Category: Bisnis.com Ekonomi

  • Industri Padat Karya di Persimpangan Jalan, Badai PHK Masih Jadi Momok

    Industri Padat Karya di Persimpangan Jalan, Badai PHK Masih Jadi Momok

    Bisnis.com, JAKARTA – Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor padat karya masih terus terjadi seiring tekanan yang dihadapi industri.

    Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani mengatakan, saat ini fenomena PHK di industri padat karya terus meningkat, terutama di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang mengalami kesulitan.

    “Tapi memang kalau lihat kondisinya, PHK ini terus meningkat, dan terutama di dalam sektor-sektor yang juga menjadi sektor padat karya seperti TPT, tekstil, sektor-sektor yang sangat tertekan pada hari ini,” kata Shinta dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (29/7/2025).

    Untuk itu, menurutnya, pemerintah perlu menggelontorkan berbagai kebijakan dukungan agar sektor industri padat karya dapat bertahan dan terus menciptakan lapangan kerja.

    Dukungan tersebut mencakup insentif fiskal seperti pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) jasa subkontrak dan bahan baku, percepatan restitusi PPN, penghapusan bea masuk bahan baku untuk industri, perluasan skema PPh 21 ditanggung pemerintah, serta akses pembiayaan yang lebih inklusif.

    Di samping itu, dunia usaha juga mengusulkan stimulus biaya tenaga kerja dan energi melalui subsidi iuran BPJS Kesehatan untuk sektor terdampak, diskon listrik, subsidi gas, serta pengembangan energi terbarukan melalui PLTS atap dengan skema net-metering.

    Shinta menjelaskan bahwa seluruh langkah ini dirancang untuk menjaga arus kas, mempertahankan kapasitas produksi, dan mencegah gelombang PHK lanjutan.

    “Industri padat karya kita tengah berada di persimpangan jalan. Jika tidak diberi perlindungan dan insentif yang cukup, maka kita berpotensi kehilangan sektor yang selama ini menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar,” kata Shinta.

    Adapun, dalam survei terbaru Apindo, 50% responden menyatakan telah mengurangi tenaga kerjanya atau melakukan PHK imbas ketidakpastian ekonomi yang tengah terjadi saat ini. Kondisi ini diperkirakan terus berlangsung ke depannya.

    Dalam kesempatan terpisah, Shinta menuturkan, situasi ekonomi global yang terus berubah, kondisi geopolitik yang semakin tinggi, hingga proyeksi pertumbuhan yang terus menurun, telah membuat banyak perusahaan tidak memiliki cukup informasi untuk mengambil keputusan.

    “Akhirnya, banyak yang bersikap dengan menahan ekspansi, memperlambat rekrutmen, dan fokus pada efisiensi dibanding mengambil risiko baru,” kata Shinta dalam sambutannya di Kantor BRIN, Jakarta Pusat, Senin (28/7/2025).

    Kondisi itu bahkan terbukti melalui survei terbaru yang dilakukan Apindo. Shinta mengungkapkan, survei Apindo menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden menyatakan telah mengurangi tenaga kerja, dan masih akan terus melakukan hal ini dalam jangka waktu yang tidak dapat ditentukan.

    “Dalam survei Apindo yang baru saja kami lakukan, lebih dari 50% responden menyatakan telah mengurangi tenaga kerja, dan masih akan terus melakukan hal ini,” tuturnya.

    Peluang dari Tarif Trump

    Negosiasi Indonesia dan Amerika Serikat (AS) yang menghasilkan kesepakatan penurunan tarif dagang resiprokal dari 32% menjadi 19% untuk produk Indonesia dinilai dapat meminimalisir risiko lonjakan PHK di industri padat karya.

    Shinta menilai jika Indonesia dikenai tarif impor yang lebih tinggi maka akan berdampak pada ekspor TPT yang dikhawatirkan bisa memicu gelombang PHK.

    “Kalau sekarang kita enggak punya tarif yang lebih baik dari kompetitor dan ada pengalihan order, itu kan jelas akan mengganggu nantinya tenaga kerja di Indonesia juga, nanti PHK akan semakin lagi bertambah. Jadi ini hal-hal contoh yang coba dilakukan untuk meminimalisir PHK yang sudah ada,” ujarnya.

    Dengan tarif resiprokal yang dikenakan terhadap Indonesia lebih kompetitif dibandingkan negara kompetitor, menurut Shinta, dapat menjadi peluang Indonesia untuk menarik investasi di industri TPT.

    “Ke depan, kita masih melihat berbagai peluang seperti contohnya kalau memang tarif resiprokal Indonesia ini lebih rendah daripada negara kompetisi di industri TPT, seperti Bangladesh, Vietnam, dan lain-lain,” kata Shinta.

    Menurutnya, jika pengenaan tarif resiprokal terhadap Indonesia lebih rendah, maka peluang investor asing mengalihkan investasi ke Indonesia akan meningkat.

    Bahkan, Shinta menyebut beberapa perusahaan asing dari China sudah mulai mengalihkan investasi ke Tanah Air, terutama di sektor ritel.

    “Kalau ini [tarif resiprokal Trump] memang kita bisa lebih kompetitif, tidak menutup kemungkinan kita ada juga relokasi investasi untuk industri ini, seperti China juga ada beberapa saya rasa yang mulai masuk investasi ke TPT,” ungkapnya.

    Insentif untuk Industri Padat Karya

    Peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai pemerintah perlu mempertimbangkan kembali pemberian paket insentif fiskal ke sejumlah sektor industri padat karya, seperti keringanan pajak hingga subsidi energi.

    Hanya saja, Yusuf menilai usulan insentif fiskal untuk industri padat karya perlu dilakukan secara selektif dan berbasis pemetaan sektoral. Menurutnya, situasi ekonomi saat ini berbeda dengan masa pandemi Covid-19 yang mendorong insentif diberikan secara luas.

