Category: Bisnis.com Ekonomi

  • BSU 2025 Rp600.000 Mulai Cair, Cek Rekening Sekarang!

    BSU 2025 Rp600.000 Mulai Cair, Cek Rekening Sekarang!

    Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah mulai menyalurkan Bantuan Subsidi Upah (BSU) 2025 sebesar Rp300.000 per bulan untuk 2 bulan sekaligus. Bantuan ditujukan kepada pekerja/buruh untuk menjaga daya beli dan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.

    Berdasarkan pantauan Bisnis di platform media sosial X, sejumlah warganet telah menerima BSU 2025 senilai Rp600.000. Beberapa warganet tampak membagikan tangkapan layar bukti penerimaan BSU 2025.

    “Alhamdulillah, BSU 2025 sudah cair,” tulis akun @rosy***, dikutip Selasa (24/6/2025).

    Kendati begitu, tidak sedikit pula yang belum menerima BSU 2025. Melalui cuitan di akun @worksfess, banyak warganet yang curhat belum menerima BSU 2025.

    “Temenku sekantor tadi sore ada yang udah cair, tapi aku belum,” tulis akun @ca***.

    “Aku udah lolos tapi belum cair.. btw aku pake BNI sebagian temenku udah cair,” ujar @dich***.

    Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) sebelumnya menyebut bahwa masyarakat tidak perlu mendaftar untuk bisa mendapat BSU 2025. Bantuan akan langsung disalurkan ke rekening pekerja/buruh yang telah memenuhi syarat.

    Melalui platform media sosial resminya @kemnaker, Kemnaker menyebut bahwa bantuan akan langsung disalurkan ke rekening pekerja/buruh yang memenuhi syarat. 

    “BSU 2025 akan langsung disalurkan ke rekening pekerja/buruh yang memenuhi syarat. Jadi enggak perlu daftar apa pun,” tulis Kemnaker, dikutip Selasa (17/6/2025).

    Namun, Kemnaker mengingatkan masyarakat untuk memastikan data yang ada sudah diperbarui di BPJS Ketenagakerjaan, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

    Pasalnya, pemerintah akan menyalurkan BSU berdasarkan data yang masuk dan valid dari BPJS Ketenagakerjaan. “Pastikan data kamu sudah ter-update di BPJS Ketenagakerjaan dan sesuai dengan ketentuan,” ujar Kemnaker.

    Syarat penerima BSU telah diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No.5/2025 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Pemerintah Berupa Subsidi Gaji/Upah Bagi Pekerja/Buruh.

    Syarat Penerima BSU 2025 

    1.Warga Negara Indonesia yang dibuktikan dengan kepemilikan nomor induk kependudukan 

    2.Peserta aktif program jaminan sosial ketenagakerjaan BPJS Ketenagakerjaan sampai dengan April 2025, dan 

    3.Menerima gaji/upah paling banyak Rp3,5 juta per bulan 

    Adapun, pemberian BSU dikecualikan bagi aparatur sipil negara (ASN), prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan anggota Kepolisian Negara. 

    Selain itu, pemerintah akan memprioritaskan pemberian BSU 2025 kepada pekerja yang tidak sedang menerima program keluarga harapan pada tahun anggaran berjalan, sebelum BSU disalurkan.

  • Harga Pangan Hari Ini 24 Juni: Daging Ayam & Gula Naik, Beras Kompak Turun

    Harga Pangan Hari Ini 24 Juni: Daging Ayam & Gula Naik, Beras Kompak Turun

    Bisnis.com, JAKARTA – Mayoritas harga rata-rata nasional komoditas pangan mengalami penurunan. Hanya saja, harga daging ayam dan gula pasir justru berbalik mengalami kenaikan pada hari ini, Selasa (24/6/2025).

    Mengutip panel harga Badan Pangan Nasional (Bapanas) pada pukul 7.50 WIB, seluruh jenis beras kompak turun harga. Perinciannya, harga beras premium turun 0,25% dibandingkan dengan hari sebelumnya menjadi Rp15.757 per kg.

    Kemudian, harga beras medium turun 1,33% menjadi Rp13.898 per kg dan beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) turun 0,25% menjadi Rp12.500 per kg.

    Harga komoditas lain seperti bawang merah ikut turun 7,13% menjadi Rp42.180 per kg. Diikuti harga bawang putih bonggol yang turun 5,34% menjadi Rp37.592 per kg.

    Selanjutnya, harga cabai merah keriting turun 6,37% menjadi Rp41.201 per kg, cabai merah besar turun cukup signifikan 19,05% menjadi Rp35.398 per kg dan cabai rawit merah turun 7,61% per kg menjadi Rp56.083 per kg.

    Lalu, harga minyak goreng kemasan turun 2,53% menjadi Rp20.356 per liter, minyak goreng curah turun 3,99% ke level Rp16.896 per liter dan Minyakita turun 1,95% menjadi Rp17.234 per liter.

    Komoditas pangan sumber protein seperti telur turut mencatatkan penurunan harga 0,46% menjadi Rp29.197 per kg. Akan tetapi, harga daging ayam ras justru naik 1,25% menjadi Rp35.293 per kg.

    Daging sapi murni juga melanjutkan tren turun harga. Kali ini melandai 0,78% menjadi Rp134.034 per kg. Harga daging kerbau beku (impor luar negeri) turun 3,29% menjadi Rp101.309 per kg dan daging kerbau segar turun 2,29% menjadi Rp137.778 per kg.

    Sementara itu, harga gula konsumsi naik 0,49% menjadi Rp18.545 per kg, sedangkan garam konsumsi masih melanjutkan penurunan harga 3,62% menjadi Rp11.247 per kg.

    Harga jagung peternak juga turun 4,63% menjadi Rp5.834 per kg dan kedelai biji kering turun 1,28% menjadi Rp10.706 per kg.

    Terakhir, harga ikan kembung kembali berbalik naik 2,04% menjadi Rp41.833 per kg, ikan tongkol naik 6,02% menjadi Rp36.094 per kg dan ikan bandeng naik 4,58% menjadi Rp36.286 per kg.

