Category: Bisnis.com Ekonomi

  • Tok! Trump Umumkan Tarif Impor 50% untuk Tembaga Mulai 1 Agustus

    Tok! Trump Umumkan Tarif Impor 50% untuk Tembaga Mulai 1 Agustus

    Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan tarif tembaga dari luar negeri yang masuk ke pasar AS dikenakan tarif impor 50%. Kebijakan ini berlaku mulai 1 Agustus 2025.

    Trump melalui akun Truth Social miliknya @realDonaldTrump, Kamis (10/7/2025) mengatakan bahwa keputusan tarif tinggi untuk produk tembaga tersebut berdasarkan pertimbangan keamanan nasional.

    “Tembaga diperlukan untuk Semikonduktor, Pesawat Terbang, Kapal, Amunisi, Pusat Data, Baterai Litium-ion, Sistem Radar, Sistem Pertahanan Rudal, dan bahkan Senjata Hipersonik, yang sedang banyak kami bangun,” tulis Trump dalam unggahan di Truth Social.

    Pada hari sebelumnya, Trump telah memberikan sinyal bahwa dia akan mengenakan tarif baru pada tembaga, yang menyebabkan harga tembaga berjangka Comex AS mencapai rekor tertinggi.

    Trump mengatakan dia menerapkan tarif 50% untuk tembaga dengan harapan dapat meningkatkan produksi logam AS yang penting untuk kendaraan listrik, perangkat keras militer, jaringan listrik dan banyak barang konsumen.

    Setelah kabar rencana tersebut, harga tembaga berjangka Comex AS melonjak lebih dari 12% ke rekor tertinggi. Pengumuman ini datang lebih awal dari yang diharapkan industri dan tarifnya lebih tinggi yang diperkirakan.

    Diberitakan sebelumnya, Melansir Bloomberg pada Rabu (9/7/2025) harga tembaga di bursa Comex New York naik hingga 17% pada Selasa (8/7/2025) waktu setempat, mencatat lonjakan harian terbesar dalam sejarah. 

    Saat ini, harga tembaga New York diperdagangkan dengan premi sekitar 25% dibandingkan kontrak sejenis di London Metal Exchange (LME), yang menjadi acuan harga global.

    Harga tembaga di New York sempat menyentuh rekor tertinggi US$5,8955 per pon, sebelum ditutup pada level US$5,6855.

    Jika tarif benar-benar diberlakukan, dampaknya akan menjalar ke berbagai sektor ekonomi AS, mengingat tembaga digunakan secara luas dalam produk elektronik konsumen, otomotif, konstruksi perumahan, hingga pusat data.

  • OPINI : Mewaspadai Risiko Kredit Koperasi

    OPINI : Mewaspadai Risiko Kredit Koperasi

    Bisnis.com, JAKARTA – Menjelang pe­­­­luncuran secara res­­­­mi, Ko­­­pe­­­ra­­­si Desa Merah Putih (KDMP) sudah diizin­kan mengajukan pinjaman untuk modal usaha mulai 1 Juli 2025. Pinjaman modal dapat diajukan ke bank ang­­­gota Himpunan Bank Negara (Himbara). Bank perlu me­­­­waspadai risiko kredit KDMP.

    Hingga kini belum ada hukum yang memayungi skema pembiayaan KDMP. Kementerian Keuangan sedang menyusun aturan sebagai payung hukum skema pembiayaan. Nantinya, KDMP dapat mengajukan pinjaman modal sebesar Rp 1 miliar—Rp 3 miliar sesuai kebutuhan usaha.

    Pengurus KDMP harus mampu menyusun proposal (business plan) sebagai salah satu syarat wajib mengajukan pinjaman. Proposal yang dibuat berisi rencana usaha, yakni mencakup sembako, pangkalan gas, atau pupuk beserta perincian pemanfaatan kredit modal secara terukur.

    Pemerintah berupaya meningkatkan kemampuan pengurus KDMP melalui pelatihan dengan materi sesuai kebutuhan untuk menyusun proposal. Pengurus pun dibekali kemampuan manajerial, penguasaan teknologi, dan strategi tata kelola yang baik (good governance).

    KDMP harus dikelola secara transparan menghindari penyalahgunaan pinjaman. Karena bukan berasal dari APBN, modal koperasi harus dikelola profesional dan transparan guna menjaga keberlangsungan usaha. Tata kelola yang baik juga menuntut pertanggung jawaban keuangan.

    Bank-bank yang tergabung dalam Himbara sebagai sumber pembiayaan koperasi dituntut menerapkan prinsip kehatian-hatian (prudential banking). Waspada dalam menyalurkan kredit merupakan salah satu prinsip utama bagi setiap bank untuk menghindari kesalahan dan kerugian.

    Prinsip kehati-hatian diterapkan secara konsisten untuk menjaga kesehatan dan stabilitas operasional bank. Selain itu, asa terhadap penerapan prudential banking dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pelbagai layanan keuangan yang diberikan dunia perbankan.

    Penerapan prudential banking sesuai Peraturan BI Nomor 11/26/PBI/2009 tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Melaksanakan Kegiatan Structured Product bagi Bank Umum. Salah satu pertimbangannya adalah kompleksitas instrumen keuangan dapat memicu peningkatan risiko.

    Bank sebagai kreditur bagi KDMP pun dituntut memperkuat mekanisme internal mencegah munculnya pelbagai risiko yang merugikan. Mekanisme disusun secara terperinci dan jelas serta mudah diterapkan sesuai persyaratan mengajukan pinjaman untuk modal usaha koperasi.

    Selain proposal bisnis, syarat kelayakan pengajuan pinjaman adalah kewajiban tiap KDMP memiliki minimal enam gerai usaha. Bank memiliki prosedur guna memastikan pinjaman segera dikembalikan setelah balik modal. Pinjaman bukanlah dana hibah sehingga harus dilunasi segera.

