Category: Bisnis.com Ekonomi

  • Kampung Haji Indonesia di Makkah, Antara Peluang dan Halang Rintang

    Kampung Haji Indonesia di Makkah, Antara Peluang dan Halang Rintang

    Bisnis.com, JEDDAH — Gagasan untuk membangun kampung haji Indonesia di Arab Saudi bukanlah barang baru. Ide ini sudah muncul setidaknya sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di bawah Menteri Agama Maftuh Basyuni. Presiden Prabowo Subianto mengembalikan gagasan tersebut ke permukaan dan menjanjikan akan mengantongi lampu hijau dari pihak Kerajaan Arab Saudi dalam waktu dekat.

    Itulah mengapa rombongan Amirulhajj alias pemimpin Misi Haji Indonesia di Arab Saudi pada musim haji tahun ini, diamanatkan misi untuk membangun dialog menuju realisasi gagasan tersebut.

    Dilihat dari urgensinya, Indonesia sebagai pengirim jemaah haji dan umrah terbanyak setiap tahunnya memang perlu memiliki poros-poros ekonomi untuk mengembalikan sebagian keuntungan dari penyelenggaraan ibadah haji dan umrah ke dalam negeri. Kampung haji Indonesia di Makkah juga digadang-gadang bisa menurunkan biaya haji yang ditanggung jemaah secara lebih signifikan. Namun, gagasan ini tentu bukan tanpa aral melintang.

    Penasihat Khusus Presiden Bidang Haji sekaligus anggota Amirulhajj tahun ini, Muhadjir Effendi, mengatakan Prabowo diperkirakan akan bertemu dengan Putra Mahkota Muhammad bin Salman (MBS) pada awal Juli 2025 dengan misi utama pembicaraan mengenai kampung haji. Selama ikut mengawasi penyelenggaraan ibadah haji, Muhadjir juga mengaku telah bertemu dengan investor yang berminat membangun kampung haji.

    “Kalau investor sudah banyak, mungkin lebih dari tiga, bahkan lebih. Cuma kami harus hati-hati karena skema yang kami tawarkan itu G2G [government-to-government], tidak antara negara dengan pebisnis. Karena kami harapkan ini akan perkuat kerja sama, bukan hanya haji tapi bidang-bidang lebih luas kalau kita memiliki kampung haji ini,” ujar Muhadjir ditemui sebelum kepulangannya ke Tanah Air di Bandara Jeddah, baru-baru ini.

    Dia juga mengatakan pemerintah sebenarnya telah menyiapkan skenario pendanaan kampung haji, baik melalui Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) maupun Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara).

    Menurutnya, bukan hal yang terlarang untuk memanfaatkan momentum haji sebagai penggerak ekonomi, terutama di antara negara-negara berpenduduk muslim, untuk membangun ekosistem ekonomi Islam secara global.

    “Saya kira akan menjadi game changer, pembeda sistem ekonomi global kalau haji ini bisa kita kapitalisasi jadi pusat transaksi internasional tahunan, konversi bisnis tahunan dari negara-negara Islam,” katanya.

    Sejumlah tantangan

    Sementara itu, posisi sebagai pengirim jemaah haji terbesar, ditengarai hanya menjadikan Indonesia kuat secara moral, tetapi lemah dari sisi legal formal. Lautan jemaah haji yang berangkat dari Tanah Air setiap tahun memang memberi Indonesia posisi daya tawar yang lebih tinggi. Akan tetapi, hal itu belum tentu cukup sebagai penguat dari sisi hukum, jika tanpa kerangka diplomasi yang kokoh.

    Nur Hidayah, Guru Besar Fakultas Ekonomi Bisnis UIN Jakarta sekaligus Ketua Center for Sharia Economic Development (CSED) Indef, mengatakan Arab Saudi tidak mengenal sistem kepemilikan properti untuk pihak asing di Makkah dan Madinah. Bahkan, investasi Gulf Cooperation Council (GCC) pun dikontrol ketat oleh dekrit kerajaan.

    “Maka, jika kampung haji dimaksudkan sebagai kompleks kepemilikan, perlu dipertimbangkan model long-term waqf atau build-operate-transfer (BOT),” kata Nur Hidayah, dihubungi dari Jeddah.

    Catatan lainnya, butuh lobi tingkat tinggi dan dalam hal ini, relasi raja dengan presiden lebih penting dibandingkan dengan data ekonomi. Arab Saudi, sebagaimana diketahui, adalah negara monarki absolut. Artinya, keputusan semacam ini sangat bergantung pada kedekatan dan hubungan saling menghormati antara Presiden Prabowo dan Raja atau Putra Mahkota MBS.

    “Jika Presiden Prabowo mampu menunjukkan bahwa kampung haji Indonesia akan mendukung Vision 2030 Arab Saudi, terutama sektor pariwisata religius dan logistik haji-umrah, maka peluangnya meningkat,” katanya.

    Jemaah haji Indonesia berjalan meninggalkan tenda Mina di Makkah, Arab Saudi, Minggu (8/6/2025)./Dok. Media Center Haji

    Menurut Nur Hidayah, keberhasilan rencana ini tak hanya bersandar pada modal atau jumlah jemaah, tetapi lebih berat pada seni diplomasi presiden. Harus ada sinergi antara Kementerian Luar Negeri, Kementerian Agama, Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), diaspora, dan pelaku usaha syariah nasional.

    Lebih jauh, dia juga menekankan aspek kehati-hatian dalam investasi yang bersumber dari dana haji. Jika prinsip kehati-hatian tidak dijaga, dikhawatirkan proyek kampung haji dapat menjadi beban moral dan reputasi bagi BPKH. “Apalagi jika dianggap sebagai proyek politis, bukan investasi syariah yang prudent,” imbuhnya.

    Pengamat Haji dan Umrah Dadi Darmadi menambahkan proyek ini sebaiknya diposisikan sebagai kerja sama investasi dengan pihak Saudi, pemerintah, atau swasta. Dengan demikian, tidak terkesan menyenggol kepentingan, otoritas, atau kedaulatan Arab Saudi.

    “Pastinya cukup banyak tantangan. Penyedia jasa akomodasi informal yang selama ini banyak bermain di industri haji dan umrah di Makkah, perlu diajak dialog dan kerja sama, jangan sampai menghambat rencana,” katanya.

    Jika upaya diplomasi berjalan sesuai rencana, Dadi menyebut proyek ini cukup realistis diwujudkan dalam jangka menengah antara 5 hingga 10 tahun ke depan.

    Dengan sejumlah catatan tersebut, Indonesia tidak bisa bersikap mentang-mentang sebagai penyumbang jemaah haji terbanyak ke Tanah Suci. Jika tujuannya adalah untuk kemaslahatan jemaah haji, perlu perhitungan matang dari berbagai sisi: politik, ekonomi, hingga diplomasi.