  • Deindustrialisasi dan Kejatuhan Kelas Pekerja

    Deindustrialisasi dan Kejatuhan Kelas Pekerja

    Bisnis.com, JAKARTA – Jutaan orang dalam usia produktif mendambakan kesempatan bekerja untuk memperbaiki kualitas hidup mereka. Sayangnya, harapan sering kali berbenturan dengan kenyataan.

    Kericuhan pada job fair yang digelar Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Bekasi di Cikarang, Jawa Barat, pada Selasa (27/5), menjadi bukti betapa sempitnya peluang yang tersedia bagi para pencari kerja, bahkan untuk sekadar memberikan lamaran.

    Job fair yang seharusnya membuka harapan justru menegaskan betapa dalamnya jurang yang kini memisahkan kelas pekerja dari pekerjaan yang layak. Lantas, apakah kelas pekerja Indonesia sedang mengalami kejatuhannya?

    Kejatuhan kelas pekerja Indonesia telah dimulai sejak era deindustrialisasi prematur tepatnya sejak dua dekade ke belakang. Pada awal milenium, sektor industri mulai mengalami penyusutan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.

    Berdasarkan data Nasional Accounts Data yang dirilis United Nations, dalam dua dekade terakhir (2001—2022) tepatnya pada 2001 kontribusi sektor industri Indonesia terhadap PDB masih cukup dominan yaitu di kisaran 48%.

    Sementara pada 2022 kontribusinya mengalami penurunan menjadi 38%. Bandingkan dengan kontibusi sektor jasa. Dalam kurun waktu yang sama, justru mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari 38,4% (2001), menjadi 41,8% (2022).

    Jika kita menilik pada distribusi tenaga kerja, muncul satu anomali yang menarik. Meskipun kinerja sektor manufaktur melemah, jumlah tenaga kerja yang terserap justru meningkat. Pada 2001 hanya sekitar 18,7% tenaga kerja yang terserap ke sektor industri, dan menjadi 22,8% pada 2022. Secara logika, makin banyak orang bekerja di sektor industri akan makin meningkatkan nilai tambah yang dihasilkan terutama terhadap PDB. Namun, mengapa sebaliknya?

    Jika ditelusuri lebih jauh, lonjakan tenaga kerja tidak selalu beriringan dengan kenaikan kontribusinya terhadap PDB. Dalam konteks Indonesia, penyerapan tenaga kerja besar-besaran bisa jadi malah menutupi gejala struktural yang lebih dalam yaitu menurunnya kualitas pekerjaan dan terjebaknya kelas pekerja dalam sektor bernilai tambah rendah, mengapa?

    Sayangnya, di Indonesia, industri yang bertumbuh bukanlah industri yang berorientasi pada nilai tambah tinggi, melainkan industri padat karya yang menyandarkan efisiensi pada upah rendah para pekerjanya. Sebagian besar industri di Indonesia juga berada dalam kategori low value chain yang alih-alih memproduksi barang jadi bernilai tambah tinggi, justru mayoritas industri di Indonesia fokus pada aktivitas perakitan, pengemasan, atau outsourcing sederhana lainnya.

    Akibatnya, meskipun banyak tenaga kerja yang terserap ke sektor industri, output yang dihasilkan cenderung rendah dan secara otomatis kontribusinya terhadap PDB juga rendah.

    Selanjutnya, kebijakan insentif yang salah arah makin memperteruk keadaan. Alih-alih mendorong pertumbuhan industri berbasis inovasi dan teknologi, pemerintah justru lebih aktif menggelontorkan insentif kepada sektor padat karya yang bertumpu pada buruh berupah murah sebagai keunggulan kompetitifnya. Efek dominonya, kelas pekerja hanya dianggap sebagai alat produksi murah. Akibatnya, kesejahteraan pekerja menjadi stagnan akibat ’upah yang ditekan’ untuk menarik investor.

    Alhasil, buruh sulit naik kelas karena minimnya pelatihan dan peningkatan keterampilan, selain akibat rendahnya upah yang mereka dapatkan. Sebagai perbandingan rata-rata upah minimum di Indonesia sekitar Rp2,9 juta/bulan, bandingkan dengan Malaysia yang rata-rata upah minimumnya sekitar Rp8 juta/bulan.

    Sayangnya, insentif yang diberikan juga tidak berorientasi pada peningkatan daya saing industri atau pada upaya mendorong peningkatan permintaan. Sebagai contoh, insentif PPh 21 untuk buruh padat karya penerima gaji Rp4,8 juta—Rp10 juta/bulan. Buruh di Jakarta tentu akan sangat menikmati fasilitas ini, tetapi sayangnya mayoritas buruh di berbagai daerah bahkan belum mencapai ambang batas gaji tersebut, yang artinya kebijakan tersebut tidak berdampak signifikan pada kesejahteraan buruh.

    MENUJU KEBANGKITAN

    Meski situasi tampak suram, bukan berarti jalan tertutup sepenuhnya. Jika kejatuhan ini terjadi karena persoalan struktural, maka kebangkitan kelas pekerja hanya mungkin dicapai melalui pembenahan struktural.

    Solusi atas situasi ini harus menyasar akar-akar strukturalnya. Pertama, arah industrialisasi harus bergeser dari sektor padat karya berupah rendah ke sektor bernilai tambah tinggi berbasis riset dan teknologi. Negara harus memberi insentif kepada industri yang berkomitmen pada transfer teknologi dan peningkatan keterampilan tenaga kerja lokal. Kedua, perlindungan ketenagakerjaan harus diperkuat. Sistem kontrak jangka pendek dan outsourcing harus dihapus, serta perlindungan sosial diperluas hingga ke sektor informal.

    Ketiga, pendidikan dan pelatihan kerja harus direformasi agar mampu menjawab kebutuhan era digital dan otomatisasi, dengan menekankan pada reskilling dan upskilling. Keempat, sistem perpajakan perlu difungsikan sebagai alat untuk redistribusi nilai tambah. Ini berarti pajak tak hanya mengisi kas negara, tetapi juga harus mampu mengurangi ketimpangan. Melalui pajak progresif pada korporasi besar, negara dapat menarik sebagian keuntungan untuk dialokasikan kembali kepada kelas pekerja dalam bentuk perlindungan sosial atau pelatihan keterampilan. Terakhir, perlu dibangun aliansi sosial politik bagi kelas pekerja lintas sektor agar suara mereka terwakili dalam kebijakan publik.

