2024.

    Adapun secara tahunan, perincian target investasi yaitu Rp1.650 triliun pada 2024, Rp1.900 triliun pada 2025, Rp2.175 triliun pada 2026, Rp2.567 triliun pada 2027, Rp2.969 triliun pada 2028, dan Rp3.014 triliun pada 2029.

  • Titah Prabowo Mandatori B50 Tersandera Pasokan Minyak Sawit

    Titah Prabowo Mandatori B50 Tersandera Pasokan Minyak Sawit

    Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Prabowo Subianto menginstruksikan percepatan penerapan program mandatori biodiesel 50% (B50). Tujuannya adalah mencapai ketahanan energi nasional melalui sumber yang lebih ramah lingkungan.

    Namun, ambisi tersebut tersandera oleh persoalan pasokan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang belum mencukupi kebutuhan domestik.

    Bisnis mencatat, Pemerintah menargetkan implementasi B50 dimulai pada 2026. Kebijakan ini diklaim akan menekan impor solar sekaligus memperkuat posisi Indonesia sebagai produsen biodiesel terbesar di dunia.

    Namun, di balik optimisme tersebut, pasokan CPO yang ada saat ini belum mencukupi, bahkan untuk sekadar memenuhi kebutuhan domestik.

    Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengakui ketersediaan bahan baku CPO masih menjadi tantangan utama dalam rencana penerapan biodiesel B50 di Indonesia.

    Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) ESDM Eniya Listiani Dewi mengatakan pelaksanaan mandatori B50 masih bergantung pada hasil kajian teknis dan ketersediaan bahan baku CPO di dalam negeri.

    “Kalau kita mau mandatori 50 pun nggak bisa sama-sama 50, karena kurang dan belum ada replanting, belum ada penambahan lahan, belum ada itu,” kata Eniya dalam konferensi pers 21st Indonesian Palm Oil Conference and 2026 Price Outlook (IPOC) di BICC, The Westin Resort Nusa Dua, Bali, Kamis (13/11/2025).

    Eniya menyampaikan, produktivitas perkebunan sawit saat ini tidak mengalami peningkatan signifikan. Di sisi lain, kebutuhan bahan baku akan melonjak tajam bila program B50 dijalankan secara serentak. Untuk itu, opsi penyesuaian volume penyerapan biodiesel di sektor Public Service Obligation (PSO) dan non-PSO tengah dikaji.

    “Kalau ini naik 50, berarti ini turun jadi 35 atau 40 atau berapa. Jadi, adjustment itu. Plus adjustment serapan solar. Jadi, ini masih diskusi ya,” ujarnya.

    Risiko Terhadap Harga CPO

    Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono mengatakan tantangan utama dalam implementasi kebijakan B50 terletak pada cara meningkatkan produksi dan produktivitas kelapa sawit dalam negeri. 

    “Kalau B50 diimplementasikan maka ada kemungkinan ekspor akan turun, perihal harga apabila supply berkurang maka kemungkinan harga akan naik, kecuali supply minyak nabati lain supply-nya bagus,” kata Eddy kepada Bisnis, Rabu (12/11/2025).

    Senada, pengamat mewanti-wanti implementasi kebijakan B50 pada semester II/2026 akan membuat harga CPO menjulang, jika rantai pasok komoditas tersebut lebih sedikit.

    Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (Core) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan kebijakan B50 dipastikan akan menambah permintaan (demand) terhadap bahan baku minyak sawit.

    “Jadi, ini ada additional demand yang di-drive oleh kebijakan pemerintah, on top of demand yang ada sekarang. Jadi, kalau kemudian suplai [CPO] tidak bisa picking up terhadap penambahan demand, tentu saja akan berdampak terhadap harga minyak sawit di pasar internasional,” kata Faisal kepada Bisnis, Rabu (12/11/2025).

    Faisal menuturkan, implementasi B50 menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi peningkatan harga CPO. Jika kebijakan tersebut dilakukan dalam skala yang luas, kata dia, ada kemungkinan di semester II/2026 sudah terlihat lonjakan harga CPO di internasional.