    Sebab itu, bank penyalur kredit perlu memverifikasi dan mengevaluasi semua proposal yang diajukan pengurus sebelum persetujuan pencairan dana. Koperasi bersifat bankable alias memenuhi syarat mendapatkan layanan perbankan berupa pinjaman, kredit, atau pembiayaan.

    Patut pula diwaspadai prudential banking tampak bakal sulit ditegakkan karena belum tersedia data tentang rekam jejak keuangan lengkap karena KDMP baru berdiri. Pun data income stability pendapatan, semisal, tak ada sehingga bank kesulitan menilai kalayakan usaha KDMP.

    Semua kesulitan menegakkan prinsip prudential banking dipicu situasi serba dadakan. KDMP merupakan hasil kebijakan instan pemerintah Presiden Prabowo Subiyanto yang berhasrat membangun perekonomian dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di desa/kelurahan.

    Alhasil, minimalisasi risiko usaha juga menghadapi pelbagai tantangan memicu risiko bank bakal mengalami kerugian. Upaya meredam pelbagai risiko pinjaman untuk KDMP, semisal kredit macet, fraud oleh pengurus, atau risiko operasional lainnya tampak kian berat dilakukan bank.

    Dalam konteks pinjaman untuk KDMP, makna kepatuhan perbankan terhadap pelbagai regulasi BI tampak sekadar formalitas. Demikian pula kebijakan dan peraturan internal bank berupa SOP yang berlaku internal juga kehilangan taji akibat kebijakan KDMP yang non-agonistik

    Secara konseptual, kebijakan agonistik dapat dipahami sebagai upaya perumusan policy secara bijak, melibatkan stakeholders terkait, transparan dan dalam jangka panjang bermanfaat bagi masyarakat. KDMP adalah salah satu contoh kebijakan yang bersifat anti-tesis dari agonistik.

    Jika KDMP merupakan hasil kebijakan agonistik, bank kian mudah menerapkan prudential banking sekaligus menunjukkan kepatuhan terhadap semua peraturan yang telah ditetapkan BI. Prinsip prudential berfungsi pula sebagai budaya kerja yang mengikat semua pihak yang terlibat dalam transaksi.

    Dengan sejumlah nilai (values) dalam budaya kerja, seluruh jajaran pimpinan dan staf bank diikat oleh kesepakatan bersama demi menjaga kepercayaan masyarakat. Bank mengelola semua dana dari masyarakat dengan jaminan keamanan disertai disiplin dan tanggung jawab.

    Tanggung jawab tersebut kini kian bertambah berat akibat kebijakan non-agonistik yang mewajibkan bank-bank angota Himbara menyalurkan pinjaman untuk KDMP. Bank harus siap dan waspada terhadap risiko yang timbul akibat mismanagement atau kegagalan KDMP.

  • Trump Ancam Getok Tarif 200%, Industri Farmasi RI Bakal Terdampak?

    Trump Ancam Getok Tarif 200%, Industri Farmasi RI Bakal Terdampak?

    Bisnis.com, JAKARTA — Industri farmasi nasional mengantisipasi dampak dari rencana Presiden Donald Trump memberlakukan tarif sebesar 200% untuk produk obat-obatan yang masuk ke Amerika Serikat (AS).

    Rencana pengenaan tarif produk farmasi yang masuk ke AS ini disampaikan Trump usai menghadiri pertemuan kabinet di Gedung Putih, Selasa (8/7/2025).

    Trump menyatakan akan menetapkan tarif atas impor produk farmasi yang dapat mencapai 200%. Namun memberikan waktu sekitar satu tahun bagi produsen untuk memindahkan operasional mereka ke dalam negeri.

    Dia menyebut pihaknya akan memberi waktu hingga 18 bulan bagi perusahaan untuk kembali ke AS. Setelah itu, mereka akan dikenakan tarif.

    “Jika mereka tetap harus membawa obat-obatan ke AS, mereka akan dikenakan tarif sangat tinggi, sekitar 200%. Kami beri mereka waktu tertentu untuk berbenah,” ujar Trump kepada wartawan seperti dikutip dari Reuters, Rabu (9/7/2025).

    Menanggapi hal tersebut, Asosiasi Biofarmasi dan Bahan Baku Obat (AB3O) mengatakan rencana penerapan tarif impor AS 200% atas produk farmasi tidak akan terlalu berdampak pada kinerja ekspor industri dalam negeri. Sebab, AS bukan pasar ekspor utama produk farmasi nasional. 

    Ketua Umum AB3O FX Sudirman mengatakan ekspor farmasi buatan lokal ke Negeri Paman Sam itu sangat kecil lantaran pasar AS yang sangat protektif. 

    “Memang nggak signifikan berpengaruh terhadap industri farmasi nasional,” kata Dirman kepada Bisnis, Rabu (9/7/2025). 

    Ekspor Produk Farmasi

    Merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) nilai ekspor produk farmasi (HS 30) ke Amerika Serikat mencapai US$14.897 dengan volume 397 kg pada periode Januari-April 2025. 

    Namun secara nilai, angka tersebut naik dari periode yang sama tahun sebelumnya senilai US$8.875, sedangkan secara volume lebih tinggi yakni sebesar 596 kg. 

    “Ekspor produk farmasi ke US kecil sekali, paling jamu, misalnya Tolak Angin dan sejenis. Mereka kan sangat protektif, selain itu bahan obat alam, seperti kratom,” jelasnya. 

    Senada, produsen Tolak Angin, PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk. (SIDO) juga memastikan kebijakan Tarif Trump tidak berdampak ke kinerja ekspor perusahaan. 

    Direktur Keuangan SIDO Budiyanto Muliohardjo mengatakan pangsa pasar produk Sido Muncul ke AS masih di bawah 1%, jauh dibandingkan dengan negara tujuan ekspor lainnya. Dengan demikian, pemberlakuan tarif oleh Presiden AS Donald Trump tidak akan terlalu berpengaruh ke kinerja total ekspor perseroan.

