Category: Bisnis.com Ekonomi

  • IFG dan KAI Perkuat Literasi Keuangan Karyawan Jelang HUT ke-80 RI

    IFG dan KAI Perkuat Literasi Keuangan Karyawan Jelang HUT ke-80 RI

    Bisnis.com, JAKARTA – Dalam rangka memperingati HUT ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia, Indonesia Financial Group (IFG) bersama PT Kereta Api Indonesia (Persero) menggelar program penguatan literasi keuangan khusus bagi karyawan KAI. Program yang berlangsung di bulan Agustus 2025 ini merupakan wujud komitmen kedua BUMN untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan melalui edukasi keuangan yang komprehensif, dengan fokus utama pada asuransi dan investasi. 

    Kegiatan ini diinisiasi sebagai bentuk kolaborasi antar-BUMN dalam mendukung program pemerintah untuk meningkatkan literasi keuangan nasional, sekaligus sebagai investasi jangka panjang dalam pengembangan sumber daya manusia. Program ini secara khusus dirancang untuk memenuhi kebutuhan edukasi keuangan karyawan KAI yang tersebar di seluruh Indonesia. 

    Program penguatan literasi keuangan ini memanfaatkan keahlian IFG sebagai holding BUMN yang menaungi perusahaan-perusahaan asuransi, penjaminan dan investasi terkemuka di Indonesia. Melalui kerja sama ini, karyawan KAI mendapatkan akses langsung kepada instrumen serta informasi keuangan untuk memahami berbagai aspek pengelolaan keuangan baik pribadi dan keluarga. 

    Sementara itu Plt Direktur Bisnis IFG menekankan pentingnya edukasi dan literasi keuangan bagi karyawan BUMN. “Sebagai bagian dari keluarga besar BUMN, karyawan KAI berhak mendapatkan edukasi keuangan terbaik. Program ini sejalan dengan semangat gotong royong dan sinergi antar-BUMN untuk mencapai kesejahteraan bersama.” Ujar Direktur Bisnis IFG, Rianto Ahmadi, disela-sela kegiatan literasi keuangan karyawan KAI di Kantor Pusat KAI, Bandung. 

    Program penguatan literasi keuangan ini mendapat apresiasi dari berbagai pihak, termasuk Kementerian BUMN, Kementerian Ketenagakerjaan, dan serikat pekerja. Dukungan ini menunjukkan pentingnya program pengembangan SDM dalam agenda pembangunan nasional. 

    “Kami melihat program ini sebagai bentuk perhatian perusahaan terhadap kesejahteraan jangka panjang karyawan. Ini sejalan dengan aspirasi kami untuk meningkatkan kualitas hidup anggota,” tutur perwakilan karyawan KAI. 

    Kegiatan ini juga merupakan implementasi dari arahan Danantara dalam meningkatkan sinergi antar-BUMN dalam berbagai aspek, termasuk pengembangan sumber daya manusia. Dengan menggabungkan ragam narasumber ahli IFG dalam bidang keuangan dan jangkauan KAI yang luas, program ini diharapkan dapat menjadi model kerjasama yang dapat diadopsi oleh BUMN lainnya. 

  • Industri Rokok Sumbang Pajak Lebih Banyak dibanding Otomotif

    Industri Rokok Sumbang Pajak Lebih Banyak dibanding Otomotif

    Bisnis.com, JAKARTA — Kendati mengalami penurunan kinerja, industri pengolahan tembakau (IPT) menyumbang penerimaan pajak yang cukup signfikan ke pendapatan negara. 

    Data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memaparkan bahwa sampai semester 1/2025, industri pengolahan tembakau menyumbang penerimaan pajak sebesar Rp24,2 triliun atau tumbuh 5% dari semester 1/2024 yang tercatat Rp22,9 triliun.

    Kinerja penerimaan industri pengolahan tembakau itu jauh lebih tinggi dibandingkan penerimaan pajak dari sektor industri otomotif khususnya kendaraan roda empat yang hanya di angka Rp14 triliun. 

    Penerimaan pajak dari industri rokok hanya sedikit lebih rendah dari industri pengolahan sawit yang tercatat sebesar Rp29,4 triliun dan pengilangan minyak bumi sebesar Rp27,3 triliun.

    Kendati demikian, jika menambahkan penerimaan dari cukai hasil tembakau (CHT), penerimaan dari industri tembakau menyumbang ke kas negara sekitar Rp130-an triliun.

    Adapun penerimaan cukai per semester 1/2025 kemarin hanya tumbuh 6,9% karena fenomena downtrading dan tidak adanya kenaikan tarif pada tahun ini. 

    Bisnis telah mencoba mengonfirmasi terkait prospek penerimaan cukai tahun ini ke Bea Cukai. Namun hingga berita ini diunggah, pihak Bea Cukai belum membalas pertanyaan dari Bisnis. 

    Prospek Emiten Rokok 

    Sementara itu, emiten rokok menghadapi tekanan peredaran rokok ilegal yang perlahan menguasai pasar. Di tengah situasi ini, beberapa perusahaan disebut masih menunjukkan daya tahan meski harus ada upaya cepat untuk memitigasi kondisi pasar. 

    Arinda Izzaty, Junior Analyst PT Pilarmas Investindo Sekuritas mencontohkan beberapa emiten seperti PT HM Sampoerna Tbk. (HMSP) dan PT Gudang Garam Tbk. (GGRM) mengalami kontraksi di tengah situasi tersebut.

    “Prospek saham emiten rokok seperti HMSP dan GGRM saat ini berada dalam tekanan signifikan akibat lonjakan peredaran rokok ilegal yang diperkirakan menguasai 46% pangsa pasar pada 2024. Ini menyebabkan kontraksi pendapatan pada semester I/2025 karena menurunnya volume penjualan rokok legal dan makin ketatnya persaingan harga,” kata Arinda kepada Bisnis, Senin (4/8/2025).