    “Karena sudah pasti kemungkinan besar kalau dia [B50] implementasinya cepat dan masif, maka supply itu tidak bisa mengimbangi secara dengan mudah dalam waktu singkat, sehingga akan berdampak terhadap kenaikan harga,” terangnya.

    Faktor lainnya adalah masalah cuaca, peremajaan sawit, hingga hilirisasi sawit untuk mendukung B50. Dia menjelaskan, jika hilirisasi tersebut tidak dibarengi dengan peningkatan produksi di hulu, maka harga CPO akan meningkat dan langka seperti kelapa bulat.

    Bahkan, dia menyebut lonjakan harga CPO di tingkat internasional akan membuat para pemain mencari celah untuk mengekspor komoditas tersebut.

    “Karena tentu saja harga diekspor lebih menguntungkan misalnya,” imbuhnya.

    Faisal menilai pemerintah perlu mengontrol rantai distribusi untuk mengantisipasi segala kemungkinan dampak dari adanya kebijakan B50 pada semester II/2026. 

  • Dua Gugatan Ditolak MK, Purbaya Tetap Pungut Pajak Pesangon Pekerja Kena PHK

    Dua Gugatan Ditolak MK, Purbaya Tetap Pungut Pajak Pesangon Pekerja Kena PHK

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa tetap bisa memungut pajak dari uang pensiun dan pesangon pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja alias PHK setelah Mahkamah Konstitusi menolak dua gugatan uji materi.

    Peristiwa yang terbaru, MK mementahkan permohonan uji materi atas Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) dan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang diajukan oleh 12 pekerja bank dan seorang ketua serikat buruh.

    Dalam putusan Perkara Nomor 186/PUU-XXIII/2025, Ketua MK Suhartoyo menilai permohonan uji materi tidak jelas atau obscuur. Ketidakjelasan itu membuat Mahkamah tidak melanjutkan pemeriksaan terhadap kedudukan hukum maupun pokok perkara para pemohon. 

    “Karena permohonan Pemohon tidak jelas atau kabur atau obscuur, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan kedudukan hukum dan pokok permohonan para Pemohon lebih lanjut,” ujarnya dalam sidang pengucapan putusan, Kamis (13/11/2025), dikutip situs resmi MK.

    Mahkamah menilai argumentasi para pemohon mengenai frasa “tunjangan dan uang pensiun” dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a UU PPh tidak sesuai dengan rumusan pasal yang sebenarnya.

    Berdasarkan hasil pemeriksaan, kata Suhartoyo, frasa tersebut tidak terdapat dalam ketentuan dimaksud, melainkan terpisah menjadi kata “tunjangan” dan “uang pensiun”.

    Selain itu, Mahkamah menilai permohonan yang diajukan juga tidak konsisten. Dalam petitum pertama, pemohon mencampurkan alasan permohonan ke dalam bagian permintaan, sedangkan pada petitum kedua, pemohon meminta agar Pasal 17 ayat (1) huruf a dinyatakan konstitusional bersyarat, tetapi dalam alasan permohonan justru menyebutkan pertentangan pasal secara keseluruhan.

    Dengan demikian, MK memutuskan permohonan para pemohon yang tercatat dalam perkara Nomor 186/PUU-XXIII/2025 tidak dapat diterima.

    Sebagai informasi, Pasal 4 ayat (1) UU PPh mengatur bahwa penghasilan yang menjadi objek pajak mencakup setiap tambahan kemampuan ekonomis yang dapat digunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak, termasuk gaji, upah, komisi, bonus, gratifikasi, serta uang pensiun. Adapun Pasal 17 mengatur lapisan tarif progresif PPh berdasarkan besaran penghasilan.

    Permohonan ini diajukan oleh 12 pekerja bank swasta, termasuk seorang ketua umum serikat karyawan. Mereka mempersoalkan pengenaan pajak terhadap pesangon dan manfaat pensiun yang dinilai bertentangan dengan hak konstitusional pekerja sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945.

    Para pemohon berpendapat bahwa pesangon dan pensiun merupakan hak normatif dan bentuk penghargaan atas masa kerja, bukan tambahan penghasilan baru. Karena itu, mereka meminta MK menafsirkan ketentuan pajak secara konstitusional bersyarat agar tidak mencakup dana jaminan sosial seperti uang pensiun, Jaminan Hari Tua (JHT), dan Tunjangan Hari Tua (THT).

