Category: Bisnis.com Ekonomi

  • OPEC+ Sepakat Naikkan Produksi Minyak 547.000 Barel per Hari Mulai September

    OPEC+ Sepakat Naikkan Produksi Minyak 547.000 Barel per Hari Mulai September

    Bisnis.com, JAKARTA – Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak dan sekutunya (OPEC+) sepakat untuk menaikkan produksi minyak sebesar 547.000 barel per hari (bph) mulai September 2025.

    Dikutip melalui Reuters pada Minggu (3/8/2025), keputusan ini diambil dalam pertemuan virtual singkat yang dihadiri oleh delapan negara anggota, dan menjadi bagian dari langkah berkelanjutan untuk mengembalikan pangsa pasar, di tengah meningkatnya kekhawatiran atas potensi gangguan pasokan yang berkaitan dengan konflik Rusia.

    Langkah ini sekaligus menjadi pembalikan penuh dan dipercepat dari pemangkasan produksi terbesar OPEC+ sebelumnya, ditambah peningkatan produksi khusus untuk Uni Emirat Arab, yang secara total mencapai sekitar 2,5 juta bph, atau setara dengan 2,4 persen dari permintaan minyak dunia.

    Dalam pernyataan resmi, OPEC+ menyebutkan bahwa kondisi ekonomi global yang sehat dan stok minyak yang rendah menjadi dasar keputusan tersebut.

    Sementara itu, pertemuan dilakukan di tengah tekanan dari Amerika Serikat terhadap India untuk menghentikan pembelian minyak dari Rusia. Langkah ini merupakan bagian dari upaya Washington untuk membawa Moskow ke meja perundingan guna mengakhiri perang di Ukraina. Presiden AS, Donald Trump sebelumnya menyatakan keinginannya agar kesepakatan damai tercapai sebelum 8 Agustus 2025.

    OPEC+, yang mencakup 10 negara produsen non-OPEC termasuk Rusia dan Kazakhstan, telah membatasi produksi selama beberapa tahun untuk menjaga stabilitas harga minyak. Namun tahun ini, mereka mulai membalik arah kebijakan dengan meningkatkan produksi sebagai respons terhadap permintaan global dan tekanan politik dari negara-negara konsumen besar.

    Kenaikan produksi dimulai pada April dengan tambahan 138.000 bph, diikuti lonjakan yang lebih besar pada bulan-bulan berikutnya: 411.000 bph pada Mei, Juni, dan Juli, serta 548.000 bph di Agustus. Dengan tambahan 547.000 bph untuk September, total kenaikan sejak April cukup signifikan.

    Meski produksi terus naik, harga minyak tetap tinggi. Harga Brent crude ditutup mendekati USD 70 per barel pada Jumat lalu, naik dari titik terendah tahun ini di angka USD 58 per barel pada April, didorong oleh kenaikan musiman permintaan energi.

    OPEC+ dijadwalkan menggelar pertemuan lanjutan pada 7 September, di mana mereka kemungkinan akan mempertimbangkan kembali pemangkasan produksi sukarela sekitar 1,65 juta bph, yang masih berlaku hingga akhir 2026. Selain itu, pemangkasan 2 juta bph lainnya juga masih diterapkan di seluruh anggota OPEC+ hingga periode yang sama.

  • Inflasi Inti Tumbuh Lambat, Inflasi Umum Melesat: Sinyal Daya Beli Belum Pulih

    Inflasi Inti Tumbuh Lambat, Inflasi Umum Melesat: Sinyal Daya Beli Belum Pulih

    Bisnis.com, JAKARTA — Tren melambatnya inflasi komponen inti secara tahunan sejak Mei 2025 di tengah inflasi umum yang justru melesat, menjadi sinyal dan bukti bahwa daya beli masyarakat saat ini belum sepenuhnya pulih. 

    Sekalipun pemerintah klaim bahwa daya beli mulai membaik, tetapi data berkata lain. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi inti pada Juli 2025 sebesar 2,32% year on year (YoY). Angka tersebut lebih rendah dari periode Juni yang sebesar 2,37% maupun Mei yang sebesar 2,40%, bahkan dari April yang mencapai 2,50%. 

    Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman menilai pelemahan inflasi inti secara tahunan dalam tiga bulan terakhir menunjukkan indikasi mulai melemahnya tekanan permintaan domestik struktural. 

    Padahal di awal tahun, inflasi inti sempat tinggi karena dorongan konsumsi pascaLebaran, kenaikan harga jasa, serta ekspektasi pasar terhadap insentif fiskal dan kebijakan upah. 

    “Namun ketika inflasi inti justru turun di saat yang sama inflasi umum merangkak naik, ini menandakan bahwa tekanan harga yang terjadi bukan bersumber dari penguatan permintaan, tapi dari sisi suplai yang menegang terutama pangan dan energi,” ujarnya, Minggu (3/8/2025). 

