Category: Bisnis.com Ekonomi

  • Bos Lippo Pastikan Bank Nobu (NOBU) Bakal Salurkan 20.000 Unit KPR Subsidi FLPP

    Bos Lippo Pastikan Bank Nobu (NOBU) Bakal Salurkan 20.000 Unit KPR Subsidi FLPP

    Bisnis.com, JAKARTA – CEO Lippo Group James Riady memastikan entitas bisnisnya yakni PT Bank Nationalnobu Tbk. (NOBU) bakal turun gunung memberikan pembiayaan kredit rumah subsidi program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).

    James menjelaskan, saat ini pihaknya tengah melakukan pemenuhan pemberkasan dokumen sebagai salah satu bank penyalur rumah subsidi FLPP.

    Apabila proses tersebut telah rampung, James memastikan NOBU bakal mengguyurkan KPR subsidi terhadap penyaluran 20.000 unit rumah.

    “Jadi kita jika proses perizinannya bisa segera tuntas sisa tahun ini ya kita targetkan 20.000 salurkan FLPP-nya,” jelas James saat ditemui di Kantor Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN), Jakarta, Rabu (27/5/2025).

    Adapun, keputusan James mengikutsertakan Bank Nobu sebagai bank penyalur FLPP dilakukan usai dirinya mendapat permintaan secara langsung dari Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Maruarar Sirait.

    Berdasarkan catatan Bisnis, permohonan tersebut disampaikan Maruarar Sirait usai pemerintah resmi berkomitmen untuk mengerek kuota rumah subsidi dari semula 220.000 unit menjadi 350.000 unit.

    Guna memastikan seluruh kuota itu terserap sepenuhnya pada tahun ini, dirinya lantas melobi bank swasta mulai dari PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA), NOBU, hingga PT Bank Artha Graha Tbk. (INPC) untuk turut memberikan pembiayaan rumah subsidi.

    Sementara itu, BBCA sendiri telah resmi meneken MoU sebagai bank penyalur FLPP tahun 2025. Di mana, sepanjang tahun ini BBCA berkomitmen mendukung pembiayaan 1.000 unit rumah subsidi. 

    “Kita sudah mulai masuk ke market, dan pak James dengan Nobu juga sudah siap, Artha Graha juga pak Aguan sudah siap ya [menyalurkan FLPP]. Dan banyak bank-bank swasta sudah mulai masuk,” tandas Ara.

  • Sengketa Lahan Disebut Jadi Tantangan Capai Swasembada Pangan

    Sengketa Lahan Disebut Jadi Tantangan Capai Swasembada Pangan

    Bisnis.com, JAKARTA — Sengketa lahan menjadi salah satu tantangan bagi Indonesia dalam mencapai swasembada pangan.

    Pengamat Pertanian dari Center of Reform on Economic (Core) Indonesia Eliza Mardian mengatakan ada aspek krusial yang masih luput dari perhatian pemerintah, yakni terkait penyelesaian ketimpangan struktural dalam relasi produksi pertanian.

    Padahal, kata Eliza, swasembada pangan di era Presiden Prabowo Subianto menjadi agenda utama. Serangkaian kebijakan yang digulirkan pemerintah di antaranya transformasi kelembagaan yang mengelola pangan, revitalisasi infrastruktur pengairan, regenerasi petani, riset dan pengembangan, penambahan jumlah penyuluh, kepastian status kepemilikan lahan, hingga integrasi dari hulu ke hilir.

    Menurutnya, reforma agraria yang diusung semestinya bukan lagi sekadar legalisasi lahan yang sudah dimiliki petani, melainkan redistribusi kepada petani berlahan sempit dan petani tanpa lahan.

    Eliza menuturkan bahwa efektivitas reforma agraria harus didukung program komprehensif, yakni dengan adanya jaminan harga, akses pasar, kredit, sarana produksi, teknologi, hingga pendidikan dan pelatihan.

    “Sudah petani kita lahannya sempit-sempit, diperparah dengan konflik lahan. Akar konflik lahan terletak pada persoalan struktural yang kompleks. Tumpang tindih klaim kepemilikan akibat sistem administrasi pertanahan yang belum tuntas,” kata Eliza kepada Bisnis, Selasa (27/5/2025).

    Lebih lanjut, Eliza menyebut perbedaan sistem hukum antara hukum negara dan hukum adat yang belum terharmonisasi dan perampasan tanah di Indonesia juga merupakan isu serius yang melibatkan akuisisi lahan skala besar oleh perusahaan atau investor.

    “Kondisi ini seringkali merugikan masyarakat lokal dan lingkungan. Biasanya ini pertanian suka trade off dengan perkebunan, pertambangan, pembangunan infrastruktur, dan lain sebagainya,” ungkapnya.

    Selain faktor lahan, persoalan terkait inovasi teknologi juga belum sepenuhnya digunakan oleh para petani, sehingga menyebabkan produktivitas pangan Indonesia tidak optimal.

