Category: Bisnis.com Ekonomi

  • IMF: Konflik AS-Iran Picu Risiko Baru bagi Ekonomi Global

    IMF: Konflik AS-Iran Picu Risiko Baru bagi Ekonomi Global

    Bisnis.com, JAKARTA — Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) memperingatkan serangan udara Amerika Serikat terhadap Iran dapat menimbulkan dampak yang lebih luas dari sekadar kenaikan harga energi, seiring dengan meningkatnya ketidakpastian global.

    Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva melihat serangan Amerika Serikat (AS) tersebut sebagai sumber ketidakpastian tambahan di tengah kondisi global yang sudah sangat tidak pasti.

    Menurutnya, guncangan terbesar sejauh ini memang terjadi di harga energi, yang tengah dipantau ketat oleh IMF, tetapi tidak menutup kemungkinan munculnya dampak sekunder maupun tersier.

    “Misalnya, jika gejolak ini memukul prospek pertumbuhan di negara-negara ekonomi besar, maka bisa memicu revisi turun terhadap prospek pertumbuhan ekonomi global,” ujar Georgieva dikutip dari Bloomberg pada Senin (23/6/2025).

    Harga minyak jenis Brent sempat melonjak hingga 5,7% ke level US$81,40 per barel pada awal perdagangan Asia, sebelum memangkas penguatannya akibat aksi ambil untung di tengah volume perdagangan yang tinggi.

    IMF sebelumnya telah memangkas proyeksi pertumbuhan global pada April lalu, dengan memperingatkan bahwa pengaturan ulang perdagangan global yang dipimpin AS akan menahan laju ekspansi ekonomi. Georgieva menyebut tren tersebut masih berlanjut sepanjang dua kuartal pertama tahun ini.

    Meski dunia kemungkinan bisa menghindari resesi, dia menegaskan bahwa lonjakan ketidakpastian global akan tetap menekan prospek pertumbuhan.

    Dunia kini tengah menanti respons Iran setelah serangan udara AS yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap fasilitas nuklir negara tersebut memicu kekhawatiran di kalangan pelaku pasar dan pemerintah global.

    Langkah Presiden AS Donald Trump menggunakan bom penembus bunker untuk menghantam situs-situs strategis Iran dinilai telah mendorong kawasan Timur Tengah ke dalam ketidakpastian baru, di saat perekonomian global masih dibayangi ketegangan perdagangan.

    Dalam jangka pendek, Georgieva mengatakan bahwa IMF akan terus memantau perkembangan risiko premi minyak dan gas. Di pasar minyak, volume opsi melonjak tajam dan kurva futures telah menyesuaikan mencerminkan kekhawatiran akan keketatan pasokan dalam waktu dekat.

    Georgieva menuturkan, pihaknya akan memantau bagaimana peristiwa tersebut akan berkembang ke depannya. Dia menambahkan, IMF juga mengamati kemungkinan terganggunya jalur distribusi energi maupun dampaknya terhadap negara-negara lain. 

    “Saya hanya bisa berdoa agar tidak terjadi,” imbuhnya.

    Terkait perekonomian AS, Georgieva menilai tren disinflasi masih berlanjut, meskipun saat ini belum ada kondisi yang cukup meyakinkan bagi The Fed untuk mulai memangkas suku bunga.

    Georgieva memperkirakan menjelang akhir tahun, The Fed mungkin akan menilai bahwa waktunya sudah tepat untuk menurunkan suku bunga. Dia juga mencermati kekuatan pasar tenaga kerja dan kenaikan upah yang menopang daya beli konsumen AS.

    Namun demikian, Georgieva mengingatkan bahwa peningkatan volatilitas akan menjadi hambatan besar bagi dunia usaha.

    “Jika ketidakpastian meningkat, apa yang terjadi? Investor enggan berinvestasi, konsumen menunda belanja, dan itu semua menahan prospek pertumbuhan,” pungkasnya.

  • Konflik AS-Iran Memanas, Sektor Pelayaran Terancam

    Konflik AS-Iran Memanas, Sektor Pelayaran Terancam

    Bisnis.com, JAKARTA — Industri pelayaran global berada dalam siaga tinggi setelah muncul peringatan bahwa Iran dapat membalas serangan udara Amerika Serikat (AS) terhadap fasilitas nuklirnya dengan menyerang kapal-kapal komersial.

    Salah satu negara dengan kapasitas armada tanker minyak terbesar di dunia, Yunani memperingatkan para pemilik kapal untuk meninjau ulang rencana pelayaran mereka menuju Teluk Persia. 

    Dalam surat edaran yang dikutip dari Bloomberg pada Senin (23/6/2025), Kementerian Perkapalan Yunani meminta kapal-kapal yang hendak melintasi Selat Hormuz agar mengkaji ulang rute pelayaran mereka hingga situasi kembali normal. Pemerintah juga menyarankan agar kapal-kapal menunggu di pelabuhan aman terdekat.

    Peringatan dari Yunani menjadi sinyal terbaru atas tekanan yang meningkat di pasar pelayaran seiring eskalasi serangan terhadap Iran. Pendapatan tanker tercatat melonjak hampir 90% sejak Israel memulai serangan udara pada 13 Juni lalu. 

    Sebagai salah satu negara dengan kepemilikan kapal terbesar di dunia, imbauan kepada pemilik kapal Yunani memiliki dampak besar terhadap pasar pengangkutan komoditas, terutama minyak.

    Meski demikian, tidak tertutup kemungkinan pemilik kapal akan mengabaikan imbauan tersebut karena Teluk Persia merupakan kawasan vital yang tidak mudah dihindari, dan tarif pelayaran yang tinggi bisa mengimbangi risiko yang dihadapi. 