  • Bank Dunia: Garis Kemiskinan Indonesia Rp1,51 Juta per Orang/Bulan

    Bank Dunia: Garis Kemiskinan Indonesia Rp1,51 Juta per Orang/Bulan

    Bisnis.com, JAKARTA — Bank Dunia mengungkapkan ambang batas garis kemiskinan di Indonesia sebesar Rp1.512.000 per orang per bulan, apabila mengikuti standar negara-negara berpenghasilan menengah-atas.

    Dalam publikasi bertajuk The World Bank’s Updated Global Poverty Lines: Indonesia, Bank Dunia menjelaskan bahwa telah menetapkan standar garis kemiskinan yang baru usai mengadopsi basis perhitungan paritas daya beli atau purchasing power parity (PPP) 2021 (sebelumnya PPP 2017).

    PPP merupakan pengukuran perbandingan biaya yang dibutuhkan untuk membeli suatu barang/jasa antarnegara. Misalnya, US$1 di New York tentu memiliki daya beli yang berbeda dengan US$1 di Jakarta.

    PPP memungkinkan perhitungan keterbandingan tingkat kemiskinan antarnegara yang memiliki tingkat biaya hidup yang berbeda-beda. Untuk Indonesia, Bank Dunia mencatat US$1 PPP 2021 setara sekitar Rp6.071.

    Adapun, Bank Dunia memakai tiga kategori garis kemiskinan yaitu garis kemiskinan ekstrem/negara berpendapatan rendah, garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-bawah, dan garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-atas.

    Usai mengadopsi PPP 2021, kini garis kemiskinan ekstrem/negara berpendapatan rendah naik dari US$2,15 menjadi US$3 per orang per hari (sekitar Rp546.400 per orang per bulan), garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-bawah naik dari US$3,65 menjadi US$4,2 per orang per hari (sekitar Rp765.000 per orang per bulan), dan garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-atas naik dari US$6,85 menjadi US$8,3 per orang per hari (Rp1.512.000 per orang per bulan).

    “Menurut garis kemiskinan ekstrem internasional yang baru, 5,4% penduduk Indonesia miskin pada 2024, 19,9% miskin menurut garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-bawah, dan 68,3% miskin menurut garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-atas,” tulis Bank Dunia, dikutip Sabtu (14/6/2025).

    Bank Dunia telah mengategorikan Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah-atas sejak 2023. Hanya saja, lembaga internasional tersebut menggarisbawahi bahwa pendapatan per kapita Indonesia masih berada di kisaran batas bawah negara-negara pendapatan menengah atas.

    Contohnya dalam kategori negara pendapatan menengah-atas, ada negara yang pendapatan perkapitanya mencapai US$14.005. Angka tersebut hampir tiga kali lipat dari pendapatan per kapita Indonesia yang baru sebesar US$4.810 pada 2023.

    “Statistik kemiskinan untuk ketiga garis kemiskinan internasional relevan bagi Indonesia, tetapi karena negara ini baru saja menjadi negara berpendapatan menengah-atas, perhatian khusus diberikan kepada garis kemiskinan berpendapatan menengah-bawah dan menengah-atas,” jelas Bank Dunia.

    Berbeda dengan BPS

    Garis kemiskinan internasional versi Bank Dunia itu berbeda dengan garis kemiskinan nasional versi Badan Pusat Statistik (BPS).

    Berdasarkan Susenas September 2024, BPS mencatat ambang batas garis kemiskinan nasional senilai Rp595.243 per orang per bulan. Angka tersebut hampir setara dengan standar garis kemiskinan internasional untuk negara pendapatan rendah versi Bank Dunia yaitu Rp546.400 per orang per bulan.

    Padahal, Bank Dunia menggarisbawahi bahwa keadaan di Indonesia lebih mencerminkan standar garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-bawah (Rp765.000 per orang per bulan) dan menengah-atas (Rp1.512.000 per orang per bulan).

    Tak heran apabila jumlah penduduk miskin Indonesia versi BPS berbeda cukup jauh dengan versi Bank Dunia.

    BPS mencatat penduduk miskin Indonesia ‘hanya’ 24,06 juta orang atau setara 8,57% dari total populasi. Sementara Bank Dunia mencatat penduduk miskin Indonesia mencapai 19,9% berdasarkan garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-bawah atau 68,3% berdasarkan garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-atas.

    Lebih dari itu, Bank Dunia mengakui bahwa tujuan garis kemiskinan internasional berbeda dengan garis kemiskinan nasional. Garis kemiskinan internasional digunakan untuk perbandingan antarnegara; sementara garis kemiskinan nasional digunakan untuk menerapkan kebijakan di tingkat nasional, seperti program perlindungan sosial kepada kaum miskin.

    “Untuk pertanyaan tentang kebijakan nasional di Indonesia, garis kemiskinan nasional dan statistik kemiskinan yang diterbitkan oleh BPS adalah yang paling tepat. Garis kemiskinan internasional yang diterbitkan oleh Bank Dunia cocok untuk … membandingkan Indonesia dengan negara lain,” jelas Bank Dunia.

  • Pemerintah Sebut IEU-CEPA Bakal Sumbang Pertumbuhan Ekonomi RI 0,04%

    Pemerintah Sebut IEU-CEPA Bakal Sumbang Pertumbuhan Ekonomi RI 0,04%

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah mengungkapkan bahwa implementasi perjanjian dagang Indonesia dengan Uni Eropa atau IEU-CEPA mampu memberikan sumbangan kepada pertumbuhan ekonomi sebesar 0,04%. 

    Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Djatmiko Bris Witjaksono menyampaikan bahwa perhitungan tersebut merupakan simulasi yang pihaknya lakukan. 

    Sementara bagi Eropa, implementasi Indonesia-Europe Union Comprehensive Economic Partnership Agreement atau IEU-CEPA akan menambah pertumbuhan ekonomi Benua Biru tersebut sebesar 0,0013%. 

    “Dengan adanya IEU-CEPA akan meningkatkan pertumbuhan bagi Indonesia kurang lebih 0,04% dan bagi Uni Eropa 0,0013%,” ujarnya dalam Diseminasi Hasil Perundingan IEU-CEPA di kantor Kemenko Perekonomian, Jumat (13/6/2025).

    Bukan hanya sekadar pertumbuhan ekonomi yang akan meningkat, namun kesejahteraan Indonesia dan Uni Eropa juga demikian. 

    Menurut simulasi pemerintah, kesejahteraan Indonesia akan meningkat US$824,56 juta sementara Uni Eropa meningkat US$481,19 juta. 

    Perjanjian dagang yang ditargetkan dapat mulai diimplementasikan pada akhir 2026 tersebut dipercaya akan meningkatkan investasi hingga 0,42% bagi Indonesia dan 0,0087% bagi Uni Eropa. 