    Tantangan lainnya dalam mencapai swasembada pangan adalah perubahan iklim. Sebab, faktor ini akan membuat produksi dan distribusi makanan menjadi lebih sulit dan lebih mahal.

    “Kesejahteraan petani pun makin tergerus oleh perubahan iklim. Kerentanan yang tidak diantisipasi dan diminimalisir dapat berdampak tergerusnya pendapatan dan berkurangnya aset petani,” tuturnya.

    Lebih lanjut, Eliza menambahkan pengairan alias irigasi merupakan kunci agar tanaman bisa tumbuh optimal. Di sisi lain, sambung dia, saat ini mayoritas irigasi rusak berat akibat kurang terurus, pendangkalan, atau bahkan tersumbat akibat pembangunan infrastuktur maupun perumahan.

    “Jika ingin swasembada, tetapi masih mengabaikan aspek ketimpangan struktur relasi produksi dan aspek keberlanjutan, lagi-lagi akan mengulang kegagalan yang sama kaya zaman Orba,” ungkapnya.

    Untuk itu, Eliza menilai Indonesia perlu melakukan penguatan kapasitas produksi domestik dalam mendukung kedaulatan pangan. Di samping itu, kerja sama antarnegara juga dibutuhkan dalam menghadapi tantangan ini secara efektif untuk berbagi pengetahuan dan teknologi. 

  • Surplus Neraca Dagang April 2025 Kian Menyusut, Simak Proyeksinya

    Surplus Neraca Dagang April 2025 Kian Menyusut, Simak Proyeksinya

    Bisnis.com, JAKARTA — Badan Pusat Statistik (BPS) akan merilis data ekspor impor dan neraca perdagangan barang Indonesia April 2025 pada pekan depan, Senin (2/5/2025) pukul 11.00 WIB.

    Perilisan data neraca perdagangan ini berubah dari yang awalnya setiap pertengahan bulan menjadi setiap awal bulan. Artinya, data kinerja ekspor-impor bulanan akan keluar lebih lama dari yang awalnya dua pekan setelah bulan berakhir menjadi empat pekan setelah bulan berakhir.

    Plt. Kepala Biro Humas dan Hukum BPS Melly Merlianasari mengklaim perubahan jadwal tersebut merupakan hasil dari evaluasi internal agar kualitas data yang diterima publik bisa meningkatkan.

    Melly menjelaskan selama ini data neraca perdagangan yang dirilis BPS Pusat setiap tengah bulan merupakan “angka sementara”. Kemudian, BPS Provinsi merilis “angka tetap” pada awal bulan.

    BPS melihat masih banyak publik yang belum menyadari bahwa rilis data ekspor-impor yang dilakukan kantor pusat pada pertengahan bulan hanya “angka sementara”. Akhirnya, BPS memutuskan untuk merilis “angka tetap” ekspor-impor secara serentak baik di tingkat nasional maupun provinsi pada awal bulan.

    “Dengan perubahan ini, data bisa lebih konsisten bila dirilis angka tetap, baik di nasional maupun provinsi,” ujar Melly kepada Bisnis, Kamis (15/5/2025).

    Adapun surplus neraca perdagangan diproyeksikan masih akan kembali berlanjut pada April 2025, meski nilainya menurun. Berdasarkan konsensus 20 ekonom yang dihimpun Bloomberg, nilai tengah atau median estimasi neraca dagang mencapai US$2,95 miliar. 

    Proyeksi neraca dagang April 2025 terendah berada di angka US$4 juta dan tertinggi senilai US$4,69 miliar. 

    Nilai tersebut lebih rendah dari realisasi neraca dagang bulan sebelumnya atau pada Maret 2025 senilai US$4,33 miliar.

    Sementara itu, Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) David Sumual memproyeksikan neraca perdagangan pada April 2025 akan mengalami surplus sebesar US$2,45 miliar.

    Menurutnya, ekspor akan meningkat 3,57% secara tahunan (year on year/YoY) namun turun 12,61% secara bulanan (month on month/MoM). Sejalan, impor diperkirakan naik 5,73% secara tahunan tetapi turun 5,58% secara bulanan.

    “Terms of trade melambat karena harga komoditas ekspor banyak yang turun terutama gas, metal [nickel, copper, tin], perkebunan [CPO, karet, kopi] lebih tajam dibandingkan komoditas impor [minyak, gandum yang turun],” jelas David kepada Bisnis, Rabu (14/5/2025).

  • AHY Siap Cari Investor Proyek Tanggul Laut Raksasa

    AHY Siap Cari Investor Proyek Tanggul Laut Raksasa

    Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Koordinator (Menko) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyebut bakal segera mencari investor yang bakal menggarap Proyek Strategis Nasional (PSN) tanggul laut raksasa atau Giant Sea Wall (GSW).

    AHY menegaskan, proyek tersebut bakal ditawarkan dalam ajang International Conference on Infrastructure (ICI) yang bakal digelar pada 11 – 12 Juni 2025 di Jakarta.