    Berdasarkan laporan keuangan masing-masing perusahaan dalam semester I/2025, HMSP mencatatkan kontraksi penjualan bersih 4,57% year-on-year (YoY) menjadi Rp55,17 triliun. Sedangkan GGRM mengalami kontraksi pendapatan 11,30% YoY menjadi Rp44,37 triliun. 

    Arinda menilai tantangan peredaran rokok ilegal ini bersifat struktural karena tidak hanya merugikan emiten dari sisi pendapatan, tetapi juga mengganggu ekosistem industri dan menekan penerimaan cukai negara, yang pada akhirnya dapat memicu tekanan regulasi tambahan. 

    Di tengah situasi ini, sambungnya, investor melihat sektor rokok sebagai defensif tetapi stagnan, terutama karena kenaikan tarif cukai yang terus berlanjut dan rendahnya daya beli segmen konsumen menengah-bawah. 

    Meski demikian, Arinda melihat beberapa emiten masih menunjukkan ketahanan relatif, seperti misalnya HMSP yang mendapat dukungan dari Philip Morris dalam hal efisiensi dan inovasi, serta produk yang fokus ke kalangan menengah ke atas.

    Contoh lainnya, PT Wismilak Inti Makmur Tbk. (WIIM) lebih lincah dan adaptif di segmen pasar sigaret kretek tangan (SKT) yang memiliki struktur biaya lebih ringan.

    “GGRM, di sisi lain, menghadapi tantangan tambahan karena ketergantungan pada pasar domestik dan proyek non-inti seperti bandara Kediri yang menyedot banyak investasi,” ujarnya.

    Pendapatan GGRM

    Adapun dalam semester I/2025, pendapatan GGRM sebesar 98,74% dikontribusikan dari penjualan lokal, yakni mencapai Rp43,81 triliun atau kontraksi 11,05% YoY. Sedangkan, penjualan untuk ekspor yang hanya memiliki pangsa 1,26% juga turun 27,35% YoY menjadi Rp557,18 miliar.

    Arinda melanjutkan, ke depan kinerja emiten sektor rokok sangat bergantung pada efektivitas pemerintah dalam memberantas rokok ilegal, arah kebijakan cukai, serta kemampuan emiten untuk mempertahankan volume dan margin melalui efisiensi dan inovasi produk. 

    “Atau, mungkin juga perusahaan rokok bisa melakukan disrupsi atau mitigasi di sektor ini. Beberapa yang kita perhatikan juga ada beberapa perusahaan rokok yang mulai beralih kepada rokok electrik untuk melakukan diversifikasi bisnis. Sehingga tentu hal ini membuat perusahaan rokok mau tidak mau harus mengikuti perkembangan zaman juga,” pungkasnya.

  • Bantah Industri Properti Loyo, Menteri Perumahan: Rumah Subsidi Makin Menyala

    Bantah Industri Properti Loyo, Menteri Perumahan: Rumah Subsidi Makin Menyala

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Maruarar Sirait (Ara) menepis kabar industri real estate nasional yang disebut masih melanjutkan tren perlambatan penjualan.

    Ara menekankan, hal itu tidak sepenuhnya benar lantaran pihaknya justru melihat adanya peningkatan pembelian rumah subsidi beberapa waktu belakangan. 

    “Dari diskusi saya dengan pengembang dan para marketing rumah subsidi ternyata  bisnis perumahan subsidi makin menyala karena minat masyarakat untuk memiliki rumah semakin besar. Jadi tidak benar jika ada yang bilang bahwa bisnis properti semakin turun,” jelasnya dalam keterangan tertulis, Senin (11/8/2025).

    Adapun, peningkatan penjualan rumah subsidi ini diklaim makin bergeliat seiring dengan implementasi program prioritas Presiden Prabowo Subianto di sektor perumahan yakni Program 3 Juta Rumah.

    Ara menekankan, rumah subsidi merupakan jawaban atas kebutuhan hunian layak bagi masyarakat dan mengurangi ketimpangan pemilikan rumah (backlog) perumahan di Indonesia. 

    Dia juga menambahkan, pengembang perumahan saat ini dipastikan dapat merasakan langsung hasil kebijakan Presiden Prabowo Subianto di sektor perumahan khususnya Program 3 Juta Rumah. 

    “Kondisi di lapangan ternyata bisnis perumahan bersubsidi semakin menyala kan,” pungkasnya.

    Untuk diketahui, peningkatan pembelian rumah subsidi itu terjadi di tengah melemahnya penjualan rumah komersial sepanjang kuartal I/2025. Padahal, pada periode tersebut pemerintah tengah mengimplementasikan insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) 100%.

    Direktur Eksekutif Core Indonesia, Mohammad Faisal menjelaskan bahwa hal itu terjadi lantaran adanya pelemahan daya beli masyarakat. Sehingga, masyarakat yang semulanya merupakan pasar rumah komersil mulai bermigrasi melakukan pembelian rumah subsidi.

    “Kita ini melihat bahwa ada korelasi yang sangat kuat dengan daya belinya. Jadi bisa jadi bahwa yang beli rumah-rumah kecil itu bukan cuma kalangan bawah, tapi juga kalangan menengah yang tadinya mungkin bisa beli rumah yang agak gede, di atas 36 meter persegi, di atas 70 meter persegi, sekarang justru beli rumah-rumah kecil,” jelasnya.

    Dia melanjutkan, saat ini masyarakat mulai bergeser melakukan pembelian rumah minimalis dengan rata-rata luasan 30 meter persegi.

    Alhasil, penjualan rumah kelas menengah dan atas mengalami penurunan, sedangkan penjualan rumah kecil justru mengalami peningkatan. 

    “Di kuartal I/2025 kita lihat pertumbuhan penjualan rumah yang menengah dan besar tetap turun, kontraksi, tetap decline,” pungkasnya.

  • Pengusaha Ragu Tarif Trump Bikin Pemain Tekstil Global Relokasi Pabrik ke RI

    Pengusaha Ragu Tarif Trump Bikin Pemain Tekstil Global Relokasi Pabrik ke RI

    Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen (APSyFI) meragukan potensi relokasi pabrik tekstil dan produk tekstil (TPT) dari negara lain ke Indonesia di tengah pemberlakuan tarif bea masuk ke Amerika Serikat. Adapun, Indonesia mendapatkan penurunan tarif dari semula 32% menjadi 19%. 

