Category: Bisnis.com Ekonomi

  • Kemenkeu Siapkan Anggaran untuk Cetak 3 Juta Hektare Sawah

    Kemenkeu Siapkan Anggaran untuk Cetak 3 Juta Hektare Sawah

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Keuangan akan menyiapkan anggaran untuk mewujudkan perintah Prabowo Subianto dalam mencetak tiga juta hektare sawah.

    Wakil Menteri Keuangan III Anggito Abimanyu menyebutkan pada dasarnya Prabowo mencanangkan dalam lima tahun ke depan untuk melakukan swasembada beras.

    “[Cetak sawah] satu juta dulu kami akan siapkan anggarannya, kemudian tiga juta,” ujarnya dalam Rapat Terbuka Senat: Puncak Dies Natalis ke-15 & Lustrum III Sekolah Vokasi UGM Tahun 2024, Senin (28/10/2024).

    Saat ini, Anggito menyampaikan telah ada satu juta hektare sawah yang dikerjakan di Maluku. Bila mana dalam pemerintahan Prabowo berhasil mencatak tiga juta sawah, Anggito meyakini Indonesia akan menjadi penghasil beras terbesar di dunia.

    Pasalnya, di tengah krisis global, negara-negara mengutamakan kepentingan domestiknya dan menutup keran impor. Untuk itu, Indonesia harus mampu memproduksi dan memenuhi kebutuhan pangan nasional secara mandiri.

    “Nomor satu swasembada, make sure kita tidak ada impor beras. Make sure kita cukup untuk menghidupi rakyat kita melalui pangan dan produk yang ada,” jelasnya.

    Selain di Maluku, cetak sawah juga direncanakan di Kalimantan Tengah, yang ide awalnya adalah food estate.

    Selain itu, Anggito juga menyebutkan adanya revitalisasi dari Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) untuk mendukung kebutuhan pangan Tanah Air.

    “Jadi ini pencetakan sawah termasuk Bulog, sekarang menjadi Bulognas. Sudah direvitalisasikan supaya Bulog punya peran sebagai buffer untuk kebutuhan-kebutuhan pangan kita,” tuturnya.

    Meski demikian, Anggito tidak menyebutkan seberapa besar anggaran yang akan disiapkan dari kas negara untuk menambah lahan padi tersebut.

    Sementara melihat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025, belum tercatat alokasi khusus untuk cetak sawah, namun terdapat porsi untuk membiayai program Quick Win Lumbung Pangan Nasional Daerah dan Desa senilai Rp15 triliun.

    Adapun dalam Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik bidang Pangan Pertanian, yang salah satu tujuannya meningkatkan kemampuan produksi pangan, untuk tahun depan dianggarkan senilai Rp675,33 miliar.

    Sebelumnya, Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Sudaryono optimistis Kementerian Pertanian (Kementan) mampu cetak lahan sawah seluas tiga juta hektare dalam waktu 3—4 tahun ke depan.

    Sudaryono menaksir bahwa target tiga juta hektare itu nantinya akan bisa memenuhi kebutuhan pangan nasional hingga 80 tahun ke depan.

    “Kami perkirakan dengan tiga juta itu bisa menjamin generasi kita 80 tahun ke depan. Dengan tadi eksponensial penambahan penduduk, kemudian kebutuhan konsumsi pangan kita, dengan tiga juta itu bisa paling tidak kita save selama 70—80 tahun ke depan,” ungkapnya kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (28/10/2024).

  • Bukan Bailout, Kemudahan Ekspor Paling Mendesak untuk Selamatkan Sritex

    Bukan Bailout, Kemudahan Ekspor Paling Mendesak untuk Selamatkan Sritex

    Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyebut hal yang paling mendesak untuk penyelamatan PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex setelah dinyatakan pailit yakni berkaitan dengan kemudahan izin ekspor. 

    Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, pabrik Sritex masih berproduksi untuk memenuhi pesanan dari pasar. Untuk itu, meski dipailitkan, gerbang untuk ekspor produk Sritex perlu dibuka demi menjaga pasar luar negeri. 

    “Mereka kan tetap produksi, tapi barang tidak bisa keluar dari pabrik, tidak keluar dari kawasan berikat. Itu bagaimana pemerintah bisa memastikan dalam hal ini Bea Cukai bahwa barang-barang yang diproduksi oleh mereka itu bisa keluar, bisa diekspor,” kata Agus kepada wartawan, dikutip Selasa (29/10/2024). 

    Langkah ini juga mesti dilakukan untuk menjaga tenaga kerja di pabrik Sritex agar tidak terdampak pemutusan hubungan kerja (PHK). Berdasarkan pernyataan manajemen Sritex, saat ini tenaga kerja di Sritex Group mencapai 50.000 pekerja. 

    Pemerintah tengah menggodok sejumlah upaya untuk memastikan perusahaan tekstil terbesar se-Asia Tenggara itu tetap berproduksi dan mempertahankan puluhan ribu karyawan yang ada saat ini. 

    Hal ini juga ditegaskan oleh Plt Direkut Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Reni Yanita bahwa bahwa Sritex masih menjalankan produksinya sebesar 65%, lebih tinggi dibandingkan pandemi di level 40%. 