    Menurutnya, kondisi ini mencerminkan terjadinya divergensi daya beli masyarakat bawah tertekan oleh kenaikan harga kebutuhan pokok, sementara kelompok menengah ke atas justru cenderung menahan konsumsi barang dan jasa non-esensial. Artinya, konsumsi masyarakat berjalan, tapi tidak mengarah pada perbaikan kualitas permintaan. 

    Rizal mengkhawatirkan apabila tren ini berlanjut, maka dalam jangka pendek kita justru menghadapi risiko dual pressure alias tekanan ganda. Di mana harga pangan tetap tinggi, tetapi daya dorong konsumsi domestik mulai melemah.

    Pasalnya, BPS menunjukkan bahwa inflasi secara umum yang sebesar 2,37%, naik dari 1,87% pada bulan sebelumnya, lebih diakibatkan meningkatnya harga pangan, bukan pulihnya daya beli yang tercermin dalam komponen inti. 

    Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede menuturkan bahwa secara keseluruhan, tren pelemahan inflasi inti menunjukkan bahwa daya beli masyarakat dan aktivitas ekonomi domestik masih berada di bawah potensinya.

    “[Ini] mencerminkan moderasi pada daya beli masyarakat serta pelemahan aktivitas konsumsi rumah tangga secara umum, yang dapat disebabkan oleh perlambatan ekonomi domestik atau sentimen konsumen yang menurun,” jelasnya. 

    Menurutnya, kondisi ini menciptakan dinamika yang menarik, sementara inflasi umum naik karena faktor jangka pendek yang cenderung bergejolak dan bersifat sementara, inflasi inti justru turun karena melambatnya permintaan yang lebih struktural.

    Kebijakan Moneter jadi Kompleks 

    Baik Rizal maupun Josua sepakat bahwa situasi ini menjadi sinyal kompleks bagi kebijakan moneter. Di satu sisi, inflasi umum yang naik menahan ruang pelonggaran suku bunga. Namun, di sisi lain, inflasi inti yang turun bisa terbaca sebagai tanda bahwa fundamental permintaan belum sepenuhnya pulih. 

    Maklum, tugas Bank Indonesia selain menjaga stabilitas rupiah, ikut serta dalam menjaga inflasi sesuai dalam sasaran 1,5%—3,5%.

    Rizal dari Indef melihat skenario “suku bunga tinggi dalam waktu lebih lama” (higher for longer) berpeluang dipertahankan, sambil menanti kestabilan harga dari sisi pasokan khususnya pangan dan energi sebelum otoritas mengambil langkah akomodatif.

    Sementara Josua menyampaikan bahwa situasi ini menandakan ruang pelonggaran kebijakan moneter masih terbuka, terutama jika tekanan harga yang berasal dari komponen volatile dapat dikendalikan secara efektif. 

    Oleh karena itu, kebijakan makroekonomi harus fokus pada peningkatan konsumsi domestik melalui stimulus fiskal maupun pelonggaran moneter secara selektif. 

    “Sekaligus memastikan bahwa tekanan harga dari sisi suplai, terutama bahan pangan, tetap terkendali guna menghindari tekanan inflasi umum yang berlebihan,” tuturnya. 

  • Ekonom Pertanyakan Keabsahan Data Pengangguran yang Dirilis Pemerintah

    Ekonom Pertanyakan Keabsahan Data Pengangguran yang Dirilis Pemerintah

    Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom Senior Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Hendri Saparini mengingatkan pemerintah untuk menyajikan data yang lebih detail terkait jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK), termasuk data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS).

    Menurutnya, hal ini penting guna mengetahui realitas sesungguhnya di lapangan, khususnya terkait nasib para pekerja yang terkena PHK tersebut.

    Dia mencontohkan data BPS yang menyebut jumlah pengangguran di Indonesia mengalami penambahan sebanyak 83.000 orang pada Februari 2025, sehingga totalnya mencapai 7,28 juta orang.

    Namun, tambahan jumlah pengangguran itu belum jelas berasal dari mana. Saparini pun mempertanyakan apakah lonjakan pengangguran itu berasal dari karyawan terkena PHK.

    Dia berpendapat pertanyaan itu belum bisa terjawab oleh data BPS. Sebab, bisa saja jumlah karyawan terkena PHK itu malah sudah mendapat pemasukan baru dari berwirausaha, sehingga spending atau pengeluaran mereka tetap kuat.

    “Ini yang belum bisa kita jawab. Kalau mereka PHK, gak apa-apa PHK nya karena mereka beralih ke industri digital dan spendingnya masih tetap. Aman kita. Tapi konsumsi rumah tangganya [malah] turun tadi,” ucap Saparini dalam acara Bisnis Indonesia Forum di Jakarta, Jumat (1/8/2025).

