Category: Bisnis.com Ekonomi

  • Jurus Pelindo Pangkas Waktu Bongkar Muat untuk Tekan Biaya Logistik

    Jurus Pelindo Pangkas Waktu Bongkar Muat untuk Tekan Biaya Logistik

    Bisnis.com, JAKARTA – PT Pelabuhan Indonesia (Persero) atau Pelindo menjelaskan  upayanya untuk menekan biaya logistik nasional yang saat ini dinilai masih tinggi yakni 14,29% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. 

    Group Head Transformation Pelindo Mona Yudika mengatakan dari angka tersebut pelabuhan berkontribusi sebesar 2% terhadap total biaya logistik nasional, di mana pelabuhan menjadi gerbang bagi sebagian besar kargo industri. 

    “Makanya kalau kita bicara terkait dengan port to door kemudian door to port itu sebenarnya peran pelabuhan itu ada di tengah-tengah. Namun, peran yang ada di tengah-tengah ini menjadi sangat kritikal kalau kita bicara terkait dengan end-to-end supply chain,” kata Mona dalam Bisnsi Indonesia Logistic Awards (BILA) 2024, Kamis (28/11/2024). 

    Dalam hal ini, dia menekankan upaya efisiensi bongkar muat yang dilakukan lebih cepat tanpa mengorbankan akurasi. Upaya tersebut diperkuat setelah penggabungan bisnis Pelindo pada Oktober 2021. 

    Lewat penggabungan tersebut, Pelindo memiliki aksesibilitas untuk melakukan standarisasi di seluruh pelabuhan. Untuk itu, fokus Pelindo pasca-penggabungan yaitu menurunkan port stay atau bongkar muat.

    “Port stay itu adalah waktu seberapa lama kapal itu sandar di pelabuhan otomatis semakin cepat barang atau kapal itu dilakukan bongkar muat di pelabuhan itu tentunya akan bisa memberikan kontribusi terhadap biaya logistik nasional,” tuturnya. 

    Lebih lanjut, dalam 3 tahun terakhir, Pelindo melakukan standardisasi dan transformasi di wilayah otoritas dari sisi proses khususnya percepatan bongkat muat lewat metode planning and control. 

    “Kita berikan kepastian jadwal kapan kapal itu datang dan kapan kapal itu bisa keluar sehingga pelanggan bisa mendapatkan kepastian terkait dengan berdiri Pelindo,” tuturnya. 

    Dia menyontohkan efisiensi bongkar muat di Pelabuhan Sorong, Papua, di mana sebelumnya kegiatan bongkar muat dilakukan dalam waktu 3 hari, setelah transformasi diturunkan hingga 1 hari. 

    Dengan demikian, transformasi tersebut mendorong Pelindo mendapatkan keuntungan dengan adanya standarisasi ini yaitu terkait dengan efisiensi biaya. 

    “Kita bicara penurunan port stay itu tentunya pasti ada penurunan dari sisi biaya operasional tapi yang paling penting lagi adalah kita bisa memberikan dampak terhadap ekosistem karena tadi pelabuhan itu ada di tengah-tengah ada proses di sebelumnya ada proses di setelahnya,” pungkasnya. 

  • Kemenhub Ungkap Tantangan dan Potensi Sektor Logistik

    Kemenhub Ungkap Tantangan dan Potensi Sektor Logistik

    Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengungkapkan sejumlah tantangan efisiensi biaya logistik di Indonesia serta berdaya saing.

    Sekretaris Jenderal Kemenhub Novie Riyanto mengatakan sektor logistik Indonesia memiliki potensi besar dan posisi strategis, mengingat status Indonesia sebagai negara kepulauan. 

    Namun, sektor ini juga menghadapi sejumlah tantangan signifikan yang mempengaruhi efisiensi dan daya saing di pasar global.

    Tantangan tersebut datang dari domestik seperti konektivitas, disparitas harga, biaya logistik dan finansial serta dari internasional yaitu regulasi pelayaran internasional. 