    “Tadi disebutkan benar, karena Giant Sea Wall adalah salah satu bisa dikatakan proyek besar yang bukan setahun dua tahun tapi akan butuh waktu sekian tahun ke depan proyeksinya. Sehingga, dibutuhkan pendanaan yang juga kredibel, meaningful dan juga berkelanjutan,” jelas AHY saat ditemui di Kantor Kemenko IPK, Jakarta, Rabu (27/5/2025) malam.

    AHY menjelaskan, saat ini pihaknya masih menggodok skema pendanaan untuk proyek Giant Sea Wall yang bakal dipamerkan di ajang ICI tersebut. 

    Terlebih, tambah AHY, investasi ini haruslah memberikan keuntungan pada investor. Sehingga, terciptanya keuntungan dua belah pihak baik bagi pemerintah Indonesia maupun bagi investor.

    “Tentu itulah yang akan menjadi pembicaraan kita nanti, karena pasti tidak bisa kita menetapkan ini begini caranya. Jadi dipastikan dulu, sedangkan kita akan berkomunikasi dengan siapapun yang tertarik walaupun kita sudah berikan koridor. Jadi ada beberapa opsi, ada beberapa opsi yang juga sekali lagi harus saling menguntungkan,” tegasnya.

    AHY menyebut, nantinya agenda tersebut bakal dihadiri oleh investor potensial dari sejumlah negara yang tersebar di wilayah Asia, Eropa hingga Amerika.

    “Kami selama ini, selama 6 bulan terakhir ini terus berkomunikasi dengan berbagai negara, berbagai stakeholders. Tidak hanya di Asia, tapi juga Eropa, di Amerika, dan lain sebagainya,” pungkasnya.

    Asal tahu saja, proyek Giant Sea Wall yang bakal membentang dari Banten hingga Gresik telah resmi mendapat cap proyek strategis nasional (PSN) di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. 

    Adapun, kejelasan status PSN proyek Giant Sea Wall itu tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2025 – 2029. 

    Sementara berdasarkan catatan Bisnis, Presiden Prabowo Subianto juga pernah menyampaikan tekadnya untuk segera memulai pembangunan tanggul laut raksasa atau Giant Sea Wall yang bakal terbentang di sepanjang pesisir Pantai Utara Jawa (Pantura).

    Sejalan dengan hal itu, Prabowo meminta agar Menteri Koordinator (Menko) Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) untuk dapat mulai fokus melakukan pembangunan tersebut. 

    “Saya tak tahu berapa tahun tapi Insya Allah dengan tekad, kita akan capai dan ini salah satu tugas berat di pundak Menko Infrastruktur,” kata Prabowo dalam agenda Penutupan Kongres VI Demokrat, Rabu (26/2/2025).

  • Hilirisasi Pasir Silika Masih Minim di Tengah Potensi yang Melimpah

    Hilirisasi Pasir Silika Masih Minim di Tengah Potensi yang Melimpah

    Bisnis.com, JAKARTA — Himpunan Penambang Pasir Kuarsa (Hipki) mengungkap tantangan terbesar yang tengah dihadapi saat ini yakni permintaan atau daya serap komoditas yang masih minim di pasar domestik. 

    Padahal, pasir kuarsa atau silika telah ditetapkan sebagai salah satu dari 47 mineral kritis oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 2023 lalu. Bahkan, silika juga menjadi mineral strategis yang dimiliki Indonesia.

    Ketua Umum Hipki Ady Indra Pawennari mengatakan faktanya hingga saat ini pengembangan ke hilir dari pasir silika masih tersendat sehingga penambang masih sepenuhnya mengekspor. 

    “Tantangan terbesarnya masih ketersediaan san daya serap. Pasar domestik pasir silika untuk diolah menjadi solar panel di dalam negeri masih sangat terbatas, bahkan mungkin belum ada,” kata Ady kepada Bisnis, Selasa (27/5/2025). 

    Mestinya, pemanfaatan pasir silika di dalam negeri dapat digunakan untuk industri kaca, industri semen, industri keramik, dan industri barang dari semen. Bahkan, silika juga menjadi bahan baku penting ntuk industri solar panel.

    Namun, hingga saat ini Indonesia baru memiliki industri perakitan silicon wafers menjadi solar panel. Tapi yang mengolah pasir kuarsa menjadi silicon wafers kita belum punya.

    “Industri pengolahan material dari pasir kuarsa menjadi ingots dan silicon wafers sebelum diproses menjadi solar panel belum ada di Indonesia. Maka sampai saat Hipki belum ada menerima permintaan dari industri dalam negeri,” ujarnya. 

    Di samping itu, dalam data Kementerian ESDM data sumber daya dan cadangan pasir kuarsa pada 2023 berada di 478 lokasi dengan total sumber daya sebanyak 13,47 miliar ton dengan total cadangan 3,40 miliar ton.