    “Pasar terbesar kami itu ada tiga, Malaysia, Filipina, Nigeria untuk ekspor. Timur tengah ada, cuman lebih kecil dari tiga itu. Terus terang, AS tidak terlalu besar [ekspor],” kata Budiyanto saat ditemui usai agenda Bisnis Indonesia Awards 2025, Senin (30/6/2025). 

    Perluasan Pasar

    Untuk mengantisipasi dampak hilangnya pangsa pasar ekspor AS, pihaknya akan melakukan ekspansi ke pasar-pasar non-tradisional atau negara baru yang belum dijangkau sebelumnya. 

    Tak hanya itu, SIDO juga merancang strategi memperluas pasar domestik dan memperkuat pemasaran ke generasi muda agar dapat memiliki kesadaran terhadap produk yang legendaris. 

    Strategi perluasan pasar juga bakal dilakukan emiten produsen farmasi PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) untuk mengantisipasi dampak tarif impor tinggi AS.

    KLBF memastikan rencana kebijakan pengenaan tarif 200% atas produk farmasi yang masuk ke AS tidak akan berdampak terhadap kinerja perseroan.

    Corporate External Communication KLBF Hari Nugroho mengatakan, produk-produk farmasi yang diproduksi perusahaan lebih banyak di ekspor ke negara-negara di wilayah Asean, Asia, dan Afrika. 

    “Kalbe tidak memiliki eksposur terhadap penjualan produk ke AS sehingga kebijakan ini tidak berdampak signifikan bagi Perseroan,” kata Hari kepada Bisnis, Rabu (9/7/2025). 

    Meski begitu, pihaknya tetap melakukan pemantauan atas perkembangan dari kebijakan tarif Presiden AS Trump yang dinilai dapat menyebabkan ketegangan perdagangan global.

  • Harga Pangan Hari Ini 10 Juli: Beras Mahal, Cabai Makin Pedas

    Harga Pangan Hari Ini 10 Juli: Beras Mahal, Cabai Makin Pedas

    Bisnis.com, JAKARTA — Mayoritas harga pangan mengalami kenaikan secara rata-rata nasional pada hari ini, Kamis (10/7/2025). Bahan Pangan seperti beras, daging ayam, hingga cabai kompak mengalami kenaikan.

    Mengacu pada panel harga pangan yang dirilis oleh Badan Pangan Nasional (Bapanas) pada pukul 7.51 WIB, harga beras premium naik 1,31% dibandingkan dengan hari sebelumnya menjadi Rp16.144 per kilogram (kg).

    Harga beras medium juga tercatat naik 0,69% menjadi Rp14.270 per kg. Serta, beras Stabilisasi Pasokan Harga Pangan (SPHP) naik 3,53% menjadi Rp12.950 per kg.

    Harga cabai merah keriting turut tercatat naik 0,06% menjadi Rp44.610 per kg, diikuti harga cabai rawit merah yang naik 1,87% menjadi Rp68.440 per kg. Meski demikian, harga cabai merah besar justru berbalik turun 3,12% menjadi Rp41.182 per kg.

    Kemudian, harga jagung peternak naik 0,65% menjadi Rp6.163 per kg dan kedelai biji kering (impor) turut terkerek harganya 0,54% menjadi Rp10.896 per kg.

    Sejumlah komoditas sumber protein seperti daging sapi murni juga tercatat naik 0,69% menjadi Rp136.155 per kg.

    Akan tetapi, daging kerbau beku (impor) berbalik turun tipis 0,04% menjadi Rp105.833 per kg dan daging kerbau segar (lokal) turun 4,97% menjadi Rp135.000 per kg.

    Harga ikan kembung juga mencatatkan penurunan 0,05% menjadi Rp41.008 per kg. Akan tetapi, ikan tongkol masih naik harga 1,11% menjadi Rp34.194 per kg dan ikan bandeng naik 1,32% menjadi Rp34.787 per kg.

    Sementara itu, harga gula konsumsi naik tipis 0,01% menjadi Rp18.338 per kg, sedangkan garam konsumsi turun 0,41% 11.613 per kg.

    Selanjutnya, harga bawang merah justru turun 4,44% menjadi Rp41.953 per kg bersamaan dengan harga bawang putih bonggol turun 1,25% menjadi Rp38.308 per kg.

    Harga tepung terigu (curah) naik 0,26% menjadi Rp9.768 per kg. Sedangkan tepung terigu kemasan mencatatkan tren penurunan harga 2,84% menjadi Rp12.535 per kg.

    Terakhir, minyak goreng kemasan turun 2,49% menjadi Rp20.221 per liter, minyak goreng curah turun 2,12% menjadi Rp17.164 per liter dan Minyakita turun 2,01% menjadi Rp17.216 per liter.

  • Nvidia Cetak Sejarah, Market Cap Tembus US Triliun

    Nvidia Cetak Sejarah, Market Cap Tembus US$4 Triliun

    Bisnis.com, JAKARTA – NVidia menjadi perusahaan pertama yang berhasil mencapai kapitalisasi pasar senilai US$4 triliun. Hal tersebut terjadi pada perdagangan Rabu (9/7/2025) waktu setempat

    Melansir CNBC International pada Kamis (10/7/2025) saham Nvidia sempat menembus kapitalisasi pasar atau market capitalization US$4 triliun untuk pertama kalinya meski akhirnya ditutup pada level US$3,97 triliun.

    Nvidia menjadi perusahaan pertama yang menembus kapitalisasi US$4 triliun saat sesi perdagangan berlangsung. 

    Nvidia kini tercatat sebagai perusahaan paling bernilai di dunia, melampaui Microsoft dan Apple yang sebelumnya telah lebih dulu menembus kapitalisasi US$3 triliun. Microsoft sendiri merupakan salah satu pelanggan terbesar dan terpenting bagi Nvidia.

    Penguatan ini terjadi seiring investor memborong saham perusahaan teknologi yang menjadi tulang punggung ledakan kecerdasan buatan generatif (generative AI).