    “Logistik menghubungkan berbagai sektor dan meningkatkan daya saing negara di pasar global. terdapat pula tantangan yang mempengaruhi efisiensi seperti konektivitas, disparitas, biaya logistik, finansial, serta peraturan internasional dalam rangka keselamatan, keamanan, dan pelayanan,” kata Novie Riyanto dalam Bisnis Indonesia Logistic Awards, Kamis (28/11/2024). 

    Novie juga mengungkapkan biaya logistik Indonesia yang tinggi memengaruhi daya saing Indonesia dengan negara-negara lain. Bank Dunia sendiri menempatkan Indoensia di posisi 61 dalam hal performa logistik. 

    Posisi tersebut masih lebih rendah dibandingkan dengan beberapa negara di Asia seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Vietnam. 

    Meski demikian, kata Novie, Kemenhub telah melakukan sejumlah upaya meminimalisir tantangan tersebut, seperti digitalisasi. 

    “Kemenhub berkomitmen meningkatkan kinerja logistik, salah satunya melalui NLE [National Logistic Ecosystem],” kata dia. 

    Sampai dengan saat ini, Kemenhub berhasil mencapai keberhasilan sebesar 97,6% dari total 42 rencana aksi NLE yang diterapkan di 46 pelabuhan dan 6 bandar udara. 

    Di sisi digitalisasi, sambungnya, Kemenhub melakukan digitalisasi melalui Inaportnet untuk memperlancar kapal masuk pelabuhan serta kegiatan bongkar muat setelah kapal meninggalkan pelabuhan.

  • OECD Usul Ambang Batas PTKP Turun, Orang Kaya dan Kelas Bawah Sama-Sama Tekor

    OECD Usul Ambang Batas PTKP Turun, Orang Kaya dan Kelas Bawah Sama-Sama Tekor

    Bisnis.com, JAKARTA — OECD menyarankan pemerintah menurunkan ambang batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) agar penerimaan negara semakin meningkat. Kendati demikian, pakar menilai saran tersebut malah akan berdampak negatif ke semua kelompok masyarakat.

    Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar meyakini saran Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) tersebut masuk akal namun tidak cocok dengan keadaan sekarang ini.

    Fajry mencontohkan belakang terjadi penurunan daya beli dan jumlah kelas menengah. Apalagi, sambungnya, tingkat kepercayaan masyarakat saat ini sedang tidak baik.

    “Jika ini dijadikan opsi, saya yakin akan ramai penolakan. Waktunya tidak tepat,” jelasnya kepada Bisnis, Kamis (28/11/2024).

    Lebih lanjut, dia menjelaskan secara historis pemerintah sempat menaikkan ambang batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dari Rp36 juta per tahun menjadi Rp54 juta per bulan pada 2016. Fajry mengaku, CITA saat itu sempat menolak kebijakan PTKP tersebut karena akan lebih dinikmati kelompok berpendapat lebih tinggi.

    Contoh, jika PTKP naik dari Rp54 juta menjadi Rp60 juta per tahun maka orang berpenghasilan Rp54 juta per tahun tidak membayar pajak penghasilan (PPh 21) lagi sehingga kenaikan ini tidak memberikan manfaat tambahan.

    Di sisi lain, orang yang berpenghasilan Rp80 juta per tahun akan melihat pengurangan pajak atas Rp6 juta pertama yang kini bebas pajak.

    Ini karena PPh 21 bersifat progresif. Berdasarkan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), ada lima lapisan penghasilan kena pajak:

    1. Penghasilan sampai dengan Rp60 juta per tahun kena tarif pajak 5%

    2. Penghasilan Rp60 juta sampai Rp 250 juta per tahun kena tarif pajak 15%

    3. Penghasilan Rp250 juta sampai Rp500 juta per tahun kena tarif pajak 25%

    4. Penghasilan Rp500 juta sampai Rp5 miliar per tahun kena tarif pajak 30%

    5. Penghasilan di atas Rp5 miliar per tahun kena tarif pajak 35%

    Dengan kenaikan PTKP menjadi Rp60 juta, orang berpenghasilan Rp80 juta mendapatkan pengurangan pajak sebesar Rp6 juta x tarif 5% = Rp300 ribu meski mereka masih membayar pajak besar di lapisan atas.