    Penolakan Serupa

    Sebelumnya, permohonan serupa juga sudah sempat ditolak MK. Dalam putusan Nomor 170/PUU-XXIII/2025, Mahkamah menyatakan permohonan uji materi pajak pesangon dan pensiun tidak dapat diterima karena tidak memenuhi syarat formil dan substansi.

    Hakim Konstitusi Arsul Sani menjelaskan para pemohon yaitu Rosul Siregar dan Maksum Harahap, dua karyawan swasta, tidak cermat dalam menyusun permohonan. MK menilai adanya ketidakkonsistenan dan kekeliruan dalam menyebut norma undang-undang yang diuji, serta petitum yang tidak jelas.

    “Ketidakkonsistenan serta kekeliruan tersebut membuat permohonan tidak jelas atau kabur mengenai pasal atau ketentuan mana yang sebenarnya dimaksud untuk diuji,” ujar Arsul dalam sidang pembacaan putusan di Jakarta, Kamis (30/10/2025), seperti dikutip dari laman resmi MK.

    Mahkamah menilai petitum para pemohon juga tidak lazim karena tidak memberikan alternatif permintaan. Ketiadaan pilihan tersebut menyebabkan permohonan tidak memenuhi asas kejelasan dan kepastian hukum sebagaimana prinsip yang diatur dalam hukum acara MK.

    Sebelumnya, para pemohon meminta MK menyatakan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17 UU No. 7/1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh), sebagaimana telah diubah dengan UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945.

    Keduanya berpendapat bahwa pesangon, uang pensiun, tunjangan hari tua (THT), dan jaminan hari tua (JHT) seharusnya dikecualikan dari objek pajak penghasilan karena merupakan hak sosial yang berfungsi sebagai jaminan pasca kerja.

    Hanya saja, MK menilai permohonan tersebut obscuur libel atau kabur sehingga tidak dapat dipertimbangkan lebih lanjut. Dengan demikian, pesangon, pensiun, THT, dan JHT tetap termasuk objek PPh sesuai Pasal 4 ayat (1) UU PPh yang menyebut setiap tambahan kemampuan ekonomis—termasuk uang pensiun dan imbalan kerja—sebagai penghasilan kena pajak.

  • Pertamina Tawarkan Produksi Massal Olahan Minyak Goreng Bekas (SAF) di COP 30 Brasil

    Pertamina Tawarkan Produksi Massal Olahan Minyak Goreng Bekas (SAF) di COP 30 Brasil

    Bisnis.com, JAKARTA — PT Pertamina (Persero) menggaungkan pengembangan Sustainable Aviation Fuel (SAF) berbasis ekonomi sirkular. Langkah tersebut dipresentasikan Pertamina untuk mengejar Net Zero Emission (NZE) 2060 dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB atau COP 30 Brasil.

    Direktur Utama Pertamina Simon Aloysius Mantiri menyampaikan bahwa SAF menjadi salah satu terobosan utama perusahaan dalam menghadirkan bahan bakar penerbangan rendah karbon. Menurut dia, inovasi tersebut sekaligus menjadi solusi konkret bagi ekonomi hijau Indonesia.

    “Produk SAF menjadi inovasi Pertamina dalam menyediakan bahan bakar ramah lingkungan untuk industri penerbangan. Kami membangun ekosistem SAF dari hulu hingga hilir tidak hanya menawarkan bahan bakar rendah karbon, tetapi juga menciptakan ekonomi sirkular berbasis pemanfaatan limbah jelantah,” ujar Simon melalui keterangan resmi dikutip Kamis (13/11/2025).

    Minyak jelantah adalah minyak goreng bekas yang telah digunakan berulang kali dan tidak lagi layak untuk dikonsumsi. Minyak ini ditandai dengan warna kecoklatan, aroma tengik, dan adanya endapan, serta menjadi limbah rumah tangga berbahaya jika dibuang sembarangan karena dapat mencemari lingkungan dan kesehatan. 

    Simon menuturkan ekosistem terintegrasi yang dibangun Pertamina mencakup seluruh rantai pasok SAF, mulai dari pengumpulan minyak goreng bekas (used cooking oil/UCO) hingga proses pengolahan dan distribusinya ke maskapai penerbangan.