    Perusahaan yang berbasis di California ini didirikan pada 1993, dan mulai melewati kapitalisasi US$2 triliun pada Februari 2024, kemudian menyentuh US$3 triliun pada Juni 2025.

    Lonjakan permintaan atas perangkat keras dan chip kecerdasan buatan telah menjadi motor utama pertumbuhan Nvidia sejak peluncuran ChatGPT pada akhir 2022. Nvidia berhasil memposisikan diri sebagai pemimpin global dalam pengembangan unit pemrosesan grafis (GPU) yang menjadi otak di balik model bahasa besar (large language models).

    Lonjakan permintaan ini mendorong harga saham Nvidia melonjak lebih dari 15 kali lipat dalam lima tahun terakhir. Secara bulanan, saham Nvidia sudah naik lebih dari 15%, dan telah menguat 22% sejak awal 2025.

    Rally saham terbaru ini terjadi di tengah tekanan geopolitik dan pembatasan ekspor chip yang memukul penjualan Nvidia ke China. Namun, kekhawatiran tersebut mulai mereda, termasuk ketakutan bahwa model AI seperti DeepSeek dari China akan membuat permintaan chip berkurang.

    Pada Mei lalu, Nvidia menyampaikan bahwa pembatasan ekspor terhadap chip H20 khusus pasar China berpotensi menghilangkan pendapatan hingga US$8 miliar.

    “Pasar China yang bernilai US$50 miliar pada dasarnya kini tertutup bagi industri AS,” kata CEO Nvidia Jensen Huang dalam paparan kinerja Mei lalu.

    Sebelumnya Huang menyebutkan bahwa larangan penjualan chip ke China akan menjadi kerugian besar bagi perusahaan.

  • Jejak Karir Rakhmad Dewanto, Dirut Baru PLN EPI

    Jejak Karir Rakhmad Dewanto, Dirut Baru PLN EPI

    Bisnis.com, JAKARTA — PT PLN Energi Primer Indonesia (PLN EPI) merombak susunan direksi. Para pemegang saham pun menunjuk Rakhmad Dewanto sebagai direktur utama.

    Rakhmad menggantikan Iwan Agung Firstantara pada pucuk pimpinan subholding PT PLN (Persero) tersebut.

    Rakhmad bukan orang baru di PLN EPI. Sebelumnya, dia menjabat sebagai direktur gas dan BBM. Adapun, kini posisi direktur gas dan BBM PLN EPI ditempati oleh Erma Melina Sarahwati.

    Dilansir dari situs PLN EPI, Rakhmad lahir di Madiun pada 20 April 1977. Dia menyelesaikan pendidikan S1 Akuntansi dari Universitas Indonesia (UI) pada 2001.

    Rakhmad berpengalaman di dunia minyak dan gas bumi (migas). Dia pernah menduduki beberapa posisi penting di Total E&P Indonesia (sekarang dikenal sebagai TotalEnergies) di antaranya senior accountant selama 2003 hingga 2016.

    Di perusahaan itu, Rakhmad juga pernah menjabat sebagai head of gas revenue service antara 2006 hingga 2011. Lalu, dia menjabat head of market research pada 2011 hingga 2012,

    Rakhmad kemudian menjabat head of domestic gas sales department pada 2012 hingga 2014 dan head of export & domestic gas sales department pada 2014 hingga 2017.

    Pada 2018, dia pindah ke PT Pertamina Hulu Mahakam dan berkarir sebagai manager commercial business development & strategic planning.

    Pada perusahaan tersebut, Rakhmad kemudian menjabat head of business development & strategic planning division pada 2019 hingga 2020. Selanjutnya, dia menjabat sebagai VP commercial/senior manager commercial pada 2020 hingga 2021.

    Adapun, sebelum berpindah ke Subholding PLN EPI, Rakhmad menjabat sebagai direktur operasi & komersial PT Nusantara Regas pada 2021 hingga 2022.

  • Prospek Bisnis Batu Bara Jika Pemerintah Kenakan Bea Keluar

    Prospek Bisnis Batu Bara Jika Pemerintah Kenakan Bea Keluar

    Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah tengah menggodok wacana pengenaan bea keluar batu bara dan emas untuk menambah pundi-pundi penerimaan negara. Namun, langkah ini mendapat keberatan dari para pelaku usaha batu bara di tengah kondisi permintaan yang lesu.

    Usulan pengenaan bea keluar untuk emas dan batu bara muncul dalam pembahasan antara Kementerian Keuangan dengan Komisi XI DPR RI di Panja Penerimaan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026.

    Untuk emas, pada dasarnya memang sudah dikenai bea keluar seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38/2024. Hanya saja, yang dikenai bea keluar hanya emas mentah/konsentrat/dore bullion, tidak dengan emas batangan/perhiasan.

    Sementara untuk batu bara, sudah tidak termasuk komoditas yang dikenai bea keluar sejak 2006. Komoditas batu bara hanya dikenai tarif royalti, yang tergolong sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

    Atas usulan DPR tersebut, Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu Febrio Nathan Kacaribu menyebut bahwa pihaknya segera berkoordinasi dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk mendiskusikan wacana pengenaan bea keluar untuk komoditas emas dan batu bara.

    “Kami berterima kasih untuk masukkan itu dari DPR. Tentunya kami akan konsolidasi dengan kementerian/lembaga terkait khususnya Kementerian ESDM,” ujar Febrio di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (8/7/2025).

    Sementara itu, Kementerian ESDM menilai wacana pengenaan bea keluar batu bara dan emas perlu dikaji secara mendalam.

    Menurut Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung, pengenaan bea keluar, khususnya untuk batu bara, perlu memperhatikan kondisi pasar. Sebab, bila kebijakan ini diterapkan saat permintaan pasar lemah, industri batu bara dalam negeri bisa tertekan.