    Sebaliknya, jika ambang PTKP diturunkan maka kelompok masyarakat berpendapatan lebih rendah akan dikenai PPh 21. Begitu juga kelompok masyarakat berpendapatan lebih tinggi akan mendapati penambahan pajak per lapisannya.

    “Penurunan ambang batas PTKP, membuat kelompok berpendapatan tinggi paling worse-off, akan tetapi kebijakan ini juga akan berdampak pada kelompok menengah-bawah,” jelas Fajry.

    Usulan OECD

    Dalam laporan terbarunya bertajuk OECD Economic Surveys: Indonesia November 2024, lembaga tersebut menyatakan ambang batas pajak penghasilan (PPh 21) di Indonesia masih terlalu tinggi.

    OECD mencontohkan besaran PTKP adalah Rp54 juta per tahun atau Rp4,5 juta per bulan. Perhitungan OECD, jumlah tersebut setara dengan 65% produk domestik bruto per kapita Indonesia.

    “Akibatnya, kebanyakan kelas menengah yang sedang bertambah jumlahnya tidak kena pajak penghasilan,” jelas OECD dalam laporannya, dikutip Kamis (28/11/2024).

    OECD pun membandingkan Indonesia dengan negara-negara kawasan. Pada 2017, hanya 10% warga yang bayar pajak penghasilan; sedangkan rata-rata warga negara-negara Asean mencapai 15%.

    Oleh sebab itu, lembaga ekonomi yang beranggota banyak negara maju tersebut menyarankan pemerintah menurunkan ambang batas PTKP. Artinya, OECD ingin pekerja dengan gaji di bawah Rp4,5 juta per bulan juga dikenai pajak—namun ambang batasnya terserah pemerintah.

    Sejalan dengan itu, masing-masing lapisan penghasilan kena pajak juga diturunkan. Misalnya, OECD menganggap tarif pajak 25% untuk lapisan penghasilan Rp250 juta—500 juta terlalu tinggi.

    “Ambang batas pajak penghasilan minimal harus dibekukan sehingga nilainya turun secara riil, sedangkan ambang batas yang lebih tinggi harus diturunkan nilainya,” jelas rekomendasi OECD.

    OECD meyakini jika rekomendasi reformasi pajak penghasilan tersebut dijalankan pemerintah maka akan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan meningkat 0,7% dalam jangka menengah.

  • Ojek Online Tak Masuk Kriteria Subsidi Pertalite Cs, Segini Konsumsi BBM-nya

    Ojek Online Tak Masuk Kriteria Subsidi Pertalite Cs, Segini Konsumsi BBM-nya

    Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia memberi sinyal bahwa ojek online atau ojol tak akan menjadi sasaran konsumen yang berhak menenggak BBM subsidi. Adapun, konsumsi BBM driver ojol di seluruh Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari 200 juta liter per hari.

    Pemerintah tengah menggodok skema penyaluran BBM subsidi secara kombinasi atau blending, yakni berbentuk bantuan langsung tunai (BLT) dan subsidi langsung pada barang.  

    Salah satu penerima yang berhak mendapat subsidi BBM pada barang langsung adalah kendaraan berpelat kuning alias transportasi umum. Oleh karena itu, ojol yang selama ini berpelat hitam tidak masuk kriteria transportasi umum. 

    Bahlil menjelaskan ojol itu merupakan usaha. Dia menyebut ada pengusaha yang memiliki sejumlah unit kendaraan bermotor dan menyewakannya kepada masyarakat untuk menjadi ojol.