    Kita menjadi saksi dari ironi yang paling getir. Banyak para pekerja yang bekerja mati-matian tetapi tetap terjebak dalam kemiskinan. Maka, kejatuhan kelas pekerja bukan lagi soal kehilangan atau kesulitan menemukan pekerjaan, melainkan tentang hilangnya keyakinan bahwa kerja keras akan memberi kehidupan yang lebih layak, dan yang tersisa hanyalah rasa lelah tanpa ujung, akibat sistem yang tak pernah benar-benar memihak para pekerja.

  • The Fed Buka Peluang Pangkas Suku Bunga Bulan Depan

    The Fed Buka Peluang Pangkas Suku Bunga Bulan Depan

    Bisnis.com, JAKARTA — Wakil Ketua Federal Reserve untuk Pengawasan, Michelle Bowman, menyebut momen untuk memangkas suku bunga acuan semakin dekat. Dia menilai risiko terhadap pasar tenaga kerja kini lebih mengkhawatirkan dibandingkan dampak inflasi dari tarif impor yang tinggi.

    “Sudah saatnya mempertimbangkan penyesuaian suku bunga kebijakan,” ujar Bowman dalam sebuah konferensi di Praha, Republik Ceko, dikutip dari Reuters pada Selasa (24/6/2025).

    Bowman, yang belum lama ini diangkat Presiden Donald Trump sebagai pengawas utama sektor perbankan AS, menambahkan inflasi saat ini menunjukkan tren penurunan yang konsisten menuju target 2%. Dia menyebut dampak kebijakan perdagangan terhadap inflasi hanya akan minimal.

    “Jika tekanan inflasi tetap terkendali, saya akan mendukung pemangkasan suku bunga pada pertemuan berikutnya guna mendekatkannya ke tingkat netral dan menjaga pasar tenaga kerja tetap sehat,” kata Bowman.

    Dalam pidatonya, Bowman menyatakan mendukung keputusan The Fed untuk menahan suku bunga saat ini. Namun, dia juga melihat prospek ekonomi semakin jelas dan risiko resesi mulai berkurang.

    Pandangan Bowman yang kini cenderung lebih akomodatif mencerminkan pergeseran sikap dari sebelumnya yang cenderung hawkish. Dia mengaku semakin fokus pada risiko pasar tenaga kerja sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun kebijakan moneter.

    Bowman mengatakan, pasar tenaga kerja memang masih solid, namun dirinya semakin khawatir dengan prospeknya. Hal tersebut menjadi faktor penting dalam penilaian kebijakan saat ini.

    “Kita juga harus menyadari bahwa risiko terhadap mandat penciptaan lapangan kerja bisa segera menjadi lebih signifikan, terutama dengan melemahnya belanja konsumen dan tanda-tanda kerentanan di pasar tenaga kerja,” lanjut Bowman.

    Terkait inflasi, Bowman tetap optimistis. Dia mengatakan tekanan harga dari tarif yang lebih tinggi tampaknya diimbangi oleh faktor-faktor lain, sehingga tren inflasi inti, khususnya PCE (Personal Consumption Expenditures), kini bergerak semakin dekat ke target 2% The Fed — meskipun belum sepenuhnya terlihat dalam data saat ini.

    Bowman juga menyampaikan bahwa campuran kebijakan ekonomi Presiden Trump justru bisa berdampak positif bagi perekonomian. 

    “Pelonggaran regulasi, pajak bisnis yang lebih rendah, serta iklim usaha yang lebih ramah kemungkinan besar akan mendorong sisi penawaran dan mengimbangi dampak negatif terhadap pertumbuhan dan harga,” pungkasnya.

    Pernyataan Bowman langsung memicu respons positif di pasar keuangan. Pasar saham menguat dan pasar berjangka meningkatkan proyeksi probabilitas pemangkasan suku bunga, meskipun peluang tersebut masih tergolong rendah untuk pertemuan FOMC pada akhir Juli mendatang.

    Pandangan dovish Bowman juga sejalan dengan pernyataan Gubernur The Fed Christopher Waller. Pada pekan lalu, Waller juga menyebut kemungkinan pemangkasan suku bunga pada pertemuan 29–30 Juli. Waller disebut-sebut sebagai kandidat kuat pengganti Powell setelah masa jabatannya berakhir tahun depan.

    Pekan lalu, The Fed mempertahankan suku bunga acuan dalam kisaran 4,25%–4,5% dan tetap dalam kondisi wait and see di tengah ketidakpastian ekonomi yang dipicu kebijakan perdagangan Presiden Trump yang dinilai inkonsisten. 

    Sebagian besar pejabat The Fed khawatir bahwa lonjakan tarif impor dapat menekan pertumbuhan dan kembali memicu tekanan inflasi yang sebelumnya mulai mereda.

    Meski Trump telah mencabut beberapa kebijakan tarif paling ekstrem, total beban tarif impor saat ini masih berada di level tertinggi dalam beberapa dekade, dan tengah digugat di pengadilan.

    “Kenaikan tarif tahun ini kemungkinan akan mendorong harga naik dan menekan aktivitas ekonomi,” ujar Ketua The Fed Jerome Powell, dalam konferensi pers usai rapat FOMC.

    Powell menambahkan dampak tarif butuh waktu untuk terasa sepenuhnya. Dia menyebut pihaknya mulai melihat efek kebijakan tersebut dan memperkirakan akan ada lebih banyak dampak dalam beberapa bulan mendatang.

    Trump sendiri telah berulang kali menekan The Fed agar memangkas suku bunga secara agresif, bahkan tak segan melontarkan kritik pribadi terhadap Powell. 

    Banyak pengamat meyakini bahwa siapapun yang menjabat Ketua The Fed di era Trump perlu menyesuaikan diri dengan keinginan Gedung Putih terhadap suku bunga rendah, meski hal ini dapat merusak kredibilitas bank sentral dalam menjaga stabilitas harga.

    Dalam catatan kepada klien, analis Goldman Sachs menyebut bahwa tekanan harga dari kebijakan tarif akan mencapai puncaknya antara Juni hingga Agustus. 

    “Kami memperkirakan dampak terbesar terhadap inflasi bulanan akan terjadi dalam tiga bulan ke depan,” jelasnya.