    Untuk tahap pengumpulan bahan baku, Pertamina Patra Niaga menggandeng Noovoleum melalui sistem UCollect yang terhubung dengan aplikasi MyPertamina. Terhitung sejak September 2024 hingga September 2025, sistem tersebut mengumpulkan sekitar 116.782 liter jelantah dari 35 titik pengumpulan di berbagai daerah. Volume itu diperkirakan meningkat seiring pengembangan produksi dan penerapan mandatori SAF nasional.

    Pada sisi produksi, PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) melalui fasilitas green refinery di Cilacap kini mampu menghasilkan SAF hingga 238.000 kiloliter per tahun. Selanjutnya, Pertamina International Shipping (PIS) menangani distribusi ke fasilitas penyimpanan sebelum Pertamina Patra Niaga menyalurkannya ke sejumlah bandara, termasuk Soekarno-Hatta di Cengkareng dan I Gusti Ngurah Rai di Denpasar. Produk SAF tersebut telah digunakan Pelita Air dalam operasi penerbangan komersial.

    Pemerintah menetapkan mandatori penggunaan SAF sebesar 1% pada 2026 sebagai langkah awal penerapan bahan bakar berkelanjutan di industri penerbangan nasional. Inisiatif ini sejalan dengan komitmen global yang diusung International Civil Aviation Organization (ICAO) untuk memangkas emisi karbon hingga 11,2 gigaton pada 2050.

    Secara global, SAF diperkirakan mampu mengurangi 718 juta ton CO₂ pada periode tersebut. Khusus SAF berbahan baku jelantah, potensi penurunan emisi dapat mencapai 80% dibandingkan avtur konvensional.

    Agung menjelaskan, Indonesia memiliki kapasitas pasokan jelantah yang besar bersama China dan Malaysia. Pada 2023, Indonesia memasok sekitar 300.000 metrik ton jelantah per tahun, dan angkanya diproyeksikan meningkat hingga 800.000 metrik ton per tahun.

    Direktur Transformasi dan Keberlanjutan Bisnis Pertamina Agung Wicaksono mengatakan keikutsertaan Pertamina dalam COP 30 mencerminkan dukungan perusahaan terhadap strategi transisi energi yang menyesuaikan kondisi ekonomi negara berkembang.

    “Seiring kebijakan mandatori, Indonesia berpeluang besar menjadi pusat produksi SAF dunia. Pertamina akan terus mendukung program keberlanjutan demi tercapainya target Net Zero Emission,” kata Agung.

  • Isu Perizinan Bikin Rp1.500 Triliun Investasi Belum Terealisasi

    Isu Perizinan Bikin Rp1.500 Triliun Investasi Belum Terealisasi

    Bisnis.com, JAKARTA — Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi/Wakil Ketua BKPM Todotua Pasaribu mengungkapkan bahwa terdapat sekitar Rp1.500 triliun potensi investasi yang belum terealisasi sepanjang 2022—2024.

    Todotua menjelaskan padahal banyak calon investor sudah memiliki nomor induk berusaha (NIB) seperti yang tercatat di Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM). Kendati demikian, realisasi investasi belum ada.

    “Karena apa? Masih pengurusan izin lah, itulah, inilah. Unrealized investment, potensi investasi yang bisa terjadi tetapi tidak bisa terjadi karena beberapa hal,” ujar Todotua dalam Forum Investasi Nasional 2025 yang diselenggarakan secara daring, Kamis (13/11/2025).

    Oleh sebab itu, sambungnya, Kementerian Investasi dan Hilirisasi coba terus mempermudah perizinan usaha. Dia mencontohkan pemerintah belum lama ini menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 28/2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.

    Menurut Todotua, ada dua substansi baru yang diatur dalam PP 28/2025. Pertama, penerapan service level agreement (SLA) yang membuat setiap tahapan dalam proses perizinan usaha—mulai dari pendaftaran hingga penerbitan izin—akan diberikan batas waktu layanan yang jelas.

    Kedua, kebijakan fiktif positif yaitu izin usaha akan terbit otomatis apabila instansi tidak memberikan keputusan dalam batas waktu SLA yang telah ditetapkan.