    Berdasarkan data BPS, angka konsumsi rumah tangga pada kuartal I/2025 hanya tumbuh 4,89% yoy. Angka itu lebih rendah dibanding pertumbuhan pada kuartal IV/2024 yang sebesar 4,89% yoy.

    Lebih lanjut, Saparini mengingatkan kemudahan akses data bisa menjadi kunci untuk membuat rekomendasi kebijakan ekonomi pemerintah.

    Dia mengatakan, data yang jelas dan akurat dapat menggambarkan fenomena atau keadaan ekonomi sesungguhnya. Oleh karena itu, dari data yang akurat, para pemangku kepentingan bisa memberikan kajian dan rekomendasi kebijakan.

    Menurutnya, BPS harus mampu menyediakan data yang detail dan dapat diakses oleh publik. Saparini mencontohkan, saat ini sudah terjadi shifting atau peralihan pengeluaran masyarakat miskin.

    Dia mengatakan peralihan itu misalnya, bisa dilihat dari konsumsi listrik masyarakat. Menurut Saparini, masyarakat miskin tak hanya bisa diukur dari konsumsi listrik yang sebesar 450 VA.

    “Sebenarnya, sekarang ini berapa banyak rumah tangga yang dulu 450 VA itu cukup? Sekarang orang miskin 450 juga tak cukup,” katanya.

    Tak hanya dari konsumsi listrik, Saparini juga mencontohkan, berdasarkan data saat ini jumlah Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia diperkirakan mencapai 65 juta unit usaha. Namun, detail terkait data ini masih belum jelas juga.

    Dia pun mempertanyakan terkait detil dari unit usaha yang dijalankan, sektor yang dijalani, hingga sekala dari UMKM itu sendiri.

    Menurutnya, data terkait UMKM itu harus dibuat by name by address. Sehingga, pemerintah dan para pemangku kepentingan dapat menelisik permasalah lebih jelas.

    Saparini juga mencontohkan jika pemerintah menelan mentah-mentah dapat jumlah UMKM itu dan secara merata memberikan permodalan, belum tentu efektif. Sebab, belum ada bukti bahwa sebanyak 65 juta UMKM itu sedang membutuhkan modal.

    “Jadi menyelesaikan 65 juta itu tidak hanya dengan pemerintah memberikan permodalan karena banyak permasalahan mereka, bukan cuma soal modal,” katanya.

  • Tren Inflasi Inti Melandai, Daya Beli Masyarakat Dinilai Masih Belum Pulih

    Tren Inflasi Inti Melandai, Daya Beli Masyarakat Dinilai Masih Belum Pulih

    Bisnis.com, JAKARTA — Tren inflasi komponen inti yang menggambarkan daya beli masyarakat terpantau melandai sejak Mei 2025 secara tahunan. Sementara secara bulanan tercatat meningkat, tetapi tetap dalam posisi yang cukup rendah. 

    Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi inti pada Juli 2025 sebesar 2,32% year-on-year (YoY) dan 0,13% secara bulanan atau month-to-month (MtM). 

    Dalam periode tahunan, angka tersebut lebih rendah dari periode Juni yang sebesar 2,37% maupun Mei yang sebesar 2,40%. Sementara secara bulanan, inflasi inti meningkat tipis dari 0,07% pada Juni menjadi 0,13% pada Juli. 

    “Komoditas yang memberikan andil inflasi pada Juli 2025 di antaranya adalah emas perhiasan, kopi bubuk, dan minyak goreng,” ujar Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini melalui keterangan pers, Jumat (1/8/2025). 

    Pudji menjelaskan bahwa komoditas yang dominan memberikan andil/sumbangan inflasi YoY adalah emas perhiasan sebesar 0,46% terhadap total inflasi secara umum pada Juli 2025 yang sebesar 2,37% YoY.

    Ekonom Center of Reform on Economic (Core) Yusuf Rendy Manilet mengungkapkan pada dasarnya untuk komponen inti meski melandai, indeks harga konsumen (IHK) pada komponen ini masih mengalami inflasi walaupun tidak setinggi bulan sebelumnya. 

    Menurutnya, hal tersebut dipandang karena dipengaruhi oleh perubahan harga yang bisa saja berbeda antara satu barang dengan barang yang lain dan masuk ke dalam kategori perhitungan inflasi inti itu sendiri. Terlebih, emas masih menjadi pendorong utama inflasi inti. 

    Adapun, kondisi inflasi inti yang melandai terjadi di saat inflasi secara umum justru mengalami peningkatan signifikan. Pada Juni 2025, angkanya 1,87% YoY, sementara pada Juli ke level 2,37%. 