  • Pertamina Intensif Pantau Pergerakan Tanker di Selat Hormuz hingga Terusan Suez

    Pertamina Intensif Pantau Pergerakan Tanker di Selat Hormuz hingga Terusan Suez

    Bisnis.com, JAKARTA — PT Pertamina International Shipping (PIS) melakukan pengawasan intensif terhadap pergerakan tanker, terutama di kawasan rawan, seperti Terusan Suez, Teluk Arab (Arabian Gulf), dan Selat Hormuz. Langkah itu diambil menyusul memanasnya konflik di Timur Tengah.

    Corporate Secretary PIS Muhammad Baron menyampaikan, melalui penguatan protokol keselamatan dan skenario jalur alternatif, PIS memastikan pengangkutan energi tetap berjalan.

    Sejalan dengan protokol keamanan operasional, kata dia, PIS memastikan bahwa seluruh kapal internasional yang saat ini aktif beroperasi dalam kondisi aman. 

    “Pengawasan ketat dilakukan melalui koordinasi langsung dengan otoritas maritim setempat, awak kapal dan penggunaan sistem pemantauan real-time yang terintegrasi,” ujar Baron melalui keterangan resmi dikutip Selasa (24/6/2025).

    Sebagai langkah antisipatif terhadap potensi gangguan rantai pasok, perusahaan juga telah menyiapkan skenario jalur alternatif untuk pengangkutan energi. Menurut Baron, langkah ini aman dan strategis sebagai titik pengganti jika terjadi eskalasi risiko di jalur utama seperti Selat Hormuz.

    Selat Hormuz merupakan salah satu jalur laut yang paling penting bagi lalu lintas pasokan minyak dunia. Di satu sisi, Iran sedang dalam pembahasan untuk menutup selat tersebut imbas meningkatnya eskalasi di wilayah itu.

    Baron mengatakan, pihaknya terus memantau secara aktif situasi regional dan global, serta mengambil langkah cepat demi memastikan keselamatan awak kapal dan kelancaran distribusi energi. 

    “Kami juga terus berkoordinasi secara intens dengan pemilik kargo untuk mengantisipasi perkembangan terkini. Keselamatan dan keberlanjutan pengangkutan energi menjadi prioritas utama kami dalam menjaga ketahanan energi nasional dan memastikan layanan yang andal kepada konsumen global,” imbuhnya.

    Dia lantas memastikan bahwa PIS terus memperkuat posisinya sebagai pemain utama dalam industri perkapalan global dengan memastikan keamanan, keberlanjutan, dan keunggulan dalam setiap operasionalnya. 

    Dia menuturkan, saat ini puluhan armada tanker PIS beroperasi di lebih dari 65 rute internasional yang dioperasikan melalui anak usaha PIS, yakni PIS Asia Pacific yang memiliki kantor cabang di Singapura, Dubai, dan London. 

    Menurut Baron, langkah-langkah ini menegaskan kesiapan PIS dalam menghadapi ketidakpastian global serta memperkuat posisinya sebagai penyedia jasa logistik energi yang andal, adaptif, dan tangguh di tengah tantangan geopolitik dunia.

    Sebelumnya, pemerintah Iran sedang dalam pembahasan untuk menutup Selat Hormuz imbas memanasnya perang. Penutupan ini telah dibahas oleh Parlemen Republik Islam Iran, di mana mereka telah menyetujui usulan penutupan Selat Hormuz bagi seluruh kegiatan pelayaran. 

    Padahal, Selat Hormuz merupakan salah satu jalur laut yang paling penting bagi lalu lintas pasokan minyak dunia.

    Selat Hormuz terletak di antara Oman dan Iran, menghubungkan Teluk Persia dengan Teluk Oman dan Laut Arab. Selat ini memiliki panjang hampir 161 kilometer (km) dan lebar 34 km pada titik tersempitnya, dengan jalur pelayaran di setiap arah hanya selebar 3 km. 

    Selat Hormuz cukup dalam dan lebar untuk dilalui kapal tanker minyak mentah terbesar di dunia dan merupakan salah satu jalur minyak paling penting di dunia. 

    Volume minyak yang mengalir melalui selat ini sangat besar. Jika selat ditutup, hanya sedikit jalur alternatif perdagangan minyak yang tersedia.

    Berdasarkan data U.S. Energy Information Administration (EIA), pada 2024, aliran minyak melalui Selat Hormuz rata-rata mencapai 20 juta barel per hari (bph), atau setara dengan sekitar 20% dari konsumsi minyak bumi global.

  • Waswas Industri Manufaktur RI Kala Konflik Iran Vs Israel Memanas

    Waswas Industri Manufaktur RI Kala Konflik Iran Vs Israel Memanas

    Bisnis.com, JAKARTA – Pelaku industri manufaktur Tanah Air turut mewaspadai memanasnya konflik di Timur Tengah. Eskalasi tensi geopolitik ini dikhawatirkan dapat berdampak pada gangguan rantai pasok dan meningkatnya biaya impor bahan baku.

    Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) mulai waswas dengan tren kenaikan harga minyak dunia imbas meningkatnya ketegangan konflik Iran dan Israel, serta keterlibatan Amerika Serikat (AS). Potensi lonjakan harga minyak bakal membuat harga bahan baku, seperti nafta turut melambung.

    Apalagi, pemerintah Iran mengancam akan menutup Selat Hormuz, jalur vital perdagangan minyak dunia.

    “Kalau itu [harga minyak] ke angka US$80–US$100 dengan cepat, masuk ke US$80 saja itu artinya nanti semua harga petrokimia akan berubah,” ujar Sekretaris Jenderal Inaplas Fajar Budiono kepada Bisnis, Senin (23/6/2025).

    Goldman Sachs memperkirakan harga minyak mentah jenis Brent dapat melonjak sementara hingga US$110 per barel apabila arus minyak melalui Selat Hormuz—jalur vital pengiriman sekitar 20% minyak dunia—terpangkas setengahnya selama 1 bulan.

    Sejak konflik Iran-Israel yang dimulai pada 13 Juni 2025, harga minyak jenis Brent telah naik sekitar 13%, sedangkan minyak West Texas Intermediate (WTI) naik sekitar 10%. Adapun, pada perdagangan Senin (23/6/2025), harga minyak Brent berada di level US$71,48 per barel dan WTI di level US$68,51 per barel.