    “Tidak semua sektor padat karya mengalami tekanan yang sama. Misalnya, sektor tekstil dan produk tekstil [TPT] mungkin lebih tertekan dibandingkan sektor makanan-minuman atau alas kaki. Pemetaan ini penting untuk memastikan bahwa insentif tidak diberikan secara menyamaratakan, melainkan tepat sasaran,” ujar Yusuf kepada Bisnis.

    Dia menjelaskan bahwa meskipun ketidakpastian global masih tinggi akibat konflik geopolitik, kebijakan tarif AS, perlambatan ekonomi China, dan tekanan nilai tukar serta suku bunga, dampaknya saat ini bersifat lebih sektoral dan tidak menyeluruh seperti saat pandemi.

    Kendati demikian, ada satu persamaan yang menurutnya signifikan yaitu perlambatan permintaan—baik dari pasar ekspor maupun domestik. Perlambatan permintaan, sambungnya, menekan daya saing dan keberlangsungan sektor padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja informal dan berupah rendah.

    Di samping itu, Yusuf mengingatkan bahwa ruang fiskal pemerintah saat ini tidak seleluasa masa pandemi. Oleh karena itu, insentif harus diprioritaskan untuk sektor yang memiliki efek pengganda (multiplier effect) yang tinggi terhadap penyerapan tenaga kerja dan pemulihan permintaan dalam negeri.

    “Insentif seperti PPh 21 Ditanggung Pemerintah [DTP] untuk pekerja upah rendah dan relaksasi PPh Badan bisa saja dipertimbangkan lagi, tetapi skalanya mungkin tidak sebesar saat pandemi,” ucapnya.

    Tak hanya keringanan pajak, Yusuf juga menilai pemerintah bisa mempertimbangkan subsidi biaya energi industri, seperti listrik dan gas pada jam sibuk, yang menurutnya merupakan komponen signifikan dalam struktur biaya produksi.

    Selain itu, dia juga menilai bahwa insentif non fiskal seperti fasilitasi ekspor dapat menjadi opsi yang berdampak nyata. Yusuf menyarankan langkah-langkah seperti pengurangan tarif logistik, simplifikasi dokumen ekspor, hingga percepatan restitusi PPN dapat membantu pelaku usaha.

    “Insentif semacam ini tidak langsung mengurangi beban fiskal, tapi memberi ruang napas cukup besar bagi pengusaha,” tutupnya.

  • IMF Naikkan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global 2025 Jadi 3%

    IMF Naikkan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global 2025 Jadi 3%

    Bisnis.com, JAKARTA — Dana Moneter Internasional (IMF) merevisi naik proyeksi pertumbuhan ekonomi global untuk 2025 dan 2026 yang didorong oleh lonjakan belanja menjelang kenaikan tarif AS pada 1 Agustus serta turunnya tarif impor efektif yang dikenakan oleh AS.

    Dalam laporan World Economic Outlook edisi Juli 2025 yang dikutip pada Rabu (30/7/2025), IMF menaikkan proyeksi pertumbuhan global 2025 sebesar 0,2% menjadi 3,0% dan 2026 naik 0,1% menjadi 3,1%. 

    Meski demikian, angka tersebut masih lebih rendah dari proyeksi awal Januari sebesar 3,3% dan rata-rata historis pra-pandemi sebesar 3,7%.

    “Kondisi ini mencerminkan percepatan belanja yang lebih kuat dari perkiraan menjelang kenaikan tarif; tarif efektif rata-rata AS yang lebih rendah dari yang diumumkan pada April; perbaikan kondisi keuangan, termasuk karena pelemahan dolar AS; serta ekspansi fiskal di sejumlah negara besar,” demikian kutipan laporan tersebut

    Sementara itu, inflasi global diperkirakan menurun ke 4,2% pada 2025 dan 3,6% pada 2026. Namun, IMF menilai inflasi di AS masih berisiko tetap tinggi akibat dampak tarif terhadap harga konsumen pada paruh kedua tahun ini.

    Dalam laporannya, IMF menyebut, ketidakpastian global terbilang masih tinggi meskipun tarif impor efektif yang dikenakan AS mengalami penurunan. 

    IMF mencatat tarif efektif AS, yang diukur berdasarkan rasio penerimaan bea masuk terhadap total impor barang, telah turun dari 24,4% pada laporan IMF April 2025 menjadi 17,3%. Sementara itu, tarif rata-rata global turun dari 4,1% menjadi 3,5%.

    Teranyar, China dan AS sepakat untuk menurunkan tarif yang dikenakan akibat eskalasi pasca 2 April, berlaku selama 90 hari hingga 12 Agustus. Sementara itu, jeda pemberlakuan tarif tinggi AS terhadap sebagian besar mitra dagangnya kini akan berakhir pada 1 Agustus, mundur dari tenggat awal 9 Juli.

    Di sisi lain, IMF memperingatkan bahwa perekonomian global masih menghadapi risiko besar, termasuk potensi kembalinya tarif tinggi, ketegangan geopolitik, dan defisit fiskal yang meningkat yang dapat mendorong kenaikan suku bunga serta memperketat kondisi keuangan global.

    Melansir Reuters, Kepala Ekonom IMF Pierre-Olivier Gourinchas menyebut perekonomian dunia masih terluka, dan akan terus terluka dengan tarif di level saat ini, meskipun tidak seburuk yang dikhawatirkan.

    Gourinchas mengatakan IMF tengah mengevaluasi perjanjian tarif baru sebesar 15% yang baru-baru ini dicapai AS dengan Uni Eropa dan Jepang, namun belum dimasukkan dalam proyeksi Juli. Dia menyebut tarif dalam kesepakatan ini masih sejalan dengan asumsi 17,3% dalam proyeksi IMF.

    “Saat ini kami belum melihat perubahan signifikan terhadap tarif efektif yang diberlakukan AS. Tapi masih belum pasti apakah kesepakatan ini akan bertahan atau akan dibatalkan,” katanya.