    Melalui perjanjian dagang yang memungkinkan arus barang keluar—masuk lebih bebas dan terbuka, ditambah dengan tarif impor hingga 0%, neraca perdagangan kedua negara diprediksi bakal sama-sama defisit. 

    “Neraca perdagangan barang, mungkin situasinya masih sangat dinamis sekali, tapi ini hasil hitung-hitungan di simulasi. Ada sedikit tekanan untuk Indonesia, sekitar US$743 juta. Untuk Uni Eropa juga kontraksi sebesar US$288 juta. 

    Secara umum, Djatmiko menyampaikan manfaat keberadaan IEU—CEPA. Pertama, peningkatan akses pasar barang dengan ekspor yang diprediksi per tahunnya naik 5,4%. Kedua, peningkatan akses pasar jasa ke Uni Eropa. 

    Ketiga, Peningkatan foreign direct investment (FDI) Uni Eropa di Indonesia untuk kendaraan listrik, energi terbarukan, semikonduktor, farmasi, dan produk turunan mineral. 

    Keempat, peningkatan pendapatan negara seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh). Kelima, diversifikasi sumber impor bahan baru/barang modal untuk industri dalam negeri. 

    Keenam, peningkatan kesejahteraan yang didorong oleh peningkatan produktivitas industri. Ketujuh, produk Uni Eropa dan Indonesia komplementer. Terakhir, konsumen mendapat lebih banyak opsi untuk melakukan jual beli barang. 

    Adapun, neraca perdagangan Indonesia dengan Uni Eropa pada 2024 tercatat senilai US$4,5 miliar dengan ekspor yang tumbuh 4,01% (year on year/YoY) dan impor yang kontraksi 9,12%. 

    Uni Eropa menjadi posisi ketujuh tujuan ekspor Indonesia dan posisi kelima asal impor Indonesia. Adapun total perdagangan kedua negara ini bahkan mencapai US$30,2 miliar pada tahun lalu. 

    Pemerintah berencana untuk meningkatkan ekspor untuk produk-produk potensial, seperti minyak kelapa sawit, feronikel, emas, dan pulp kayu kimia. 

  • Pemerintah Sebut IEU-CEPA Bakal Sumbang Pertumbuhan Ekonomi RI 0,04%

    Pemerintah Sebut IEU-CEPA Bakal Sumbang Pertumbuhan Ekonomi RI 0,04%

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah mengungkapkan bahwa implementasi perjanjian dagang Indonesia dengan Uni Eropa atau IEU-CEPA mampu memberikan sumbangan kepada pertumbuhan ekonomi sebesar 0,04%. 

    Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Djatmiko Bris Witjaksono menyampaikan bahwa perhitungan tersebut merupakan simulasi yang pihaknya lakukan. 

    Sementara bagi Eropa, implementasi Indonesia-Europe Union Comprehensive Economic Partnership Agreement atau IEU-CEPA akan menambah pertumbuhan ekonomi Benua Biru tersebut sebesar 0,0013%. 

    “Dengan adanya IEU-CEPA akan meningkatkan pertumbuhan bagi Indonesia kurang lebih 0,04% dan bagi Uni Eropa 0,0013%,” ujarnya dalam Diseminasi Hasil Perundingan IEU-CEPA di kantor Kemenko Perekonomian, Jumat (13/6/2025).

    Bukan hanya sekadar pertumbuhan ekonomi yang akan meningkat, namun kesejahteraan Indonesia dan Uni Eropa juga demikian. 

    Menurut simulasi pemerintah, kesejahteraan Indonesia akan meningkat US$824,56 juta sementara Uni Eropa meningkat US$481,19 juta. 

    Perjanjian dagang yang ditargetkan dapat mulai diimplementasikan pada akhir 2026 tersebut dipercaya akan meningkatkan investasi hingga 0,42% bagi Indonesia dan 0,0087% bagi Uni Eropa. 

    Melalui perjanjian dagang yang memungkinkan arus barang keluar—masuk lebih bebas dan terbuka, ditambah dengan tarif impor hingga 0%, neraca perdagangan kedua negara diprediksi bakal sama-sama defisit. 

    “Neraca perdagangan barang, mungkin situasinya masih sangat dinamis sekali, tapi ini hasil hitung-hitungan di simulasi. Ada sedikit tekanan untuk Indonesia, sekitar US$743 juta. Untuk Uni Eropa juga kontraksi sebesar US$288 juta. 

    Secara umum, Djatmiko menyampaikan manfaat keberadaan IEU—CEPA. Pertama, peningkatan akses pasar barang dengan ekspor yang diprediksi per tahunnya naik 5,4%. Kedua, peningkatan akses pasar jasa ke Uni Eropa. 

    Ketiga, Peningkatan foreign direct investment (FDI) Uni Eropa di Indonesia untuk kendaraan listrik, energi terbarukan, semikonduktor, farmasi, dan produk turunan mineral. 

    Keempat, peningkatan pendapatan negara seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh). Kelima, diversifikasi sumber impor bahan baru/barang modal untuk industri dalam negeri. 

    Keenam, peningkatan kesejahteraan yang didorong oleh peningkatan produktivitas industri. Ketujuh, produk Uni Eropa dan Indonesia komplementer. Terakhir, konsumen mendapat lebih banyak opsi untuk melakukan jual beli barang. 

    Adapun, neraca perdagangan Indonesia dengan Uni Eropa pada 2024 tercatat senilai US$4,5 miliar dengan ekspor yang tumbuh 4,01% (year on year/YoY) dan impor yang kontraksi 9,12%. 

    Uni Eropa menjadi posisi ketujuh tujuan ekspor Indonesia dan posisi kelima asal impor Indonesia. Adapun total perdagangan kedua negara ini bahkan mencapai US$30,2 miliar pada tahun lalu. 

    Pemerintah berencana untuk meningkatkan ekspor untuk produk-produk potensial, seperti minyak kelapa sawit, feronikel, emas, dan pulp kayu kimia. 

  • Bank Dunia: Garis Kemiskinan versi BPS Cocok untuk Penentuan Kebijakan Nasional

    Bank Dunia: Garis Kemiskinan versi BPS Cocok untuk Penentuan Kebijakan Nasional

    Bisnis.com, JAKARTA — Belakangan muncul banyak perbincangan terkait standar garis kemiskinan di Indonesia. Pemicunya, ada perbedaan besar standar garis kemiskinan internasional versi Bank Dunia dengan garis kemiskinan nasional versi BPS.

    Dalam publikasi bertajuk The World Bank’s Updated Global Poverty Lines: Indonesia, Bank Dunia pun buka suara terkait terkait polemik tersebut.