    Ketua Umum APSyFI Redma Gita Wirawasta mengatakan tarif bea masuk produk Indonesia ke AS masih setara dengan sejumlah negara kompetitor, Vietnam (20%), Kamboja, Thailand, Filipina dan Malaysia (19%). 

    “Kalau di sektor TPT agak sedikit sulit, karena Vietnam dan Kamboja tarifnya hampir setara. Tapi ini tergantung pada perkembangan dan insentif yang diberikan pemerintah,” kata Redma kepada Bisnis, dikutip Senin (11/8/2025). 

    Redma tak memberikan rinci insentif yang dapat menggerakkan investor masuk ke Indonesia. Namun, stimulus berupa harga energi dan logistik dapat menjadi angin segar di sektor tekstil nasional. 

    Kendati demikian, menurut Redma, ada hal yang lebih penting untuk memastikan dunia usaha sektor ini terjaga, yakni jaminan perlindungan pasar domestik dari produk impor ilegal. 

    “Karena pasar yang paling potensial adalah pasar dalam negeri, namun ini pun masih menjadi tantangan karena maraknya barang impor murah dari China,” ujarnya. 

    Di sisi lain, Redma mengatakan pihaknya cukup lega dengan penurunan tarif dari 32% menjadi 19%. Namun, tambahan tarif bea masuk ke AS itu tetap dinilai tinggi dan dapat berpotensi menurunkan ekspor tekstil Indonesia. 

    “Dengan adanya tambahan tarif ini, importasi AS kemungkinan besar akan turun drastis sehingga pangsa pasar produk impor juga turun dan ini akan berimbas pada penurunan ekspor kita,” kata Redma kepada Bisnis, Kamis (7/8/2025).  

    Meskipun demikian, dengan tarif China (30%) dan India (25%) yang masih lebih tinggi dari Indonesia, maka ada porsi sisa impor AS yang ditinggalkan China dan India.  

    “Ekspor kita bisa stabil atau bahkan bisa naik jika bisa mengisi pangsa pasar yang ditinggalkan China dan India,” jelas Redma. 

    Diberitakan sebelumnya, Dewan Ekonomi Nasional (DEN) optimistis dampak penurunan tarif bea masuk produk Indonesia ke Amerika Serikat(AS) yang kini menjadi 19% dapat membuka berbagai peluang investasi untuk masuk ke dalam negeri. 

    Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, tak sedikit investor dari Vietnam dan Taiwan yang mulai minat untuk merelokasi usahanya ke Indonesia dikarenakan tarif ke AS yang lebih rendah. 

    Adapun, tarif produk Vietnam ke AS dipatok sebesar 20%, sedangkan produk asal Taiwan ke AS mencapai 32%. Meski berbeda tipis, Indonesia dinilai lebih diuntungkan. 

    “Tarif 19% ini masih banyak breakdown yang dibawa yang akan membuat ekonomi kita bagus ke depan, lapangan kerja, bahkan banyak orang dari Vietnam, Taiwan pengen juga relokasi karena 1% very meaningfulsebenarnya,” kata Luhut di Jakarta, belum lama ini.

  • Syarat dan Daftar 15 Item Belanja yang Kena Sasaran Efisiensi Sri Mulyani

    Syarat dan Daftar 15 Item Belanja yang Kena Sasaran Efisiensi Sri Mulyani

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.56/2025 tentang Tata Cara Pelaksanaan Efisiensi Belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara alias APBN.

    Lewat aturan tersebut, Kemenkeu menekankan bahwa efisiensi belanja dimaksudkan untuk menjaga keberlanjutan fiskal dan mendukung program prioritas pemerintah. Cakupan anggaran belanja yang terdampak efisiensi antara lain anggaran belanja kementerian atau lembaga, dan efisiensi transfer ke daerah. 

    “Hasil efisiensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) utamanya digunakan untuk kegiatan prioritas Presiden yang pelaksanaannya dikoordinasikan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan,” demikian bunyi beleid yang dikutip, Rabu (6/8/2025).

    Menariknya di dalam beleid itu, Sri Mulyani tidak memasukkan anggaran belanja lainnya dalam pos anggaran yang kena efisiensi. Itu artinya ada pengurangan pos anggaran dari 16 menjadi 15 pos dibandingkan yang tertera dalam Surat Menkeu No: S-37/MK.02/2025. 

    Adapun kalau merujuk beleid baru tersebut, pos-pos anggaran yang kena efisiensi antara lain, alat tulis kantor; kegiatan seremonial; rapat, seminar, dan sejenisnya; kajian dan analisis; diklat dan bimtek; honor output kegiatan dan jasa profesi; percetakan dan souvenir; sewa gedung, kendaraan, dan peralatan.

    Selanjutnya, lisensi aplikasi; jasa konsultan; bantuan pemerintah; pemeliharaan dan perawatan; perjalanan dinas; peralatan dan mesin; infrastruktur.

    Meski demikian, aturan baru tersebut juga tidak menyebut secara spesifik berapa nilai besaran anggaran yang terdampak efisiensi. PMK itu hanya menekankan bahwa Menteri Keuangan (Menkeu) bisa menyesuaikan item anggaran yang terkena efisiensi sesuai arahan presiden. 

    Selain itu, meski tetap merujuk kepada kebijakan efisiensi anggaran yang ditetapkan oleh presiden, Menteri Keuangan berhak menetapkan besaran efisiensi anggaran dan menyampaikannya kepada masing-masing kementerian dan lembaga. 

    Beleid efisiensi itu juga memerintahkan kepada kementerian dan lembaga untuk mengidentifikasi rencana efisiensi belanja. Identifikasi rencana efisiensi anggaran belanja dilakukan melalui identifikasi jenis belanja, item belanja, atau sumber dana. Sumber dana yang dimaksud beleid ini bisa dari pinjaman hibah, rumah murni pendamping, PNBP BLU dan SBSN.