    Simulasi IMF menunjukkan pertumbuhan global 2025 akan lebih rendah 0,2% jika tarif maksimum yang diumumkan pada April dan Juli diberlakukan penuh.

    Meski ekonomi global dinilai tetap tangguh sejauh ini, IMF menilai distorsi akibat perdagangan masih membayangi, alih-alih didorong oleh kekuatan fundamental ekonomi.

    Gourinchas menyebut adanya dorongan besar dari perilaku penimbunan stok oleh pelaku usaha yang mencoba mendahului pemberlakuan tarif, namun efek ini tidak akan bertahan lama.

    “Dampaknya akan memudar dan menjadi beban bagi aktivitas ekonomi pada paruh kedua 2025 hingga awal 2026. Akan ada efek pembalikan dari percepatan itu,” jelasnya.

    Menurutnya, tarif diperkirakan tetap tinggi, terlihat dari mulai naiknya harga konsumen AS. Dia menyebut, tarif saat ini jauh lebih tinggi dibandingkan Januari atau Februari. Jika kondisi ini bertahan, pertumbuhan ekonomi global akan terus tertahan.

    Satu hal yang mencolok, menurut IMF, adalah depresiasi dolar AS—fenomena yang belum terlihat pada episode perang dagang sebelumnya. Pelemahan dolar membantu melonggarkan kondisi keuangan global, namun juga memperburuk beban tarif bagi negara lain.

    Proyeksi Pertumbuhan AS, Uni Eropa, Dan China

    Untuk AS, IMF memperkirakan pertumbuhan mencapai 1,9% pada 2025 dan naik tipis ke 2% pada 2026. Kebijakan pemotongan pajak dan belanja baru diperkirakan akan menambah defisit fiskal AS sebesar 1,5%, dengan pendapatan tarif hanya mampu menutupi setengahnya.

    Sementara itu, proyeksi pertumbuhan ekonomi kawasan euro dinaikkan 0,2% menjadi 1,0% pada 2025, dengan 2026 tetap di 1,2%. Revisi naik ini sebagian besar dipicu lonjakan ekspor farmasi Irlandia ke AS, yang tanpa itu, revisi hanya naik separuhnya.

    Untuk China, IMF menaikkan proyeksi pertumbuhan 2025 sebesar 0,8% dan 2026 naik 0,2% ke level 4,2%, mencerminkan pemulihan aktivitas ekonomi dan penurunan tarif AS–China setelah kesepakatan gencatan sementara.

    Secara keseluruhan, pertumbuhan negara berkembang dan emerging market diperkirakan mencapai 4,1% pada 2025 dan sedikit melambat ke 4,0% pada 2026.

    IMF juga merevisi naik proyeksi perdagangan dunia 2025 sebesar 0,9% menjadi 2,6%, namun menurunkan proyeksi 2026 sebesar 0,6% menjadi 1,9%.

  • AS-China Lanjutkan Negosiasi Gencatan Tarif, Trump Jadi Penentu Akhir

    AS-China Lanjutkan Negosiasi Gencatan Tarif, Trump Jadi Penentu Akhir

    Bisnis.com, JAKARTA – Amerika Serikat (AS) dan China akan melanjutkan pembicaraan untuk memperpanjang gencatan tarif menjelang tenggat dua pekan lagi, sementara Presiden Donald Trump akan mengambil keputusan akhir terkait kelanjutannya.

    Dalam pernyataannya di Stockholm, Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, yang memimpin delegasi AS bersama Perwakilan Dagang Jamieson Greer, mengungkapkan dirinya akan melaporkan perkembangan negosiasi kepada Trump pada Rabu (30/7/2025) waktu setempat.

    “Masih ada beberapa detail teknis yang perlu diselesaikan,” ujarnya kepada wartawan dikutip dari Bloomberg, usai pertemuan dua Hari dengan delegasi China yang dipimpin Wakil Perdana Menteri He Lifeng.

    Pernyataan itu muncul setelah media melaporkan bahwa delegasi China mengindikasikan kesepakatan perpanjangan gencatan tarif selama 90 hari. Menanggapi kabar tersebut, Bessent mengatakan China sedikit terburu-buru. 

    Saat ditanya apakah dia akan merekomendasikan perpanjangan, Bessent menjawab bahwa dirinya hanya akan menyampaikan fakta kepada Trump, dan keputusan ada di tangan Presiden.

    Putaran perundingan di Stockholm merupakan yang ketiga dalam kurun waktu kurang dari tiga bulan. Negosiasi dilakukan menjelang tenggat 12 Agustus, yang merupakan akhir masa suspensi tarif selama 90 hari. Perpanjangan selama 90 hari menjadi salah satu opsi yang dibahas, menurut Bessent.

    Di sisi lain, negosiator China Li Chenggang mengatakan kepada media bahwa kedua pihak sepakat untuk mempertahankan gencatan tarif, namun tidak merinci durasi perpanjangan tersebut. Dia menyebut pembicaraan di Stockholm berlangsung terbuka, mendalam, dan bertujuan memperkuat komunikasi jangka panjang.

    “Meski belum ada kesepakatan substantif, suasana pembicaraan terbilang konstruktif dan optimistis terhadap potensi kesepakatan di masa mendatang,” ujar Kelvin Lam, Ekonom Senior China di Pantheon Macroeconomics, London.

    Perundingan ini berlangsung setelah AS mencapai kesepakatan tarif sementara dengan Jepang dan Uni Eropa. Menurut Bessent, delegasi China kini lebih terbuka untuk berdiskusi secara menyeluruh.

    Ekspor Magnet dan Sektor Strategis

    Salah satu isu utama adalah bagaimana kedua negara menjaga stabilitas hubungan dagang, di tengah pengenaan hambatan seperti tarif dan kontrol ekspor, khususnya pada sektor-sektor strategis seperti teknologi baterai, pertahanan, dan semikonduktor.

    Greer menyebut bahwa AS ingin memastikan pasokan material penting seperti magnet tetap lancar, sehingga kedua belah pihak bisa fokus pada prioritas lainnya. 