    “Kalau permintaannya lemah, [lalu] kenakan bea keluar, justru ini akan berdampak. Jadi ini enggak ada yang beli juga. Jadi kita melihat kompetitif dari komoditas yang kita miliki,” jelas Yuliot.

    Namun demikian, Yuliot mengatakan, pihaknya akan duduk bersama dengan Kemenkeu untuk membahas wacana tersebut.

    Dampak ke Bisnis Batu Bara

    Pelaku usaha batu bara merasa keberatan dengan wacana pengenaan bea keluar terhadap komoditas emas hitam.

    Plt Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Gita Mahyarani menilai langkah pemerintah itu kian menambah beban pengusaha. Sebab, selama ini pelaku usaha telah dikenai kewajiban membayar royalti batu bara. Di samping itu, saat ini harga batu bara juga tengah lesu. 

    “Rencana pemberlakuan bea masuk ini tentunya akan menambah lagi beban bagi perusahaan batu bara. Selama ini sudah ada royalti juga. Belum lagi pengenaan ini makin tidak tepat dengan kondisi harga batu bara saat ini,” kata Gita kepada Bisnis, Selasa (8/7/2025) malam.

    Selain itu, Gita menyebut, perusahaan batu bara juga tengah dihadapkan pada beban operasional yang meningkat lantaran harga bahan bakar B40 naik signifikan.

    Dia menuturkan, APBI sejatinya mendukung kebijakan pemerintah yang mampu mendorong keberlangsungan usaha serta upaya peningkatan penerimaan negara.

    Namun, terkait rencana pemerintah akan menerapkan bea keluar atas batu bara, dia mengingatkan pemerintah untuk melakukan kajian mendalam terkait hal tersebut lebih dulu.

    “Sehingga baik keberlangsungan usaha, ketahanan energi nasional serta peningkatan penerimaan negara menjadi tolak ukur yang berkesinambungan antara pelaku usaha pertambangan serta industri pendukungnya dan juga pemerintah,” jelas Gita.

    Senada, Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi, Mineral dan Batubara Indonesia (Aspebindo) Anggawira mendukung semangat pemerintah untuk menambah nilai tambah sektor tambang nasional, termasuk lewat kebijakan fiskal seperti bea keluar.

    Namun, dalam konteks batu bara, kebijakan ini perlu dikaji ulang secara lebih komprehensif, agar tidak menggerus daya saing dan kelangsungan industri.

    “Perlu kajian dampak ekonomi menyeluruh, termasuk simulasi sensitivitas terhadap harga batu bara global,” katanya.

    Menurut Anggawira, pengenaan bea keluar itu berpotensi memberikan dampak negatif bagi pelaku usaha. Dampak itu seperti menurunkan daya saing ekspor.

    Lalu, bea keluar bisa mengurangi margin pengusaha batu bara, terutama bagi produsen dengan kualitas batu bara rendah (low-CV), yang pasar ekspornya sensitif terhadap harga. Apalagi, negara pesaing seperti Australia, Rusia, atau Afrika Selatan tidak mengenakan bea serupa.

    Selain itu, dampak dari kebijakan itu juga bisa membuat banyak pelaku batu bara, khususnya kelas menengah dan kecil, kesulitan memenuhi kewajiban keuangan baru di tengah volatilitas harga global.

    Di samping itu, kebijakan tersebut juga berpotensi membuat investor menahan ekspansi. Industri hilir, logistik, hingga pelabuhan bisa ikut terdampak.

    Tak hanya itu, kebijakan itu pun berpotensi membuat ekspor menurun dan mengganggu target produksi serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

    “Bila ekspor melemah, maka target lifting dan PNBP dari sektor ini justru bisa turun,” imbuh Anggawira.

    Lebih lanjut, dia pun mengingatkan pemerintah untuk membedakan antara pemain besar dan kecil. Menurutnya, pemerintah jangan menyamakan beban fiskal bagi semua level pelaku usaha. UMKM tambang butuh perlakuan khusus.

    Dia juga menekankan bahwa penggunaan bea keluar harus jelas arahnya.

    “Apakah untuk mendukung hilirisasi, pendanaan transisi energi, atau perlindungan lingkungan? Transparansi penting,” katanya.

    Dia juga menyarankan, jika pengenaan bea keluar diberlakukan, sebaiknya dibuat dengan skema insentif-diskriminatif atau reward and punishment. Anggawira mencontohkan, perusahaan yang menyuplai ke dalam negeri (DMO) dan melakukan hilirisasi bisa mendapatkan pengurangan atau penghapusan bea keluar.

    Anggawira menambahkan bahwa Aspebindo siap berdialog dan memberikan masukan konstruktif demi menciptakan kebijakan yang berkeadilan, berkepastian, dan mendukung daya saing nasional.

    “Prinsipnya, jangan sampai niat menambah penerimaan negara justru mengganggu kelangsungan sektor yang menopang energi nasional dan ekonomi daerah,” ucapnya.

    Permintaan dari China Melemah

    Permintaan batu bara dari China, pasar ekspor utama Indonesia, melemah sepanjang awal tahun ini. Impor batu bara Indonesia oleh China turun secara tahunan (yoy) dalam 3 bulan berturut-turut. Bea Cukai China mencatat impor batu bara dari Indonesia mencapai 14,28 juta ton pada April 2025. Volume impor itu merosot 20% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

    Merosotnya permintaan dari China lantaran stok dari negara tersebut masih melimpah. Terlebih, produksi batu bara China cukup tinggi.

    Ketua Badan Kejuruan Teknik Pertambangan Persatuan Insinyur Indonesia (BK Tambang PII) Rizal Kasli menyebut, lesunya permintaan batu bara dari China itu membuat harga batu bara terus turun. Menurutnya, dengan kondisi lesunya harga dan permintaan batu bara, wacana pengenaan bea keluar akan menekan industri batu bara.

    “Dampaknya akan sangat signifikan bagi industri pertambangan batu bara mengingat saat ini komoditas tersebut sedang tertekan harganya. Tentu akan berdampak kepada keuntungan bisnis tersebut,” ujar Rizal kepada Bisnis, Rabu (9/7/2025).