    Kementerian Perkapalan Yunani menambahkan kapal-kapal yang tetap memilih melintasi Hormuz harus menerapkan tingkat keamanan tertinggi dan menjaga jarak sejauh mungkin dari perairan Iran.

    Dalam pernyataan resminya, Kementerian Perkapalan Yunani menyatakan kekhawatiran atas potensi penutupan Selat Hormuz menjadi alasan utama di balik peringatan tersebut.

    Juru bicara pemerintah Yunani, Pavlos Marinakis, mengatakan bahwa melalui Kementerian Perkapalan, pemerintah telah mengimbau kapal berbendera dan/atau dimiliki Yunani yang berada di sekitar Selat Hormuz untuk segera menuju pelabuhan aman sampai situasi kembali stabil.

    Respons industri pelayaran terhadap risiko ini akan menjadi faktor krusial pascaserangan, mengingat kedekatan Iran dengan Selat Hormuz—jalur penting yang dilewati sekitar 20% pasokan minyak dunia dan merupakan akses utama menuju Teluk Persia.

    Sejumlah perusahaan tanker Yunani menyatakan masih menilai perkembangan situasi. Salah satu pejabat mengatakan kemungkinan tetap mengizinkan kapal-kapalnya berlayar ke kawasan tersebut, sementara yang lain menyatakan akan menghindari pelayaran ke wilayah tersebut untuk sementara waktu.

    Perusahaan pelayaran raksasa A.P. Moller – Maersk A/S menyatakan masih melanjutkan pelayaran melalui Selat Hormuz, namun siap mengevaluasi kembali keputusan tersebut seiring perkembangan situasi.

    Pasukan angkatan laut yang beroperasi di kawasan tersebut turut mengingatkan bahwa kapal-kapal, khususnya yang memiliki afiliasi dengan Amerika Serikat, menghadapi peningkatan risiko serangan. 

    Risiko Lebih Luas

    Peringatan juga datang dari kelompok-kelompok angkatan laut internasional. Pusat Informasi Maritim Gabungan (Joint Maritime Information Center/JMIC), yang menjadi penghubung antara angkatan laut dan industri pelayaran niaga di kawasan tersebut, menyatakan serangan udara AS meningkatkan risiko serangan terhadap kapal-kapal komersial dan militer yang terkait dengan AS di Laut Merah dan Teluk Aden.

    Kelompok pemberontak Houthi di Yaman turut mengeluarkan ancaman baru terhadap kapal-kapal AS pada hari yang sama. Sebelumnya, telah tercapai kesepakatan gencatan senjata antara AS dan Houthi pada Mei lalu untuk mengurangi serangan terhadap armada laut AS. 

    Dalam pembaruan informasinya, JMIC menyarankan agar kapal-kapal yang berafiliasi dengan AS mempertimbangkan untuk mengubah jalur pelayaran.

    Meski demikian, beberapa kapal yang terkait dengan AS dilaporkan berhasil melintasi Selat Hormuz dengan aman—yang dinilai sebagai sinyal positif jangka pendek.

    Secara terpisah, Pasukan Angkatan Laut Uni Eropa yang beroperasi di kawasan juga meningkatkan level ancaman terhadap kapal-kapal terkait AS menyusul serangan udara tersebut. Saat ini, mereka menilai kapal yang terhubung dengan AS dan Israel menghadapi ancaman serius, sementara risiko terhadap kapal lain tergolong rendah.

    “Namun hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa seluruh kapal niaga dapat menjadi target di masa mendatang,” tulis peringatan resmi yang dipublikasikan oleh MICA Center, lembaga yang berbasis di Prancis dan bertugas mengoordinasikan keamanan maritim global.

  • Sinyal Waspada Ekonomi Global Imbas Serangan AS ke Iran

    Sinyal Waspada Ekonomi Global Imbas Serangan AS ke Iran

    Bisnis.com, JAKARTA – Serangan udara Amerika Serikat (AS) terhadap fasilitas nuklir Iran berisiko menimbulkan efek berantai yang dapat berdampak buruk terhadap perekonomian global.

    Hal ini diungkapkan oleh Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva yang mengingatkan bahwa serangan udara AS dapat memicu dampak lanjutan yang meluas, jauh melampaui sektor energi.

    “Ini kami lihat sebagai sumber ketidakpastian tambahan dalam lingkungan yang sudah sangat tidak stabil,” kata Georgieva seperti dilansir Bloomberg, Senin (23/6/2025).

    Ia menyebut gejolak terbesar sejauh ini tercermin pada lonjakan harga energi, yang kini tengah diawasi ketat oleh IMF. Namun, ia menambahkan bahwa bisa saja muncul dampak sekunder dan tersier dari lonjakan harga energi tersebut.

    ”Misalnya, jika turbulensi ini mulai memukul prospek pertumbuhan ekonomi besar, maka kita berhadapan dengan risiko revisi turun terhadap proyeksi pertumbuhan global,” lanjutnya.

    Harga acuan minyak dunia, Brent, sempat melesat hingga 5,7% ke US$81,40 per barel pada perdagangan pagi di Asia, sebelum terkoreksi sebagian akibat aksi jual intensif.

    IMF sendiri telah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini pada April lalu, ketika memperingatkan bahwa upaya “reboot” perdagangan global yang dipimpin AS justru memperlambat laju pertumbuhan.

    Georgieva mengatakan, data kuartal pertama dan kedua menunjukkan tren tersebut masih berlangsung. Meskipun dunia diperkirakan terhindar dari resesi, lonjakan ketidakpastian terus menekan ruang pertumbuhan.