    Namun yang jelas dalam beleid baru tersebut, Sri Mulyani menekankan bahwa apabila hasil identifikasi jenis belanja, item belanja, atau sumber dana tidak dapat memenuhi besaran efisiensi, kementerian atau lembaga dapat melakukan penyesuaian.

    Penyesuaian itu dapat dilakukan dengan ketentuan besaran efisiensi anggaran belanja kementerian atau lembaga tidak berubah, memastikan ketersediaan anggaran untuk pemenuhan Belanja Pegawai, Penyelenggaraan Operasional Kantor, Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Dasar, dan pelaksanaan Pelayanan Publik, efisiensi dilakukan pada seluruh item belanja, dan menghindari adanya pengurangan pegawai non aparatur sipil negara yang telah bekerja kecuali karena berakhirnya perikatan kontrak.

    “Rencana efisiensi anggaran belanja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 disampaikan kepada mitra Komisi Dewan Perwakilan Rakyat terkait untuk mendapat persetujuan, sepanjang dipersyaratkan sesuai dengan kebijakan dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan.”

    Selain itu, efisiensi tersebut juga perlu mempertimbangkan pencapaian target penerimaan perpajakan.

  • Upaya Menata Ulang Penghiliran Nikel

    Upaya Menata Ulang Penghiliran Nikel

    Bisnis.com, JAKARTA – Kebijakan peng­­­hiliran nikel yang selama ini diposisikan sebagai fondasi transformasi ekonomi nasional kini meng­­­hadapi tantangan serius. Tu­­­­tupnya sejumlah smelter, an­­­jloknya harga nikel glo­­­bal, serta ketergantungan pa­da satu pasar dan satu je­­­nis tek­­­nologi, menandai bah­­­wa strategi penghiliran per­­­lu di­­­tin­­­jau ulang secara me­­­nye­­­luruh.

    Data terbaru menunjukkan setidaknya 28 jalur produksi smelter nikel dengan teknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) telah menghentikan operasi hingga pertengahan 2025. Sebagian besar smelter ini tidak lagi mampu beroperasi secara ekonomis karena harga nikel kadar menengah (MC 30%) di pasar domestik berkisar US$33—US$34 per wet metric ton (WMT), jauh dibawah ongkos produksi (Media Nikel Indonesia, 17/6).

    Bahkan, dalam laporan khusus media ini, kondisi industri penghiliran nikel Indonesia disebut “terancam mandek” akibat tekanan berlapis, mulai dari rendahnya harga global, kebijakan anti-dumping China, hingga rendahnya permintaan bahan mentah dari dalam negeri (Bisnis Indonesia, 30/7). Sinyal krisis ini tidak bisa diabaikan begitu saja.

    Salah satu akar persoalan adalah ketergantungan yang terlalu besar pada satu pasar—yakni China. Sekitar 90% ekspor produk hilir nikel Indonesia masih bergantung pada pasar China, khususnya untuk produk feronikel dan nickel pig iron (NPI). Ketika pasar tersebut terganggu oleh penurunan permintaan atau kebijakan antidumping, industri nikel Indonesia langsung terpukul.

    Ketergantungan tunggal ini tidak hanya menciptakan risiko eksternal, tetapi juga memperlihatkan lemahnya strategi diversifikasi pasar. Sementara negara-negara, seperti Filipina atau Australia mulai memperluas mitra ekspor mereka ke Uni Eropa (UE) dan Amerika Serikat (AS), Indonesia justru belum mengembangkan strategi penghiliran berbasis pasar alternatif.

    Selain itu, penggunaan teknologi RKEF yang mendominasi smelter di Indonesia kian mempersempit opsi. Teknologi ini hanya efektif untuk nikel saprolit dan menghasilkan produk bernilai tambah rendah, yang tidak kompatibel dengan kebutuhan global akan nikel kadar tinggi untuk baterai kendaraan listrik.

    Padahal tren dunia justru bergerak cepat ke arah elektrifikasi transportasi dan energi bersih. Jika Indonesia terus bertahan dalam model penghiliran ini, kita akan kehilangan momentum untuk menjadi pemain utama dalam rantai nilai industri baterai global.

    Kondisi pasar nikel saat ini juga memperlihatkan anomali. Dalam situasi normal, pelaku industri cenderung menolak intervensi negara. Namun, kini desakan agar pemerintah mengatur ulang volume produksi nikel justru datang dari asosiasi pengusaha sendiri (Bisnis Indonesia, 1/8). Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme pasar telah gagal menjaga keseimbangan antara pasokan dan permintaan.

    Tanpa regulasi pasokan, koordinasi lintas sektor, dan sistem pengendalian harga, industri nikel nasional berisiko mengalami race to the bottom. Sebuah kondisi persaingan tanpa batas antarprodusen yang justru merusak nilai tambah dan mempercepat keruntuhan ekosistem industri dengan mengorbankan kepentingan pekerja, lingkungan, dan pajak.

    LANGKAH PEMBARUAN

    Permintaan pelaku industri agar negara mengambil peran dalam kontrol produksi bukanlah bentuk mundur dari liberalisasi, tetapi refleksi atas absennya institusi stabilisasi harga dan tata kelola pasokan dalam kebijakan penghiliran selama ini. Kondisi saat ini membuka peluang untuk melakukan reorientasi penghiliran nasional. Setidaknya ada empat agenda pembaruan yang bisa ditempuh.

    Pertama, pembentukan otoritas penghiliran nasional. Pemerintah perlu membentuk lembaga lintas sektor yang mengintegrasikan kebijakan produksi, teknologi, perizinan, dan pasar. Tanpa badan otoritatif, arah penghiliran akan terus sektoral dan terfragmentasi.