    Menurut Fajar, jika terjadi penutupan Selat Hormuz, potensi lonjakan harga minyak hingga US$100 per barel menjadi ancaman nyata. Hal ini juga memengaruhi harga nafta di pasar.

    Kenaikan harga minyak dapat berdampak ke harga nafta yang diproyeksi naik US$50 per ton dan polimer US$10-20 per ton. Nafta, sebagai bahan baku utama industri, sangat bergantung pada impor dari Timur Tengah.

    “Kalau nafta itu mungkin 80% lah dari sana. Meski polimer hanya 30% bergantung pada pasokan luar, gangguan suplai tetap bisa memicu kelangkaan,” ujarnya.

    Kenaikan harga tersebut dapat berdampak ke ongkos produksi barang turunan dari petrokimia, seperti plastik, kemasan, hingga tekstil.

    Dalam hal ini, pengusaha membidik pasar tradisional untuk menjaga serapan bahan baku. Menurut Fajar, pasar tradisional kemasan plastik memiliki potensi serapan 41%

    Di sisi lain, Inaplas tetap mewaspadai ancaman serbuan produk impor murah dari China yang melibas pasar domestik. Hal ini telah membuat sejumlah pabrikan gulung tikar.

    “Ini industri PET [polyethylene terephthalate] sudah ada yang tutup satu. Ini sudah mulai mengkhawatirkan juga,” tuturnya.

    Pelaku industri juga meminta pemerintah untuk lebih tegas mengatur lalu lintas impor. Apalagi, utilitas sejumlah industri nasional saat ini yang terus menurun.

    Kekhawatiran juga dirasakan oleh Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI). Ketua Umum HIMKI Abdul Sobur mengatakan, eskalasi konflik Iran-Israel berpotensi mengganggu jalur pelayaran internasional di Timur Tengah, Asia Tengah, hingga sebagian Asia Timur. 

    “Ini berdampak pada rantai pasok global, termasuk pengadaan bahan baku dan distribusi produk furnitur dan kerajinan Indonesia ke luar negeri,” kata Sobur.

    Apalagi, Sobur menuturkan bahwa bahan baku penting untuk industri furnitur masih berasal dari luar negeri, seperti lem khusus, bahan finishing, atau logam komponen. 

    Dengan adanya ketegangan geopolitik ini dipastikan mengganggu pengiriman barang karena perubahan jalur pelayaran dan kenaikan biaya asuransi logistik. 

    “Untuk itu, pelaku industri sudah mulai mencari alternatif bahan lokal dan regional [Asean] guna mengurangi ketergantungan dan menekan biaya produksi,” ujarnya. 

    Di sisi lain, dia menyoroti kenaikan biaya logistik dan risiko gangguan pasok. Menurut dia, biaya pengapalan global saat ini sudah menunjukkan kecenderungan naik dan apabila konflik berlarut, maka akan ada lonjakan lebih lanjut. 

    Dalam hal ini, dia memperkirakan akan terjadi peningkatan biaya logistik dan pengadaan bahan baku hingga 15%–20% jika konflik ini meluas dan berdampak pada distribusi kontainer global.

    Tak hanya itu, konflik panas Iran dan Israel ini juga dapat memicu fluktuasi biaya produksi karena harga energi. Terlebih, harga minyak mentah dunia sangat sensitif terhadap konflik Timur Tengah. 

    “Jika harga energi naik, maka akan ada efek domino terhadap harga resin, plastik, logistik, dan bahan pendukung lain, yang akan mendorong naiknya biaya produksi secara menyeluruh dalam industri mebel dan kerajinan nasional,” jelasnya. 

    Untuk itu, pengusaha anggota HIMKI sedang mempersiapkan dua langkah utama, pertama yaitu diversifikasi pasar ekspor, termasuk mengincar negara-negara non-tradisional di Afrika, Asia Selatan, dan Eropa Timur.

    Kedua, re-orientasi pasar domestik, karena bila ekspor melambat akibat ketegangan atau tarif tinggi, pasar dalam negeri akan menjadi buffer penting untuk menjaga keberlangsungan produksi.

    Diversifikasi Impor Bahan Baku

    Sekretaris Jenderal Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Anggawira mengatakan, konflik geopolitik Timur Tengah bukan sekadar ancaman, tetapi peringatan keras untuk mempercepat transformasi industri nasional agar lebih tangguh dan mandiri. 

    “Ya, konflik geopolitik di Timur Tengah—khususnya ancaman atas Selat Hormuz dan Laut Merah—telah mengganggu stabilitas rantai pasok global, termasuk ke Indonesia. Hipmi melihat ini sebagai sinyal kuat untuk mempercepat resiliency supply chain nasional,” kata Anggawira kepada Bisnis, Senin (23/6/2025). 

    Bahan baku komoditas maupun energi dinilai cukup bergantung pada jalur pelayaran Timur Tengah yang membuat industri nasional sangat rentan terhadap eskalasi geopolitik.

    Menurut Anggawira, impor bahan baku berpotensi terganggu, baik dari sisi keterlambatan hingga harga yang naik tajam. Adapun, industri pengguna gas, logam, dan petrokimia menjadi yang paling terdampak. 

    “Sudah terlihat adanya peningkatan biaya asuransi pelayaran dan ketidakpastian waktu pengiriman,” jelasnya. 

    Bahkan, dia juga mencatat bahwa UMKM industri makanan dan tekstil mulai mengalami lonjakan harga bahan baku. Hal ini menekan margin dan meningkatkan risiko inflasi biaya produksi.

    “Kami mendorong diversifikasi sumber bahan baku serta pembinaan industri hulu nasional untuk mengurangi ketergantungan terhadap barang setengah jadi dari luar negeri. Saat ini adalah momentum tepat untuk memperkuat ekosistem substitusi impor berbasis produksi lokal,” jelasnya. 

    Di sisi lain, kenaikan harga minyak dunia yang dipicu situasi geopolitik saat ini juga berdampak domino terhadap harga BBM industri, logistik, dan tarif energi. Pelaku industri pengguna energi intensif seperti pupuk, baja, dan keramik mulai tertekan. 

    “Hipmi mendorong pemerintah untuk menjaga kestabilan harga energi domestik, termasuk memastikan implementasi harga gas industri yang kompetitif [HGBT] dan mempercepat pengembangan energi domestik berbasis LNG dan gas pipa,” tuturnya. 