    Yusuf melihat sebagian besar tekanan inflasi saat ini datang dari kenaikan harga pangan yang terlihat dari lonjakan inflasi volatile food ke posisi 3,82% YoY dan 3,42% (year-to-date/YtD). Pada bulan sebelumnya, inflasi harga bergejolak ini hanya sebesar 0,10% YoY. 

    Meski Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengklaim bahwa inflasi umum yang meningkat menunjukkan daya beli, Yusuf melihat bahwa nyatanya kenaikan inflasi umum yang lebih didorong dari komponen harga bergejolak ini lebih mencerminkan masalah pasokan atau gejolak harga komoditas pangan, bukan karena masyarakat belanja lebih banyak.

    “Dalam kondisi seperti ini, daya beli justru [terindikasi] tertekan, terutama untuk kelompok pendapatan rendah,” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (3/8/2025). 

  • Tren Inflasi Inti Melandai, Daya Beli Masyarakat Dinilai Masih Belum Pulih

    Tren Inflasi Inti Melandai, Daya Beli Masyarakat Dinilai Masih Belum Pulih

    Bisnis.com, JAKARTA — Tren inflasi komponen inti yang menggambarkan daya beli masyarakat terpantau melandai sejak Mei 2025 secara tahunan. Sementara secara bulanan tercatat meningkat, tetapi tetap dalam posisi yang cukup rendah. 

    Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi inti pada Juli 2025 sebesar 2,32% year-on-year (YoY) dan 0,13% secara bulanan atau month-to-month (MtM). 

    Dalam periode tahunan, angka tersebut lebih rendah dari periode Juni yang sebesar 2,37% maupun Mei yang sebesar 2,40%. Sementara secara bulanan, inflasi inti meningkat tipis dari 0,07% pada Juni menjadi 0,13% pada Juli. 

    “Komoditas yang memberikan andil inflasi pada Juli 2025 di antaranya adalah emas perhiasan, kopi bubuk, dan minyak goreng,” ujar Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini melalui keterangan pers, Jumat (1/8/2025). 

    Pudji menjelaskan bahwa komoditas yang dominan memberikan andil/sumbangan inflasi YoY adalah emas perhiasan sebesar 0,46% terhadap total inflasi secara umum pada Juli 2025 yang sebesar 2,37% YoY.

    Ekonom Center of Reform on Economic (Core) Yusuf Rendy Manilet mengungkapkan pada dasarnya untuk komponen inti meski melandai, indeks harga konsumen (IHK) pada komponen ini masih mengalami inflasi walaupun tidak setinggi bulan sebelumnya. 

    Menurutnya, hal tersebut dipandang karena dipengaruhi oleh perubahan harga yang bisa saja berbeda antara satu barang dengan barang yang lain dan masuk ke dalam kategori perhitungan inflasi inti itu sendiri. Terlebih, emas masih menjadi pendorong utama inflasi inti. 

    Adapun, kondisi inflasi inti yang melandai terjadi di saat inflasi secara umum justru mengalami peningkatan signifikan. Pada Juni 2025, angkanya 1,87% YoY, sementara pada Juli ke level 2,37%. 

    Yusuf melihat sebagian besar tekanan inflasi saat ini datang dari kenaikan harga pangan yang terlihat dari lonjakan inflasi volatile food ke posisi 3,82% YoY dan 3,42% (year-to-date/YtD). Pada bulan sebelumnya, inflasi harga bergejolak ini hanya sebesar 0,10% YoY. 

    Meski Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengklaim bahwa inflasi umum yang meningkat menunjukkan daya beli, Yusuf melihat bahwa nyatanya kenaikan inflasi umum yang lebih didorong dari komponen harga bergejolak ini lebih mencerminkan masalah pasokan atau gejolak harga komoditas pangan, bukan karena masyarakat belanja lebih banyak.

    “Dalam kondisi seperti ini, daya beli justru [terindikasi] tertekan, terutama untuk kelompok pendapatan rendah,” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (3/8/2025). 

  • BGN Telah Ingatkan Produsen Lokal Genjot Food Tray, Dadan: Mereka Tak Bergeming

    BGN Telah Ingatkan Produsen Lokal Genjot Food Tray, Dadan: Mereka Tak Bergeming

    Bisnis.com, JAKARTA – Badan Gizi Nasional (BGN) angkat bicara usai pengusaha lokal keberatan terhadap kebijakan pemerintah yang melonggarkan importasi food tray atau nampan makanan untuk program makan bergizi gratis (MBG).

    Kepala BGN Dadan Hindayana menyampaikan, pemerintah sejak tahun lalu telah meminta produsen yang tergabung dalam Asosiasi Produsen Alat Dapur dan Makanan (ASPRADAM) dalam negeri meningkatkan produksi food tray guna memenuhi kebutuhan MBG.