    Kedua, diversifikasi teknologi dan pasar harus dipercepat. Investasi High Pressure Acid Leaching (HPAL) perlu ditingkatkan, dan ekspor diarahkan ke negara-negara seperti UE, India, AS, dan Korea Selatan dalam kerangka strategic partnership berbasis pasokan mineral kritis. Indonesia tak sekadar eksportir bahan mentah, tetapi mitra strategis transisi energi global. Diplomasi mineral harus mendorong alih teknologi, pendanaan penghiliran, dan akses pasar yang lebih adil.

    Ketiga, integrasi rantai nilai dalam negeri. Smelter tidak boleh berdiri sendiri tanpa keterhubungan dengan industri hulu dan hilir di dalam negeri. Rantai nilai nikel harus diarahkan untuk mendorong pengembangan baterai listrik, kendaraan listrik, dan penyimpanan energi.

    Keempat, perlindungan sosial dan keberlanjutan. Kebijakan penghiliran harus berpihak pada pekerja tambang, masyarakat lokal, dan lingkungan hidup. Standar industri hijau dan mekanisme kompensasi lingkungan harus menjadi syarat bagi setiap investasi hilir dalam mengedepankan “environmental conditionalities”.

    Penghiliran nikel tidak boleh berhenti sebagai proyek fisik atau jargon politik. Ia harus diangkat menjadi strategi bangsa yang menyeluruh guna mengintegrasikan visi ekonomi, teknologi, sosial, dan lingkungan. Dengan lebih dari 21 juta ton cadangan nikel laterit terbesar di dunia, Indonesia memiliki peluang untuk menjadi sentra industri kendaraan listrik global.

    Potensi ini hanya bisa tercapai dengan penghiliran berdaulat, penguasaan teknologi, akses pasar global, dan ekosistem industri yang kuat. Krisis harga dan penutupan smelter adalah alarm untuk koreksi kebijakan. Kedaulatan ekonomi bukan sekadar stop ekspor mentah, tetapi soal siapa yang menguasai rantai nilai dan memberi manfaat berkelanjutan bagi bangsa.

  • Setumpuk PR Dirjen Pajak Baru Kejar Kekurangan Target Pajak Rp1.245,5 Triliun

    Setumpuk PR Dirjen Pajak Baru Kejar Kekurangan Target Pajak Rp1.245,5 Triliun

    Bisnis.com, JAKARTA — Kinerja penerimaan pajak yang masih belum sesuai ekspektasi menjadi pekerjaan utama Direktur Jenderal alias Dirjen Pajak Baru, Bimo Wijayanto. Apalagi realisasi penerimaan pajak pada semester 1/2025 lalu mencapai Rp831,27 triliun atau kurang dari Rp1.2456,3 triliun dari outlook yang tercatat sebesar Rp2.076,9 triliun. 

    Tidak tercapainya penerimaan pajak akan berimbas ke kinerja APBN secara keseluruhan, termasuk kemungkinan pelebaran defisit yang tahun ini memang sudah di-setting melebar ke angka 2,78%. 

    Namun demikian, untuk memenuhi kekurangan penerimaan pajak sebesar Rp1.245,63 triliun, bukan pekerjaan mudah. Tingginya restitusi telah memicu kontraksi penerimaan di jenis-jenis utama penerimaan pajak seperti PPN dan PPh.

    Sekadar ilustrasi, kalau merujuk kepada data Kementerian Keuangan, angka restitusi itu bisa ditelusuri melalui besaran jumlah pajak bruto dan pajak neto. Penerimaan PPN Bruto pada semester 1/2025 tercatat sebesar Rp443,93 triliun, sementara itu neto Rp267,27 triliun. Artinya jika selisih antara PPN bruto dan neto itu dianggap sebagai restitusi, maka nilainya akan mencapai Rp176,6 triliun. 

    Selain itu, ada kecenderungan ketidakelastisan antara penerimaan pajak dengan sektor-sektor produk domestik bruto (PDB). Sebagai contoh, pemerintah mengkaim bahwa daya beli pemerintah masih cukup terjaga. Klaim ini diperkuat oleh data Badan Pusat Statistik (BPS) yang memaparkan bahwa sepanjang semester 1/2025 lalu pertumbuhan konsumsi rumah tangga berada di angka 4,96% atau lebih tinggi dibandingkan dengan semester II/2024 yang tercatat sebesar 4,92%.

    Namun demikian, tren pertumbuhan konsumsi ini tidak sejalan dengan kinerja penerimaan pajak pertambahan nilai atau PPN. Data penerimaan pajak pada Semester 1/2025 mencatat realisasi PPN sebanyak Rp267,27 triliun atau terkontraksi sebesar 19,7% dibandingkan realisasi tahun lalu yang tercatat sebesar Rp332,81 triliun.

    Artinya ada ketidakelastisan antara kinerja konsumsi rumah tangga yang merepresentasikan daya beli masyarakat dengan penerimaan PPN. Kalau merujuk data BPS, secara kumulatif konsumsi rumah tangga mencapai Rp6.317,2 triliun pada semester 1/2025. Menariknya, jumlah PPN yang dipungut otoritas pajak hanya di angka Rp267,27 triliun atau sekitar 4,2% dari total aktivitas konsumsi masyarakat.

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat (P2 Humas) Ditjen Pajak Rosmauli menekankan bahwa linerja penerimaan pajak tidak semata-mata dipengaruhi oleh konsumsi dan sektor manufaktur, melainkan dipengaruhi oleh berbagai faktor lain secara keseluruhan. Meski demikian, Rosmauli mengakui bahwa penerimaan pajak tahun ini menghadapi banyak tantangan.

    “Saat ini, pengumpulan penerimaan pajak menghadapi sejumlah tantangan, antara lain penurunan harga komoditas yang disebabkan oleh gejolak perekonomian global dan ketidakstabilan geopolitik yang terjadi di sejumlah negara,” ujar Rosmauli kepada Bisnis, dikutip Senin (11/8/2025). 

    Rasio Pajak Stagnan, Rasio Utang Melonjak

    Realisasi penerimaan pajak semester 1/2025 tercatat di angka Rp831,3 triliun atau terkontraksi sebesar 7% dari realisasi semester 1/2024 yang tembus di angka Rp893,8 triliun. 