    Bank Dunia menyatakan bahwa tujuan penggunaan garis kemiskinan internasional berbeda dengan garis kemiskinan nasional. Garis kemiskinan internasional digunakan untuk perbandingan antarnegara; sementara garis kemiskinan nasional digunakan untuk menerapkan kebijakan di tingkat nasional, seperti program perlindungan sosial kepada kaum miskin.

    “Untuk pertanyaan tentang kebijakan nasional di Indonesia, garis kemiskinan nasional dan statistik kemiskinan yang diterbitkan oleh BPS adalah yang paling tepat. Garis kemiskinan internasional yang diterbitkan oleh Bank Dunia sesuai untuk … membandingkan Indonesia dengan negara lain,” jelas Bank Dunia, dikutip Sabtu (14/6/2025).

    Adapun, Bank Dunia memakai tiga kategori garis kemiskinan yaitu garis kemiskinan ekstrem/negara berpendapatan rendah, garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-bawah, dan garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-atas.

    Garis kemiskinan International tersebut dihitung berdasarkan median atau nilai tengah garis kemiskinan nasional masing-masing negara di tiga kategori tersebut, yang kemudian dikonversi ke perhitungan paritas daya beli atau purchasing power parity (PPP) 2021.

    PPP merupakan pengukuran perbandingan biaya yang dibutuhkan untuk membeli suatu barang/jasa antarnegara. Misalnya, US$1 di New York tentu memiliki daya beli yang berbeda dengan US$1 di Jakarta.

    PPP memungkinkan perhitungan keterbandingan tingkat kemiskinan antarnegara yang memiliki tingkat biaya hidup yang berbeda-beda. Untuk Indonesia, Bank Dunia mencatat US$1 PPP 2021 setara sekitar Rp6.071.

    Hasilnya, Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan negara berpendapatan rendah sebesar US$3 per orang per hari (sekitar Rp546.400 per orang per bulan), garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-bawah US$4,2 per orang per hari (sekitar Rp765.000 per orang per bulan), dan garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-atas US$8,3 per orang per hari (Rp1.512.000 per orang per bulan).

    “Menurut garis kemiskinan ekstrem internasional yang baru, 5,4% penduduk Indonesia miskin pada 2024, 19,9% miskin menurut garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-bawah, dan 68,3% miskin menurut garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-atas,” tulis Bank Dunia.

    Bank Dunia telah mengategorikan Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah-atas sejak 2023. Hanya saja, lembaga internasional tersebut menggarisbawahi bahwa pendapatan per kapita Indonesia masih berada di kisaran batas bawah negara-negara pendapatan menengah atas.

    Contohnya dalam kategori negara pendapatan menengah-atas, ada negara yang pendapatan perkapitanya hingga US$14.005. Angka tersebut hampir tiga kali lipat dari pendapatan per kapita Indonesia yang baru sebesar US$4.810 pada 2023.

    “Statistik kemiskinan untuk ketiga garis kemiskinan internasional relevan bagi Indonesia, tetapi karena negara ini baru saja menjadi negara berpendapatan menengah-atas, perhatian khusus diberikan kepada garis kemiskinan berpendapatan menengah-bawah dan menengah-atas,” jelas Bank Dunia.

    Berbeda dengan BPS

    Masalahnya, banyak yang membandingkan garis kemiskinan internasional versi Bank Dunia itu dengan garis kemiskinan nasional versi BPS.

    Berdasarkan Susenas September 2024, BPS mencatat ambang batas garis kemiskinan nasional senilai Rp595.243 per orang per bulan. Angka tersebut hampir setara dengan standar garis kemiskinan internasional untuk negara berpenghasilan rendah versi Bank Dunia yaitu Rp546.400 per orang per bulan.

    Padahal, Bank Dunia menggarisbawahi bahwa keadaan di Indonesia lebih mencerminkan standar garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-bawah (Rp765.000 per orang per bulan) dan menengah-atas (Rp1.512.000 per orang per bulan).

    Tak heran apabila jumlah penduduk miskin Indonesia versi BPS berbeda cukup jauh dengan versi Bank Dunia.

    BPS mencatat penduduk miskin Indonesia ‘hanya’ 24,06 juta orang atau setara 8,57% dari total populasi. Sementara Bank Dunia mencatat penduduk miskin Indonesia mencapai 19,9% berdasarkan garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-bawah atau 68,3% berdasarkan garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-atas.

    Sebagai gambaran, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar dalam menghitung garis kemiskinan nasional. Kebutuhan dasar tersebut dibagi menjadi dua kategori, yakni komoditas makanan dan komoditas bukan makanan.

    Untuk makanan, BPS memakai standar kebutuhan gizi versi Kementerian Kesehatan yaitu minimum 2.100 kilokalori (kkal) per kapita per hari. BPS pun menggunakan 52 jenis komoditas makanan untuk menentukan kebutuhan 2.100 kkal tersebut seperti beras, kue basah, hingga rokok kretek filter.

    Sementara itu, untuk bukan makanan, BPS menggunakan 51 jenis komoditas di perkotaan dan 47 jenis komoditas di pedesaan yang dirasa diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya seperti perumahan, listrik, hingga pajak kendaraan motor.

    BPS pun mengalkulasi garis kemiskinan sesuai dengan nilai pengeluaran masyarakat untuk membeli komoditas makanan dan bukan makanan tersebut. Kalkulasi garis kemiskinan tersebut dilakukan lewat Susenas yang diadakan dua kali dalam setahun yaitu pada Maret dan September.

  • Imbas Konflik Iran-Israel Memanas: Wall Street Anjlok, Emas & Minyak Mentah Meroket

    Imbas Konflik Iran-Israel Memanas: Wall Street Anjlok, Emas & Minyak Mentah Meroket

    Bisnis.com, JAKARTA – Bursa saham Amerika Serikat terguncang pada Jumat (13/6/2025) setelah Iran dikabarkan meluncurkan serangan balasan terhadap fasilitas nuklir Israel, memperkuat kekhawatiran bahwa konflik di Timur Tengah kian tak terkendali.

    Melansir Bloomberg, Sabtu (14/6/2025), indeks acuan S&P 500 merosot lebih dari 1%, menghapus seluruh penguatan yang dibukukan pekan ini. Saham sektor maskapai dan pariwisata anjlok, sebaliknya, saham perusahaan energi dan pertahanan menguat.

    Di sisi lain, Minyak mentah West Texas Intermediate berakhir menguat 7,55% ke US$73,18 per barel, sedangkan minyak mentah patokan Brent menguat 1,28% ke US$75,18 per barel. melejit lebih dari 7%.

    Sementara itu, harga emas menguat mendekati level tertinggi sepanjang masa. Emas di pasar spot berakhir menguat 1,37% ke US$3.432,34 per troy ounce, sedangkan harga emas berjangka Comex di AS menguat 1,48% ke US$3.452,8 per troy ounce.