    Lebih lanjut, pengusaha saat ini melakukan strategi adaptif seperti meningkatkan buffer stock bahan baku, merancang ulang kontrak pembelian secara fleksibel, menyusun strategi lindung nilai (hedging) atas nilai tukar, menyesuaikan siklus produksi, dan mempercepat ekspansi pasar domestik dan Asean.

    Namun, pihaknya juga meminta pemerintah untuk turun tangan mempercepat substitusi impor dan penguatan industri hulu nasional, khususnya bahan baku industri, menjaga stabilisasi harga energi dan logistik melalui instrumen fiskal dan BUMN strategis. 

    Kemudian, reformasi logistik pelabuhan dan kepabeanan untuk mempercepat arus bahan baku, penguatan diplomasi ekonomi untuk membuka jalur pasok dan pasar baru, dan mendorong konsolidasi industri energi dan mineral nasional, agar kita lebih siap menghadapi risiko geopolitik global. 

  • Trump Panik Harga Minyak Melonjak Pasca AS Serang Iran, Selat Hormuz Jadi Titik Kritis

    Trump Panik Harga Minyak Melonjak Pasca AS Serang Iran, Selat Hormuz Jadi Titik Kritis

    Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mendesak produsen energi untuk menurunkan harga minyak mentah setelah serangan militer AS terhadap Iran.

    Melansir Bloomberg pada Selasa (24/6/2025), desakan tersebut dikeluarkan di tengah kekhawatiran bahwa konflik Timur Tengah yang memburuk dan potensi gangguan pasokan akan memperpanjang reli harga di pasar minyak global.

    “Semuanya, jaga harga minyak tetap rendah. Saya memantau! Jangan mainkan Senjata musuh, Jangan lakukan itu!” tulis Trump melalui media sosial pada Senin waktu setempat.

    Dalam unggahan lanjutan, Trump juga memerintahkan Departemen Energi untuk segera meningkatkan produksi. “Bor, saatnya bor!!! dan saya maksudkan sekarang juga!!!” ujarnya.

    Menanggapi perintah tersebut, Menteri Energi AS Chris Wright melalui platform X, mengatakan bahwa upaya tersebut telah dimulai.

    Unggahan Trump di media sosial menunjukkan bahwa tekanan dari potensi lonjakan harga minyak — dan dampaknya terhadap ekonomi domestik — mulai membebani pemerintahannya. 

    Sebelumnya, Trump sempat memuji penurunan harga minyak, meski hal itu sempat memicu ketidakpuasan dari para eksekutif energi yang mendanai kampanye pilpres 2024-nya.

    Namun, Trump memiliki opsi terbatas untuk menahan lonjakan harga di dalam negeri. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan cadangan strategis minyak AS, tetapi saat ini stok tersebut telah susut menjadi sekitar 400 juta barel — hanya setengah dari kapasitas maksimumnya.

    Sejumlah analis juga memperingatkan bahwa sekalipun cadangan tersebut dilepas ke pasar, dampaknya tidak akan cukup untuk menggantikan potensi kehilangan jutaan barel minyak per hari jika Iran benar-benar menebar ranjau laut di Selat Hormuz untuk mengganggu jalur pelayaran.

    Tutup Selat Hormuz

    Sementara itu, Iran memperingatkan keputusan Trump untuk ikut serta dalam serangan militer Israel dengan menyerang tiga fasilitas nuklir utama di negaranya akan memicu aksi balasan. Militer Iran menyatakan akan memberikan respons yang proporsional terhadap serangan AS.

    Salah satu langkah balasan yang paling dikhawatirkan adalah penutupan Selat Hormuz — jalur strategis di muara Teluk Persia yang dilintasi sekitar seperempat perdagangan minyak laut dunia.

    Meski fokus utama tertuju pada Selat Hormuz, potensi serangan balasan Iran juga dikhawatirkan dapat menyasar infrastruktur lain yang penting bagi pengolahan dan pengiriman minyak di kawasan. 

    Colby Connelly, peneliti senior di Middle East Institute mengatakan, sekitar 70%–75% minyak mentah, kondensat, dan produk hasil olahan dari Teluk mengalir melalui sembilan fasilitas utama yang berisiko menjadi titik hambatan.

    Penasihat ekonomi utama Gedung Putih, Kevin Hasset menyebut bahwa pasar minyak masih terlihat stabil.

    “Untuk saat ini belum ada tanda-tanda gangguan serius,” katanya.

    Namun, kenaikan harga minyak — termasuk bensin dan bahan bakar jet — berisiko menekan daya beli konsumen AS yang sebelumnya sudah terbebani inflasi. Kondisi ini juga bisa berdampak secara politik terhadap Trump dan Partai Republik menjelang pemilu.

    Jika Iran benar-benar menutup Selat Hormuz, harga minyak mentah bisa melampaui US$130 per barel, menurut perkiraan Bloomberg Economics. 

    Sekretaris Pers Gedung Putih Karoline Leavitt menyatakan bahwa pemerintah AS sedang memantau secara aktif dan cermat situasi di Selat Hormuz serta memperingatkan bahwa rezim Iran akan bodoh jika benar-benar mengambil langkah tersebut.

    Harga minyak global saat ini tercatat sekitar 10% lebih tinggi dibandingkan posisi sebelum Israel menyerang Iran awal bulan ini. Namun, pada perdagangan Senin, pasar mulai memangkas kenaikan tersebut seiring meredanya kekhawatiran akan gangguan pasokan dalam waktu dekat. 

    Harga minyak jenis Brent sempat melonjak ke level US$81,40 per barel, sebelum turun kembali ke bawah US$77. Menurut Connelly, lonjakan harga saat ini lebih mencerminkan reaksi pasar terhadap potensi gangguan pasokan ketimbang kehilangan pasokan riil. 

    “Namun, dampaknya mulai terasa di sejumlah wilayah, dan prospek makroekonomi global akan tertekan jika situasi ini berlangsung lebih lama — bahkan tanpa gangguan pasokan yang nyata,” ujar Connelly.