    “Kami tidak ingin bicara soal magnet lagi,” ujarnya.

    Dia juga menyebut dimulainya kembali ekspor logam tanah jarang dari China merupakan konsesi terbesar dari Beijing sejauh ini. Saat ditanya soal penyelidikan tarif AS berdasarkan pasal 232, Greer mengatakan bahwa China memang meminta pembaruan status, namun AS menegaskan bahwa tarif tersebut bersifat global tanpa pengecualian untuk negara tertentu.

    China juga menanyakan status penyelidikan AS terhadap sektor seperti tembaga, semikonduktor, dan farmasi. Menurut Greer, AS telah menjelaskan bahwa tarif yang dihasilkan akan berlaku secara global.

    Analis dari Eurasia Group menyebut bahwa Beijing sangat berkepentingan untuk menurunkan tarif 20% yang diberlakukan AS terhadap bahan kimia asal China yang dituding digunakan dalam produksi narkotika ilegal fentanyl.

    Ketegangan dagang antara kedua negara juga meluas ke ranah geopolitik. Presiden Taiwan Lai Ching-te dikabarkan membatalkan kunjungan luar negeri yang dijadwalkan pekan depan setelah AS tidak menyetujui singgahnya di wilayah Amerika Serikat.

    China juga mulai memanfaatkan dominasinya atas ekspor logam tanah jarang untuk menekan AS agar melonggarkan pembatasan terhadap chip canggih yang dibutuhkan Beijing untuk pengembangan kecerdasan buatan.

    Namun, langkah AS yang dianggap melunak tersebut memicu kekhawatiran di kalangan politisi garis keras di Washington yang menilai bahwa pemerintahan Trump terlalu banyak memberi konsesi demi kesepakatan dan pertemuan dengan Presiden Xi Jinping.

    Trump Bantah Kejar Pertemuan dengan Xi

    Sementara itu, Presiden Trump membantah klaim bahwa dirinya mengejar pertemuan dengan Xi. 

    “Saya tidak sedang mencari apa pun! Saya mungkin pergi ke China, tetapi hanya jika diundang oleh Presiden Xi, dan undangan itu memang sudah ada. Selain itu, saya tidak tertarik!” katanya dalam unggahan di media sosial.

    Negosiasi dagang antara Washington dan Beijing berlangsung di tengah upaya negara-negara besar lainnya untuk mencapai kesepakatan tarif dengan Trump sebelum 1 Agustus, batas waktu yang ditetapkan Trump untuk mulai memberlakukan pajak impor timbal balik kepada mitra dagang utama AS.

    Pada Minggu sebelumnya, Trump mengumumkan kesepakatan awal dengan Uni Eropa untuk mengenakan tarif 15% atas barang-barang dari blok tersebut yang masuk ke AS.

    Adapun, Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick mengatakan masih banyak detail dalam kesepakatan AS-UE yang perlu dinegosiasikan. 

    “Masih banyak tawar-menawar yang harus dilakukan,” ujarnya.

  • Pengusaha Blak-blakan Tarif AS Bisa Bikin PHK Naik

    Pengusaha Blak-blakan Tarif AS Bisa Bikin PHK Naik

    Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyebut gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di Tanah Air akan terus berlanjut, jika tarif resiprokal yang dikenakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terhadap Indonesia lebih tinggi dibandingkan negara lain.

    Ketua Umum Apindo Shinta W Kamdani mengatakan bahwa tenaga kerja yang ter-PHK melonjak hingga 32,1% sepanjang Januari—Juni 2025 atau merupakan angka yang tinggi. Shinta juga tak mengelak angka PHK ini lantaran sejalan dengan survei yang dilakukan Apindo.

    “Tetapi yang jelas kelihatan bahwa tadi kenaikan [PHK] itu ada, pemerintah sendiri mengatakan [PHK naik] 32%, itu kan angka tinggi, kenaikan yang tinggi, dan ini memang sudah dirasakan juga dari survei yang dibuat oleh Apindo,” ujar Shinta dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (29/7/2025).

    Lebih lanjut, Shinta menyampaikan bahwa tingginya tenaga kerja yang ter-PHK merupakan hal nyata yang terjadi saat ini. Dia juga menuturkan gelombang PHK ini masih akan terus terjadi.

    “Jadi kita sama-sama sepakat bahwa ini bukan hanya sekadar PHK biasa, tetapi ini memang PHK sedang benar-benar berjalan dan masih terus bergulir,” ujarnya

    Di sisi lain, Shinta menjelaskan bahwa pemerintah berupaya meminimalisir dampak tarif ke lonjakan PHK melalui kesepakatan dagang dengan AS.

    Untuk diketahui, Trump sendiri telah mengumumkan kesepakatan dagang tarif impor sebesar 19% kepada Indonesia dari sebelumnya adalah 32%. Namun, ekspor produk dari Negara Paman Sam ke Indonesia akan dibebaskan dari bea masuk alias tarif 0%.

    Shinta menilai, jika Indonesia dikenai tarif impor tinggi maka akan berdampak pada ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) yang dikhawatirkan bisa memicu gelombang PHK.

    “Kalau sekarang kita nggak punya tarif yang lebih baik dari kompetitor dan ada pengalihan order, itu kan jelas akan mengganggu nantinya tenaga kerja di Indonesia juga, nanti PHK akan semakin lagi bertambah. Jadi ini hal-hal contoh yang coba dilakukan untuk meminimalisir PHK yang sudah ada,” ujarnya.

    Namun, Shinta menambahkan bahwa gelombang PHK diperkirakan belum berhenti lantaran kondisi ekonomi saat ini yang belum stabil.

    Shinta juga menyoroti tingginya PHK yang mayoritas terpusat di Jawa Tengah lantaran banyak pabrik industri TPT yang berdiri di sana. Faktor lain, sambung dia, mayoritas tenaga kerja yang ter-PHK di Jateng juga disebabkan karena upah minimum.