    Ketegangan geopolitik meningkat tajam setelah Presiden Donald Trump memerintahkan serangan dengan bom penembus bunker ke situs nuklir Iran. Langkah ini mendorong kawasan Timur Tengah ke wilayah risiko yang belum terpetakan, dan mengguncang sentimen global di saat perekonomian dunia masih belum pulih dari tekanan perang dagang.

    Secara spesifik, Georgieva menyatakan IMF kini tengah mencermati premi risiko energi — terutama di pasar minyak dan gas. Volume transaksi opsi meningkat tajam, sementara kurva kontrak berjangka mengalami pergeseran mencerminkan kekhawatiran terhadap potensi keketatan pasokan jangka pendek.

    “Kita masih harus melihat bagaimana peristiwa ini akan berkembang,” ujarnya, seraya menyampaikan kekhawatiran akan kemungkinan terganggunya jalur distribusi energi atau meluasnya dampak ke negara-negara lain. “Saya hanya bisa berdoa agar itu tidak terjadi.”

    Mengenai kondisi ekonomi AS, Georgieva melihat tren disinflasi masih berjalan, namun The Fed belum berada dalam posisi untuk segera memangkas suku bunga.

    “Menjelang akhir tahun, kami memperkirakan The Fed mungkin akan menilai bahwa waktunya telah tiba untuk melakukan penyesuaian ke bawah pada suku bunga,” tuturnya. Ia menunjuk pada kekuatan pasar tenaga kerja dan pertumbuhan upah yang menopang daya beli rumah tangga sebagai faktor utama.

    Namun, Georgieva menegaskan bahwa semakin tinggi gejolak dan ketidakpastian, semakin besar pula tekanan yang dihadapi dunia usaha.

    “Dalam situasi tidak pasti, apa yang terjadi? Investor menunda investasi, konsumen menahan belanja, dan prospek pertumbuhan pun tertahan,” pungkasnya.

    Antisipasi Balasan Iran

    Sebagai langkah awal, Iran membalas dengan meluncurkan gelombang rudal ke wilayah Israel, menimbulkan puluhan korban luka dan meratakan sejumlah bangunan di Tel Aviv.

    Kendati belum ada aksi langsung terhadap pangkalan militer AS atau penutupan jalur minyak global, para pengamat menilai bahwa situasi dapat berubah sewaktu-waktu.

    Dalam pernyataannya di Istanbul, Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araqchi menegaskan bahwa segala opsi masih di atas meja. Jalur diplomasi, kata dia, hanya akan dibuka setelah Teheran memberikan respons militer.

    “Amerika telah menginjak-injak hukum internasional. Mereka hanya paham bahasa ancaman dan kekuatan,” ujar Araqchi, dikutip Reuters, Senin (23/6/2025).

    Penasihat Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, yakni Ali Shamkhani, menulis di platform X (dulu Twitter): “Kejutan akan terus berlanjut!”

    Di sisi lain, Departemen Luar Negeri AS memerintahkan evakuasi keluarga staf diplomatik dari Lebanon dan mengimbau warganya di Timur Tengah untuk membatasi mobilitas dan menjaga profil rendah. Peringatan keamanan domestik juga diperketat, dengan patroli dan pengamanan ditingkatkan di lokasi-lokasi strategis, keagamaan, dan diplomatik.

    Ancaman Penutupan Selat Hormuz

    Parlemen Iran telah menyetujui langkah awal untuk menutup Selat Hormuz—jalur strategis yang dilalui hampir 25% dari total perdagangan minyak dunia dan berbatasan langsung dengan Oman serta Uni Emirat Arab.

    Meski keputusan akhir masih berada di tangan Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran yang diketuai oleh pejabat pilihan Ayatollah Khamenei, upaya ini dipandang sebagai potensi pemicu gejolak besar di pasar minyak global.

    Penutupan jalur ini diperkirakan akan mengerek harga minyak secara drastis, mengguncang perekonomian dunia, dan meningkatkan risiko konfrontasi langsung dengan Armada Kelima Angkatan Laut AS yang ditugaskan menjaga kelancaran lalu lintas di kawasan Teluk.

    Analis keamanan juga memperingatkan bahwa bila Iran terdesak, mereka dapat beralih ke strategi tidak konvensional, termasuk serangan bom atau siber.

    Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio dalam wawancara dengan Sunday Morning Futures menegaskan bahwa jika Iran membalas, itu akan menjadi kesalahan terburuk yang pernah mereka buat.

    Dalam pernyataan terpisah kepada CBS, Rubio menambahkan bahwa meskipun tidak ada rencana operasi lanjutan saat ini, AS memiliki target lain yang siap diserang jika diperlukan.

    “Tidak ada rencana aksi militer tambahan terhadap Iran, kecuali mereka bertindak sembrono,” ujarnya.

    Sementara itu, Dewan Keamanan PBB dijadwalkan menggelar pertemuan darurat pada Minggu malam waktu New York atas permintaan Iran. Teheran menyerukan agar badan beranggotakan 15 negara itu mengecam tindakan AS yang dinilai sebagai agresi terang-terangan dan ilegal.

  • Dua Kapal Tanker Raksasa Putar Balik di Selat Hormuz Usai AS Serang Iran

    Dua Kapal Tanker Raksasa Putar Balik di Selat Hormuz Usai AS Serang Iran

    Bisnis.com, JAKARTA — Dua supertanker berkapasitas 2 juta barel minyak mentah putar balik di Selat Hormuz. Hal ini dilakukan usai Amerika Serikat (AS) menyerang tiga fasilitas nuklir Iran.