    Namun, Dadan mengungkap bahwa permintaan tersebut tidak ditindaklanjuti oleh para pengusaha.

    “Saya sudah meminta kepada ASPRDAM sejak Juni 2024 untuk produksi dan mereka tidak bergeming untuk menindaklanjuti,” ungkap Dadan kepada Bisnis, Minggu (3/8/2025).

    Menurutnya, pengusaha dalam negeri baru mulai bergerak ketika program MBG berjalan dan animo mitra mengalami peningkatan. Dia menilai, jika pengusaha sejak awal memenuhi permintaan food tray untuk kebutuhan MBG, kebijakan pelonggaran impor food tray mungkin tidak akan dilakukan.

    Dadan menuturkan, BGN setidaknya membutuhkan sekitar 70 juta unit food tray untuk November 2025. Dengan produksi dalam negeri yang diklaim mencapai 10 juta unit per bulan, artinya kata dia, hanya 40 juta unit food tray yang dapat disiapkan oleh pengusaha lokal hingga November 2025.

    “Andaikan, ASPRADAM lebih awal memenuhi permintaan, pemerintah tidak perlu membuka keran impor,” katanya.

    Untuk diketahui, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.22/2025 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor Barang Industri Tertentu.

    Melalui beleid itu, pemerintah memberikan kelonggaran impor food tray untuk kebutuhan program MBG. Keputusan ini diambil lantaran pemerintah menilai produksi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan food tray untuk program MBG yang ditargetkan mencapai 82,9 juta orang tahun ini.

    Kala itu, Dadan mengungkap bahwa industri dalam negeri hanya mampu memproduksi 2 juta unit food tray.

    “Kalau 2 juta [food tray] per bulan dikalikan sisa bulan ini, 6 [bulan]. Berarti kan 12 juta [food tray]. Sementara kita kan pasti akan masih membutuhkan lebih dari itu,” kata Dadan ketika ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (1/7/2025).

    Siswa makan menggunakan food tray di program MBG

    Keputusan itu lantas mendapat tanggapan negatif dari pelaku usaha yang tergabung dalam ASPRADAM dan Asosiasi Produsen Wadah Makan Indonesia (APMAKI).

    Pengurus APMAKI Robert Susanto menyebut, industri dalam negeri sudah mampu memproduksi hingga 10 juta food tray per bulannya.

    “Itu pun belum dalam kondisi digas secara maksimum. Dengan kondisi yang sedang-sedang saja, sudah mampu produksi 10 juta [food tray] per bulan,” kata Robert dalam konferensi pers di Jakarta Selatan, Kamis (31/7/2025). 

    Menurutnya, adanya perbedaan pandangan terkait produksi food tray terjadi lantaran tidak ada koordinasi antara produsen dengan pemerintah. 

    Selama ini, Robert mengaku bahwa produsen dalam negeri berjalan sendiri tanpa adanya pendampingan dari kementerian terkait. “…sehingga seolah-olah produsen dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan food tray untuk program MBG ini,” ujarnya.

    Sementara itu, Sekretaris Jenderal APMAKI Alie Cendrawan mengatakan, kebijakan itu dapat merugikan produsen lokal lantaran produk impor yang masuk kemungkinan memiliki harga yang lebih rendah dari produksi dalam negeri. Kendati begitu, dia tidak mengungkap negara asal impor food tray yang dimaksud. 

    Alie mengharapkan agar pemerintah dapat melonggarkan bahkan menghapus izin impor untuk kepentingan industri dalam negeri, khususnya bahan baku. Dengan begitu, produk dalam negeri mampu bersaing dengan produk impor.

    “Kalau bisa peraturan itu dihapus. Itu lebih penting daripada [impor] barang jadi. Sedangkan kita, kami ini pengusaha kesulitan untuk cari bahan baku dan bahan baku lokal masih mahal, terlalu mahal,” tuturnya.

  • Rencana Pinjaman Dana Desa untuk Kopdes Merah Putih Tuai Sorotan

    Rencana Pinjaman Dana Desa untuk Kopdes Merah Putih Tuai Sorotan

    Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah dinilai perlu mengkaji lebih lanjut terkait rencana pinjaman dana desa sebagai jaminan untuk Koperasi Desa (Kopdes)/Kelurahan Merah Puti, yang hanya dibatasi sebesar 30%. 

    Rencana tersebut nantinya bakal dituangkan dalam Peraturan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal.

    Pengamat Koperasi Rully Indrawan mengatakan rencana tersebut perlu dibahas lebih dalam untuk memastikan apakah kebijakan yang dibuat cukup untuk menjamin pinjaman Bank Himbara, termasuk alternatif jika dana desa tidak cukup untuk menjadi jaminan Kopdes/Kel Merah Putih. 