    “Dan kemarin itu jelas di Jateng ada beberapa pabrik besar yang juga [melakukan PHK],” tandasnya.

    Dalam catatan Bisnis, raksasa industri tekstil Indonesia, yakni PT Sri Rejeki Isman Tbk. (SRIL) atau Sritex melakukan PHK massal terhadap lebih dari 10.000 pekerja.

    PHK ini dilakukan menyusul adanya putusan Pengadilan Niaga Semarang yang mengabulkan permohonan dari PT Indo Bharat Rayon dan memutus Sritex Pailit dan berhenti beroperasi pada 1 Maret 2025.

    Berdasarkan surat Nomor.299/PAILIT-SSBP/II/2025 tertanggal 26 Februari 2025, Tim Kurator mengumumkan bahwa telah terjadi PHK sejak 26 Februari 2025 lantaran perusahaan dalam keadaan pailit.

  • Bahlil: Kopdes Merah Putih Tak Bisa Garap Sumur Minyak Rakyat

    Bahlil: Kopdes Merah Putih Tak Bisa Garap Sumur Minyak Rakyat

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih tidak tergolong dalam koperasi yang bisa menggarap sumur minyak rakyat.

    Adapun kewenangan mengenai koperasi mengelola sumur rakyat tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 14 Tahun 2025 tentang Kerja Sama Pengelolaan Bagian Wilayah Kerja untuk Peningkatan Produksi Minyak dan Gas Bumi. Dalam beleid itu, sumur minyak masyarakat adalah sumur yang dikelola oleh badan usaha milik daerah (BUMD), koperasi, atau UMKM.

    Menurut Bahlil, koperasi yang menggarap sumur minyak rakyat merupakan koperasi-koperasi khusus, bukan koperasi yang menjual bahan pokok.

    “Bedalah [kalau Kopdes]. Beda barangnya, kan,” ucap Bahlil di Kantor Kementerian ESDM, Selasa (29/7/2025).

    Dia menjelaskan, Kopdes Merah Putih merupakan koperasi yang menjual bahan-bahan pokok. Sedangkan, koperasi yang bisa mengelola sumur minyak rakyat bukan seperti itu.

    Berdasarkan Permen ESDM Nomor 14 Tahun 2025, Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang beroperasi di dekat sumur rakyat itu nantinya akan membeli produksi sumur rakyat seharga 70–80% dari harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP).

    “Jadi, metodenya, (sumur rakyat) bukan dikerjasamakan. Itu nanti dikelola oleh koperasi, BUMD, dan UKM. Bukan koperasi yang jual kerupuk, bukan, ya. Bukan koperasi yang jual bahan pokok,” tutur Bahlil.

    Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 14 Tahun 2025, tahapan implementasi penanganan sumur minyak masyarakat yaitu inventarisasi sumur masyarakat; penunjukan pengelola sumur masyarakat (apakah melalui BUMD, koperasi dan/atau UMKM); persetujuan dan perjanjian kerja sama sumur BUMD/koperasi/UMKM dengan KKKS.

    Regulasi ini pun mengatur tiga bentuk kerja sama. Pertama, kerja sama KKKS dengan mitra, yaitu kerja sama operasi atau teknologi mencakup sumur idle well, production well, idle field, serta lapangan produksi.

    Kedua, kerja sama sumur rakyat. Ketiga, kerja sama pengusahaan sumur tua yang sudah berjalan sesuai dengan Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi pada Sumur Tua.

    Khusus sumur rakyat, kegiatan operasinya akan dinaungi BUMD, koperasi, atau UMKM yang bekerja sama dengan KKKS. Kelak, KKKS pun wajib membeli minyak dari sumur rakyat tersebut.

    Sebaliknya, BUMD, koperasi, atau UMKM yang tak menjual minyak ke KKKS akan dilakukan penindakan hukum. Adapun, kerja sama antara KKKS dengan sumur rakyat ini dilakukan pada periode penanganan sementara paling lama 4 tahun.

  • Prabowo Minta MIND ID Perkuat Tata Kelola dan Produktivitas Tambang

    Prabowo Minta MIND ID Perkuat Tata Kelola dan Produktivitas Tambang

    Bisnis.com, JAKARTA — Direktur Utama Holding BUMN Tambang MIND ID Maroef Sjamsoeddin menyatakan bahwa Presiden Prabowo Subianto memberikan arahan untuk memperkuat tata kelola dan meningkatkan produktivitas perusahaan tambang nasional. 

    Menurut Maroef, Presiden menekankan pentingnya menjaga dan mengelola kekayaan alam nasional, terutama sektor mineral dan batu bara, sebagai salah satu sumber daya strategis jangka panjang. 

    “[Presiden menekankan] tata kelola dan tingkatkan produktivitasnya. Karena satu-satunya kekayaan alam yang bisa kita andalkan ke depan adalah mineral dan batu bara,” ujarnya usai bertemu Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, Selasa (29/7/2025). 

    Saat ditanya apakah pertemuan tersebut juga membahas divestasi saham PT Freeport Indonesia, Maroef memastikan tidak ada pembahasan mengenai hal itu. 

    Kendati demikian, dia menyebut proses divestasi masih berjalan sesuai kesepakatan yang diteken sejak 2018.

    “Masih kan, masih cukup panjang [prosesnya], tapi itu memang perjanjian sudah dari 2018,” jelasnya.

    Maroef juga menanggapi soal permintaan Amerika Serikat (AS) untuk menghapus hambatan ekspor mineral kritis. Dia menegaskan tidak ada pembahasan khusus dengan Presiden terkait hal tersebut. Pembicaraan soal Freeport hanya seputar produksi tembaga dan emas serta tugas kelola MIND ID di Gresik.

    Terkait larangan ekspor mineral mentah, Maroef menegaskan bahwa MIND ID tetap patuh pada Undang-Undang yang berlaku. Dia juga menegaskan komitmen MIND ID dalam menjaga sumber daya alam demi keberlanjutan.