    Serangan itu membuat konflik di Timur Tengah semakin memanas. Bahkan, jalur pengiriman minyak di Selat Hormuz pun terancam dan dihindari.

    Dilansir dari Bloomberg, dua supertanker itu adalah Coswisdom Lake dan South Loyalty. Data pelacakan menunjukan dua kapal raksasa itu mengubah arah sebelum memasuki Selat Hormuz, Minggu (22/6/2025) waktu setempat.

    Dua kapal yang belum terisi muatan itu lantas berlayar ke arah selatan, menjauh dari muara Teluk Persia. Langkah yang diambil kedua kapal tersebut menjadi sinyal pertama pengalihan rute imbas serangan AS.

    Bloomberg melaporkan, kapal-kapal pengangkut minyak lain diprediksi turut menghindari Selat Hormuz. Apalagi, Pemilik dan pedagang kapal tanker minyak mencermati dengan saksama tanda-tanda bahwa eskalasi di Timur Tengah akan memengaruhi rute pelayaran.

    Kementerian Perkapalan Yunani bahkan sudah mengeluarkan pemberitahuan yang menyarankan kapal-kapalnya untuk menghindari Selat Hormuz. Sebagai gantinya, kapal-kapal itu diminta berlindung di pelabuhan yang aman sampai situasi tenang.

    Di satu sisi, Pemerintahan Iran sedang dalam pembahasan untuk menutup Selat Hormuz. Penutupan ini telah dibahas oleh Parlemen Republik Islam Iran pada Minggu, di mana mereka telah menyetujui usulan penutupan Selat Hormuz bagi seluruh kegiatan pelayaran. 

    “Parlemen telah mencapai kesimpulan bahwa Selat Hormuz harus ditutup,” kata Mayor Jenderal Esmaeli Kowsari, anggota Komisi Keamanan Nasional di Parlemen Iran, sebagaimana disiarkan televisi Iran Press TV.

    Selat Hormuz merupakan salah satu jalur laut yang paling penting bagi lalu lintas pasokan minyak dunia.

    “Keputusan akhir mengenai hal tersebut akan ditetapkan oleh Dewan Keamanan Tertinggi Nasional,” kata dia, merujuk pada otoritas keamanan tertinggi di Iran.

    Selat Hormuz, yang terletak di antara Oman dan Iran, menghubungkan Teluk Persia dengan Teluk Oman dan Laut Arab. Selat ini memiliki panjang hampir 161 kilometer (km) dan lebar 34 km pada titik tersempitnya, dengan jalur pelayaran di setiap arah hanya selebar 3 km. 

    Selat Hormuz cukup dalam dan lebar untuk dilalui kapal tanker minyak mentah terbesar di dunia dan merupakan salah satu jalur minyak paling penting di dunia. 

    Volume minyak yang mengalir melalui selat ini sangat besar. Jika selat ditutup, hanya sedikit jalur alternatif perdagangan minyak yang tersedia.

    Berdasarkan data U.S. Energy Information Administration (EIA), pada 2024, aliran minyak melalui Selat Hormuz rata-rata mencapai 20 juta barel per hari (bph), atau setara dengan sekitar 20% dari konsumsi minyak bumi global.

  • Indikator Ekonomi Belum Sesuai Ekspektasi, Perlukah Revisi Target APBN?

    Indikator Ekonomi Belum Sesuai Ekspektasi, Perlukah Revisi Target APBN?

    Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah indikator ekonomi makro mulai dari pertumbuhan ekonomi, nilai tukar, hingga harga minyak mentah Indonesia alias Indonesia Crude Price atau ICP belum bergerak sesuai ekspektasi.

    Ekonom Center of Reform on Economic (Core) Yusuf Rendy Manilet menilai jika mengikuti aturan, sebenarnya kondisi saat ini sudah memenuhi persyaratan pemerintah untuk melakukan penyesuaian pada APBN. 

    Melihat data Kementerian Keuangan soal perkembangan Asumsi Dasar Ekonomi Makro (ADEM) 2025 per Mei 2025, dari tujuh indikator, ICP dan inflasi masih dalam jangkauan pemerintah. 

    Sayangnya, Yusuf memandang pelaksanaan APBN Perubahan (APBN-P) tampaknya sulit dilakukan karena pemerintah punya sederet pekerjaan rumah, yakni perumusan APBN 2026. 

    “Apakah kemudian Pemerintah perlu melakukan penyesuaian dari asumsi makro, menurut saya ini akan tergantung pada apakah perubahan yang terjadi saat ini akan lebih banyak merugikan atau menguntungkan APBN,” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (22/6/2025). 

    Misalnya, kata Yusuf, untuk harga komoditas saat ini meskipun berada pada kondisi geopolitik yang bisa mempengaruhi ICP pada asumsi makro namun harga minyak global, saat ini masih berada pada batas asumsi makro yang ditetapkan oleh pemerintah.

    “Dalam konteks tersebut, saya prediksi pemerintah tidak akan mengubah asumsi untuk ICP selama harga minyak belum melampaui asumsi ICP APBN,” lanjutnya. 

    Secara perinci melihat perkembangan ADEM 2025, pada saat rupiah terpengaruh dinamika global dan gejolak pasar keuangan akibat arah kebijakan AS, yield SBN justru terjaga dan relatif stabil meski menghadapi gejolak pasar uang dan dinamika global.

    Imbal hasil atau yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun yang per 13 Juni 2025 sebesar 6,89%, bergerak mendekati asumsi 7%. 

    Pada periode yang sama, rupiah yang diasumsikan senilai Rp16.000 per dolar AS tercatat rata-rata senilai Rp16.437 (year to date/YtD). Sementara pada penutupan perdagangan Jumat (20/6/2025), rupiah bertengger di level Rp16.396,5 per dolar—lebih tinggi dari asumsi.