    Tren pelemahan dari sisi penerimaan pajak ini berisiko bagi stabilitas pengelolaan anggaran. Apalagi, pemerintah juga harus menghadapi potensi lonjakan utang untuk menutup celah fiskal yang ditimbulkan akibat shortfall penerimaan pajak.

    Dalam catatan Bisnis, pada tahun 2024 lalu total outstanding utang pemerintah mencapai Rp8.909,13 triliun atau 39,6% dari produk domestik bruto (PDB). Artinya jika mengacu data realisasi pembiayaan utang semester 1/2025, total utang pemerintah pusat telah menembus angka Rp9.224,5 triliun.

    Sementara itu, jika dihitung menggunakan outlook APBN 2025 yang mencapai Rp772,9 triliun, posisi utang pemerintah pusat (SBN dan pinjaman) kemungkinan menembus Rp9.682 triliun atau tumbuh 8,67% year on year (yoy). Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 2025 di angka 5% atau sekitar Rp23.245,9 triliun, maka proyeksi rasio utang terhadap PDB pada 2025 berada di angka 41,6%. 

    Perbandingan Rasio Pajak Vs Rasio Utang

    Angka 41,6% menjadi yang tertinggi selama 9 tahun terakhir. Proyeksi ini bahkan melampaui realisasi rasio utang pada masa pandemi Covid-19 (2020-2021) yang bila berdasarkan data Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2024 berada di angka 39,4% – 41,1%.

    Persoalannya, tren lonjakan rasio utang yang nyaris mencetak rekor selama 9 tahun terakhir berbanding terbalik dengan kinerja rasio pajak yang justru stagnan bahkan cenderung menurun.

    Tahun ini, misalnya, pemerintah telah menetapkan bahwa outlook penerimaan pajak sebesar Rp2.076,9 triliun. Artinya dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 5%, maka rasio pajak pada tahun 2025 kemungkinan akan berada di angka 8,9%.

    Proyeksi tersebut menunjukkan bahwa rasio pajak, khususnya penerimaan pajak pusat yang dikelola Direktorat Jenderal Pajak, tidak pernah melonjak signifikan. Angka rasio pajak selalu terjebak di kisaran 8% selama 9 tahun terakhir. Angka pastinya di 7,5% – 8,9%. 

  • Kewenangan Besar Sri Mulyani ‘Utak-atik’ Efisiensi Anggaran

    Kewenangan Besar Sri Mulyani ‘Utak-atik’ Efisiensi Anggaran

    Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah terus menginjak rem efisiensi sebagai konsekuensi dari keterbatasan ruang fiskal akibat tersendatnya sektor pendapatan negara. Efisiensi belanja ini akan dialihkan untuk program prioritas pemerintah.

    Salah satu penguat berlanjutnya kebijakan efisiensi itu tampak dari implementasi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.56/2025 tentang Tata Cara Pelaksanaan Efisiensi Belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Beleid baru ini memberikan kewenangan besar kepada Menteri Keuangan. 

    Ada sejumlah perbedaan beleid tersebut dengan aturan yang diterbitkan sebelumnya, sebagai tindak lanjut dari Instruksi Presiden (Inpres) No.1/2025. Pada PMK No.56/2025, Menteri Keuangan Sri Mulyani tidak mencantumkan pos anggaran belanja lainnya ke dalam pos anggaran yang kena efisiensi. 

    Dengan kata lain, ada pengurangan pos anggaran dari 16 menjadi 15 pos yang diefisiensi kalau membandingkannya dengan jumlah yang tertera dalam Surat Menkeu No: S-37/MK.02/2025. 

    Adapun kalau merujuk beleid baru tersebut, pos-pos anggaran yang kena efisiensi antara lain, alat tulis kantor; kegiatan seremonial; rapat, seminar, dan sejenisnya; kajian dan analisis; diklat dan bimtek; honor output kegiatan dan jasa profesi; percetakan dan souvenir; sewa gedung, kendaraan, dan peralatan.

    Selanjutnya, lisensi aplikasi; jasa konsultan; bantuan pemerintah; pemeliharaan dan perawatan; perjalanan dinas; peralatan dan mesin; infrastruktur.

    Melalui keterangan tertulis, Kemenkeu menjelaskan bahwa 15 item belanja yang tercantum dalam PMK No.56/2025 merupakan item belanja yang termasuk dalam kategori belanja barang dan modal. 

    Sementara itu, item belanja lainnya yang tercantum dalam S-37 menjadi target identifikasi rencana efisiensi yang dilakukan oleh kementerian/lembaga sebagaimana diatur juga dalam ketentuan yang sama pada Pasal 3 ayat (3) dan ayat (5). 

    “Di mana dibuka ruang untuk pemenuhan target efisiensi dari jenis belanja lain sesuai dengan arahan Presiden,” ujar Kepala Biro Layanan Komunikasi dan Informasi Kemenkeu Deni Surjantoro kepada Bisnis, Kamis (7/8/2025).

    Kewenangan Besar Sri Mulyani

    Untuk diketahui, PMK No.56/2025 khususnya pasal 3 ayat (3) mengatur bahwa “Jenis belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi belanja barang, belanja modal, dan/atau jenis belanja lainnya sesuai arahan Presiden.”

    Kemudian, pasal 3 ayat (5) mengatur bahwa nantinya Bendahara Negara dapat menyesuaikan 15 item belanja yang diatur dalam PMK tersebut sesuai arahan Kepala Negara. 

    “Menteri Keuangan dapat melakukan penyesuaian item belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berdasarkan arahan Presiden,” demikian bunyi pasal 3 ayat (5). 

    Masih terkait dengan kewenangan penetuan efisiensi, Kemenkeu melalui keterangannya juga menjelaskan bahwa besaran efisiensi yang diatur dalam PMK No.56/2025 masih merujuk pada Instruksi Presiden (Inpres) No.1/2025 yang diterbitkan Presiden Prabowo di awal tahun lalu. 