    Dia mengatakan selain untuk koperasi, pasalnya dana desa juga dialokasikan untuk keperluan lain seperti infrastruktur jalan dan lainnya.

    “Jaminan 30% itu sekitar  Rp300 juta-Rp1 miliar. Apakah cukup untuk menjamin pinjaman himbara Rp3 miliar – Rp5 miliar. Kalau belum, bagaimana?” kata Rully kepada Bisnis, dikutip Minggu (3/8/2025).

    Untuk diketahui, pemerintah memungkinkan penggunaan dana desa untuk membayar utang, jika Kopdes/Kel Merah Putih gagal membayar pinjaman ke Bank Himbara.

    Hal itu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.49/2025 tentang tata Cara Pinjaman Dalam Rangka Pendanaan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih.

    Melalui beleid ini, pemerintah mengatur bahwa Bank dapat mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk menutupi kekurangannya, jika Kopdes/Kel Merah Putih tidak mampu membayar angsuran pokok dan bunga/margin/bagi hasil perjanjian pinjaman yang telah jatuh tempo.

    Dana tersebut bersumber dari dana desa untuk Kopdes Merah Putih, atau Dana Alokasi Umum/Dana Bagi Hasil (DAU/DBH) untuk Koperasi Kelurahan Merah Putih.

    Seiring dengan terbitnya PMK tersebut, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menugaskan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Mendes PDT) Yandri Susanto untuk merancang peraturan terkait kewajiban, tata cara, hingga siklus pengambilan keputusan antara Kopdes Merah Putih dan di tingkat desa.

    Yandri mengatakan, nantinya dana desa yang dapat dijadikan jaminan pinjaman Kopdes/Kel Merah Putih dibatasi hanya sebesar 30%.

    “Jadi dana desa yang ada itu maksimal dia menjadi jaminan 30% saja,” kata Yandri ketika ditemui di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Pangan, Jakarta Pusat, Selasa (29/7/2025). 

    Yandri mencontohkan, jika dana desa sebesar Rp500 juta, maka maksimal penggunaan jaminan untuk pinjaman Kopdes/Kel Merah Putih Rp150 juta. Kendati begitu, pinjaman oleh Kopdes/Kel Merah Putih tidak dapat dilakukan sekaligus, tetapi secara bertahap. 

    “Semakin besar [dana desa] tentu semakin besar [penggunaan jaminan untuk pinjaman], maka tadi disepakati juga meminjam itu tidak sekaligus,” ungkapnya.

  • Bantuan Insentif Rp1,2 Juta untuk Guru Non ASN Bakal Meluncur, Simak Syaratnya

    Bantuan Insentif Rp1,2 Juta untuk Guru Non ASN Bakal Meluncur, Simak Syaratnya

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah akan menyalurkan bantuan insentif sebesar Rp1,2 juta per penerima per tahun kepada 341.248 guru non aparatur sipil negara (ASN). Pencairan bantuan akan dilakukan sekaligus mulai Agustus-September 2025.

    Subkordinator Aneka Tunjangan Puslapdik Kemendikdasmen Sri Lestariningsih menyampaikan, bantuan insentif ini ditujukan untuk guru non ASN di semua jenjang, yakni guru TK, SD, SMP, SMA, dan SMK. 

    Guru non ASN harus memenuhi sejumlah syarat untuk dapat menerima insentif sebesar Rp1,2 juta. Persyaratan itu yakni belum memiliki sertifikat pendidik, memenuhi kualifikasi D4 atau S1, memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK), memenuhi beban kerja sesuai aturan,  terdata dalam Dapodik, dan tidak berstatus sebagai ASN.

    Selain itu, calon penerima bantuan bukan penerima bantuan sosial dari Kementerian Sosial (Kemensos), tidak menerima bantuan dari BPJS Ketenagakerjaan, dan tidak bertugas pada Satuan Pendidikan Kerjasama  dan Satuan Pendidikan Indonesia Luar Negeri.

    Terkait mekanisme penyaluran bantuan, Lestariningsih menuturkan bahwa Dinas Pendidikan tidak lagi mengusulkan guru sebagai calon penerima bantuan insentif melalui aplikasi SIM-ANTUN. 

    “Pada petunjuk teknis penyaluran bantuan insentif tahun 2025 ini, Puslapdik bersama-sama dengan Ditjen Guru, Tenaga Kependidikan, dan Pendidikan Guru melakukan sinkronisasi dan verifikasi data guru melalui Dapodik,” jelas Lestariningsih, mengutip laman resmi Puslapdik Kemendikdasmen, Minggu (3/8/2025).