    Perkembangan ADEM 2025

    Indikator 
    APBN
    Realisasi 

    Pertumbuhan ekonomi (%, YoY)
    5,2
    4,87 (kuartal I/2025)

    Inflasi (%)
    2,5
    1,6 (YoY), -0,37% (MtM)

    Nilai tukar (Rp/US$)
    16.000
    16.237 (eop), 16.437 (YtD)

    Yield SBN 10 Tahun )%)
    7
    6,89 (eop), 6,72 (YtD)

    ICP (US$/barel)
    82
    62,75 (eop), 70,05 (YtD)

    Lifting minyak (rbph)
    605
    657,9

    Lifting gas (rbsmph)
    1.005
    987,5

    Sumber: Kemenkeu 

    Keterangan: realisasi akhir Mei 2025

    eop: per 13 Juni 2025 

    YtD: per akhir Mei 2025

    Pergerakan tersebut pun turut terjadi pada target ekonomi yang meski tetap tumbuh positif di tengah gejolak global, namun tidak sesuai harapan 5,2%. Pada kuartal I/2025, ekonomi Indonesia hanya tumbuh 4,87% secara tahunan. 

    Sementara inflasi per Mei 2025 cukup rendah di level 1,6% year on year (YoY), namun masih dalam target pemerintah dan Bank Indonesia di kisaran 1,5%—3,5%. 

    Lifting minyak per akhir Mei tercatat sejumlah 567,9 ribu barel per hari, di bawah target 605 ribu barel per hari. Sementara lifting gas juga masih rendah di angka 987,5 ribu barel setara minyak per hari dari target 1.005 ribu barel setara minyak per hari. 

    Terakhir, harga ICP terpantau masih di bawah batas asumsi, yakni US$62,75 per barel dari target US$82 per barel. 

    Dalam sepekan terakhir sejalan dengan meningkatnya tensi Israel dengan Iran, ICP terpantau belum melonjak selayaknya Brent. 

    Di mana ICP pada akhir perdagangan Jumat (20/6/2025), berada di angka US$65,29 per barel—termasuk dalam level terendah sepanjang tahun ini—sementara Brent ditutup pada US$77,17 per barel usai mencapai level tertinggi sepanjang tahun ini pada 19 Juni 2025 senilai US$78,85 per barel. 

    Pada dasarnya asumsi makro menjadi acuan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Misalnya, harga minyak global dan rupiah akan mempengaruhi besaran subsidi energi. 

    Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun menekankan bahwa APBN bukanlah sesuatu yang tetap, namun bergerak mengikuti kondisi perkembangan ekonomi, misalnya oleh kejadian perang yang berlangsung di sejumlah tempat.  

    Tiga indikator yakni ICP, lifting minyak, dan gas, selain dipengaruhi oleh kondisi di dalam negeri kita, terutama untuk sektor pertahanan minyak juga dipengaruhi oleh apa yang sekarang sedang berlangsung di Timur Tengah, yaitu perang antara Israel dengan Iran. 

    “Tadi karena semua bergerak, jadi APBN itu bukanlah sesuatu yang fix atau tetap, tapi dia terus-menerus mengalami dampak dari kondisi ekonomi yang bergerak,” jelasnya beberapa waktu lalu. 

    Meski demikian, pemerintah terus melakuakn mitigasi khususnya soal pertumbuhan ekonomi dengan melalukan kebijakan countercyclical untuk menahan agar ekonomi tetap tumbuh mendekati 5% pada tahun ini. 

  • Biang Kerok Pembatalan Bea Masuk Antidumping dari Kacamata Produsen Benang

    Biang Kerok Pembatalan Bea Masuk Antidumping dari Kacamata Produsen Benang

    Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) menuding mafia impor yang menjadi dalang di balik pembatalan rencana bea masuk antidumping (BMAD) produk benang filamen sintetis tertentu asal China.

    Mulanya, rekomendasi BMAD dari Komite Antidumping Indonesia (KADI) telah diterima Kementerian Perdagangan. KADI telah melakukan penyelidikan dugaan praktik dumping atas produk benang filamen yaitu partially oriented yarn (POY) dan drawn texture yarn (YTD).

    Hasil penyelidikan KADI disebut telah membuktikan adanya praktik dumping atas produk tersebut yang berasal dari China. Alhasil, KADI menyarankan pengenaan tarif BMAD bervariasi dengan batas atas sebesar 42,3%.

    Kendati demikian, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) menolak rekomendasi tersebut dan membatalkan rencana pengenaan BMAD dengan mempertimbangkan kondisi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional.

    Ketua Umum APSyFI Redma Gita Wirawasta mengatakan kebijakan kuota impor yang sejatinya ditujukan untuk mengatur tata niaga produk impor justru dijadikan ‘permainan’ oleh oknum atau mafia pemangku kepentingan.

    “Maka wajar kalau kebijakan seperti anti dumping atau safeguard ditentang oleh oknum birokrasi, karena mengganggu permainan mereka bersama importir nakal yang selama ini menikmati fasilitas kuota berlebih,” kata Redma dalam keterangan resminya, Minggu (22/6/2025).

    Di satu sisi, Redma mendukung upaya pemerintah untuk mengatur tata kelola perdagangan impor lewat syarat Persetujuan Impor (PI) dan Pertimbangan Teknis (Pertek) sebagai perlindungan bagi industri.

    Pihaknya menengarai adanya penolakan beberapa kementerian/lembaga (K/L) terhadap rekomendasi Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) terkait BMAD terhadap produk benang filament partially oriented yarn (POY) dan drawn texture yarn (YTD) asal China adalah karena pengaruh kuat dari jejaring mafia impor kuota tekstil.