    “Sritex masih berproduksi dan utilisasi nya 65%, jadi ini hal berbeda ketika memang sudah nggak berporduksi, komitmen dari pemiliknya pun mereka tetap akan mempertahankan tenaga kerjanya,” tuturnya. 

    Kendati demikian, Kemenperin tengah berkoordinasi dengan kementerian/lembaga lain terkait dengan pembekuan izin ekspor-impor akibat putusan pailit Sritex untuk kembali dibuka agar produk TPT dari pabrik tersebut tetap terserap. 

    Tak hanya mempermudah ekspor, Sritex yang merupakan perusahaan dalam lingkup kawasan berikat membidik pasar domestik. Pasalnya, permintaan global mengalami perlambatan akibat ketidakpastian ekonomi dan geopolitik. 

    “Kalau dibilang sih karena kondisinya ekspornya masih begini memang inginnya untuk domestik, kepengin ada instrumen pemerintah untuk menjaga pasar doemstik ini supaya diisi oleh produk lokal,” pungkasnya. 

  • Pendanaan EBT Kurang, Penyesuaian Tarif Listrik hingga Insentif Pajak Diperlukan

    Pendanaan EBT Kurang, Penyesuaian Tarif Listrik hingga Insentif Pajak Diperlukan

    Bisnis.com, JAKARTA – Institute Essential for Services Reform (IESR) menilai keterbatasan kemampuan investasi PT PLN (Persero) menjadi salah satu hambatan utama dalam mengakselerasi pembangunan pembangkit energi baru terbarukan (EBT).  

    Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan, margin usaha yang bisa diinvestasikan juga kecil. Menurutnya, margin usaha yang bisa diinvestasikan itu hanya sebesar US$2 miliar hingga US$3 miliar per tahun. 

    “Idealnya PT PLN memiliki equity US$5 miliar hingga US$6 miliar per tahun. Selain itu, karena tingkat utang PLN besar, ada keterbatasan menarik pinjaman baru,” kata Fabby kepada Bisnis, Selasa (29/10/2024). 

    Fabby berpendapat fakta tersebut juga menunjukan bahwa investasi swasta tidak masuk secara optimal di proyek PLN. Padahal di Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), investasi swasta seharusnya mencapai 60% hingga 65% dari kebutuhan investasi. 

    “Ini bisa disebabkan proyek-proyek yang ditawarkan oleh PLN tidak menarik secara finansial bagi swasta dan/atau tidak bankable,” ucap Fabby.

    Dia pun memberikan lima rekomendasi bagi pemerintah guna meningkatkan pendanaan pembangunan pembangkit EBT. Pertama, memperkuat kemampuan investasi PLN dengan melakukan penyesuaian tarif listrik yang memberikan margin usaha yang wajar bagi PLN. 

    Kedua, pemerintah juga bisa memberikan penyertaan modal negara (PMN) kepada PLN untuk pengembangan energi terbarukan. Ketiga, perbaiki mekanisme lelang pembangkit energi terbarukan di PLN supaya lebih terjadwal dan frekuensi lebih sering.

    Keempat, perbaiki tarif listrik energi di Perpres No. 112/2022 dengan mempertimbangkan perkembangan terbaru, yaitu biaya capex pembangkit dan kenaikan suku bunga. Kelima, berikan insentif kepada investor pengembang energi terbarukan.

    “Misalnya, insentif fiskal dan pajak, serta menyediakan pendanaan murah [low cost finance] untuk pembangkit energi terbarukan skala kecil, di bawah 10 MW yang dibangun di Indonesia Timur atau daerah terpencil,” imbuh Fabby.

    Fakta kesiapan pendanaan pembangunan pembangkit EBT yang belum memadai terungkap berdasarkan Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I/2024 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Lembaga itu mengungkapkan terdapat keterbatasan operator listrik untuk mendanai pembangunan pembangkit energi terbarukan.

    Menurut BPK, secara keseluruhan selama 2021 sampai dengan semester I/2023, realisasi pendanaan yang tersedia untuk pembangunan infrastruktur tenaga listrik dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) PLN di bawah kebutuhan pendanaan yang diperlukan.

    BPK mencatat dari investasi yang dianggarkan sebesar Rp230,2 triliun, hanya terealisasi sebesar Rp138,2 triliun atau sebesar 60,03% dari RKAP atau sebesar 28,39% dari proyeksi investasi RUPTL.

    “Selain itu, skema pendanaan pengembangan EBT belum terealisasi secara optimal di mana belum ada penyusunan komite pengarah yang mendukung skema pendanaan Energy Transition Mechanism [ETM], serta belum terbentuknya struktur tata kelola Just Energy Transition Partnership [JETP],” demikian bunyi laporan IHPS I-2024 BPK dikutip Senin (28/10/2024).

    Berdasarkan hal tersebut, BPK merekomendasikan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia segera melakukan perbaikan antara lain berkoordinasi dengan Kemenkomarves, Kementerian Keuangan, dan Kementerian BUMN. 

    Koordinasi itu untuk mendorong penyusunan komite pengarah skema pendanaan ETM, penyusunan struktur tata kelola JETP, mengidentifikasi secara detil skema, sumber, dan pembagian porsi pendanaan. 

    “Serta mendorong lembaga keuangan dalam negeri untuk mampu membiayai pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan dengan suku bunga yang kompetitif,” imbuh BPK.