    Kemudian, pemerintah dalam petunjuk teknis terbaru mengatur bahwa Puslapdik membukakan Nomor Rekening bagi seluruh Guru Formal calon penerima bantuan insentif.

    Dia mengatakan, guru penerima bantuan insentif diberikan kesempatan hingga 30 Januari 2025 untuk melakukan aktivasi rekening.

    “Kalau lewat dari waktu itu, uangnya akan dikembalikan ke kas negara,” ungkapnya.

    Proses belajar mengajar di salah satu sekolah

    Sementara itu, tidak ada perubahan persyaratan penerima bantuan bagi pendidik PAUD non-formal. Dia mengatakan, persyaratannya masih sama yakni harus memiliki masa kerja sedikitnya 13 tahun secara terus menerus pada Januari 2025.

    Selain itu, memiliki ijazah paling rendah Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) atau sederajat, bertugas pada KB/TPA di bawah pembinaan dinas pendidikan sesuai dengan kewenangannya, terdata dalam Dapodik, dan tidak berstatus sebagai ASN.

    Khusus untuk pendidik PAUD non-formal, besaran insentif yang diberikan pemerintah yakni Rp2,4 juta per penerima per tahun dan dibayar sekaligus. 

    “Nominasi penerima bantuan insentif bagi Pendidik PAUD Non-Formal ada di SIM ANTUN, dan harus diusulkan oleh Dinas Pendidikan,” pungkasnya.

    Berikut syarat lengkap penerima bantuan insentif untuk Guru Formal Non-ASN dan pendidik PAUD Non-Formal:
    Syarat penerima untuk Guru Formal Non-ASN:

    1.Belum memiliki sertifikat pendidik

    2.Memenuhi kualifikasi D4 atau S1

    3.Memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK)

    4.Memenuhi beban kerja sesuai aturan

    5.Terdata dalam Dapodik

    6.Tidak berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN)

    7.Bukan penerima bantuan sosial dari Kementerian Sosial

    8. Bukan penerima bantuan dari BPJS ketenagakerjaan

    9.Tidak bertugas pada Satuan Pendidikan Kerjasama  dan Satuan Pendidikan Indonesia Luar Negeri

     

    Syarat penerima untuk pendidik PAUD Non-Formal:

    1.Memiliki masa kerja sedikitnya 13 tahun secara terus menerus pada Januari 2025

    2.Memiliki ijazah paling rendah Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) atau sederajat 

    3.Bertugas pada KB/TPA di bawah pembinaan dinas pendidikan sesuai dengan kewenangannya

    4.Terdata dalam Dapodik

    5.Tidak berstatus sebagai ASN

  • Rekomendasi agar Kopdes Merah Putih Bawa Dampak Nyata di Daerah

    Rekomendasi agar Kopdes Merah Putih Bawa Dampak Nyata di Daerah

    Bisnis.com, JAKARTA – Lembaga riset IFG Progress memberikan sejumah rekomendasi kebijakan strategis untuk memastikan program 80.000 Koperasi Desah/Kelurahan Merah Putih benar-benar membawa dampak nyata bagi ekonomi daerah.

    Rekomendasi tersebut diberikan atas dasar hasil risetnya yang melakukan penelitian terhadap 51.505 unit koperasi yang tersebar di Indonesia.

    IFG Progress saat ini melihat kehadiran koperasi di wilayah tersebut ternyata tidak berdampak signifikan terhadap pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB) dan peningkatan konsumsi rumah tangga.

    “Penting untuk memastikan bahwa pembentukan lebih dari 80.000 koperasi desa dan kelurahan yang ambisius memberikan dampak ekonomi yang nyata,” tulis IFG Progress dalam riset tersebut, dikutip Minggu (3/8/2025).

    Pertama, IFG Progress menyarankan agar pemerintah harus lebih dari sekadar membuat kebijakan administratif dan formalitas, namun memastikan bahwa setiap koperasi memiliki tujuan yang jelas, fungsional dan produktif.

    Selain itu, prioritas juga harus diberikan kepada model-model koperasi yang terbukti berhasil, seperti koperasi simpan pinjam (KSP). Berdasarkan riset, KSP telah menunjukkan dampak signifikan dalam mengurangi pengangguran dengan mendukung kewirausahaan mikro dan aktivitas sektor informal. 

    Koperasi juga tidak boleh dibentuk hanya untuk memenuhi target numerik, tetapi harus memberikan nilai nyata melalui layanan seperti akses kredit, agregasi pasar, dan distribusi input yang disesuaikan dengan kebutuhan spesifik masyarakat setempat.

    Kedua, IFG Progress menyarankan agar dilakukan strategi yang terdiferensiasi secara regional. Bukti dari studi IFG menunjukkan bahwa model yang seragam, terutama model koperasi unit desa (KUD) yang berkinerja buruk, tidak efektif di daerah pedesaan tertinggal. 