    “Tapi di sisi lain hal ini juga menjadi masalah karena menjadi penyebab kerusakan moral di kementerian-kementerian terkait karena menjadi mainan oknum birokrasi,” ujarnya. 

    Dia pun memaparkan sejumlah data volume impor benang dan kain yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada 2008, volume impor benang pintal dan filamen mencapai 130.000 ton, sementara pada 2024 volumenya naik 259% menjadi 467.000 ton.

    Tak hanya itu, volume kain tenun, rajut dan nirtenun juga mengalami kondisi serupa. Pada 2008, volume impor produk ini mencapai 294.000 ton, sedangkan tahun lalu mencapai 873.000 ton atau naik 196%.

    Mengurangi Ketergantungan Terhadap Impor

    Menurut Redma, hal ini tidak selaras dengan upaya pemerintah untuk mengurangi ketergantungan terhadap barang impor baik yang bersifat konsumsi maupun barang setengah jadi sebagai bahan baku.

    Padahal, komitmen substitusi impor yang terimplementasi dalam kebijakan pemerintah akan secara otomatis meningkatkan kinerja industri.

    “Tapi sebaliknya, kalau itu hanya omon-omon maka kondisi kinerja industri juga akan turun, jadi tidak perlu menjadikan kondisi eksternal global sebagai alasan karena faktor dominan justru ada di kebijakan kita sendiri,” ujarnya.

    Untuk itu, dia mendukung penunjukan Letjen Djaka Budi Utama sebagai Direktur Jenderal (DirJend) Bea Cukai yang menjadi tonggak komitmen Presiden Prabowo untuk menyelesaikan persoalan maraknya importasi ilegal.

    “Memang harus dari militer, mengingat mafia impor ini sudah terlalu kuat dan terus merajalela, kami mendukung penuh beliau dan siap membantu,” ucapnya.

    Di samping itu, Direktur Eksekutif KAHMI Rayon Tekstil, Agus Riyanto telah menyurati Menteri Perindustrian terkait dengan turunnya kinerja industri sebagai akibat pemberian kuota impor yang tidak transparan dan cenderung ugal-ugalan.

    “Memang importasi ilegal menjadi satu masalah, tapi alat perlindungan lain terkait PI dan Pertek juga jadi masalah,” ungkap Agus.

    KAHMI menyoroti pertumbuhan angka impor tekstil yang terus naik tetapi di sisi lain utilisasi industri terus turun dan pertumbuhan industrinya melambat bahkan cenderung pada deindustrialisasi dini. “Dan mirisnya, justru angka kuota impor keluar dari Kemenperin melalui pertek,” kata Agus.

    Senada dengan APSyFI, KAHMI Rayon Tekstil juga mendukung upaya Presiden Prabowo memberantas mafia impor.

    “Setelah Bea Cukai kami harap berlanjut pembersihan di K/L lain, sebagai bukti bahwa upaya substitusi impor bukan hanya omon-omon” tuturnya.

  • Nasib Aturan Perpanjangan PPh Final UMKM 0,5% Tunggu Setneg

    Nasib Aturan Perpanjangan PPh Final UMKM 0,5% Tunggu Setneg

    Bisnis.com, JAKARTA — Pengusaha masih perlu bersabar terkait kepastian perpanjangan insentif PPh Final bagi Wajib Pajak Orang Pribadi UMKM sebesar 0,5% hingga kini akhir semester I/2025. Pasalnya, aturan perpanjangan tak kunjung rilis.

    Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Budi Wijayanto menyampaikan saat ini revisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 55/2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan, utamanya terkait jangka waktu PPh Final 0,5% masih dalam proses. Dirinya menuturkan bahwa saat ini instansinya tengah menanti pembahasan revisi PP tersebut antarkementerian dari Kementerian Sekretariat Negara (Setneg).

    “Status PP-nya saat ini masih menunggu jadwal pembahasan antarkementerian dari Kementerian Setneg,” ujarnya beberapa waktu lalu, dikutip Minggu (22/6/2025).

    Budi tidak menjelaskan kapan rencana PP tersebut rampung, padahal banyak pelaku usaha menantikan kejelasan dari perpanjangan tenggat waktu PPh Final UMKM 0,5% tersebut.

    Sejatinya, melalui PP No. 55/2022, pelaku UMKM hanya dapat menikmati insentif PPh Final 0,5% sampai dengan akhir 2024. Pada akhir tahun lalu, pemerintah secara lisan menyatakan telah memperpanjangnya, namun implementasinya masih menunggu aturan teknis dari pemerintah.

    Peraturan ini memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi (OP) yang menjalankan usaha dengan omzet tidak lebih dari Rp4,8 miliar dalam satu tahun, berupa PPh Final 0,5% sampai dengan tujuh tahun sejak WP OP UMKM terdaftar.

    Melansir dari laman resmi Ditjen Pajak, PP No. 55/2022 menetapkan bahwa mulai tahun pajak 2025, WP OP usahawan yang terdaftar sampai dengan tahun 2018 dan memiliki omzet sampai dengan Rp4,8 miliar dalam setahun sudah tidak dapat menggunakan tarif 0,5% dari omzet.

    Hal itu karena jangka waktu berlaku aturan tersebut hanya sampai tujuh tahun pajak sejak aturan itu diterbitkan.

    Dalam hal ini, jangka waktu tujuh tahun tersebut merupakan periode penggunaan tarif PPh Final 0,5% terpanjang dibandingkan dengan jangka waktu yang diberlakukan bagi jenis wajib pajak lain.