    “Jadi dunia usaha itu, pelaku usaha itu, datang di negara kita, ngurus izin, itu selalu dibilang, ‘Berapa lama ngurus izin?’ Ini kan susah. Nah ini kita bikin namanya fiktif positif,” jelas Todotua.

    Mantan CEO Bomba Group ini pun mengingatkan bahwa investasi merupakan komponen terbesar kedua pembentukan produk domestik bruto (PDB). Pada kuartal III/2025 sendiri, Badan Pusat Statistik mencatat investasi berkontribusi hingga 29,09% untuk PDB (hanya kalah dari konsumsi rumah tangga sebesar 53,14%).

    Dengan demikian, Kementerian Investasi dan Hilirisasi coba terus menciptakan iklim usaha yang menarik investor sehingga target pertumbuhan ekonomi 8% bisa tercapai pada 2029. Dia meminta semua pihak bekerja sama dalam menciptakan iklim investasi yang bersahabat itu.

    “Orang mau investasi di sini susah, ditekan, diperas, dipalak, ya kan? Habis itu, enggak pasti izinnya keluar. Siapa yang mau masuk?” kata Todotua.

    Lebih lanjut, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8%, dia menjelaskan pemerintah telah menargetkan investasi sebesar tak kurang dari Rp13.000 triliun selama 2024—2029. Angka itu naik signifikan dibandingkan realisasi investasi sebesar Rp9.200 triliun selama 2014—2024.

    Adapun secara tahunan, perincian target investasi yaitu Rp1.650 triliun pada 2024, Rp1.900 triliun pada 2025, Rp2.175 triliun pada 2026, Rp2.567 triliun pada 2027, Rp2.969 triliun pada 2028, dan Rp3.014 triliun pada 2029.

  • Kemendag Gaungkan Gerakan Pasar Tradisional Bersih dari Surabaya

    Kemendag Gaungkan Gerakan Pasar Tradisional Bersih dari Surabaya

    Bisnis.com, SURABAYA – Pemerintah mencatat pasar tradisional menjadi salah satu penyumbang sampah terbesar. Oleh sebab itu, diperlukan sistem untuk mengatur limbah agar tidak berserakan di kawasan pasar dan dapat didaur ulang sehingga memberi nilai ekonomis.

    Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso mengatakan pihaknya telah berkoordinasi langsung dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Hanif Faisol Nurofiq agar memasukkan pasar tradisional di seluruh Indonesia dalam gerakan bebas sampah.

    “Kalau pasarnya bersih, pedagangnya sehat, senang. Pengunjungnya juga senang karena pasti enggak bau, tapi kalau pasar masih kotor dengan sampah, tentu nanti penjual, pedagang tidak sehat,” kata Budi di kawasan Pasar Sememi, Surabaya, Jawa Timur, dalam acara Gerakan Nasional Membersihkan Pasar Nusantara (Gernas Mapan), Kamis (13/11/2025). .

    Budi meyakini pasar tradisional yang bersih itu dapat dibentuk. Dia mencontohkan salah satu pasar tradisional di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang diklaim telah bebas dari sampah, dan juga dipergunakan untuk aktivitas lainnya selain kegiatan jual-beli. 

    “Saya kasih contoh di Yogyakarta. Itu ada pasar bersih banget, kemudian ada cafe-nya, jadi tempat nongkrong anak-anak muda, terus di atas ada ruang perkantoran,” bebernya.

    Selain itu, Budi juga memperkenalkan, perihal bank sampah yang sudah beridiri di sekitar Pasar Sememi. Dirinya berharap kepada masyarakat, khususnya pedagang di pasar mengumpulkan limbah yang layak untuk didaur ulang.

    “Namanya waste station itu ngumpulin barang. Misalnya plastik dari para pedagang, ditaruh di situ, nanti dia akan diproses, menjadi bahan baki untuk membuat plastik lagi,” jelasnya.

    Selain itu, masyarakat juga akan mendapatkan sejumlah uang dari petugas berdasarkan kuantitas sampah yang telah dikumpulkan. Dengan demikian, permasalahan limbah yang berserakan di pasar dapat diselesaikan secara komprehensif. 