    Ucapan Rizal tentu bukan isapan jempol. Harga batu bara acuan (HBA) sepanjang tahun ini relatif turun. Tercatat HBA untuk batu bara kalori tinggi dalam kesetaraan nilai kalori 6.322 kcal/kg GAR pada periode pertama Juli 2025 ditetapkan sebesar US$107,35 per ton. Angka itu turun dibanding Januari 2025 yang senilai US$124,01 per ton.

    Rizal menuturkan, pemerintah memang sedang menggenjot pendapatan negara di tengah gejolak geopolitik global yang saat ini terjadi. Namun, dia mengingatkan agar pemerintah dapat mempertimbangkan kembali rencana pengenaan bea kelauar untuk emas dan batu bara itu.

    “Mengingat saat ini juga terjadi kelesuan impor batu bara oleh China yang menjadi penentu harga batu bara global,” imbuhnya.

    Selain itu, dia mengatakan, para pelaku usaha juga ternah menanggung beban pengenaan royalti. Saat ini, kata Rizal, pemerintah juga sudah melakukan perubahan untuk prosentase royalti terhadap komoditas batu bara dan bahkan ada yang mencapai 28% terutama untuk Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B) atau kelanjutan perpanjangannya.

    “Apabila harga terus menurun dan pengeluaran tambahan meningkat tentu saja akan dilakukan rasionalisasi stripping ratio sehingga terganggunya konservasi batu bara ke depan,” ucap Rizal.

  • Jungkir Balik RI Lobi Tarif Impor AS, Berbuah Manis?

    Jungkir Balik RI Lobi Tarif Impor AS, Berbuah Manis?

    Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah negara saat ini sedang disibukkan dengan negosiasi dengan Amerika Serikat (AS) dengan tujuan diberikan tarif yang lebih rendah oleh Presiden Donald Trump. Indonesia pun menjadi salah satu negara yang terus mengupayakan lobi dagang dengan Negara Adidaya itu.

    Indonesia masih di bawah ancaman penerapan tarif resiprokal sebesar 32% yang diumumkan Trump pada April tahun ini. Trump memberi 90 hari waktu negosiasi untuk menurunkan tarif tersebut. Jika tidak ditemukan kesepakatan maka tarif tersebut akan berlaku pada 9 Juli 2025.

    Bahkan, terbaru Trump mengancam akan kenakan tarif tambahan sebesar 10% ke negara mana pun yang dianggap sejalan dengan kebijakan anti-Amerika yang diusung BRICS. Indonesia sendiri termasuk negara yang hadiri KTT BRICS di Brasil.

    Pada awal-awal masa negosiasi usai pengumuman ancaman tarif pada awal April 2025, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto bersama Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono dan Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional Mari Elka telah bertemu dengan US Trade Representative (USTR) maupun US Secretary of Commerce untuk bernegosiasi soal tarif Trump.

    “Pembahasan ini guna mendiskusikan opsi yang ada terkait kerja sama bilateral antara Indonesia dan Amerika Serikat yang kita berharap bahwa situasi daripada perdagangan yang kita kembangkan bersifat adil dan imbang,” tutur Airlangga dalam konferensi pers secara daring, Jumat (18/4/2025).

    Adapun dalam pertemuan tersebut, belum ada kesepakatan akhir dan baru disepakati kerangka acuan negosiasi.

    Kedua pihak optimistis untuk menemukan titik temu dan jalan terbaik terkait negosiasi tarif yang saling menguntungkan bagi kedua negara. Indonesia telah menawarkan konsensi kepada AS, mulai dari peningkatan impor hingga kemudahan investasi dan bisnis.

    Tak hanya itu, pemerintah juga berencana untuk melakukan investasi di AS melalui Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau Danantara dalam rangka negosiasi tarif resiprokal.

    Airlangga menyampaikan bahwa upaya tersebut menjadi satu dari sederet tawaran yang diajukan pemerintah Indonesia. “[Perjanjian tersebut termasuk] terkait dengan rencana investasi, termasuk di dalamnya oleh BUMN dan Danantara,” tutur Airlangga dalam konferensi pers terkait perkembangan negosiasi tarif Trump di kantornya, Kamis (3/7/2025).

    Bahkan, usai mendampingi Presiden Prabowo Subianto di KTT BRICS yang dilaksanakan di Rio de Janeiro, Brasil pada Minggu (6/7/2025), Airlangga segera terbang ke AS untuk melanjutkan negosiasi tarif.

    Pengumuman Trump

    Namun, di tengah proses negosiasi intens yang sedang berjalan, Trump mengumumkan tetap mengenakan tarif impor sebesar 32% ke barang-barang asal Indonesia.

    Juru Bicara Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Haryo Limanseto mengungkapkan bahwa pengumuman tarif tersebut sebenarnya di luar dugaan pemerintah, mengingat tenggat waktu perundingan baru akan jatuh pada 9 Juli 2025. Kendati demikian, Trump sudah mengumumkan tarif baru pada 7 Juli 2025 waktu AS.

    “Tentu kita juga surprise [terkejut] ya dengan keputusan ini, karena keluar lebih cepat sebelum tanggal 9. Tapi kami melihat pemerintah AS saat ini tampaknya mempertimbangkan secara global, bukan lagi per negara,” ujar Haryo dalam keterangan pers di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Selasa (9/7/2025).

    Dia menuturkan bahwa notabenenya seluruh dokumen dan data yang diminta AS sebenarnya sudah disampaikan lengkap oleh Indonesia dalam proses negosiasi yang berjalan selama beberapa pekan terakhir.

    Hanya saja, pemerintah menyadari bahwa keputusan akhir ada di tangan Trump. Meski begitu, pemerintah menilai proses negosiasi belum berakhir. Haryo mengingatkan bahwa surat yang ditulis Trump ke Presiden Prabowo Subianto menyebut masih ada ruang pembicaraan lebih lanjut, setidaknya sampai tarif 32% berlaku pada 1 Agustus 2025.