    Kendati demikian, Kementerian Perindustrian per September 2023 mengklaim pemanfaatan pasir kuarsa di sisi industri hulu telah mencapai 65,32% yang menghasilkan tiga jenis produk utama yaitu pasir silika, tepung silika dan resin coated sand. 

    Adapun, kapasitas pengolahan tersendiri (tidak terintegrasi dengan tambang) sebesar 738.536 ton/tahun yang telah dipasang oleh 21 perusahaan di bawah binaan Kementerian Perindustrian. 

    Di samping itu, Hipki juga menyoroti masalah regulasi dan kebijakan. Untuk diketahui, perizinan pertambangan pasir kuarsa saat ini berada pada kewenangan gubernur, termasuk penentuan Harga Patokan Mineral (HPM) yang menjadi acuan untuk menghitung pajak daerah. 

    Sementara, besaran pajak daerah menjadi kewenangan kabupaten. Menurut Ady, regulasi yang ada saat ini seringkali diterjemahkan berbeda di setiap daerah, belum lagi terdapat ego sektoral dinas-dinas terkait, membuat tidak ada kepastian aturan yang bisa dijadikan acuan secara nasional. 

    “Akibatnya perizinan menjadi semakin rumit sehingga banyak perusahaan yang berhenti di tengah jalan. Bahkan, saat izinnya belum selesai berproses,” tambahnya. 

    Tak hanya itu, Ady juga menuturkan terdapat masalah mentalitas birokrasi yang sangat berorientasi jangka pendek. Di beberapa daerah, dia melihat HPM pasir kuarsa dan pajak daerah dipatok begitu tinggi, bahkan tidak merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan dalih peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). 

    Misalnya, berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2023 Tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Pasal 21 ayat (1), (2), dan (3) disebutkan bahwa Dasar pengenaan Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB) adalah nilai jual hasil pengambilan MBLB yang dihitung perkalian volume atau tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan (HPM) tiap jenis MBLB pada mulut tambang. 

    Namun, ada provinsi yang menetapkan HPM bukan pada harga di mulut tambang, tapi di stockpile pelabuhan. Bahkan, di atas tongkang. Alhasil, pajak melambung tinggi yang membuat banyak proyek tambang pasir kuarsa menjadi tidak layak secara ekonomi. 

    “Akibatnya, daya tarik investasi menurun dan daya saing melemah. Tidak ada insentif sama sekali. Sementara, kalau kita berpikir industri dan jangka panjang, maka ekosistem investasi harus dibuat menarik dan kompetitif,” jelasnya. 

    Oleh karena itu, dari sisi hilir, pemerintah diminta harus mempercepat pengembangan indsutri solar panel dalam negeri, sebagai bagian dari ekosistem energi terbarukan (EBT). Dengan demikian pasar domestik menjadi terbuka.

    “Kedua, sederhanakan regulasi/proses perizinan. Jangan sampai ada celah tumpang tindih yang dapat memicu ego sektoral sehingga tidak ada kepastian perizinan,” jelasnya. 

    Ketiga, dia juga meminta peninjauan kembali semua regulasi di daerah terkait pasir kuarsa dan cabut atau intervensi yang dianggap tidak ramah investasi dan tidak berorientasi jangka panjang.

  • Menanti Pengumuman Ekspor-Impor BPS yang Tertunda, Pembuktian Efek Tarif Trump

    Menanti Pengumuman Ekspor-Impor BPS yang Tertunda, Pembuktian Efek Tarif Trump

    Bisnis.com, JAKARTA — Menghitung hari pengumuman data ekspor impor periode April 2025 yang tertunda dari Badan Pusat Statistik/BPS, sejumlah pihak meramal terjadi penyusutan surplus neraca dagang sebagai efek tarif resiprokal dari Trump. 

    Pada 2 April lalu, Trump memberikan tarif impor sebesar 32% terhadap barang-barang dari Indonesia. Meski ditunda selama 90 hari, namun tarif universal tambahan 10% tetap berlaku—alhasil tetap ada kenaikan tarif yang berpotensi memperkecil surplus. 

    Sejatinya, data sementara kinerja ekspor, impor, serta neraca perdagangan barang diumumkan BPS pada tanggal 15 di hari kerja setiap bulannya. 

    Khusus data April yang seharusnya terbit pertengahan Mei, BPS secara mendadak menunda pengumuman hingga awal Juni dengan alasan mutu statistik dan peningkatan kualitas layanan. 

    Deputi Statistik bidang Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini beralasan data yang BPS rilis pada pertengahan bulan umumnya masih bersifat sementara. Lalu, angka tetap baru akan terbit pada awal bulan berikutnya usai dilakukan revisi karena adanya perbaikan data dari Bea Cukai yang perlu diolah kembali.

    “Sehingga itulah yang menyebabkan adanya revisi. Jadi bukan karena ada kesalahan, tetapi memang karena adanya perbaikan atau perubahan dokumen kepabeanan,” ujarnya di kantor Pusat BPS, Rabu (28/5/2025). 