    “Jadi semua berjalan, para pedagang tentu semakin bersemangat karena sampah yang berceceran itu juga menghasilkan uang, terus tidak merusak lingkungan, semua diproses dengan baik,” pungkasnya.

  • Ini Enam Poin Persoalan Tanah dan Ruang di Makassar: Tak Ada RDTR hingga Konflik Agraria

    Ini Enam Poin Persoalan Tanah dan Ruang di Makassar: Tak Ada RDTR hingga Konflik Agraria

    Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid membahas enam poin persoalan tanah dan ruang bersama kepala daerah se-Sulawesi Selatan di Makassar.

    Nusron menekankan enam poin utama yang menjadi fokus koordinasi antara Kementerian ATR/BPN dan pemerintah daerah. Mulai dari integrasi data antara nomor identifikasi bidang tanah (NIB) dan nomor objek pajak (NOP) dalam rangka meningkatkan pendapatan asli daerah.

    “Kedua, pemutakhiran sertifikat lama agar tidak tumpang tindih,” ujar Nusron usai melakukan Rapat Koordinasi Penyelesaian Isu-isu Strategis Pertanahan bersama di Kantor Gubernur Sulawesi Selatan, Kamis.

    Selanjutnya, Nusron menyoroti revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).

    Ia menyebut, masih terdapat 116 wilayah di Sulsel yang belum memiliki RDTR. Padahal, dokumen tersebut sangat penting untuk memastikan kepastian hukum pemanfaatan ruang serta menarik investasi daerah.

    Pembahasan berikutnya adalah langkah penyelesaian tanah wakaf dan evaluasi konflik agraria, termasuk sengketa antara pemegang hak guna usaha (HGU) dengan masyarakat.

    Nusron menyebut data rendahnya jumlah tempat ibadah dan tanah wakaf yang sudah bersertifikat di Sulawesi Selatan. Dari 13.575 masjid, baru sekitar 3.111 atau sekitar 20 persen lebih yang telah bersertifikat.

    “Sekarang baru 20 persen masjid yang bersertifikat. Ini perlu jadi perhatian serius,” ungkapnya.

    Ia menekankan bahwa tanah wakaf, masjid, musala, gereja, pesantren, dan makam harus segera disertifikatkan agar tidak menimbulkan masalah hukum di masa depan, terutama di daerah perkotaan yang nilai tanahnya semakin tinggi.

    “Hari ini mungkin tidak bermasalah, tapi nanti ketika tanah wakaf kena proyek jalan atau tol, keluarga wakif bisa muncul dan mengklaim. Kalau tidak disertifikatkan, itu bisa jadi konflik,” ujar Nusron.

    Untuk itu, ia berencana mengumpulkan seluruh organisasi keagamaan dan lembaga wakaf, termasuk MUI, NU, Muhammadiyah, Dewan Masjid Indonesia, dan Badan Wakaf Nasional, guna menyusun strategi percepatan sertifikasi aset keagamaan.

    “Lalu, juga konflik tanah antara pemegang HGU dengan rakyat, termasuk tanah-tanah eks PTPN (PT Perkebunan Nusantara) yang sudah diokupasi masyarakat, semua itu perlu kita evaluasi dan cari solusi bersama,” jelas Nusron.

    Nusron memimpin rapat koordinasi (rakor) bersama kepala daerah se-Sulsel. Rakor ini merupakan bagian dari rangkaian kunjungan kerja nasionalnya ke berbagai provinsi. Tujuannya adalah untuk memperkuat sinergi antara pusat dan daerah dalam menyelesaikan persoalan pertanahan dan tata ruang di lapangan.

  • Baru 11 Blok Migas Bagi Jatah Saham 10% ke Daerah, 68 Masih Proses

    Baru 11 Blok Migas Bagi Jatah Saham 10% ke Daerah, 68 Masih Proses

    Bisnis.com, JAKARTA — SKK Migas mengungkapkan pengalihan hak partisipasi atau participating interest (PI) 10% untuk pemerintah daerah (pemda) baru terealisasi di 11 wilayah kerja (WK) minyak dan gas bumi (migas). Sementara itu, pengalihan PI 10% di 68 WK lainnya masih berproses.