    Sementara itu, mengenai Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) 2026 yang disiapkan menjadi tahunan, Maroef mengatakan hal itu menjadi domain Kementerian ESDM.

    Sekadar informasi, sejak era kepemimpinan Presiden RI ke-7 Joko Widodo (Jokowi) rencana penambahan saham sebesar 10% di Freeport Indonesia menjadi 61%. 

    Namun, wacana itu masih dalam proses yang dilakukan kementerian terkait. Sebelumnya Menteri ESDM Bahlil Lahadalia di 2024 lalu, menargetkan rencana penambahan saham ini pada awal 2025.

  • SKK Migas Kejar Tambahan Pasokan LNG untuk Kebutuhan PLN

    SKK Migas Kejar Tambahan Pasokan LNG untuk Kebutuhan PLN

    Bisnis.com, JAKARTA — Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) memastikan ketersediaan Liquefied Natural Gas (LNG) untuk PT PLN (Persero). Ini khususnya untuk kebutuhan pembangkit listrik.

    Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Hudi D. Suryodipuro mengakui saat ini pasokan LNG domestik untuk PLN berpotensi kurang. Pihaknya pun berupaya mengatasi hal itu dengan skema swap gas.

    “Saat ini kan memang lagi proses bagaimana men-secure kebutuhan kargo. Prinsipnya adalah apapun yang sekarang dikerjakan sama teman-teman di komersial, itu adalah mencari, pokoknya kita berupaya untuk secure terkait dengan pasokan kebutuhan dari domestik itu sendiri,” kata Hudi di Jakarta, Selasa (29/7/2025).

    Adapun skema swap gas tersebut dijalankan dengan mengalihkan sebagian alokasi volume ekspor LNG atau gas alam cair untuk kebutuhan dalam negeri.  

    Namun, langkah ini harus dilakukan bertahap lantaran terdapat proses negosiasi dan evaluasi dengan pembeli.

    “Kami harus lihat case by case, sama seperti kita update di awal tahun, di semester satu, kita akan melakukan secara periodik. Jadi sekarang sih proses ini kan Juli, kita akan update lagi untuk kedepannya,” jelas Hudi.

    Dalam kesempatan terpisah, Hudi mengatakan bahwa hingga saat ini, SKK Migas mencatat 70% pasokan gas yang diproduksi di dalam negeri telah dialokasikan untuk kebutuhan domestik, utamanya untuk PLN dan PGN.

    “Jadi hanya tinggal 30%, nah terkait dengan 30% itu kan ada contractual yang mungkin tidak bisa. Pasokan gas, jadi secara contractual mungkin ya memang kita harus penuhi dan lain-lain,” tuturnya ditemui usai agenda Media Edukasi Hulu Migas, Jumat (25/7/2025).  

    Namun, Hudi mengakui belum mendapatkan informasi terperinci terkait volume pasokan LNG yang dialihkan pada semester II/2025. Kendati demikian, dia menilai sejumlah kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) tengah mengupayakan pemenuhan gas domestik.

    Adapun, SKK Migas memproyeksi ekspor LNG atau gas alam cair akan berkurang tahun ini ke angka 150 kargo, sementara untuk LNG domestik dialokasikan sebanyak 86 kargo.  

    Sebelumnya, laporan Bloomberg menyebutkan bahwa ekspor LNG Indonesia tahun lalu mencapai 300 kargo, berdasarkan Ship-tracking Data. Penurunan ini untuk memastikan kebutuhan gas domestik terpenuhi.  

    Apalagi, SKK Migas menerangkan bahwa kebutuhan LNG PT PLN (Persero) meningkat dari semula 60 kargo per tahun, dalam 2 tahun terakhir meningkat menjadi 100 kargo per tahun. 

  • RI Tagih Kejelasan Tarif Trump 15%-20% untuk Negara di Luar Perjanjian Dagang

    RI Tagih Kejelasan Tarif Trump 15%-20% untuk Negara di Luar Perjanjian Dagang

    Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia akan menagih kejelasan dari pemerintah Amerika Serikat terkait rencana pengenaan tarif resiprokal baru sebesar 15% hingga 20% untuk negara-negara yang belum memiliki perjanjian dagang bilateral dengan Washington.

    Rentang tarif itu cenderung rendah. Padahal, Indonesia yang sudah memiliki kesepakatan awal dengan Amerika Serikat (AS) dikenai tarif 19%.

    Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menjelaskan bahwa hingga kini belum ada dokumen resmi yang bisa dijadikan pegangan pemerintah Indonesia soal rencana tersebut.

    “Yang dimaksud 15%—20% itu seperti apa? Sekarang ini sejujurnya di dokumen resmi, kan, belum ada. Itu semuanya nanti kan harus ada perjanjian perdagangan, enggak bisa kita tiba-tiba hanya mendasarkan ke pengumuman di medsos [media sosial],” ujar Susi usai acara Bisnis Indonesia Midyear Challenges 2025 di Jakarta, Selasa (29/7/2025).

    Dia mengaku bahwa pemerintah masih terus menanti kejelasan skema tarif yang disebut-sebut akan diberlakukan terhadap negara-negara yang belum menandatangani perjanjian dagang bilateral dengan AS.

    Menurut anak buah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto itu, bahkan negara-negara yang telah sepakat pun belum secara resmi terikat dalam kesepakatan perdagangan apa pun.

    “Sekarang pertanyaannya, Jepang saja untuk dapat tarif 15% itu [komitmen impor] hampir US$550 miliar, Eropa untuk dapat 15% [komitmen impor] US$750 miliar. Kita kemarin kan [komitmen] US$19,5 miliar. Masa yang lain tidak ngapain-ngapain kita ratakan 15%, kan juga enggak mungkin gitu,” tegasnya.

    Lebih lanjut, dia melihat bahwa pemahaman soal tarif resiprokal masih belum seragam. Beberapa pihak memahami bahwa tarif 15% adalah tambahan di luar tarif Most Favoured Nation (MFN), sementara lainnya menganggap tarif tersebut sudah termasuk dalam tarif MFN.