    Konsensus ekonom Bloomberg menunjukkan nilai tengah atau median estimasi neraca dagang senilai US$2,95 miliar, lebih rendah dari surplus Maret 2025 yang senilai US$4,33 miliar.

    Dari 20 ekonom yang memberikan estimasinya, proyeksi neraca dagang April 2025 terendah berada di angka US$4 juta dan tertinggi senilai US$4,69 miliar. 

    Salah satunya, Office of Chief Economist (OCE) PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) meramalkan neraca perdagangan diperkirakan mencatat surplus senilai US$2,70 miliar pada April 2025. 

    Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro menyampaikan penurunan tersebut sejalan dengan moderasi ekspor akibat penurunan harga komoditas. 

    “Namun demikian, kami masih memperkirakan bahwa antisipasi pelaku usaha terhadap penundaan tarif resiprokal pada April diperkirakan menjadi faktor utama yang mendorong ekspor tetap tumbuh positif,” tuturnya.  

    Asmo, sapaannya, memperkirakan ekspor masih akan tumbuh 4,6% secara tahunan atau year on year (YoY) atau kontraksi 11,8% secara bulanan atau month to month (MtM). 

    Menurutnya, penurunan ekspor secara bulanan disebabkan oleh berlanjutnya moderasi harga komoditas terutama batubara, CPO, dan nikel. Sementara secara tahunan harga CPO dan baja masih tumbuh positif.

    Sementara impor diperkirakan tumbuh 5,5% YoY atau -5,8% MtM, sejalan dengan faktor low base dari tahun sebelumnya. Sementara itu, aktivitas industri yang melemah (PMI manufaktur 46,7) dan normalisasi impor pasca Ramadan dan Idulfitri kami perkirakan menjadi faktor yang mendorong impor turun secara bulanan. Data PMI manufaktur juga menyebutkan adanya penurunan aktivitas pembelian bahan baku.

    Data BPS Mulai Terbit 

    Meski belum mengumumkan data dalam konferensi pers, BPS nyatanya telah merilis data impor dan neraca perdagangan April 2025 dalam laman resminya. Data terakhir yang diperbarui per tanggal 28 Mei 2025. 

    Seperti dilihat Bisnis pada Kamis (29/5/2025) pagi, tercatat nilai neraca perdagangan April 2025 senilai U$158,8 juta, jauh di bawah perkiraan ekonom Bloomberg—namun secara umum terbukti mengalami penyusutan.

    Nilai impor tercatat di angka US$20,59 miliar, namun nilai ekspor April 2025 belum dipublikasikan oleh BPS. Menghitung selisih antara neraca dagang dan nilai impor, artinya ekspor berada di angka sekitar US$20,74 miliar.

    Sementara data ekspor terakhir yang tersedia masih per Maret 2025 dengan data terakhir diperbarui per tanggal 23 Mei 2025. 

    BPS akan mengumumkan secara resmi data ekspor, impor, dan neraca perdagangan April 2025 pada Senin (2/6/2025) pukul 11.00 WIB. 

  • Harga Pangan Hari Ini, Kamis 29 Mei: Harga Daging Sapi Stabil Jelang Iduladha

    Harga Pangan Hari Ini, Kamis 29 Mei: Harga Daging Sapi Stabil Jelang Iduladha

    Bisnis.com, JAKARTA — Harga rata-rata daging sapi murni secara nasional di tingkat konsumen terpantau masih stabil menjelang Hari Raya Iduladha 2025. Untuk diketahui, pemerintah telah menetapkan Hari Raya IdulAdha 2025 atau 10 Dzulhijjah 1446 Hijriah jatuh pada 6 Juni 2025.

    Melansir Panel Harga Pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas), Kamis (29/5/2025) pukul 07.38 WIB, harga rata-rata daging sapi murni dibanderol Rp133.390 per kilogram, atau berada di bawah harga acuan penjualan (HAP) nasional Rp140.000 per kilogram.

    Sementara itu, rata-rata daging kerbau beku impor adalah Rp95.000 per kilogram di tingkat konsumen. Untuk harga rata-rata daging ayam ras dibanderol Rp33.521 per kilogram secara nasional atau di bawah HAP nasional Rp40.000 per kilogram. Harga rata-rata telur ayam ras juga turun menjadi Rp28.471 per kilogram di tingkat konsumen, atau berada di bawah HAP nasional Rp30.000 per kilogram.

    Di sisi lain, komoditas pangan lain yang bersumber protein hewani seperti ikan kembung, ikan tongkol, dan ikan bandeng rata-rata dibanderol seharga Rp41.467 per kilogram, Rp34.583 per kilogram, dan Rp33.531 per kilogram.

    Beralih ke aneka beras, harga rata-rata beras premium dibanderol Rp15.506 per kilogram secara nasional, di mana harga eceran tertinggi (HET) untuk tipe beras ini adalah Rp14.900 per kilogram secara nasional.

    Harga rata-rata beras medium secara nasional juga melampaui HET nasional yang semestinya di level Rp12.500 per kilogram. Secara rata-rata nasional, harga beras medium dibanderol Rp13.473 per kilogram di tingkat konsumen.