    PI 10% adalah kepemilikan saham maksimum 10% dalam kontrak minyak dan gas yang wajib ditawarkan oleh kontraktor kepada badan usaha milik daerah (BUMD). Hal ini sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 37 Tahun 2016 tentang Ketentuan Penawaran Participating Interest 10% Pada Wilayah Kerja Minyak Dan Gas Bumi.

    Kepala SKK Migas Djoko Siswanto mengatakan, saat ini baru 11 WK yang telah melakukan pengalihan PI 10% kepada pemda, sedangkan 68 WK lainnya masih berprogres.

    “Dari 60-an WK yang disampaikan itu masih dalam proses 2%. Kemudian, 11 WK sudah selesai,” ucapnya dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi XII DPR RI, Kamis (13/11/2025).

    Dia memerinci, 11 WK yang telah mengalihkan PI 10% itu adalah WK ONWJ kepada Pemprov DKI Jakarta dan Jawa Barat. Lalu, WK Mahakam kepada Pemprov Kalimantan Timur, WK Siak kepada Pemprov Riau, WK Ketapang kepada Pemprov Jawa Timur, serta WK Sebuku kepada Pemprov Kalimantan Selatan dan Sulawesi Barat.

    Berikutnya, WK Southeast Sumatra kepada Pemprov DKI Jakarta dan Lampung, WK Rokan kepada Pemprov Riau, WK Kampar kepada Pemprov Riau, WK West Madura Offshore kepada Pemprov Jawa Timur, WK Mahato kepada Pemprov Riau, dan WK Sanga-Sanga kepada Pemprov Kalimantan Timur.

    Sementara itu, untuk 68 WK yang masih berprogres mencakup 13 WK yang masih dalam tahap plan of development (PoD) I hingga gubernur menunjuk BUMD. Kemudian, 48 WK masih proses penawaran PI 10%, 3 WK masih tahap permohonan pengalihan, serta 4 WK dalam proses pengajuan kepada menteri ESDM.

    Untuk diketahui, pengalihan PI 10% kepada pemda bertujuan untuk meningkatkan peran serta nasional dan daerah dalam pengelolaan sumber daya alam.

    Pengalihan PI 10% juga bertujuan mendorong transfer teknologi dan kapasitas bagi BUMD atau perusahaan nasional serta menjamin adanya keadilan distribusi manfaat ekonomi dari kegiatan migas.

  • EUDR Ditunda: Perusahaan Besar UE Untung, Petani Kecil RI Tertekan

    EUDR Ditunda: Perusahaan Besar UE Untung, Petani Kecil RI Tertekan

    Bisnis.com, NUSA DUA, BALI — Penundaan implementasi European Union Deforestation Regulation (EUDR) hingga Desember 2026 dinilai menguntungkan perusahaan besar di Eropa yang telah siap memenuhi regulasi, namun menambah tekanan bagi petani kecil di Indonesia.

    Duta Besar RI untuk Belgia, Luksemburg, dan Uni Eropa, Andri Hadi, menuturkan Indonesia sejak awal mengambil pendekatan proaktif dan konstruktif dalam menanggapi EUDR.

    Dia menyampaikan, Indonesia bersama negara lain berkali-kali menyoroti kekhawatiran perihal waktu persiapan yang singkat, sistem benchmarking, dan risiko bagi petani kecil sejak 2022 silam.

    Adapun, penundaan yang diusulkan Komisi Eropa muncul lantaran sistem teknologi informasi (TI) EUDR belum siap sepenuhnya.

    “Proposal tersebut menetapkan jadwal yang direvisi, yakni penundaan kewajiban bagi usaha mikro dan kecil hingga 30 Desember 2026. Jadi penundaan ini hanya berlaku untuk usaha mikro dan kecil,” kata Andri dalam acara 21st Indonesian Palm Oil Conference and 2026 Price Outlook (IPOC) di BICC, The Westin Resort Nusa Dua, Bali, Kamis (13/11/2025). 

    Namun, usulan penundaan hanya berlaku untuk importir usaha mikro dan kecil di UE, sedangkan usaha menengah dan besar tetap harus mematuhi ketentuan mulai Desember 2025. Ini artinya, perusahaan besar di UE berpotensi diuntungkan karena sudah memiliki sistem ketertelusuran yang mapan.