    Untuk WP OP yang terdaftar sampai dengan tahun 2018, tahun pajak yang awalnya berakhir 2024 kemudian diperpanjang menjadi 2025, merupakan tahun terakhir penggunaan tarif tersebut.

    Selanjutnya, WP OP usahawan wajib melakukan pembukuan untuk menghitung penghasilan netonya dan menggunakan tarif umum PPh dalam menghitung PPh terutang.

  • Pengusaha Waswas Serangan AS ke Iran Picu Lonjakan Harga Energi & Logistik

    Pengusaha Waswas Serangan AS ke Iran Picu Lonjakan Harga Energi & Logistik

    Bisnis.com, JAKARTA — Dunia usaha menyebut konflik Iran-Israel dapat memicu lonjakan harga energi dan potensi gangguan logistik internasional. Kini, konflik di Timur Tengah tersebut meluas dan melibatkan Amerika Serikat (AS).

    Teranyar, pada Sabtu (21/6/2025) waktu setempat, Presiden AS Donald Trump mengancam akan melakukan serangan jauh lebih besar jika Iran tak mau melakukan perdamaian.

    Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani mengatakan, kenaikan harga energi berdampak langsung terhadap biaya produksi dan operasional bagi dunia usaha.

    Shinta mengatakan, Apindo akan terus memantau secara seksama perkembangan konflik Iran–Israel karena eskalasi geopolitik semacam ini dapat memberikan tekanan tidak langsung terhadap perekonomian nasional, terutama melalui lonjakan harga energi dan potensi gangguan logistik internasional.

    “Indonesia sebagai negara importir minyak sangat rentan terhadap fluktuasi ini. Pelaku usaha, khususnya di sektor padat karya, tentu juga akan merasakan tekanan dari sisi struktur biaya yang makin menekan margin usaha,” kata Shinta kepada Bisnis, Minggu (22/6/2025).

    Bahkan, Shinta mengungkap, dari sisi rantai pasok, beberapa sektor juga menyampaikan kekhawatiran atas potensi terganggunya jalur logistik internasional, terutama menuju kawasan Eropa, Teluk, dan Afrika.

    Padahal, ujar dia, jalur ini penting karena beberapa bahan baku strategis seperti gandum, kedelai, gas, dan pupuk masih diimpor melalui rute-rute tersebut.

    “Ketidakpastian logistik dapat menyebabkan keterlambatan dan lonjakan biaya pengiriman,” imbuhnya.

    Di samping itu, Apindo juga mencermati risiko inflasi biaya yang dapat berujung pada melemahnya daya beli masyarakat.

    “Jika harga naik signifikan tanpa dikompensasi dengan stimulus atau pengendalian harga pangan, maka konsumsi rumah tangga bisa melambat, yang pada akhirnya menggerus permintaan terhadap produk sektor riil,” ungkapnya.

    Kendati demikian, Shinta melihat pemerintah sudah menyadari potensi risiko dari konflik Iran-Israel. Dalam beberapa kesempatan, pemerintah terus memantau perkembangan harga minyak dunia, sekaligus menyiapkan skenario impor energi yang lebih fleksibel apabila terjadi eskalasi konflik, termasuk opsi reroute atau perubahan jalur pelayaran dan sumber impor minyak, tidak hanya dari kawasan Timur Tengah, melainkan juga dari wilayah alternatif seperti Afrika.

    Menurut Shinta, sederet langkah  ini penting untuk menjaga stabilitas pasokan energi nasional dan memberikan kepastian bagi dunia usaha dalam merencanakan kegiatan operasional.

    Namun, Shinta merekomendasikan agar pemerintah menjaga kesinambungan antara kebijakan fiskal dan energi, memperkuat koordinasi lintas sektor untuk menjamin kelancaran distribusi dan logistik, serta memberikan ruang bagi insentif atau dukungan kepada sektor usaha yang paling rentan, terutama industri padat karya.

    “Kami percaya bahwa dengan respons yang cepat, terukur, dan kolaboratif, Indonesia bisa menjaga iklim usaha tetap kondusif meskipun di tengah gejolak global yang tidak menentu,” tandasnya.

  • Pengusaha Logistik Keluhkan Mahalnya Tarif Tol Cibitung-Cilincing

    Pengusaha Logistik Keluhkan Mahalnya Tarif Tol Cibitung-Cilincing

    Bisnis.com, JAKARTA — Jalan Tol Cibitung-Cilincing (JTCC) semakin dirasakan manfaatnya sebagai penghubung vital antara kawasan industri di timur Jakarta dengan Pelabuhan Tanjung Priok. 

    Kendati demikian, tingginya tarif tol dinilai menjadi kendala utama bagi kalangan pelaku usaha logistik dalam melintasi akses JTCC tersebut.

    Ketua Umum Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Asosiasi Logistik dan Forwarding Indonesia (ALFI) Jakarta Adil Karim menilai JTCC sebagai infrastruktur strategis dalam upaya integrasi koridor logistik nasional. 

    “Tol ini memang dirancang untuk memperlancar pergerakan logistik dari kawasan industri di timur Jakarta, seperti Cibitung dan sekitarnya, langsung ke pelabuhan, tanpa harus melalui jalur padat seperti Tol Jakarta–Cikampek,” ujar Adil melalui keterangannya, dikutip Minggu (22/6/2025).

    Namun, Adil menyebut, pemanfaatan JTCC oleh pelaku usaha logistik masih tergolong rendah. Menurutnya, tingginya tarif tol menjadi penyebab utama enggannya para pengusaha dan sopir truk untuk melintas di ruas tersebut. 