    Agar diferensiasi strategi tersebut bisa sesuai dengan tipologi ekonomi daerah setempat, IFG Progress menyarankan keterlibatan badan perencanaan daerah dan BUMDes dalam menciptakan bersama format Kopdes Merah Putih yang berdiri di tempat tersebut.

    Ketiga, IFG Progress menyarankan agar program Kopdes Merah Putih harus dikaitkan dengan prioritas strategis nasional, khususnya ketahanan pangan sebagaimana yang sudah ditegaskan oleh Presiden Prabowo.

    Caranya adalah dengan mengintegrasikan koperasi ke dalam sistem pangan nasional melalui kemitraan sehingga memperkuat peran Kopdes Merah Putih dalam stabilisasi rantai pasok, meningkatkan akses terhadap input pertanian, serta memperkuat distribusi lokal. 

  • Seberapa Tangguh Koperasi Gerakkan Ekonomi Daerah, Ini Kata IFG Progress

    Seberapa Tangguh Koperasi Gerakkan Ekonomi Daerah, Ini Kata IFG Progress

    Bisnis.com, JAKARTA – Lembaga riset, IFG Progress merilis hasil penelitian berjudul “Unpacking the Myth: Are Cooperatives the Engine of Local Growth?” yang meneliti sejauh mana dampak koperasi terhadap ekonomi daerah dan penyerapan tenaga kerja.

    Dengan menggunakan dua metode penelitian, yaitu regresi ordinary least squares (OLS) dan propensity score matching (PSM), hasil studi IFG Progress menemukan bahwa keberadaan koperasi di suatu wilayah tidak dapat secara signifikan mengaitkan peningkatan kegiatan ekonomi wilayah.

    “Hal itu karena belum terbukti secara statistik bahwa keberadaan koperasi berkaitan dengan pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB) dan peningkatan konsumsi rumah tangga,” tulis hasil riset tersebut, dikutip Minggu (3/8/2025).

    Meskipun tidak punya korelasi hubungan signifikan, IFG Progress menyatakan bahwa hal tersebut bukan menunjukkan ketidakefektifan koperasi, melainkan kontribusinya diduga lebih bersifat jangka panjang, tidak langsung, atau multidimensi.

    Misalnya, kehadiran koperasi akan berdampak pada peningkatan pemerataan, ketahanan, modal sosial, atau lapangan kerja yang tidak selalu tercakup dalam metrik pertumbuhan PDB. 

    Adapun, pemerintah telah meresmikan 80.000 Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih pada Senin, 21 Juli 2025 lalu. Kopdes Merah Putih tersebar di 38 provinsi dan yang paling banyak terdapat di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur.

    Program ini ditujukan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat desa melalui pendekatan ekonomi kerakyatan. 

    Lebih lanjut, riset tersebut menyatakan bahwa keberadaan koperasi di suatu wilayah memiliki hubungan negatif yang moderat dengan tingkat pengangguran. Artinya, semakin banyak koperasi maka tingkat pengangguran semakin kecil.

    Lebih spesifik, korelasi antara keberadaan koperasi dengan tingkat pengangguran ini menjadi sangat signifikan ketika menggunakan jumlah rumah tangga yang menerima kredit dari koperasi sebagai variabel proksi pembanding.

    “Hal ini menyiratkan bahwa pembiayaan berbasis koperasi dapat mendukung kewirausahaan mikro, wirausaha, atau kelangsungan usaha kecil (terutama di sektor informal) sehingga meningkatkan peluang kerja,” tulis riset tersebut.

    Riset ini juga mengurai dampak koperasi berdasarkan jenisnya. Hasilnya adalah temuan bahwa Koperasi Simpan Pinjam (KSP), yang mencakup 65% dari seluruh koperasi, berkorelasi signifikan terhadap tingkat pengangguran regional. 

    Namun, temuan untuk Koperasi Unit Desa (KUD) bertentangan dengan hasil ini, karena KUD biasanya bersifat multiguna dan sering beroperasi di daerah pedesaan yang secara struktural kurang beruntung, di mana akses pasar terbatas dan diversifikasi ekonomi terkendala, yang menghambat efektivitasnya dalam mengurangi tingkat pengangguran.

    “Menyikapi inisiatif Indonesia baru-baru ini untuk mengembangkan Koperasi Merah Putih, penting untuk memastikan bahwa pembentukan lebih dari 80.000 koperasi desa dan kelurahan yang ambisius memberikan dampak ekonomi yang nyata. Untuk  mencapai hal ini, beberapa arah kebijakan strategis harus dikejar,” tulis IFG Progress.