    Meski belum ada kejelasan implementasi, Indonesia tetap melanjutkan proses negosiasi dagang lanjutan dengan AS. Fokus utama saat ini adalah mengamankan sejumlah komoditas unggulan agar bisa mendapat perlakuan tarif yang lebih ringan dari 19% atau bahkan nol persen.

    “Ada barang-barang yang sangat dibutuhkan Amerika, tidak bisa dibuat di sana, tidak bisa diproduksi, dan itu sangat layak kalau ekspornya dari Indonesia. Kita akan bikin daftarnya, contohnya apa CPO, kopi, kakao, produk-produk mineral nikel, dan sebagainya,” jelasnya.

    Pernyataan Trump soal Tarif Impor

    Adapun sebelumnya, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengungkapkan rencananya untuk memberlakukan tarif impor sebesar 15% hingga 20% terhadap negara-negara yang belum meneken perjanjian dagang bilateral dengan Washington.

    “Untuk dunia, saya kira angkanya akan berada di kisaran 15% hingga 20%. Saya hanya ingin bersikap adil. Saya kira antara 15% atau 20%, kemungkinan salah satu dari dua angka itu,” kata Trump dalam konferensi pers di Turnberry, Skotlandia, bersama Perdana Menteri Inggris Keir Starmer, dikutip dari CNBC International pada Selasa (29/7/2025).

    Rencana tersebut menandai peningkatan dari tarif dasar 10% yang diumumkan Trump pada April lalu, dan berpotensi memberatkan negara-negara berkembang yang sebelumnya berharap akan memperoleh tarif lebih ringan.

    Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick sebelumnya sempat menyebut bahwa negara-negara kecil—termasuk negara-negara di Amerika Latin, Karibia, dan Afrika—kemungkinan akan dikenai tarif dasar sebesar 10%. Namun, Trump menegaskan bahwa AS akan menetapkan tarif seragam untuk sebagian besar negara di dunia.

    “Kami akan menetapkan satu tarif untuk sebagian besar dunia, dan itu harga yang harus mereka bayar jika ingin berbisnis di Amerika Serikat. Kami tidak bisa duduk membuat 200 kesepakatan berbeda,” ujar Trump.

    Pernyataan ini disampaikan menjelang tenggat 1 Agustus, saat tarif baru AS dijadwalkan mulai berlaku. Hingga saat ini, puluhan negara masih belum mencapai kesepakatan dagang dengan Washington.

  • Penjelasan Rosan Soal Investasi Asing Melemah: Persaingan Modal di Global Ketat

    Penjelasan Rosan Soal Investasi Asing Melemah: Persaingan Modal di Global Ketat

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala BKPM Rosan P. Roeslani menjelaskan penanaman modal asing yang mengalami kontraksi pada kuartal II/2025, secara tahunan maupun kuartalan, sebagai akibat dari persaingan penanaman modal yang ketat di level global. 

    Di samping tensi geopolitik, kebijakan-kebijakan yang penuh kejutan dari Presiden AS Donald Trump turut memberikan efek terhadap realisasi penanaman modal asing (PMA) di Indonesia. 

    “Memang persaingan untuk menarik investasi ini semakin meningkat semakin tinggi, saat bersamaan banyak kebijakan-kebijakan, termasuk AS yang ingin menarik investasinya kembali ke AS,” ungkapnya kepada wartawan di kantornya, Selasa (29/7/2025). 

    Rosan menuturkan bahwa kepastian aturan dan kebijakan dari pemerintah masih menjadi salah satu tantangan dalam merealisasikan investasi asing. Sekalipun Indonesia kaya dengan mineral, perkebunan, pertanian, dan laut, tetapi investor kerap mempermasalahkan aturan yang tidak pasti.

    Sejumlah strategi Rosan lakukan, mulai dari perbaikan aturan hingga sosialisasi kepada para investor. Termasuk memperbaiki kepastian hukum yang menjadi keluhan investor. 

    Sementara dalam rangka meningkatkan kepercayaan dan keyakinan untuk investasi di Indonesia, pemerintah menggunakan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) untuk ikut serta investasi.

    “Saya akui memang enggak mudah meyakinkan mereka [investor asing] untuk menjaga agar investasi masuk. Dengan berbagai macam usaha yang kami lakukan, baik dari peningkatan kebijakan, manusia, dan potensinya, prosesnya, ya, Alhamdulillah ini bisa [tetap masuk],” tutur Bos Danantara tersebut.

    Indonesia Masih Jadi Pilihan Investasi

    Data BKPM menunjukkan bahwa PMA kuartal II/2025 yang mencapai Rp202,2 triliun ini kontraksi sebesar 6,95% secara tahunan atau (year on year/YoY) dan 12,24% secara kuartalan atau (quarter to quarter/QtQ).

    Pada kuartal sebelumnya, PMA tercatat melesat ke posisi Rp230,4 triliun. Sementara pada kuartal II/2024 lalu, investasi langsung dari asing yang masuk ke Tanah Air senilai Rp217,3 triliun.

    Meski demikian, investor domestik justru mencatat pertumbuhan yang signifikan sehingga target tahun ini masih dalam jalurnya. Pada kuartal II/2025, penanaman modal dalam negeri (PMDN) mencapai Rp275,5 triliun atau tumbuh 30,5% (YoY) dan 17,3% (QtQ).

    Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede menilai meski terjadi kontraksi, investasi secara umum tumbuh sebesar 11% YoY mencapai Rp942,9 triliun pada kuartal II/2025 di tengah situasi ketidakpastian global dapat dianggap sebagai kinerja yang baik. 

    “Meskipun terjadi penurunan FDI, capaian ini menunjukkan bahwa Indonesia masih dianggap menarik, terutama oleh investor domestik yang mampu mengompensasi penurunan investasi asing,” ujarnya, Selasa (29/7/2025). 

    Kinerja realisasi investasi ini justru menegaskan bahwa ekonomi domestik memiliki resiliensi yang cukup kuat di tengah dinamika eksternal yang kurang kondusif. 