    Hal itu lantaran dalam PMK terbaru dimaksud, belum adanya keterangan berapa besaran anggaran yang menjadi objek dari efisiensi. Sebelumnya, pada Inpres No.1/2025, efisiensi anggaran belanja negara tahun 2025 diatur sebesar Rp306,6 triliun yang terdiri dari Rp256,I triliun belanja pemerintah pusat dan Rp50,59 triliun transfer ke daerah. 

    Namun demikian, pada keterangan tertulis yang sama, Deni menyebut pihaknya belum membuat kebijakan penyisiran anggaran sejalan dengan terbitnya PMK No.56/2025.

    “Sampai saat ini belum ada kebijakan penyisiran ulang efisiensi anggaran kecuali yang sudah tercantum dalam Instruksi Presiden alias Inpres No.1/2025,” terangnya. 

    Adapun saat dimintai keterangan lebih lanjut, Rabu (6/8/2025), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati masih enggan menjelaskan. Usai mengikuti rapat kabinet paripurna di Istana Kepresidenan, kemarin, Bendahara Negara langsung menuju mobilnya lantaran ada kegiatan yang harus diikutinya lagi. 

    “Aku nanti ada rapat. Terima kasih, ya,” ucapnya sebelum menutup pintu mobilnya dan bertolak pulang dari Kompleks Istana Kepresidenan, Rabu(6/8/2025). 

    Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara juga merespons singkat. Dia menjelaskan bahwa kementeriannya bakal mengumumkan lebih lanjut soal implementasi PMK tersebut. 

    Mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) itu menuturkan, efisiensi akan terus dilakukan karena merupakan keinginan setiap lembaga.  “Kalau efisiensi kan memang sudah menjadi keinginan kita setiap lembaga. Terus mencari efisiensi dalam anggaran. Jadi lanjut terus aja, dalam pelaksanaan, dalam perencanaan,” tuturnya di Istana Kepresidenan.

    Belanja Gagal Jadi Katalis Ekonomi?

    Adapun berdasarkan data pertumbuhan ekonomi kuartal II/2025 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi pada periode tersebut sebesar 5,12% secara tahunan (yoy) dibandingkan kuartal II/2024. 

    PDB menurut pengeluaran berupa belanja pemerintah tumbuh negatif 0,33% secara tahunan (yoy) dibandingkan tahun lalu. Pertumbuhan itu semakin merosot dari kuartal I/2024, yakni hanya 1,24% yoy. Efisiensi anggaran sesuai Inpres No.1/2025 memang diterapkan pada periode tersebut. 

    Sebagai respons, Menkeu Sri Mulyani sebelumnya mempercepat realisasi belanja pemerintah yang sebelumnya tertahan. Hal itu kendati statistik menunjukkan tuahnya belum dirasakan setidaknya hingga kuartal II/2025.

    Per akhir Maret 2025, atau akhir kuartal I/2025 ketika blokir anggaran kementerian/lembaga dibuka, Sri Mulyani memaparkan bahwa belanja negara terakselerasi hingga Rp516,1 triliun. Dia menjelaskan pada Januari hingga Februari 2025 atau dalam dua bulan, realisasi belanja pemerintah baru mencapai Rp316,9 triliun. Secara rata-rata, per bulannya belanja senilai Rp158,45 triliun.  

    Artinya, pada Maret saja pemerintah telah membelanjakan Rp200 triliun dari APBN, lebih tinggi dari rata-rata dua bulan sebelumnya.   

    “Ini menggambarkan pada Maret terjadi akselerasi belanja. Kabinet yang baru sudah fokus menjalankan programnya, sudah tidak transisi,” ujarnya dalam konferensi pers APBN Kita, Rabu (30/4/2025). 

    Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati

    Adapun penurunan belanja pemerintah secara tahunan, juga disebut pemerintah karena faktor musiman. Saat kuartal II/2024, belanja pemerintah digelontorkan akibat Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 serentak. 

    “Konsumsi pemerintah dibandingkan tahun lalu memang minus 0,33%, karena tahun lalu ada Pemilu sehingga government spending-nya besar,” kata Menko Perekonomian Airlangga Hartarto pada konferensi pers, Selasa (5/8/2025).

    Menko Perekonomian sejak 2019 itu menyebut ke depan pemerintah akan mendorong konsumsi guna meningkatkan utilitas serta penciptaan lapangan pekerjaan. Beberapa yang sudah diumumkan adalah stimulus ekonomi pada kuartal III/2025 sebesar Rp10,8 triliun, setelah sebelumnya digelontorkan Rp24,44 triliun. 

    Kemudian, pemerintah juga akan menyiapkan di antaranya paket stimulus untuk Libur Natal dan Tahun Baru. “Hingga tentu ke depan kita terus mendorong konsumsi untuk meningkatkan utilitas dan menciptakan lapnagan kerja untuk mendorong pertumbuhan jangka panjang,” terang mantan Ketua Umum Partai Golkar itu.

    Namun demikian, Direktur Ekonomi Digital pada Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menilai belanja negara sudah gagal memberikan dampak yang signifikan. Hal itu kendati sudah ada anggaran yang sebagian dibuka oleh pemerintah. 

    “Pertumbuhan pengeluaran pemerintah masih minus atau terkontraksi. Padahal seharusnya ketika daya beli masyarakat masih turun, belanja pemerintah bisa menjadi stimulus yang tepat bagi perekonomian,” katanya kepada Bisnis, Kamis (7/8/2025). 

    Nailul menyebut efek dari efisiensi pada awal 2025 berdampak negatif terhadap perekonomian, setidaknya hingga kuartal II/2025. Untuk itu, dia mendorong agar pemerintah bisa mendorong belanja di sektor perhotelan atau sektor transportasi yang dinilai bisa menjadi stimulus bagi ekonomi daerah. 

    “Maka, saya berharap pemerintah melakukan stimulus perekonomian di triwulan III dan IV tahun ini dengan melakukan belanja modal dan barang yang dapat menggerakan perekonomian,” tuturnya.