    “Masa yang kayak gini disubsidi? Tetapi kita hitung, yang jelas [subsidi dilakukan secara] bijaksana,” kata Bahlil di kediamannya di Jakarta Selatan, Rabu (27/11/2024).

    Kendati demikian, Bahlil menyebut sebagian driver ojol bisa saja mendapat BLT jika yang bersangkutan memenuhi kriteria. Menurutnya, khusus kriteria penerima BLT nanti akan diambil dari data masyarakat kurang mampu milik Kementerian Sosial, PT Pertamina (Persero), Kemenko Ekonomi, hingga Kemenko Pembangunan Manusia. Selanjutnya, data-data tersebut akan dikonsolidasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

    Lantas, berapa konsumsi BBM driver ojol per hari?

    Ketua Umum Asosiasi Pengemudi Ojek Daring Garda Indonesia Igun Wicaksono mengatakan, seorang driver ojol butuh BBM sebanyak 5 hingga 10 liter per hari. Namun, angka ini tergantung jarak perjalanan yang ditempuh sang driver.

    “Tergantung ojol jika sering dapat order atau order jarak jauh akan membutuhkan hingga 10 liter BBM bersubsidi tersebut,” kata Igun kepada Bisnis, Kamis (28/11/2024).

    Berdasarkan data Garda Indonesia, kata Igun, estimasi jumlah ojol di Indonesia mencapai 4 juta orang. Adapun, mayoritas berada di Jabodetabek, yakni 1,25 juta orang.

    Dengan kata lain, berdasarkan jumlah ojol yang mencapai 4 juta orang dan konsumsi minimal 5 liter per hari, maka BBM yang dibutuhkan mencapai 200 juta liter per hari.

    Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Driver Online (ADO) Taha ‘Ariel’ Syafaril mencatat konsumsi BBM driver ojol rata-rata mencapai 4 liter per hari.

    “Kalau rata-rata ojol sepeda motor biasanya isi full tank hampir setiap hari, biasanya motornya ojol rata-rata 4 liter tangki motornya,” kata dia.

    Dengan demikian, jika konsumsi BBM mencapai 4 liter per hari per orang dan jumlah ojol mencapai 4 juta orang, maka konsumsi BBM bisa mencapai 16 juta liter per hari.

  • Garuda Indonesia (GIAA) Turunkan Harga Tiket Pesawat 10% saat Nataru

    Garuda Indonesia (GIAA) Turunkan Harga Tiket Pesawat 10% saat Nataru

    Bisnis.com, JAKARTA – Maskapai pelat merah PT Garuda Indonesia Tbk. (GIAA) siap menurunkan harga tiket pesawat Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2024/2025 sesuai dengan keputusan pemerintah sebesar 10%. 

    Direktur Utama Garuda Indonesia Wamildan Tsani Panjaitan mengatakan GIAA akan mengimplementasikan kebijakan penurunan harga tiket penerbangan rute domestik pada Nataru mulai 19 Desember 2024 hingga 3 Januari 2025 atau selama 16 hari. 

    “Kami akan segera mengimplementasikan kebijakan ini, setelah diterbitkannya seluruh regulasi yang mengatur ketentuan penurunan harga tiket oleh pemangku kepentingan terkait,” kata Tsani dalam keterangan resmi, Kamis (28/11/2024). 

    Tsani menjelaskan penurunan harga tiket sebesar 10% sesuai dengan proyeksi rencana penurunan yang disampaikan oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub).

    Penurunan tersebut akan disumbang oleh beberapa komponen penunjang harga tiket, yaitu fuel surcharge, PJP2U dan PJP4U, serta penyesuaian harga avtur di sejumlah bandara. 

    Penurunan harga tiket, kata Tsani telah memperhitungkan secara seksama dengan memperhatikan proyeksi pertumbuhan penumpang pada libur akhir tahun. Penurunan harga tiket juga diklaim akan mampu mendongkrak volume penumpang Garuda Indonesia saat peak season. 