    Meskipun demikian, Josua tetap mengingatkan bahwa pemerintah harus mewaspadai bahwa ketidakpastian global yang berkelanjutan dapat berdampak negatif jika tidak ada langkah-langkah mitigasi kebijakan dari pemerintah untuk mempertahankan daya tarik investasi asing.

  • Kejar Target Pertumbuhan Ekonomi 5,2%, Pemerintah Genjot Stimulus Fiskal Jelang Akhir Tahun

    Kejar Target Pertumbuhan Ekonomi 5,2%, Pemerintah Genjot Stimulus Fiskal Jelang Akhir Tahun

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah terus mengakselerasi konsumsi rumah tangga, belanja pemerintah, hingga investasi lewat sejumlah stimulus sebagai strategi jangka pendek untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi 5,2% pada 2025.

    Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso bahwa tantangan global masih menjadi momok untuk mewujudkan target pertumbuhan ekonomi. Dia mencontohkan eskalasi geopolitik seperti perang Rusia-Ukraina yang belum selesai hingga di Timur Tengah antara Iran-Israel.

    Selain itu, negosiasi dagang atau kebijakan tarif Amerika Serikat (AS) masih penuh ketidakpastian, termasuk hasil negosiasi tarif negara-negara kawasan dengan Negeri Paman Sam. Apalagi, banyak negara masih bernegosiasi dengan AS.

    “Dampaknya ke ekonomi luar biasa. Terutama urusan supply chain [rantai pasok], urusan logistic cost [biaya logistik], dan urusan banyak hal yang terkait dengan bagaimana komponen harga barang menjadi lebih mahal,” ujar Susiwijono dalam forum Bisnis Indonesia Midyear Challenges 2025 di Jakarta, Selasa (29/7/2025).

    Oleh sebab itu, sambungnya, terjadi perubahan proyeksi pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan perdagangan 2025. Dia mencontohkan IMF yang menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global dari 3,3% (Januari 2025) menjadi 2,8% (April 2025); inflasi global dari 4,2% (Januari 2025) menjadi 4,3% (April 2025); dan pertumbuhan volume perdagangan global dari 3,2% (Januari 2025) menjadi 1,7% (April 2025).

    Susiwijono menjelaskan dampak gejolak global juga merambat hingga ke perekonomian dalam negeri. Misalnya, realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal I/2025 yang baru menyentuh 4,87%, sementara kuartal II/2025 juga diproyeksikan masih berada di angka 4,9%.

    “Mudah-mudahan kuartal III dan IV, banyak kebijakan yang kita dorong, mudah-mudahan bisa, lah, untuk mewujudkan [pertumbuhan ekonomi] sepanjang 2025 di 5,2%,” jelasnya 

    Oleh sebab itu, Susiwijono mengungkap kebijakan fiskal diarahkan ke dua sisi: sisi permintaan (demand) dan sisi penawaran (supply). Keduanya ditempuh melalui program konkret seperti perluasan bantuan sosial, diskon tarif transportasi, serta insentif pajak untuk sektor strategis seperti otomotif dan properti.

    Dia mencontohkan selama semester I/2025, untuk menopang permintaan, pemerintah telah menggelontorkan berbagai bantuan tunai, mulai dari Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, bantuan pangan, hingga subsidi upah, hingga stimulus musiman seperti THR, gaji ke-13 untuk memperkuat daya beli masyarakat.

    Pemerintah juga membebaskan PPh bagi sektor padat karya, sebagai insentif agar pelaku usaha tetap menjaga tingkat upah pekerja dan mencegah PHK.

    Di sisi penawaran, insentif fiskal diberikan lewat PPN Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) untuk sektor otomotif dan properti. Pemerintah juga memperluas FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan), termasuk skema KUR untuk mendukung pembelian rumah.

    Paruh Kedua 2025 Jadi Kunci

    Susiwijono menjelaskan bahwa semester II/2025 akan menjadi penentu tercapainya target pertumbuhan tahunan. Dalam paparannya, dijelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi harus mencapai 5,4% pada semester II/2025 agar target sepanjang tahun (full year) 5,2% bisa tercapai.

    Dia memaparkan kebijakan pendorong ekonomi yang akan digenjot pada semester II/2025 yaitu konsumsi pemerintah, terutama dengan mendorong akselerasi penyerapan belanja kementerian/lembaga (K/L) dengan anggaran besar.

    Apalagi, sambungnya, konsumsi pemerintah terkontraksi pada kuartal I/2025 (-1,38%) secara tahunan. Dia tidak menampik bahwa kontraksi itu akibat kebijakan efisien anggaran, namun kini Kementerian Keuangan akan membebaskan K/L untuk membelanjakan anggarannya.

    “K/L kita balikin untuk mulai punya ruang untuk melakukan aktivitasnya. Nah, tapi jangan dipahami, ‘Wah K/L dikasih duit, suruh belanja,’ bukan gitu. Tapi intinya kita kembalikan pos-pos belanja pemerintah ini supaya tidak kontraksi seperti di periode sebelumnya,” tegasnya.

    Selain itu, pemerintah akan menggenjot investasi mulai dari dorong kinerja Kawasan Ekonomi Khusus, kredit investasi padat karya, perluas program FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) dari target pembangunan 220.00 menjadi 350.000 unit rumah, implementasi kredit program perumahan, hingga penyerapan program bantuan stimulan perumahan swadaya (BSPS).

    Susiwijono juga mengungkapkan pemerintah akan mendorong konsumsi rumah tangga dan daya beli melalui optimalisasi penyerapan program padat karya tunai hingga usulan paket stimulus ekonomi sektor pariwisata jelang liburan Natal dan Tahun Baru.

    “Paket stimulusnya ya masih hampir sama [dengan semester I/2025]. Ada event-event program khusus, ada PPN DTP untuk tiket, dan sebagainya. Strateginya masih kayak yang saya sampaikan tadi,” jelasnya.