    “Secara lebih luas, proposal ini dianggap menguntungkan perusahaan besar yang sudah memiliki sistem keterlacakan penuh, serta produsen UE berbasis kecil, sementara memberikan bantuan terbatas untuk operator menengah yang menghadapi risiko beragam,” tuturnya.

    Andri menilai perbedaan kesiapan otoritas antarnegara UE dapat menimbulkan risiko “forum shopping”, di mana importir memilih pelabuhan masuk dengan regulasi yang lebih longgar.

    Kendati demikian, menurutnya, penundaan ini juga memberi waktu bagi Indonesia untuk memperkuat sistem nasional, termasuk sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), akurasi data geolokasi, serta kapasitas petani kecil.

    Selain itu, Andri juga menyoroti pentingnya memanfaatkan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia–Uni Eropa (IEU—CEPA) sebagai platform kerja sama untuk mendorong perdagangan berkelanjutan berbasis dialog.

    Meski begitu, dia menekankan IEU—CEPA tidak dirancang untuk menggantikan EUDR, melainkan menyediakan platform kerja sama untuk memajukan keberlanjutan, perdagangan, dan pertumbuhan ekonomi secara bersamaan.

    Sementara itu, Wakil Menteri Luar Negeri Arif Havas Oegroseno menyebut EUDR yang dinilai tidak sejalan dengan prinsip keberlanjutan internasional, membebani petani kecil, menciptakan diskriminasi terhadap negara berkembang, dan berpotensi melanggar keadilan sosial dalam rantai pasok.

    “Prinsip universal menjadi hukum internasional. Maka standarnya pun harus berlaku secara universal. Bukan berarti standar pengelolaan sawit negara barat (Eropa) lebih baik, dan ASEAN tidak. Sebab seharusnya European Union Deforestation Regulation [EUDR] memiliki standar yang sama,” ujar Arif.

    Dia mengusulkan mekanisme komunikasi yang telah terbukti melalui pengalaman Indonesia–Uni Eropa dalam perjanjian FLEGT-VPA di sektor kehutanan.

    Lebih lanjut, dia juga merekomendasikan pembentukan Licensing Information Unit di Indonesia sebagai pintu komunikasi resmi bagi otoritas Eropa untuk memverifikasi asal-usul dan status keberlanjutan produk, dengan data tetap disimpan di Indonesia.

    Menurutnya, mekanisme serupa dapat direplikasi untuk EUDR melalui integrasi antara dashboard nasional Indonesia dan sistem EUDR, sehingga verifikasi dapat berjalan tanpa membebani petani kecil dan tanpa melanggar kedaulatan data.

    Dengan pendekatan ini, kata dia, implementasi EUDR dapat menjadi lebih adil, proporsional, dan sesuai dengan prinsip keberlanjutan internasional.

    Di sisi lain, Kementerian Pertanian (Kementan) mencatat industri sawit nasional kini mencakup 16,38 juta hektare, dengan 42% dikelola oleh pekebun rakyat. Industri ini menyerap 4,2 juta tenaga kerja langsung dan 12 juta tenaga kerja tidak langsung.

    Plt Direktur Jenderal Perkebunan Kementan Abdul Roni Angkat menyampaikan dalam upaya meningkatkan produktivitas, pemerintah mempercepat Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dengan reformasi regulasi besar-besaran seperti penyederhanaan persyaratan dari 14 syarat menjadi 2 syarat, yakni verifikasi dipangkas dari tiga tahap menjadi satu tahap, integrasi proses melalui sistem digital nasional.

    “Penyederhanaan PSR merupakan langkah nyata memudahkan pekebun dan mempercepat peremajaan,” terang Abdul.

    Dia menambahkan, seiring meningkatnya kebutuhan domestik untuk minyak goreng dan biodiesel, pemerintah mendorong hilirisasi sawit melalui pembangunan fasilitas biodiesel, DMO minyak goreng, margarin, bio propylene glycol, hingga unit pengolahan inti di berbagai provinsi seperti Sumatera Utara, Riau, Jambi, Kalimantan, dan Sulawesi Selatan.