    Imbal hasil obligasi pemerintah AS turun karena kekhawatiran akan lonjakan inflasi akibat harga minyak yang melonjak. Adapun indeks dolar AS menguat tipix 0,31% ke 98,138.

    Iran menembakkan ratusan rudal sebagai respons atas serangan udara Israel yang menyasar fasilitas militer dan nuklir di Teheran. Ini menjadi langkah paling ofensif yang diambil Iran sejak serangan Israel sebelumnya menewaskan sejumlah jenderal senior dan merusak infrastruktur militer vital.

    Chief Investment Officer Navellier & Associates Louis Navellier mengatakan harga minyak mentah akan paling terdampak dari melonjaknya ketegangan di Timur Tengah ini.

    “Jika kondisi ini terus berlanjut, dampaknya pada angka inflasi bisa sangat signifikan,” ungkapnya seperti dikutip Bloomberg.

    Serangan Iran terjadi saat pasar berada dalam suasana optimistis, menyusul data inflasi AS yang lebih rendah dari perkiraan serta kemajuan dalam pembicaraan dagang antara AS dan China. Namun, lonjakan harga minyak kini menghidupkan kembali kekhawatiran akan tekanan inflasi dari sisi suplai, yang berpotensi mempersulit arah kebijakan suku bunga The Fed.

    Presiden Donald Trump mendesak Iran agar kembali ke meja perundingan nuklir guna menghindari serangan lanjutan. Sementara itu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengisyaratkan bahwa Israel kemungkinan akan melakukan serangan besar dalam beberapa hari ke depan sebagai bagian dari upaya menghentikan program nuklir Iran.

    Analis Plante Moran Financial Advisors Jim Baird mengatakan lonjakan harga minyak mungkin bersifat sementara jika konflik tidak meluas lebih jauh dan tetap terbatas antara Israel dan Iran.

    Namun jika konflik melebar, risiko lonjakan harga minyak yang lebih permanen dan dampaknya terhadap ekonomi global yang sedang melambat bisa semakin besar.

    “Minyak menjadi variabel liar. Kenaikan harga minyak yang berkelanjutan di tengah ketidakpastian global bisa menjadi hambatan baru bagi ekonomi,” jelasnya.

    Sebelum ketegangan meningkat, pasar sudah berspekulasi akan pemangkasan suku bunga oleh The Fed. Meski ekspektasi tersebut sedikit melemah, pasar masih memperkirakan dua kali pemangkasan sebesar 25 basis poin sebelum akhir tahun.

    The Fed sendiri dijadwalkan menggelar pertemuan kebijakan pekan depan, di mana mereka diperkirakan akan mempertahankan suku bunga acuannya. Namun, fokus pasar akan tertuju pada proyeksi ekonomi kuartalan dan peta titik suku bunga terbaru.

    Analis pasar di Barclays Plc menyarankan investor bersiap menghadapi kejutan hawkish dari The Fed, dengan kemungkinan revisi naik pada proyeksi inflasi 2025 dan penurunan estimasi pemangkasan suku bunga.

    Indeks volatilitas VIX yang menjadi indikator kekhawatiran investor menembus level 20, ambang yang menandai pergeseran dari ketenangan ke kegelisahan pasar.

    Sebelum eskalasi geopolitik terbaru ini, reksa dana  saham AS mencatat arus keluar terbesar dalam hampir tiga bulan. Berdasarkan data EPFR Global yang dikutip Bank of America, sekitar US$9,8 miliar ditarik dari pasar saham AS dalam sepekan terakhir hingga Rabu — tertinggi dalam 11 minggu.

    Bahkan reksadana saham Eropa, yang selama ini digemari investor, mencatat arus keluar untuk pertama kalinya tahun ini.

  • Harga Pangan 14 Juni: Gula Konsumsi, Cabai Rawit Merah, hingga Ikan Kembung Kompak Naik

    Harga Pangan 14 Juni: Gula Konsumsi, Cabai Rawit Merah, hingga Ikan Kembung Kompak Naik

    Bisnis.com, JAKARTA – Badan Pangan Nasional (Bapanas) melaporkan, sejumlah mayoritas komoditas pangan di tingkat konsumen secara rata-rata nasional mengalami penurunan harga pagi ini.

    Kendati demikian, komoditas seperti beras premium, kedelai biji kering impor, cabai rawit merah, gula konsumsi, ikan kembung, dan garam konsumsi terpantau naik.

    Merujuk data Panel Harga Bapanas, Sabtu (14/6/2025), pukul 08.57 WIB, harga beras premium di tingkat konsumen dibanderol sebesar Rp15.750 per kilogram (kg). Jumlah tersebut naik 0,17% dari hari sebelumnya.

    Harga kedelai biji kering impor naik 0,79% menjadi Rp10.915 per kg, cabai rawit merah naik 0,6% menjadi Rp52.172 per kg, dan gula konsumsi tercatat naik 0,36% menjadi Rp18.549 per kg.

    Selanjutnya, harga ikan kembung pagi ini naik signifikan 3,72% menjadi Rp42.243 per kg dan garam konsumsi naik 0,44% dibanding hari sebelumnya, menjadi Rp11.695 per kg.

    Sementara itu, terdapat sejumlah komoditas pangan yang menunjukkan penurunan harga. Bapanas mencatat, harga beras medium secara rata-rata turun 0,4% menjadi Rp13.936 per kg dan beras SPHP turun 0,37% menjadi Rp12.519 per kg.

    Kemudian, harga jagung di tingkat peternak turun signifikan 5,33% dari hari sebelumnya, menjadi Rp5.856 per kg, bawang merah turun 3,87% menjadi Rp39.430 per kg, dan bawang putih bonggol turun 1,31% menjadi Rp39.521 per kg.

    Bapanas melaporkan harga berbagai jenis cabai mengalami penurunan harga, kecuali cabai rawit merah. Tercatat harga cabai merah keriting turun 3,45% menjadi Rp42.942 per kg dan cabai merah besar turun 3,26% menjadi Rp45.101 per kg.

    Harga daging sapi murni turun 0,49% menjadi Rp134.427 per kg, daging ayam ras turun 0,88% menjadi Rp34.735 per kg, dan telur ayam ras turun 0,32% menjadi Rp29.128 per kg.

    Lebih lanjut, harga minyak goreng kemasan turun 1,11% menjadi Rp20.603 per liter, minyak goreng curah turun 1,55% menjadi Rp17.404 per liter, dan minyakita turun 0,66% menjadi Rp17.418 per liter.

    Harga tepung terigu curah turun signifikan 2,02% menjadi Rp9.589 per kg, dan tepung terigu kemasan turun 1,29% dari hari sebelulmnya, menjadi Rp12.837 per kg.