    “Kesempatan masih terbuka. Kita kembali menyampaikan bahwa Indonesia saat ini sangat penting, sehingga perlu mendapatkan prioritas,” ungkapnya.

    Pemerintah pun masih berupaya keras melobi AS untuk menurunkan tarif resiprokal 32% yang sebelumnya diumumkan Presiden AS Donald Trump.

    Dia menegaskan bahwa angka 32% tersebut belum final karena masih ada ruang negosiasi yang terbuka, setidaknya sebelum berlaku pada 1 Agustus 2025 seperti yang diumumkan Trump.

    “Targetnya kita [setara dengan yang] rendah di Asean atau mungkin lebih rendah,” ujar Haryo.

    Adapun, tarif resiprokal 32% untuk Indonesia lebih rendah dari yang dikenai Trump atas Kamboja, Myanmar (40%), Laos (40%), Kamboja (36%), dan Thailand (36%). Hanya saja, tarif Indonesia itu lebih tinggi dari Malaysia (25%), Brunei Darussalam (24%), Vietnam (20%), Filipina (17%), dan Singapura (10%).

  • Risalah Rapat The Fed: Silang Pendapat Pejabat Bank Sentral AS soal Dampak Tarif

    Risalah Rapat The Fed: Silang Pendapat Pejabat Bank Sentral AS soal Dampak Tarif

    Bisnis.com, JAKARTA — Perbedaan pandangan di antara para pejabat Federal Reserve atau The Fed terkait prospek suku bunga dipicu oleh beragam ekspektasi terhadap dampak tarif terhadap inflasi, menurut risalah pertemuan terbaru bank sentral AS.

    Dalam risalah pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) pada 17–18 Juni 2025 yang dikutip dari Bloomberg pada Kamis (10/7/2025) disebutkan meski beberapa peserta rapat menilai tarif hanya akan menyebabkan kenaikan harga satu kali dan tidak berdampak pada ekspektasi inflasi jangka panjang, sebagian besar peserta menyoroti risiko bahwa tarif bisa berdampak lebih persisten terhadap inflasi.

    Proyeksi suku bunga terbaru menunjukkan bahwa 10 dari 19 pejabat memperkirakan akan ada setidaknya dua kali pemangkasan suku bunga sebelum akhir tahun ini. Namun, tujuh pejabat memperkirakan tidak akan ada pemangkasan sama sekali pada 2025, sementara dua lainnya memproyeksikan satu kali pemangkasan.

    Para pembuat kebijakan mencermati adanya ketidakpastian yang signifikan terkait waktu, besaran, dan durasi dari dampak tarif terhadap inflasi. Tergantung bagaimana kebijakan tarif itu memengaruhi perekonomian dan hasil negosiasi dagang, pandangan para pejabat pun beragam terkait potensi lonjakan inflasi.

    Dalam pertemuan tersebut, The Fed memutuskan secara bulat untuk mempertahankan suku bunga acuan di kisaran 4,25%–4,5% untuk keempat kalinya secara berturut-turut. Keputusan ini kembali menuai kritik dari Presiden AS Donald Trump yang berulang kali mendorong penurunan suku bunga.

    Kompleksitas Baru Akibat Tarif

    Risalah tersebut menegaskan kebijakan ekonomi yang terus berkembang cepat, termasuk perluasan tarif oleh Presiden Trump terhadap mitra dagang utama AS, telah menyulitkan pengambilan keputusan moneter tahun ini. Selain itu, perubahan kebijakan pajak, imigrasi, dan regulasi juga turut menyumbang ketidakpastian ekonomi.

    “Peserta menilai bahwa ketidakpastian terhadap prospek ekonomi meningkat seiring dinamika kebijakan dagang, kebijakan pemerintah lainnya, dan risiko geopolitik, meski secara keseluruhan ketidakpastian telah menurun dibandingkan dengan pertemuan sebelumnya,” demikian kutipan risalah tersebut.

    Sebagian besar ekonom memperkirakan tarif akan mendorong inflasi dan membebani pertumbuhan ekonomi. Ketua The Fed Jerome Powell sebelumnya menyatakan bahwa bank sentral kemungkinan sudah menurunkan suku bunga lebih jauh tahun ini jika bukan karena tarif.

    Namun, sejauh ini data ekonomi belum menunjukkan dampak menyeluruh dari tarif tersebut. Hal ini membuka perdebatan di kalangan pejabat bank sentral mengenai kapan, seberapa besar, dan selama apa tarif akan mendorong inflasi. Data inflasi konsumen untuk bulan Juni akan menjadi fokus utama pada 15 Juli mendatang.

  • Trump Umumkan Tarif Baru: Brasil Kena 50%, Irak-Libya 30%

    Trump Umumkan Tarif Baru: Brasil Kena 50%, Irak-Libya 30%

    Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali melayangkan gelombang baru surat pemberitahuan tarif pada Rabu (9/7/2025) waktu setempat, termasuk bea masuk sebesar 50% untuk Brasil, salah satu tarif tertinggi yang diumumkan sejauh ini dan dijadwalkan mulai berlaku pada Agustus.

    Dalam suratnya kepada Brasil yang dikutip dari Bloomberg pada Kamis (10/9/2025), Trump mengaitkan tarif tersebut dengan penanganan terhadap mantan Presiden Jair Bolsonaro, yang saat ini menghadapi dakwaan terkait dugaan upaya kudeta. 

    “Persidangan ini seharusnya tidak berlangsung. Ini adalah perburuan penyihir yang harus segera dihentikan!” tulis Trump dalam surat tersebut.

    Selain Brasil, Trump juga menetapkan tarif 30% terhadap produk impor dari Aljazair, Libya, Irak, dan Sri Lanka. Sementara itu, Brunei dan Moldova dikenakan tarif 25%, dan Filipina sebesar 20%. Tarif ini sebagian besar sesuai dengan pengumuman awal Trump pada April lalu, meskipun tarif Irak diturunkan dari 39% dan Sri Lanka dari 44%.