    Meski Trump telah mendorong peningkatan pengeboran domestik, langkah tersebut tidak serta-merta mampu mendorong produksi baru. Dalam beberapa tahun terakhir, pelaku industri energi AS cenderung enggan melakukan ekspansi besar-besaran karena harga minyak West Texas Intermediate (WTI) sempat berada di bawah biaya produksi di beberapa lokasi.

    Secara umum, perusahaan minyak lebih cenderung mengambil keputusan investasi berdasarkan proyeksi harga jangka panjang ketimbang lonjakan harga sesaat akibat ketegangan geopolitik.

    Bahkan sebelum serangan AS terhadap Iran terjadi, pejabat pemerintahan Trump sudah membahas kemungkinan gangguan pasokan minyak yang bisa memicu lonjakan harga, termasuk opsi-opsi mitigasinya.

  • Industri Petrokimia Waspadai Harga Nafta Melambung Imbas Konflik Iran-Israel

    Industri Petrokimia Waspadai Harga Nafta Melambung Imbas Konflik Iran-Israel

    Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) mewaspadai potensi gejolak harga minyak global, khususnya efeknya terhadap produk olahan, seperti nafta sebagai bahan baku petrokimia. Hal ini ditengarai ketegangan geopolitik, khususnya di kawasan Timur Tengah. 

    Sekretaris Jenderal Inaplas Fajar Budiono mengatakan, meskipun saat ini dampaknya belum terasa besar, tren kenaikan harga minyak dan nafta mulai menimbulkan kekhawatiran.

    Apalagi, rencana pemerintah Iran yang akan menutup Selat Hormuz, 20% pelayaran minyak mentah melalui selat tersebut.

    “Kalau itu [harga minyak] ke angka US$80–US$100 dengan cepat, masuk ke US$80 saja itu artinya nanti semua harga petrokimia akan berubah,” ujar Fajar kepada Bisnis, Senin (23/6/2025). 

    Saat ini, harga minyak diperdagangkan pada level US$73,49 per barel atau turun 0,47% dibandingkan hari sebelumnya, sedangkan minyak jenis Brent melemah 0,49% menjadi US$76,63%.

    Menurut Fajar, jika terjadi penutupan Selat Hormuz, potensi lonjakan hingga US$100 per barel menjadi ancaman nyata. Hal ini juga memengaruhi harga nafta di pasar. 

    Kenaikan harga minyak dapat berdampak ke harga nafta yang diproyeksi naik US$50 per ton dan polimer US$10-20 per ton. 

    Nafta, sebagai bahan baku utama industri, sangat bergantung pada impor dari Timur Tengah. 

    “Kalau nafta itu mungkin 80% lah dari sana. Meski polimer hanya 30% bergantung pada pasokan luar, gangguan suplai tetap bisa memicu kelangkaan,” ujarnya. 

    Kenaikan harga tersebut dapat berdampak ke ongkos produksi barang turunan dari petrokimia, seperti plastik, kemasan, hingga tekstil. 

    Dalam hal ini, pengusaha membidik pasar tradisional untuk menjaga serapan bahan baku. Menurut Fajar, pasar tradisional kemasan plastik memiliki potensi serapan 41% 

    Di sisi lain, dia tetap mewaspadai kondisi ancaman serbuan produk impor murah dari China yang melibas pasar domestik. Hal ini telah membuat sejumlah pabrikan gulung tikar. 

    “Ini industri PET [polyethylene terephthalate] sudah ada yang tutup satu. Ini sudah mulai mengkhawatirkan juga,” tuturnya.

    Pelaku industri juga meminta pemerintah untuk lebih tegas mengatur lalu lintas impor. Apalagi, utilitas sejumlah industri nasional saat ini yang terus menurun. 

  • Pengamat Ramal Harga Minyak Bisa Tembus US5 per Barel Jika Selat Hormuz Ditutup

    Pengamat Ramal Harga Minyak Bisa Tembus US$145 per Barel Jika Selat Hormuz Ditutup

    Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat memproyeksikan harga minyak dunia bisa melambung ke level US$145 per barel jika Iran menutup Selat Hormuz. Hal ini tak lepas dari terganggunya jalur pengiriman minyak dunia.

    Selat Hormuz merupakan jalur pelayaran penting bagi pengiriman minyak. Menurutnya, 20% pengiriman minyak dan gas (migas) dunia melalui selat tersebut.

    Pengamat ekonomi energi dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Yayan Satyakti menilai jika selat tersebut resmi ditutup imbas memanasnya konflik di Timur Tengah, bakal terjadi disrupsi pasokan global. Apalagi, Iran memiliki kontribusi sekitar 5% terhadap pasokan minyak global.

    Yayan berpendapat, disrupsi pasokan minyak imbas ditutupnya Selat Hormuz bakal lebih dalam dibanding efek dari perang Rusia-Ukraina pada 2022.

    “Kemungkian disrupsinya sekitar 3% hingga 4%, kemungkinan harga minyak jika Selat Hormuz ditutup harga bisa di kisaran US$100 hingga US$145 per barel,” ucap Yayan kepada Bisnis, Senin (23/6/2025).

    Adapun, dilansir dari Reuters, harga minyak dunia sudah mulai bergejolak. Bahkan, melonjak ke level tertinggi sejak Januari 2025 pada perdagangan pagi ini, Senin (23/6/2025).

    Tercatat, harga minyak jenis Brent untuk kontrak pengiriman terdekat naik US$1,92 atau 2,49% menjadi US$78,93 per barel. Sementara itu, minyak West Texas Intermediate (WTI) naik US$1,89 atau 2,56% ke posisi US$75,73 per barel.

    Kendati demikian, proyeksi kenaikan harga minyak tersebut bakal bergantung pada berapa lama Selat Hormuz ditutup. Menurutnya, semakin lama selat itu ditutup, semakin parah jika efeknya.

    Dia menilai efek buruk penutupan Selat Hormuz, bahkan bakal menimpa Iran sendiri.

    “Selat Hormuz vital tak hanya untuk perdagangan internasional, tapi bagi Iran sendiri untuk melakukan aktivitas perdagangan internasional. Kalau tutup dalam jangka panjang itu enggak baik bagi ekonomi Iran,” jelas Yayan.

    Yayan berpendapat hal tersebut pun bakal berdampak bagi Indonesia, yakni harga BBM bisa naik. Oleh karena itu, dia mengingatkan agar pemerintah dan para pemangku kepentingan mulai mencari pasokan minyak mentah tak hanya dari Timur Tengah.