    “Untuk jarak sekitar 34 kilometer, tarifnya bisa lebih dari Rp100.000. Ini memberatkan pengusaha, apalagi sopir truk yang akhirnya enggan lewat tol,” jelasnya.

    Adapun, integrasi koridor wilayah logistik bertujuan menghubungkan kawasan industri dengan simpul distribusi utama seperti pelabuhan dan bandara, melalui infrastruktur transportasi seperti jalan tol. Dengan sistem yang terintegrasi, proses pengiriman barang diharapkan menjadi lebih cepat, efisien, dan terjangkau.

    Efektivitas sistem ini juga dinilai dapat menjadi landasan untuk penyesuaian tarif tol secara menyeluruh. Jika diterapkan dengan tepat, kebijakan ini akan mendorong penggunaan jalan tol yang sudah dibangun, sekaligus menurunkan biaya logistik nasional yang selama ini menjadi salah satu faktor penghambat daya saing industri.

    Di tengah kemacetan yang masih melanda jalur distribusi menuju Pelabuhan Tanjung Priok dan belum optimalnya fungsi tol existing, integrasi infrastruktur logistik menjadi kebutuhan mendesak untuk mendorong efisiensi sistem distribusi barang di kawasan Jabodetabek dan sekitarnya.

    Strategi Pelindo

    Sebelumnya, PT Pelabuhan Indonesia (Persero) atau Pelindo telah mengungkapkan sejumlah strategi perseroan dalam rangka mendukung kelancaran distribusi logistik di Tanah Air.

    Direktur Strategi dan Pengembangan Bisnis PT Pelindo Solusi Logistik Retno Soelistianti mengatakan, terdapat tiga aspek penting dalam strategi penguatan rantai logistik nasional di sektor pelabuhan.

    Ketiga aspek tersebut yakni jaringan pelabuhan yang terintegrasi, penyediaan solusi layanan end-to-end, serta digitalisasi, sistemisasi dan integrasi sistem.

    Retno pun mengamini bahwa perlu adanya integrasi dari Tol Jabodetabek sebagai akses kendaraan logistik menuju Pelabuhan Tanjung Priok yang sempat mengalami kemacetan horor pasca-Lebaran 2025. 

    Selain itu, Pelindo juga akan mengevaluasi tarif Jalan Tol Cibitung-Cilincing (JTCC) yang dinilai masih terlalu tinggi oleh para pelaku usaha logistik. 

    “Apakah perlu adanya integrasi Tol Jabodetabek? Jawabannya perlu. Tetapi memang untuk yang JTCC ini kemarin tarifnya mahal. Jadi, kami sekarang sedang berupaya untuk melakukan integrasi tarif di jalan tol ini dengan salah satu opsinya adalah Japek dan itu masih dalam proses ya,” ujar Retno dalam acara Bisnis Indonesia BUMN Forum 2025, Kamis (22/5/2025).

    Adapun, untuk tarif normal Tol Cibitung-Cilincing untuk kendaraan golongan I sebesar Rp68.500, golongan II & III sebesar Rp102.500, dan golongan IV & V Rp136.500.

    “Jadi kalau misalnya nanti tarifnya bisa kompetitif dengan jalan tol yang lain, saya yakin JTCC itu akan menjadi salah satu alternatif para sopir truk untuk bisa berkendara dari kawasan industri ke pelabuhan,” jelasnya.

  • Gapki Was-was Ekspor CPO RI Terdampak Konflik Iran-Israel

    Gapki Was-was Ekspor CPO RI Terdampak Konflik Iran-Israel

    Bisnis.com, JAKARTA — Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mengkhawatirkan konflik Iran-Israel dapat memicu krisis ekonomi global, yang pada akhirnya bisa berdampak terhadap kinerja ekspor minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) Indonesia.

    Ketua Umum Gapki Eddy Martono menyebut, ekspor CPO Indonesia bisa terdampak jika negara tujuan mengalami masalah ekonomi.

    “Yang kami khawatir kalau terjadi krisis ekonomi global. Apabila terjadi maka akan berdampak kepada negara-negara importir, ini akan berpengaruh terhadap ekspor minyak sawit Indonesia, karena negara importir terjadi masalah ekonomi,” kata Eddy kepada Bisnis, Minggu (22/6/2025).

    Kendati demikian, Eddy menuturkan bahwa sampai saat ini ekspor CPO masih berjalan seperti biasa. Dia juga mengungkapkan bahwa saat ini harga minyak sawit mengalami kenaikan di tengah memanasnya konflik Iran-Israel.

    “Justru saat ini [harga minyak sawit] naik walaupun tidak banyak, karena harga minyak bumi naik,” ujarnya.

    Eddy menjelaskan, harga CPO CIF Rotterdam mencapai US$1.095 per ton, sedangkan harga lokal di level Rp13.600 per kilogram. “Ke depan kalau terjadi krisis ekonomi harga [CPO] akan tertekan,” imbuhnya.

    Sebelumnya, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan nilai ekspor komoditas unggulan, yakni CPO dan turunannya mengalami kenaikan hingga 20% secara kumulatif sepanjang Januari—April 2025.

    Nilai ekspor CPO dan turunannya mencapai US$7,05 miliar pada Januari—April 2025, naik dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebesar US$5,87 miliar.

    Data BPS menunjukkan, total volume ekspor CPO dan turunannya mencapai 6,41 juta ton pada Januari—April 2025, atau turun dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu di level 6,78 juta ton.

    Di sisi lain, dari sisi harga CPO dan turunannya di tingkat global pada Januari—April 2025 adalah US$1.099,82 per ton. Nilainya naik 26,54% dari Januari—April 2024 yang hanya mencapai US$869,16 per ton.