    “Dengan diberlakukannya penurunan harga tiket ini, kami optimis volume penumpang akan tumbuh positif yang tentunya akan berdampak langsung terhadap kinerja pendapatan Garuda Indonesia,” jelasnya. 

    Seperti yang diketahui, Pemerintah mengumumkan penurunan harga tiket pesawat jelang Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2024/2025 mencapai 10% atau setara Rp157.500 per tiket dengan tiga komponen utama.  

    Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mengklaim pihaknya memutuskan beberapa kebijakan bersama stakeholder terkait yaitu Kementerian Perhubungan, Angkasa Pura Indonesia, Pertamina dan maskapai domestik untuk menurunkan harga tiket pesawat.  

    “Penurunan harga tiket untuk membantu masyarakat kita dan juga menggerakkan ekonomi termasuk pariwisata maka dari semua elemen tadi termasuk menurunkan biaya atau jasa di bandar udaraan termasuk juga avtur dan tentunya fuel surcharges maka bisa dikurangi harga tiket itu kurang lebih 10%,” ujar Menko AHY dalam keterangan resmi, Selasa (26/11/2024).

  • Gerak Lambat Penghiliran Batu Bara & Nasib Proyek Mandek DME
                                    
                                
                    41 menit yang lalu

    Gerak Lambat Penghiliran Batu Bara & Nasib Proyek Mandek DME 41 menit yang lalu

    Gerak Lambat Penghiliran Batu Bara & Nasib Proyek Mandek DME

    41 menit yang lalu

  • Pakar Menilai Dampak Pilkada Serentak 2024 ke Ekonomi Tak Merata

    Pakar Menilai Dampak Pilkada Serentak 2024 ke Ekonomi Tak Merata

    Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom memandang dampak perputaran ekonomi akan lebih terbatas dalam momentum pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) Serentak 2024 dibandingkan kontestasi pemilihan Presiden (Pilpres).

    Direktur Eksekutif Core Indonesia Mohammad Faisal mengatakan meski kedua kontestasi berjalan serentak, tetapi secara agregat dampak perekonomian dari Pilkada tidak melebihi dampak di Pilpres sebelumnya.

    “Dan itu sebenarnya menggerakkan ekonomi hanya di segelintir atau tidak merata,” kata Faisal kepada Bisnis, Rabu (27/11/2024).

    Faisal menambahkan, hal ini juga seiring dengan perlambatan konsumsi yang terjadi di kalangan kelas menengah. “Juga karena di tengah perlambatan konsumsi kalangan menengah, makanya dampaknya ke ekonomi tidak terlalu besar,” terangnya.

    Di sisi lain, Faisal memandang bakal terjadi lonjakan belanja pemerintah, tetapi relatif terbatas. Begitu pula dengan belanja nonpemerintah dan bukan rumah tangga.

    Dihubungi terpisah, kalangan dunia usaha menilai kontestasi pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2024 menjadi angin segar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

    Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) 2023–2028 Shinta Widjaja Kamdani memandang pelaksanaan Pilkada serentak 2024 merupakan momentum penting untuk membawa perubahan positif, terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi regional yang lebih optimal.

    “Pemimpin daerah yang terpilih diharapkan dapat memiliki visi yang jelas dan fokus pada peningkatan daya saing ekonomi daerah,” kata Shinta kepada Bisnis, Rabu (27/11/2024).

    Menurut Shinta, kebijakan yang mendukung investasi, pengembangan infrastruktur, dan pemberdayaan sektor UMKM sangat penting untuk menggerakkan perekonomian lokal secara inklusif dan berkelanjutan.

    Untuk itu, Apindo berharap pemimpin daerah yang baru terpilih dalam Pilkada serentak 2024 dapat menciptakan kebijakan yang berbasis data dan sesuai dengan kebutuhan spesifik masing-masing wilayah.