    “Strateginya kita kan sudah ada hubungan dagang dengan AS, saya kira harus kita akselerasi impor BBM dari AS atau negara lainnya,” ucap Yayan.

    Sementara itu, Founder & Advisor ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menilai harga minyak bisa melonjak jika eskalasi di Timur Tengah kian meluas. Artinya, jika konflik meluas dan tak hanya melibatkan Israel, Iran, dan AS, maka harga minyak bisa melambung.

    Namun, jika konflik itu masih terbatas, harga minyak perlahan akan kembali turun.

    “Kalau terbatas, perlahan harga akan kembali turun ke fundamentalnya di kisaran US$60-US$70 per barel. Kalau perang meluas, ya tidak ada yang tahu berapa batas atasnya,” kata Pri Agung.

    Selat Hormuz merupakan salah satu jalur laut yang paling penting bagi lalu lintas pasokan minyak dunia. Di satu sisi, pemerintahan Iran sedang dalam pembahasan untuk menutup selat tersebut.

    Penutupan ini telah dibahas oleh Parlemen Republik Islam Iran pada Minggu (22/6/2025), di mana mereka telah menyetujui usulan penutupan Selat Hormuz bagi seluruh kegiatan pelayaran.

    Selat Hormuz, yang terletak di antara Oman dan Iran, menghubungkan Teluk Persia dengan Teluk Oman dan Laut Arab. Selat ini memiliki panjang hampir 161 kilometer (km) dan lebar 34 km pada titik tersempitnya, dengan jalur pelayaran di setiap arah hanya selebar 3 km.

    Selat Hormuz cukup dalam dan lebar untuk dilalui kapal tanker minyak mentah terbesar di dunia dan merupakan salah satu jalur minyak paling penting di dunia.

    Volume minyak yang mengalir melalui selat ini sangat besar. Jika selat ditutup, hanya sedikit jalur alternatif perdagangan minyak yang tersedia.

    Berdasarkan data U.S. Energy Information Administration (EIA), pada 2024, aliran minyak melalui Selat Hormuz rata-rata mencapai 20 juta barel per hari (bph), atau setara dengan sekitar 20% dari konsumsi minyak bumi global.

  • Usulan Pengembang soal Rencana Rumah Subsidi Diperkecil

    Usulan Pengembang soal Rencana Rumah Subsidi Diperkecil

    Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah pelaku usaha properti menilai rencana rumah subsidi yang diperkecil bertujuan menjawab tantangan keterbatasan lahan dan daya beli masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), terutama di wilayah perkotaan.

    Dalam draf perubahan Keputusan Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Tahun 2025, disebutkan bahwa rumah subsidi nantinya dapat dibangun di atas lahan seluas minimal 25m², dengan luas bangunan mulai dari 18 m². Sebelumnya, dalam aturan lama, batas minimum luas tanah ditetapkan 60 m² dan bangunan minimal 21 m².

    Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Pedesaan Thomas Jusman mengatakan bahwa penambahan opsi rumah subsidi berukuran kecil perlu dipahami sebagai alternatif, bukan pengganti tipe yang sudah ada.

    “Ini adalah pilihan tambahan, bukan pengganti rumah tipe 36. Pemerintah perlu melakukan sosialisasi secara luas agar tidak muncul kesalahpahaman,” ujar Thomas, dikutip Senin (23/6/2025).

    Menurut dia, keberadaan rumah subsidi berukuran kecil menjadi krusial di kawasan perkotaan, tempat harga lahan cenderung tinggi dan ketersediaannya terbatas. Thomas juga menekankan bahwa meskipun ukuran diperkecil, standar kelayakan hunian harus tetap merujuk pada Standar Nasional Indonesia (SNI).

    Ketua Umum DPP Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himpera) Endang Kawidjaja menilai bahwa revisi ukuran rumah subsidi akan memperluas pilihan bagi masyarakat MBR. Dengan adanya variasi tipe, masyarakat dapat memilih rumah sesuai dengan kemampuan finansial mereka.

    “Luas tanah 25 m² dan bangunan 18 m² bisa menjadi solusi untuk tanah-tanah sempit yang sebelumnya tak terpakai karena tidak memenuhi kriteria rumah subsidi,” katanya.

    Wakil Ketua Umum DPP Real Estat Indonesia (REI) Bambang Ekajaya menyarankan agar rumah subsidi berukuran kecil difokuskan pada radius 20 kilometer dari pusat kota. Dia menyebut segmen ini cocok untuk generasi muda atau pasangan baru yang belum memiliki anak.

    “Rumah subsidi mungil ini bisa menjadi hunian pertama yang terjangkau di lokasi strategis,” ujarnya.

    Direktur PT Ciputra Development Tbk. (CTRA) Budiarsa Sastrawinata menyebut bahwa menyesuaikan ukuran rumah subsidi adalah upaya realistis di tengah tingginya harga tanah. Pengembang tetap bisa menjaga keterjangkauan tanpa menurunkan kualitas.

    “Aspek kelayakan dan fungsi tetap bisa terpenuhi meskipun rumah lebih kecil. Yang penting adalah efisiensi desain dan aksesibilitas,” kata Budiarsa.

    CEO Lippo Group James Riady mencontohkan proyek Hunian Warisan Bangsa (HWB) sebagai model penerapan rumah subsidi berukuran kecil. Dalam proyek tersebut, disediakan dua tipe unit, yakni tipe satu kamar tidur berukuran bangunan 14m² dan tipe dua kamar tidur berukuran 23,4m², masing-masing dibangun di atas tanah sekitar 25–26m².

    Meskipun mungil, rumah-rumah tersebut dirancang dengan mezzanine dan fasilitas lengkap, seperti ruang tamu, dapur, kamar mandi, hingga carport.

    “Hunian yang layak tidak selalu berarti luas. Dengan prinsip desain yang baik, rumah kecil pun bisa nyaman, aman, dan terjangkau,” ujar James.

    Program rumah subsidi berukuran kecil ini diharapkan dapat membuka akses kepemilikan rumah bagi lebih banyak kelompok masyarakat, terutama yang selama ini terpinggirkan oleh keterbatasan lahan dan tingginya harga rumah.