    Sementara itu, harga rata-rata beras stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) Bulog juga naik menjadi Rp12.744 per kilogram, atau sedikit melampaui dari HET nasional Rp12.500 per kilogram.

    Untuk harga rata-rata cabai rawit merah secara nasional tembus Rp44.271 per kilogram di tingkat konsumen. Harganya masih berada di rentang HAP Rp40.000–Rp57.000 per kilogram.

    Aneka cabai lainnya, seperti cabai merah keriting dibanderol dengan harga rata-rata Rp41.082 per kilogram. Harganya berada di rentang HAP nasional Rp37.000–Rp55.000 per kilogram. Sementara itu, harga rata-rata cabai merah besar adalah Rp37.679 per kilogram. 

    Panel harga juga menunjukkan, harga rata-rata minyak goreng kemasan dan minyak goreng curah masing-masing dipatok Rp20.331 per liter dan Rp17.007 per liter. Lalu, harga rata-rata Minyakita secara nasional dibanderol Rp17.235 per liter atau masih melampaui HET Rp15.700 per liter.

    Lebih lanjut, harga rata-rata bawang merah dibanderol Rp35.846 per kilogram, sedangkan harga rata-rata bawang putih bonggol adalah Rp40.067 per kilogram secara nasional.

    Untuk harga rata-rata gula konsumsi dan garam konsumsi masing-masing adalah Rp18.546 per kilogram dan Rp11.461 per kilogram di tingkat konsumen. Kemudian, harga rata-rata tepung terigu kemasan dan tepung terigu curah masing-masing dipatok Rp12.543 per kilogram dan Rp9.456 per kilogram.

    Harga pangan lainnya, yakni kedelai biji kering impor dibanderol dengan harga rata-rata Rp10.991 per kilogram, sedangkan harga rata-rata jagung pakan tingkat peternak adalah Rp5.947 per kilogram.

  • Pengadilan AS Batalkan Kebijakan Tarif Trump, Kabar Baik Buat Dunia?

    Pengadilan AS Batalkan Kebijakan Tarif Trump, Kabar Baik Buat Dunia?

    Bisnis.com, JAKARTA – Upaya Presiden Donald Trump untuk memberlakukan tarif impor luas terhadap negara-negara dengan surplus dagang terhadap AS resmi diblokir oleh pengadilan, yang berpotensi mengubah arah kebijakan perdagangan Amerika Serikat.

    Melansir Reuters, Kamis (29/5/2025), Pengadilan Perdagangan Internasional menyatakan bahwa presiden telah bertindak melampaui batas kewenangannya, dan bahwa kekuasaan untuk mengatur perdagangan luar negeri sepenuhnya berada di tangan Kongres.

    “Pengadilan tidak menilai apakah penggunaan tarif oleh Presiden itu bijak atau efektif. Yang jelas, undang-undang tidak mengizinkannya,” tulis panel tiga hakim dalam putusan tersebut.

    Pemerintahan Trump langsung mengajukan pemberitahuan banding, mempertanyakan kewenangan pengadilan untuk menilai langkah darurat presiden. Kasus ini bisa berakhir di Mahkamah Agung, tergantung hasil banding di Pengadilan Banding Federal di Washington DC.

    Kebijakan tarif merupakan senjata utama Trump dalam perang dagangnya dan menjadi alat untuk menekan mitra dagang, menghidupkan kembali industri manufaktur domestik, dan memangkas defisit perdagangan barang AS yang kini mencapai US$1,2 triliun.

    Namun, pengadilan menilai bahwa alasan darurat nasional tidak cukup untuk membenarkan tindakan sepihak tersebut di bawah Undang-Undang Kekuatan Ekonomi Darurat Internasional (IEEPA).

    Dalam pernyataan resminya, juru bicara Gedung Putih Kush Desai menyebut defisit perdagangan menghancurkan komunitas Amerika, merugikan tenaga kerja, dan melemahkan basis industri pertahanan.

    “Bukanlah tugas hakim yang tidak terpilih untuk memutuskan bagaimana cara mengatasi keadaan darurat nasional dengan baik,” ujar Kush Desai.

    Reaksi pasar tergolong positif. Dolar AS melonjak terhadap euro, yen, dan franc Swiss, sementara indeks saham di Wall Street dan Asia ikut menguat.

    Putusan ini berasal dari dua gugatan hukum—satu dari lima pelaku usaha kecil yang diwakili Liberty Justice Center, dan satu lagi dari koalisi 13 negara bagian yang dipimpin Jaksa Agung Oregon, Dan Rayfield. Para penggugat menyebut tarif Trump sebagai kebijakan sembrono yang mengancam kelangsungan usaha mereka dan stabilitas ekonomi secara luas.

    Rayfield menyambut baik putusan tersebut dengan menyatakan bahwa “keputusan perdagangan tidak bisa dibuat sesuka hati presiden.”