    Shinta menuturkan, fokus utama harus diarahkan pada pengembangan sektor unggulan daerah, penguatan infrastruktur dan konektivitas, serta pengurangan hambatan birokrasi yang menghambat investasi.

    Selain itu, lanjut dia, pemimpin daerah juga diharapkan mampu menjaga stabilitas ekonomi regional, termasuk mengendalikan inflasi melalui koordinasi yang baik dengan pemerintah pusat.

    “Pemimpin daerah yang progresif dan inklusif dapat membantu menciptakan ekosistem bisnis yang kondusif,” ujarnya.

    Dengan begitu, akan menarik investasi baru dan mendorong pertumbuhan sektor formal yang akan menciptakan lapangan kerja baru serta meningkatkan daya beli masyarakat.

    Kendati demikian, Shinta juga menyoroti adanya tantangan yang membayangi para pemimpin daerah, mulai dari menjaga daya beli masyarakat, menciptakan lapangan kerja, hingga menarik investasi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. 

    Shinta memandang, dalam kondisi ekonomi global yang penuh ketidakpastian, pemimpin daerah harus memastikan kebijakan yang diambil mendukung stabilitas harga barang kebutuhan pokok. Serta, penguatan konsumsi domestik dan penyediaan lapangan kerja berkualitas.

    Dia menambahkan pemimpin daerah juga harus memberdayakan UMKM dan mengembangkan sektor unggulan di masing-masing daerah sebagai program prioritas untuk menggerakkan roda perekonomian lokal.

  • BPOM Temukan 55 Kosmetik Berbahaya dalam Setahun Terakhir, Izin Edar Dicabut

    BPOM Temukan 55 Kosmetik Berbahaya dalam Setahun Terakhir, Izin Edar Dicabut

    Bisnis.com, JAKARTA – Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melaporkan penemuan 55 produk kosmetik ilegal yang mengandung bahan berbahaya dan terlarang berdasarkan hasil sampling dan pengujian produk di pasar domestik periode November 2023-Oktober 2024. 

    Hasil penemuan tersebut terdiri atas 35 produk kosmetik yang dibuat berdasarkan kontrak produksi, 6 produk kosmetik yang diproduksi dan diedarkan oleh industri kosmetik, dan 14 produk kosmetik impor.

    Kepala BPOM RI Taruna Ikrar mengatakan, pihaknya telah mencabut izin edar produk yang terbukti mengandung bahan berbahaya serta melakukan penghentian sementara kegiatan (PSK), meliputi penghentian kegiatan produksi, peredaran, dan importasi.

    “Selain itu, BPOM melalui 76 unit pelaksana teknis (UPT) di seluruh Indonesia telah melakukan penertiban ke fasilitas produksi, distribusi, dan media online,” kata Taruna dalam keterangan resminya, Kamis (28/11/2024). 

    Dari hasil sampling dan pengujian produk kosmetik tersebut ditemukan positif mengandung bahan dilarang dan/atau bahan berbahaya merkuri, asam retinoat, hidrokinon, pewarna merah K3, pewarna merah K10, pewarna acid orange 7, dan timbal. 

    Penggunaan kosmetik yang mengandung bahan dilarang dan/atau bahan berbahaya dapat menimbulkan risiko kesehatan bagi konsumen. Padahal, BPOM telah mengeluarkan ketentuan cara pembuatan kosmetik yang baik (CPKB) untuk dipatuhi.

    “BPOM juga melakukan penelusuran terhadap kegiatan produksi, distribusi, dan promosi kosmetik yang mengandung bahan dilarang dan/atau bahan berbahaya, khususnya kosmetik yang diproduksi oleh yang tidak berhak,” tuturnya. 

    Di sisi lain, pihaknya juga telah melakukan pengawasan di media online untuk mencegah praktik peredaran kosmetik ilegal. Hasil pengawasan ini dibuktikan dengan temuan kosmetik mengandung bahan dilarang dan/atau bahan berbahaya yang sebagian besar didistribusikan secara online.