    Di tingkat konsumen, harga ikan tongkol turun 0,6% menjadi Rp33.749 per kg, ikan bandeng turun signifikan 3,93% menjadi Rp33.010 per kg, daging kerbau beku impor turun 7,07% menjadi Rp97.948 per kg, dan daging kerbau segar turun 3,02% menjadi Rp136.250 per kg. 

  • Revisi Garis Kemiskinan Punya ‘Efek Samping’, Ini Strategi Mengatasinya

    Revisi Garis Kemiskinan Punya ‘Efek Samping’, Ini Strategi Mengatasinya

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah tidak akan mempertebal atau menambah bantuan sosial alias bansos, meskipun jumlah penduduk miskin bisa bertambah akibat adanya revisi garis kemiskinan nasional.

    Deputi Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Kependudukan, dan Ketenagakerjaan, Kementerian PPN/Bappenas Maliki menjelaskan bahwa pemerintah sedang menggodok metode perhitungan garis kemiskinan nasional yang baru.

    Maliki mengakui bahwa konsekuensi perbaikan garis kemiskinan adalah peningkatan jumlah penduduk miskin. Dia menekankan bahwa perubahan jumlah penduduk miskin dan tingkat kemiskinan ini menjadi patokan kebijakan sistem penargetan program bantuan sosial (bansos) dan pemberdayaan. 

    Selama ini target perlindungan sosial tidak hanya untuk penduduk miskin, tetapi juga untuk penduduk rentan miskin. Oleh sebab itu, diyakini penduduk kategori miskin yang bertambah akan tetap terlindungi oleh berbagai program bantuan pemerintah.

    Maliki mencontohkan data BPS menunjukkan penduduk miskin mencapai 8,57% dari total populasi atau setara 24,06 juta orang, sementara penerima bantuan iuran jaminan kesehatan nasional (JKN) sekitar 40% penduduk termiskin. 

    Selain itu, sambungnya, program keluarga harapan (PKH) diterima oleh 10 juta keluarga miskin. Jika satu keluarga miskin rata-rata memiliki 5 anggota maka PKH mencakup 50 juta penduduk.

    Dia menekankan ke depan yang menjadi perhatian adalah akurasi penyaluran program tersebut. Menurutnya, hal itu sudah menjadi fokus utama pemerintah melalui penyusunan DTSEN atau Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional.

    “Program bantuan pemerintah tetap, meskipun ada wacana penebalan, tetapi yang harus kita fokuskan nanti adalah konsolidasi supaya program-program tersebut betul-betul bisa menyasar orang-orang yang tepat dengan manfaat yang lebih optimal,” jelas Maliki kepada Bisnis, dikutip pada Sabtu (14/6/2025).

    Dia menggarisbawahi yang harus menjadi fokus ke depan adalah, apakah berbagai program bansos itu berhasil menekan angka kemiskinan yang dihitung dengan metode terbaru.

    Artinya jika metode perhitungan garis kemiskinan yang baru mulai berlaku pada tahun ini harus mampu konsisten dengan upaya penanggulangan kemiskinan, baik itu melalui bantuan sosial maupun pemberdayaan lainnya. Dengan perubahan metodologi yang tepat, pengukuran kemiskinan tahun depan harus dapat menggambarkan perubahan yang objektif.

    “Jadi sebenarnya masalahnya adalah seberapa efektif sih program yang kita kucurkan, karena uangnya udah cukup besar menurut saya. Jadi itu yang harus menjadi concern [perhatian] kita ke depan,” ungkapnya.

    Senada, Koordinator Bidang Kajian Pengentasan Kemiskinan dan Ketimpangan FEB UGM Wisnu Setiadi Nugroho mengungkapkan bahwa program-program jaminan sosial sudah siap menangkap peningkatan jumlah penduduk kategori miskin apabila metode perhitungan garis kemiskinan diperbaharui.

    Dia pun mengutip pernyataan anggota Dewan Ekonomi Nasional Arief Anshory Yusuf yang mengusulkan Indonesia mengikuti standar garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-bawah versi Bank Dunia sebesar US$4,2 PPP per orang per bulan atau sekitar Rp765.000 per orang per bulan. Dengan standar itu, maka penduduk miskin akan naik dari 8,57% enjadi 20% dari total populasi pada 2024.

    Sementara itu, jaminan sosial sudah mencakup hingga 40% rumah tangga termiskin dengan variasi program dan anggaran. Oleh sebab itu, kenaikan jumlah penduduk kategori miskin tidak akan terlalu berdampak ke bansos.

    “Mungkin yang perlu dicermati untuk memastikan bahwa data yang ada ter-update [diperbaharui] dengan baik sehingga sasaran program lebih akurat dan lebih baik,” ujar Wisnu kepada Bisnis.

    Selain itu, dia mendorong dipikirkan alternatif selain bansos untuk mengurangi angka kemiskinan. Wisnu mengingatkan bahwa bansos hanya sekadar jaringan pengaman yang sifatnya sementara.

    “Sudah mulai harus dipikirkan, [bagaimana] mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan merata sehingga menarik RTSM [rumah tangga sangat miskin] dari garis kemiskinan absolut yang baru,” tutupnya.

    Urgensi Revisi Garis Kemiskinan

    Sementara itu, Maliki mengungkapkan metode perhitungan garis kemiskinan nasional belum pernah diperbaharui sejak 1997. Padahal, sambungnya, selama itu kondisi sosial ekonomi masyarakat sudah banyak berubah.

    Dia mencontohkan pola konsumsi masyarakat sudah sangat berbeda dari dua dekade lalu, misalnya kini orang-orang banyak yang memesan makanan jadi daripada memasak sendiri. Selain itu kondisi kesejahteraan masyarakat juga relatif lebih baik, tercerminkan dari status Indonesia yang saat ini sudah menjadi negara kelas menengah-atas.

    Oleh sebab itu, Bappenas bersama Badan Pusat Statistik (BPS) dan para ahli sepakat merancang metode perhitungan garis kemiskinan yang lebih pas memotret kondisi masyarakat.

    “Amanat untuk perubahan pengukuran [garis kemiskinan nasional] ini sudah ada di dalam RPJMN 2025—2029 dan persiapannya sudah 5 tahun ke belakang,” ujar Maliki.

    Apalagi, sambungnya, banyak negara lain yang sudah merevisi garis kemiskinannya. Hal itu tercermin dari publikasi Bank Dunia yang mengadopsi basis perhitungan paritas daya beli atau purchasing power parity (PPP) 2021, tak lagi PPP 2017.

    Akibatnya, kini garis kemiskinan negara berpenghasilan rendah naik dari US$2,15 menjadi US$3 per orang per hari, garis kemiskinan negara berpenghasilan menengah-bawah naik dari US$3,65 menjadi US$4,2 per orang per hari, dan garis kemiskinan negara berpenghasilan menengah-atas naik dari US$6,85 menjadi US$8,3 per orang per hari.