    Trump merupakan presiden pertama yang menggunakan IEEPA untuk menetapkan tarif dagang. Biasanya, undang-undang ini digunakan untuk membekukan aset atau menjatuhkan sanksi kepada musuh negara.

    Departemen Kehakiman sebelumnya meminta agar gugatan ditolak, dengan alasan bahwa penggugat belum dirugikan secara langsung dan hanya Kongres yang dapat menggugat status darurat nasional yang ditetapkan presiden.

    Tarif tersebut diumumkan pada awal April dengan besaran 10% untuk semua impor dan tarif tambahan hingga 54% bagi negara dengan defisit perdagangan terbesar terhadap AS, terutama China.

    Namun, dalam waktu sepekan, sebagian tarif ditangguhkan menyusul kesepakatan sementara antara AS dan China yang menurunkan tarif selama 90 hari sambil menyusun perjanjian jangka panjang.

  • Poin-Poin Risalah Rapat FOMC The Fed: Risiko Inflasi dan Resesi Masih Menghantui

    Poin-Poin Risalah Rapat FOMC The Fed: Risiko Inflasi dan Resesi Masih Menghantui

    Bisnis.com, JAKARTA – Bank sentral Amerika Serikat Federal Reserve mengambil posisi waspada menyusul lonjakan ketidakpastian ekonomi, dengan memutuskan untuk menahan suku bunga sambil menanti kejelasan lebih lanjut terkait arah inflasi dan pertumbuhan.

    Dalam risalah pertemuan kebijakan Federal Open Market Committee (FOMC) pada 6-7 Mei lalu, The Fed menyatakan bahwa bahwa pendekatan sabar lebih tepat diterapkan dalam kondisi saat ini.

    The Fed mengakui risiko dari tekanan inflasi yang belum mereda bersamaan dengan meningkatnya angka pengangguran semakin meningkat dibandingkan pertemuan sebelumnya pada Maret. Risiko ini muncul di tengah kekhawatiran atas volatilitas pasar keuangan dan peringatan staf internal Fed mengenai potensi resesi yang semakin besar.

    Situasi ini dinilai berpotensi menempatkan dua mandat utama The Fed—menjaga stabilitas harga dan memaksimalkan lapangan kerja—dalam posisi yang saling bertentangan.

    “Peserta sepakat bahwa dengan pertumbuhan ekonomi dan pasar tenaga kerja yang masih kuat, serta sikap kebijakan moneter yang cukup ketat, komite berada pada posisi yang baik untuk menunggu kejelasan lebih lanjut terkait prospek inflasi dan aktivitas ekonomi,” tulis risalah tersebut seperti dilansir Bloomberg, Kamis (29/5/2025).

    Risalah juga menyoroti peningkatan ketidakpastian akibat perubahan arah kebijakan pemerintah, dan menekankan perlunya kehati-hatian sampai dampak bersih dari kebijakan tersebut dapat dipetakan secara lebih akurat.

    The Fed telah mempertahankan suku bunga acuan di kisaran 4,25%–4,5% untuk ketiga kalinya secara berturut-turut.

    Kebijakan dagang Presiden Donald Trump yang penuh gejolak menjadi faktor utama yang menyelimuti prospek ekonomi dengan ketidakpastian. Rapat Mei sendiri digelar hanya beberapa hari sebelum tercapainya kesepakatan sementara antara AS dan Tiongkok untuk menurunkan tarif timbal balik.

    Kendati ada sinyal deeskalasi, beban tarif terhadap barang impor tetap tinggi, mendorong banyak pelaku usaha menunda ekspansi dan perekrutan. Para ekonom secara umum menilai bahwa tarif akan mendorong inflasi dan membebani pertumbuhan, meski potensi resesi tahun ini mulai mengecil seiring meredanya ketegangan dagang.

    Proyeksi pertumbuhan ekonomi 2025 dan 2026 turut direvisi turun oleh The Fed, mencerminkan dampak kebijakan tarif. “Staf menilai kemungkinan terjadinya resesi hampir sebanding dengan proyeksi dasar,” bunyi risalah tersebut.

    Mereka juga memperkirakan pasar tenaga kerja akan melemah secara signifikan, dengan tingkat pengangguran diproyeksikan melampaui tingkat alami dan bertahan tinggi hingga 2027. Sementara itu, tarif diperkirakan akan mendorong inflasi naik secara tajam sepanjang tahun ini.

    Ekspektasi Inflasi

    Para pejabat juga semakin mencermati ekspektasi masyarakat terhadap inflasi jangka panjang, karena khawatir lonjakan harga akibat tarif bisa menetap lebih lama dari yang diharapkan. “Hampir semua peserta” menyatakan kekhawatiran bahwa inflasi dapat lebih persisten dari prediksi sebelumnya.

    Indeks ekspektasi inflasi konsumen versi Universitas Michigan untuk jangka 5–10 tahun melonjak tahun ini, terutama didorong oleh tarif. Namun, sebagian besar pejabat Fed meredam kekhawatiran tersebut dengan mengacu pada indikator berbasis pasar yang menunjukkan ekspektasi inflasi tetap terjaga.