    Pada periode pengawasan ini, sebanyak 53.688 tautan kosmetik ilegal telah direkomendasikan ke Kementerian Komunikasi dan Digital dan Indonesian E-commerce Association (idEA) untuk dilakukan penurunan konten/takedown. 

    “Jika ditemukan indikasi pidana, maka akan dilakukan proses pro-justitia oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) BPOM,” ujarnya. 

    Dia menegaskan, pelaku usaha yang memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, dan mutu dapat dikenakan sanksi administratif dan sanksi pidana. 

    Pelaku pelanggaran akan dikenakan ketentuan Pasal 435 jo. Pasal 138 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dengan ancaman pidana penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak Rp5 miliar.

    BPOM kembali mengimbau tegas kepada para pelaku usaha untuk menjalankan bisnisnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

    “Saya tegaskan kepada para pelaku usaha yang memproduksi, mengimpor, dan mengedarkan kosmetik mengandung bahan dilarang dan/atau bahan berbahaya agar segera melakukan penarikan produk dari peredaran dan dimusnahkan. Penarikan produk ini wajib dilaporkan hasilnya oleh pelaku usaha kepada BPOM,” tuturnya. 

  • Usulan OECD Turunkan PTKP, Pengamat: Lebih Baik Kejar Pajak Orang Kaya

    Usulan OECD Turunkan PTKP, Pengamat: Lebih Baik Kejar Pajak Orang Kaya

    Bisnis.com, JAKARTA — Organisation for Economic Co-operation and Development atau OECD memberikan rekomendasi kepada pemerintah Indonesia untuk menurunkan ambang batas pendapatan tidak kena pajak alias PTKP, demi mengerek penerimaan negara.

    Saat ini, pemerintah menetapkan PTKP senilai Rp54 juta per tahun atau dengan pendapatan Rp4,5 juta per bulan. Sementara pajak dengan tarif 5% mulai berlaku bagi individu yang menerima upah Rp60 juta per tahun.

    OECD menilai bahwa ambang batas tersebut sangat tinggi atau sekitar 65% dari produk domestik bruto (PDB) per kapita. Selain itu, golongan pajak dengan tarif 25% dimulai pada pendapatan di atas Rp250 juta atau 300% dari PDB per kapita.

    Menurut EOCD, kebijakan tersebut ‘melindungi’ kelas menengah yang tengah tumbuh sehingga terbebas dari pajak penghasilan (PPh).

    Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono melihat memang ada opsi penurunan PTKP untuk Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) maupun UMKM—yang juga diusulkan OECD. Namun, pada kenyataannya, pemerintah memilih untuk menambah tarif PPh orang pribadi di 35% untuk lapisan penghasilan kena pajak di atas Rp5 miliar. 

    “Keputusan pemerintah lebih rasional karena [memajaki orang kaya] dapat meningkatkan penerimaan pajak lebih signifikan dari penurunan PTKP,” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (28/11/2024).

    Prianto berpandangan penurunan PTKP akan menambah PPh di tarif 5%. Selain itu, biaya administrasi di kantor pajak juga akan meningkat karena akan lebih banyak WPOP dan UMKM melaporkan SPT PPh tahunan, tetapi pajak yang disetor relatif kecil ketimbang dari individu berpenghasilan di atas Rp5 miliar.

    Meskipun pada dasarnya segala usulan kebijakan yang terlontar dari organisasi internasional tersebut sangat mungkin untuk pemerintah terapkan, tetapi Prianto menekankan bahwa pemerintah harus mengumpulkan segala perspektif terkait dengan kebijakan yang sudah diusulkan oleh OECD sebelum mengambil keputusan.

    Di mana pemerintah harus mendengarkan perspektif masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya yang terkait dengan kebijakan pajak tersebut.