    Maliki menerangkan bahwa standar garis kemiskinan Bank Dunia itu ditentukan berdasarkan median atau nilai tengah dari garis kemiskinan negara berpenghasilan rendah, negara berpenghasilan menengah-bawah, dan negara berpenghasilan menengah-atas.

    Artinya, jika terjadi kenaikan garis kemiskinan internasional versi Bank Dunia maka banyak negara yang sudah terlebih dahulu merevisi ke atas garis kemiskinan nasionalnya.

    “Banyak sekali negara-negara itu sudah meng-update [membarui] garis kemiskinan mereka. Jadi hampir kalau tidak salah sekitar 60% negara-negara itu sudah meng-update. Jadi ini sekarang kita harus meng-update, betul-betul harus meng-update,” ujarnya.

  • Revisi Garis Kemiskinan Punya ‘Efek Samping’, Ini Strategi Mengatasinya

    Tak Ada Penebalan Bansos Meski Garis Kemiskinan Direvisi

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah tidak akan mempertebal atau menambah bantuan sosial alias bansos, meskipun jumlah penduduk miskin bisa bertambah akibat adanya revisi garis kemiskinan nasional.

    Deputi Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Kependudukan, dan Ketenagakerjaan, Kementerian PPN/Bappenas Maliki menjelaskan bahwa pemerintah sedang menggodok metode perhitungan garis kemiskinan nasional yang baru.

    Maliki mengakui bahwa konsekuensi perbaikan garis kemiskinan adalah peningkatan jumlah penduduk miskin. Dia menekankan bahwa perubahan jumlah penduduk miskin dan tingkat kemiskinan ini menjadi patokan kebijakan sistem penargetan program bantuan sosial (bansos) dan pemberdayaan. 

    Selama ini target perlindungan sosial tidak hanya untuk penduduk miskin, tetapi juga untuk penduduk rentan miskin. Oleh sebab itu, diyakini penduduk kategori miskin yang bertambah akan tetap terlindungi oleh berbagai program bantuan pemerintah.

    Maliki mencontohkan data BPS menunjukkan penduduk miskin mencapai 8,57% dari total populasi atau setara 24,06 juta orang, sementara penerima bantuan iuran jaminan kesehatan nasional (JKN) sekitar 40% penduduk termiskin. 

    Selain itu, sambungnya, program keluarga harapan (PKH) diterima oleh 10 juta keluarga miskin. Jika satu keluarga miskin rata-rata memiliki 5 anggota maka PKH mencakup 50 juta penduduk.

    Dia menekankan ke depan yang menjadi perhatian adalah akurasi penyaluran program tersebut. Menurutnya, hal itu sudah menjadi fokus utama pemerintah melalui penyusunan DTSEN atau Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional.

    “Program bantuan pemerintah tetap, meskipun ada wacana penebalan, tetapi yang harus kita fokuskan nanti adalah konsolidasi supaya program-program tersebut betul-betul bisa menyasar orang-orang yang tepat dengan manfaat yang lebih optimal,” jelas Maliki kepada Bisnis, dikutip pada Sabtu (14/6/2025).

    Dia menggarisbawahi yang harus menjadi fokus ke depan adalah, apakah berbagai program bansos itu berhasil menekan angka kemiskinan yang dihitung dengan metode terbaru.

    Artinya jika metode perhitungan garis kemiskinan yang baru mulai berlaku pada tahun ini harus mampu konsisten dengan upaya penanggulangan kemiskinan, baik itu melalui bantuan sosial maupun pemberdayaan lainnya. Dengan perubahan metodologi yang tepat, pengukuran kemiskinan tahun depan harus dapat menggambarkan perubahan yang objektif.

    “Jadi sebenarnya masalahnya adalah seberapa efektif sih program yang kita kucurkan, karena uangnya udah cukup besar menurut saya. Jadi itu yang harus menjadi concern [perhatian] kita ke depan,” ungkapnya.

    Senada, Koordinator Bidang Kajian Pengentasan Kemiskinan dan Ketimpangan FEB UGM Wisnu Setiadi Nugroho mengungkapkan bahwa program-program jaminan sosial sudah siap menangkap peningkatan jumlah penduduk kategori miskin apabila metode perhitungan garis kemiskinan diperbaharui.

    Dia pun mengutip pernyataan anggota Dewan Ekonomi Nasional Arief Anshory Yusuf yang mengusulkan Indonesia mengikuti standar garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-bawah versi Bank Dunia sebesar US$4,2 PPP per orang per bulan atau sekitar Rp765.000 per orang per bulan. Dengan standar itu, maka penduduk miskin akan naik dari 8,57% enjadi 20% dari total populasi pada 2024.

    Sementara itu, jaminan sosial sudah mencakup hingga 40% rumah tangga termiskin dengan variasi program dan anggaran. Oleh sebab itu, kenaikan jumlah penduduk kategori miskin tidak akan terlalu berdampak ke bansos.

    “Mungkin yang perlu dicermati untuk memastikan bahwa data yang ada ter-update [diperbaharui] dengan baik sehingga sasaran program lebih akurat dan lebih baik,” ujar Wisnu kepada Bisnis.

    Selain itu, dia mendorong dipikirkan alternatif selain bansos untuk mengurangi angka kemiskinan. Wisnu mengingatkan bahwa bansos hanya sekadar jaringan pengaman yang sifatnya sementara.

    “Sudah mulai harus dipikirkan, [bagaimana] mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan merata sehingga menarik RTSM [rumah tangga sangat miskin] dari garis kemiskinan absolut yang baru,” tutupnya.

    Urgensi Revisi Garis Kemiskinan

    Sementara itu, Maliki mengungkapkan metode perhitungan garis kemiskinan nasional belum pernah diperbaharui sejak 1997. Padahal, sambungnya, selama itu kondisi sosial ekonomi masyarakat sudah banyak berubah.

    Dia mencontohkan pola konsumsi masyarakat sudah sangat berbeda dari dua dekade lalu, misalnya kini orang-orang banyak yang memesan makanan jadi daripada memasak sendiri. Selain itu kondisi kesejahteraan masyarakat juga relatif lebih baik, tercerminkan dari status Indonesia yang saat ini sudah menjadi negara kelas menengah-atas.

    Oleh sebab itu, Bappenas bersama Badan Pusat Statistik (BPS) dan para ahli sepakat merancang metode perhitungan garis kemiskinan yang lebih pas memotret kondisi masyarakat.

    “Amanat untuk perubahan pengukuran [garis kemiskinan nasional] ini sudah ada di dalam RPJMN 2025—2029 dan persiapannya sudah 5 tahun ke belakang,” ujar Maliki.