    “Peserta mencatat bahwa komite mungkin akan menghadapi dilema sulit jika inflasi terbukti lebih persisten sementara prospek pertumbuhan dan lapangan kerja melemah,” lanjut risalah tersebut, seraya menekankan bahwa arah perubahan kebijakan pemerintah dan dampaknya terhadap ekonomi masih sangat tidak pasti.

    Tinjauan Kerangka Kerja

    Selain soal inflasi, para pembuat kebijakan The Fed juga melanjutkan diskusi rutin mengenai evaluasi kerangka kerja strategis bank sentral—dokumen yang menjadi acuan dalam menjalankan kebijakan moneter.

    Ketua The Fed Jerome Powell sebelumnya menyampaikan bahwa saat ini merupakan momen yang tepat untuk meninjau kembali formulasi dalam kerangka kerja tersebut, khususnya terkait pendekatan target inflasi rata-rata dan definisi kekurangan dari target ketenagakerjaan bank sentral.

    Dalam tinjauan sebelumnya yang rampung pada 2020, The Fed memperkenalkan strategi baru yang membiarkan inflasi bergerak sedikit di atas target 2% untuk beberapa waktu, sebagai kompensasi atas periode panjang inflasi rendah. Pendekatan ini dikenal dengan istilah flexible average inflation targeting.

    Namun, risalah terbaru mengisyaratkan adanya dukungan yang lebih kuat terhadap pendekatan yang lebih sederhana, yakni target inflasi fleksibel, di mana bank sentral akan fokus membawa inflasi kembali ke target 2% tanpa harus mengimbangi penyimpangan sebelumnya.

    Langkah ini menunjukkan perubahan sikap yang lebih adaptif terhadap kondisi ekonomi yang dinamis, sekaligus mencerminkan kehati-hatian The Fed dalam menjaga keseimbangan antara stabilitas harga dan ketahanan pasar tenaga kerja.

  • GAPKI Minta Penundaan Pajak Ekspor CPO, BPDP Soroti Peran Industri Sawit di Tengah Krisis Global

    GAPKI Minta Penundaan Pajak Ekspor CPO, BPDP Soroti Peran Industri Sawit di Tengah Krisis Global

    Bisnis.com, PEKANBARU — Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) meminta pemerintah menunda pengenaan tarif pajak ekspor (PE) terhadap minyak sawit mentah (CPO) di tengah ketidakpastian ekonomi global. 

    Permintaan tersebut dinilai penting oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) karena sawit berperan menjadi salah satu komoditas utama dalam perputaran ekonomi Indonesia.

    Direktur Penyaluran Dana BPDP Mohammad Alfansyah menyoroti pentingnya menjaga stabilitas industri sawit sebagai sektor strategis nasional.

    “Industri kelapa sawit telah menjadi penopang utama ekonomi nasional, terutama dalam menghadapi tekanan global. BPDP akan terus mendorong penguatan daya saing dan keberlanjutan industri ini, baik dari sisi hulu maupun hilir,” ungkapnya Rabu (28/5/2025).

    Menurutnya keberlanjutan industri sawit tak hanya soal ekspor, tetapi juga soal kontribusinya dalam penyediaan energi terbarukan, seperti biodiesel, serta program peremajaan sawit rakyat (PSR) yang menyasar peningkatan produktivitas petani kecil.

    Ketua Umum GAPKI Eddy Martono menegaskan, industri sawit nasional saat ini menghadapi tekanan berat, terlebih dengan memanasnya konflik geopolitik antara India dan Pakistan — dua negara yang menjadi pasar utama ekspor sawit Indonesia.

    “Kami berharap pemerintah bisa menunda pengenaan PE, karena situasi global sangat dinamis dan mempengaruhi ekspor. Perang antara India dan Pakistan menambah beban bagi pelaku usaha. Kalau pasar ekspor terganggu, maka dampaknya bisa sangat serius bagi industri dalam negeri,” katanya pada Forum Andalas V dengan tema tema “Hambatan, Tantangan, dan Sinergi dalam Pengelolaan Industri Kelapa Sawit Indonesia yang Berkelanjutan”.

    Eddy menekankan, meski banyak sektor industri mengalami penurunan bahkan gelombang PHK dalam dua tahun terakhir, industri sawit masih menunjukkan ketahanan luar biasa.

    “Kita harus jaga momentum ini. Industri sawit bukan hanya tulang punggung devisa negara, tapi juga penopang kehidupan jutaan petani dan pekerja,” jelasnya.

    Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Heru Tri Widarto menerangkan bahwa situasi global perlu direspons untuk mengurangi dampak negatif bagi Indonesia, terutama para pelaku industri.

    “Kebijakan Amerika Serikat, konflik India-Pakistan, hingga kampanye negatif Eropa harus disikapi secara kolektif,” jelasnya.