    Trump mulai mengirimkan surat pemberitahuan tarif sejak Senin (7/7/2025), menjelang tenggat waktu pekan ini bagi negara-negara mitra untuk menyelesaikan negosiasi dagang dengan pemerintah AS. 

    Dalam unggahan di media sosial, Trump menyatakan akan merilis setidaknya tujuh surat tarif pada Rabu pagi, dan tambahan tarif lainnya akan diumumkan pada sore hari.

    Brasil menjadi negara pertama yang menerima surat pemberitahuan tarif dari Trump meskipun sebelumnya tidak masuk dalam daftar mitra dagang yang diumumkan saat peluncuran tarif balasan pada April lalu.

    Surat kepada Brasil tersebut juga dinilai sebagai sinyal peringatan bagi blok negara berkembang BRICS, yang selama ini dipandang Trump sebagai ancaman terhadap dominasi dolar AS sebagai mata uang cadangan global.

    Brasil termasuk tidak biasa dalam daftar target tarif terbaru Trump, karena justru mencatat defisit perdagangan dengan AS, berbeda dengan mayoritas negara lain yang mencetak surplus besar terhadap Amerika. 

    Berdasarkan data Biro Sensus AS, sepanjang 2024 Brasil mengimpor produk dari AS senilai sekitar US$44 miliar, sementara ekspor Brasil ke AS tercatat sekitar US$42 miliar.

    Brasil saat ini menempati posisi 20 besar mitra dagang utama AS. Dari tujuh negara lain yang disebut dalam pengumuman tarif Trump pada Rabu (9/7/2025), hanya Filipina, dengan nilai ekspor ke AS mencapai US$14,1 miliar tahun lalu, yang masuk ke dalam daftar 50 mitra dagang utama AS.

    Sementara itu, nilai impor gabungan dari enam negara sisanya pada 2024 kurang dari US$15 miliar, dengan Irak, pengekspor utama minyak mentah, menyumbang sekitar separuh dari total tersebut.

    Saat ditanya mengenai dasar penetapan tarif dalam sebuah acara di Gedung Putih, Trump menjelaskan bahwa perhitungannya berdasarkan akal sehat, defisit perdagangan, sejarah hubungan dagang selama bertahun-tahun, dan angka-angka mentah.

    “Mereka didasarkan pada fakta yang sangat, sangat substansial, serta juga sejarah masa lalu,” ujarnya.

    Sejauh ini, peringatan tarif tambahan dari Trump belum terlalu mengguncang pasar keuangan, dengan pelaku pasar lebih fokus pada keputusan Trump untuk memperpanjang tenggat waktu penerapan tarif balasan hingga 1 Agustus 2025. 

    Langkah ini memberikan ruang tambahan bagi mitra dagang untuk menyelesaikan pembicaraan dan awalnya sempat menimbulkan keraguan di Wall Street soal keseriusan Trump dalam mengeksekusi ancaman tarifnya.

    Namun, Trump memperkuat komitmennya pada Selasa (8/7/2025) dengan menyatakan bahwa semua pembayaran akan jatuh tempo dan wajib dibayarkan mulai 1 Agustus 2025 dan tidak ada perpanjangan untuk tarif yang berlaku per negara.

    Saat ditanya oleh wartawan tentang dasar perhitungan tarif terhadap negara mitra, Trump menjawab bahwa itu berdasarkan akal sehat, defisit perdagangan, catatan hubungan dagang selama bertahun-tahun, dan data mentah. 

    Dia menambahkan, tarif tersebut didasarkan pada fakta yang sangat substansial, termasuk juga sejarah masa lalu.

    Adapun, Trump juga meningkatkan tekanan terhadap dua mitra dagang utama. Uni Eropa disebut bisa segera menerima tarif sepihak meski negosiasi masih berlangsung, sementara India akan dikenakan tambahan tarif 10% karena keterlibatannya dalam blok negara berkembang BRICS, yang menurut Trump mengancam dominasi dolar AS sebagai mata uang global.

    Selain itu, Trump juga melontarkan ancaman tarif sektoral. Dia mengusulkan tarif hingga 50% terhadap produk tembaga, yang mendorong harga logam tersebut melonjak hingga 17% di New York pada Selasa, rekor lonjakan harian. Dia juga mengancam akan mengenakan tarif setinggi 200% untuk impor farmasi, kecuali produsen obat global memindahkan produksi mereka ke AS dalam waktu satu tahun.

    Gelombang surat tarif dan ancaman baru ini menandai babak terbaru dari agenda perdagangan Trump yang sarat gejolak, memicu volatilitas pasar dan kekhawatiran di kalangan konsumen, pelaku usaha, serta mitra dagang terkait dampaknya terhadap arus perdagangan dan stabilitas ekonomi global.

    Trump pertama kali mengumumkan rencana tarif balasan ini pada 2 April 2025. Namun, setelah reaksi pasar yang negatif, dia menurunkan tarif menjadi 10% selama periode negosiasi selama 90 hari yang seharusnya berakhir pada Rabu (9/7/2025) sebelum akhirnya diperpanjang tiga pekan.

    Adapun surat tarif yang dikirimkan Trump pada Senin sebelumnya menyasar negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, Afrika Selatan, Indonesia, Thailand, dan Kamboja. Sebagian besar tarif tersebut konsisten dengan pengumuman awal Trump.

    Meski Trump mempromosikan surat pemberitahuan tarif ini sebagai bentuk kesepakatan, perjanjian yang berhasil dia capai sejauh ini dengan Inggris dan Vietnam belum mencakup seluruh aspek perdagangan dan menyisakan banyak ketidakjelasan. 

    Sementara itu, Trump juga telah mencapai kesepakatan gencatan dengan China untuk menurunkan tarif dan memperlancar arus impor mineral penting.