    Apalagi, sambungnya, banyak negara lain yang sudah merevisi garis kemiskinannya. Hal itu tercermin dari publikasi Bank Dunia yang mengadopsi basis perhitungan paritas daya beli atau purchasing power parity (PPP) 2021, tak lagi PPP 2017.

    Akibatnya, kini garis kemiskinan negara berpenghasilan rendah naik dari US$2,15 menjadi US$3 per orang per hari, garis kemiskinan negara berpenghasilan menengah-bawah naik dari US$3,65 menjadi US$4,2 per orang per hari, dan garis kemiskinan negara berpenghasilan menengah-atas naik dari US$6,85 menjadi US$8,3 per orang per hari.

    Maliki menerangkan bahwa standar garis kemiskinan Bank Dunia itu ditentukan berdasarkan median atau nilai tengah dari garis kemiskinan negara berpenghasilan rendah, negara berpenghasilan menengah-bawah, dan negara berpenghasilan menengah-atas.

    Artinya, jika terjadi kenaikan garis kemiskinan internasional versi Bank Dunia maka banyak negara yang sudah terlebih dahulu merevisi ke atas garis kemiskinan nasionalnya.

    “Banyak sekali negara-negara itu sudah meng-update [membarui] garis kemiskinan mereka. Jadi hampir kalau tidak salah sekitar 60% negara-negara itu sudah meng-update. Jadi ini sekarang kita harus meng-update, betul-betul harus meng-update,” ujarnya.

  • Stimulus Tol Tak Sentuh Akar Masalah, Pelaku Logistik Soroti Pajak & Infrastruktur

    Stimulus Tol Tak Sentuh Akar Masalah, Pelaku Logistik Soroti Pajak & Infrastruktur

    Bisnis.com, JAKARTA — Pelaku usaha di sektor logistik menilai kebijakan insentif di sektor transportasi yang diberikan oleh pemerintah baru-baru ini belum sepenuhnya menyentuh permasalahan mendasar di sektor logistik nasional.

    Wakil Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia atau Aptrindo Agus Pratiknyo mengatakan pihaknya menyambut baik langkah diskon tarif tol, tetapi menegaskan bahwa kebijakan tersebut bersifat jangka pendek dan belum menjawab tantangan riil yang mereka hadapi saat ini.

    “Diskon tarif tol memang membantu secara sementara, tapi tidak mencerminkan beban yang sedang kami tanggung di mana selama 3–4 bulan terakhir, sektor angkutan barang mengalami penurunan aktivitas karena sepinya permintaan dari industri manufaktur dan sektor lain,” ujar Agus kepada Bisnis, dikutip, Jumat (13/6/2025).

    Lebih jauh, dia juga mengeluhkan adanya kebijakan yang baru diterapkan terkait dengan opsen pajak kendaraan bermotor. Hal ini, sebutnya, membuat beban pajak kendaraan naik drastis yang menambah beban pengusaha.

    Tak hanya itu, Agus juga memaparkan bahwa mayoritas kendaraan logistik—sekitar 75–80% masih bergantung pada jalan nasional atau jalan arteri, bukan jalan tol. Tarif tol yang tinggi membuat mereka tak bisa sepenuhnya mengandalkan akses tol.

    Ironisnya, sejumlah pemerintah daerah justru membatasi akses jalan nasional dan mengarahkan kendaraan logistik masuk ke tol dengan biaya tinggi. Terkait hal ini, Aptrindo pernah bersurat ke Kementerian Perhubungan untuk menyampaikan keberatan atas penutupan akses jalan nasional oleh pemerintah daerah karena apabila harus melalui tol, beban operasional makin berat.

    Ia juga menyinggung ketidakadilan dalam sistem penggolongan kendaraan di jalan tol.

    “Angkutan barang dibedakan berdasarkan jumlah sumbu, semakin banyak sumbu, makin mahal tarifnya. Ini tidak proporsional,” imbuhnya.

    Tak hanya itu, tarif tol rutin mengalami kenaikan setiap 2 tahun sekali sedangkan pelaku usaha angkutan tidak serta-merta bisa menaikkan ongkos angkut kepada pembeli.

    Pasalnya, di dalam dunia angkutan barang, penaikan tarif hanya bisa dilakukan apabila ada kenaikan harga Bahan Bakar Minyak atau BBM.

    Pelaku usaha meminta pemerintah memberikan stimulus ekonomi yang lebih konkret dan berkelanjutan. Di antaranya, peninjauan ulang tarif tol bagi angkutan barang agar disamakan dengan angkutan orang, penghapusan opsen pajak kendaraan, serta evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan yang kontraproduktif dengan semangat mendorong efisiensi logistik.

    Terakhir, ia mengungkapkan bahwa asosiasi pelaku logistik juga diminta mendukung program Zero Over Dimension Over Loading (ODOL). Namun ia menekankan bahwa solusi penertiban Odol tidak cukup dengan imbauan normalisasi kendaraan saja, melainkan harus dibarengi dengan insentif yang mengimbangi biaya tinggi yang harus mereka keluarkan.

    “Makanya kami minta supaya ya dukungan daripada regulator ini dalam membuat aturan-aturan ini adalah yang benar-benar membumi.Bukan hanya sekedar narasi-narasi atau retorika yang nantinya dalam pelaksanaannya itu memunculkan biaya-biaya yang akhirnya berdampak pada biaya logistik,” tekannya.

    Sementara itu, Ketua Bidang angkutan multimoda Organisasi Angkutan Darat, Ivan Kamadjaja menilai kebijakan pemerintah tersebut masih terlalu fokus pada pengurangan biaya, bukan peningkatan pendapatan pelaku usaha.

    Meski demikian, dia menilai apapun yang dilakukan pemerintah dalam situasi seperti ini patut diapresiasi karena meski bersifat jangka pendek seperti diskon biaya dan insentif selama dua hingga enam bulan, tetap membantu meringankan beban pelaku usaha.

    Namun, Ivan menekankan bahwa akar persoalan harus ditangani dengan pendekatan yang lebih strategis.

    Dia membeberkan sebanyak delapan dari sepuluh pengusaha yang ditemuinya mengeluhkan penurunan volume usaha karena ketatnya persaingan, dan tekanan harga. Banyak yang terpaksa gulung tikar. Ia bahkan meyakini bahwa gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) masih akan terus berlanjut.

    Menurutnya dengan melihat kondisi tersebut pemerintah perlu mulai bergeser dari kebijakan berbasis pengurangi biaya ke pendekatan yang mendukung peningkatan pendapatan.

    “Misalnya, insentif yang mendorong orang untuk tetap berusaha seperti kemudahan perizinan atau akses permodalan. Untuk yang lebih spesifik lagi misalnya bunga kredit yang lebih rendah bagi pengusaha angkutan barang. Ini sangat membantu kami untuk tetap tumbuh, apalagi transportasi darat termasuk yang paling tertekan saat ini,” jelasnya.