    Untuk diketahui, sebelum adanya Undang-Undang (UU) Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), individu dengan penghasilan lebih dari Rp300 juta per tahun dikenakan tarif PPh tertinggi, yakni 30%.

    Kini, pemerintah menambahkan kategori penghasilan kena tarif 30% untuk penghasilan Rp500 juta hingga Rp5 miliar. Sementara individu dengan penghasilan lebih dari Rp5 miliar, dikenakan tarif PPh 35%.

    Dengan kata lain, Prianto melihat keputusan pemerintah lebih baik dengan mengejar pajak dari orang kaya ketimbang memburu pajak dari lapisan masyarakat kelas menengah dengan menurunkan PTKP.

    “Iya keputusan pemerintah dengan tarif 35% lebih tepat [ketimbang rekomendasi OECD]. Lebih mengejar pajak orang kaya,” ujarnya. 

  • Waduh, OECD Usul Pemerintah Turunkan Ambang Batas Pajak Penghasilan

    Waduh, OECD Usul Pemerintah Turunkan Ambang Batas Pajak Penghasilan

    Bisnis.com, JAKARTA – Organization for Economic Co-operation and Development atau OECD menyarankan agar pemerintah menurunkan ambang batas minimal penghasilan tidak kena pajak (PTKP) agar penerimaan negara semakin meningkat.

    Dalam laporan terbarunya bertajuk OECD Economic Surveys: Indonesia November 2024, lembaga tersebut menyatakan ambang batas pajak penghasilan (PPh 21) di Indonesia masih terlalu tinggi.

    OECD mencontohkan besaran penghasilan tidak kena pajak (PTKP) adalah Rp54 juta per tahun atau Rp4,5 juta per bulan. Perhitungan OECD, jumlah tersebut setara dengan 65% produk domestik bruto per kapita Indonesia.

    “Akibatnya, kebanyakan kelas menengah yang sedang bertambah jumlahnya tidak kena pajak penghasilan,” jelas OECD dalam laporannya, dikutip Kamis (28/11/2024).

    OECD pun membandingkan Indonesia dengan negara-negara kawasan. Pada 2017, hanya 10% warga yang bayar pajak penghasilan; sedangkan rata-rata warga negara-negara Asean mencapai 15%.

    Oleh sebab itu, lembaga ekonomi yang beranggota banyak negara maju tersebut menyarankan pemerintah menurunkan ambang batas PTKP. Artinya, OECD ingin pekerja dengan gaji di bawah Rp4,5 juta per bulan juga dikenai pajak—namun ambang batasnya terserah pemerintah.

    Sejalan dengan itu, masing-masing lapisan penghasilan kena pajak juga diturunkan. Misalnya, OECD menganggap tarif pajak 25% untuk lapisan penghasilan Rp250 juta—500 juta terlalu tinggi.

    “Ambang batas pajak penghasilan minimal harus dibekukan sehingga nilainya turun secara riil, sedangkan ambang batas yang lebih tinggi harus diturunkan nilainya,” jelas rekomendasi OECD.

    OECD meyakini jika rekomendasi reformasi pajak penghasilan tersebut dijalankan pemerintah maka akan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan meningkat 0,7% dalam jangka menengah.

    Sebagai informasi, Berdasarkan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), tarif pajak penghasilan diatur secara progresif. Artinya, jika semakin besar penghasilannya maka semakin besar pajak yang wajib dibayar.

    Berikut ini lapisan penghasilan kena pajak:

    1. Penghasilan sampai dengan Rp60 juta per tahun kena tarif pajak 5%

    2. Penghasilan Rp60 juta sampai Rp 250 juta per tahun kena tarif pajak 15%

    3. Penghasilan Rp250 juta sampai Rp500 juta per tahun kena tarif pajak 25%

    4. Penghasilan Rp500 juta sampai Rp5 miliar per tahun kena tarif pajak 30%

    5. Penghasilan di atas Rp5 miliar per tahun kena tarif pajak 35%