    Apa Imbasnya ke Penerapaan Negara?

    Sebelumnya, data APBN dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menunjukkan bahwa realisasi penerimaan pajak semester I/2025 berada di level Rp831,3 triliun. Terjadi kontraksi sebesar 7% yoy dari semester I/2024 yang sebelumnya senilai Rp893,8 triliun. 

    Sebelumnya, outlook APBN 2025 terkait dengan penerimaan pajak yakni sebesar Rp2.076,9 triliun dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 5%. 

    Pranjul Bhandari, Chief Indonesia and India Economist dari HSBC Global Research mengatakan bahwa turunnya penerimaan negara pada paruh pertama 2025 disebabkan oleh perubahan kebijakan perpajakan korporasi dan sistem baru yang diperkenalkan (Coretax). 

    Namun, Pranjul memperkirakan pemerintah bakal menghimpun penerimaan negara yang meningkat pada semester II/2025. 

    “Saya rasa paruh kedua 2025 kita akan melihat pertumbuhan penerimaan, yang naik dibandingkan paruh pertama,” ujarnya pada media briefing secara daring, Jumat (8/8/2025). 

    Dengan penerimaan yang naik Juli-Desember 2025, maka pemerintah memiliki peluang untuk mendorong belanja lebih besar. Pranjul pun melihat, rencana-rencana pemerintah untuk menyalurkan kembali stimulus ekonomi maupun perpanjangan periode insentif yang telah disampaikan menunjukkan rencana pemerintah untuk menggeber belanja. 

    Kepala Ekonom HSBC untuk Indonesia dan India itu menilai, outlook defisit APBN yang direvisi dari awalnya 2,5% terhadap PDB ke sekitar 2,8% terhadap PDB menunjukkan bahwa pemerintah terbuka untuk lebih fleksibel dalam belanja. 

    Sekadar informasi, pada Juli 2025 lalu, Sri Mulyani telah melaporkan ke Prabowo bahwa outlook defisit APBN adalah 2,78% terhadap PDB. 

    “Bagi saya itu artinya pemerintah sedikit lebih terbuka untuk belanja, dengan saat yang sama masih menaati batas 3% defisit. Yang mana bagi saya adalah kabar baik untuk pertumbuhan ekonomi,” pungkas Pranjul.

  • Ekonom: KUR Masih Jadi Motor Pembiayaan UMKM

    Ekonom: KUR Masih Jadi Motor Pembiayaan UMKM

    Bisnis.com, JAKARTA — Center of Economic and Law Studies (Celios) menilai Kredit Usaha Rakyat (KUR) masih menjadi motor penting dalam membuka akses pembiayaan bagi pelaku UMKM, terutama di sektor-sektor produktif.

    Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira mengatakan meskipun demikian, sejumlah tantangan masih menghambat optimalisasi program ini, khususnya bagi pelaku usaha mikro dan sektor industri manufaktur.

    Selama ini, lanjutnya, KUR banyak membantu pelaku UMKM dalam mengembangkan usaha, tetapi kendala administratif masih menjadi hambatan awal. 

    “UMKM perorangan, terutama skala mikro, masih sering kesulitan dalam mengurus Nomor Induk Berusaha atau NIB dan pembukaan rekening bank, yang kadang memakan waktu cukup lama,” ujarnya, dikutip Senin (11/8/2025).

    Tak hanya itu, pendampingan bagi debitur KUR juga menjadi aspek krusial yang belum maksimal. 

    Banyak pelaku usaha mikro yang belum memiliki kecakapan dasar dalam pencatatan keuangan maupun strategi pengembangan usaha.

    Tanpa pembinaan yang berkelanjutan, sambungnya, potensi gagal bayar atau stagnasi usaha masih membayangi. Hal lain yang menjadi sorotan adalah struktur penyaluran KUR yang masih didominasi sektor jasa dan perdagangan. 

    “Penyaluran KUR untuk sektor manufaktur harus diperluas, baik dari sisi porsi maupun plafon kredit. Industri manufaktur lokal sangat dibutuhkan untuk menggantikan ketergantungan pada produk impor dan memperkuat pasar domestik,” katanya.

    Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani mengatakan UMKM di Indonesia saat ini berada dalam situasi yang menantang. 

    Menurutnya, di tengah perlambatan ekonomi global, daya beli domestik yang menurun, dan ketatnya kompetisi pasar, UMKM harus menghadapi realita keterbatasan akses pembiayaan, teknologi, pasar, hingga keterampilan tenaga kerja. 

    Hasil survei Apindo menunjukkan 51% pelaku UMKM mengalami kendala akses modal, 35% kesulitan mengakses pasar dan promosi, serta hanya sekitar 7% yang terhubung ke rantai pasok industri besar.

    Sementara itu, kata Shinta, UMKM adalah silent backbone dari ekonomi Indonesia, menyerap 97% tenaga kerja dan menyumbang 61% dari PDB nasional.

    “Artinya, bila tidak ditangani dengan baik, tantangan yang dihadapi UMKM dapat menciptakan efek domino terhadap resiliensi ekonomi nasional. Narasi harus digeser, UMKM adalah aset strategis yang perlu dibangun secara serius dan berkelanjutan,” kata Shinta baru-baru ini. 

  • Heboh BI Intip Seluruh Transaksi Via Payment ID, Cek Detailnya

    Heboh BI Intip Seluruh Transaksi Via Payment ID, Cek Detailnya

    Bisnis.com, JAKARTA — Rencana Bank Indonesia (BI) menerapkan sistem pemantauan transaksi melalui Payment ID memicu kontroversi. Meski sejatinya sistem ini bisa mendorong transparansi dan mencegah penyalahgunaan transaksi, namun belum jelasnya infrastruktur keamanan dan aturan main, membuat banyak pihak mempertanyakan urgensi penerapan sistem pengawasan transaksi yang akan diluncurkan 17 Agustus 2025 itu.

    Anggota Komisi I DPR RI dari PDI Pejuangan (PDI) Sarifah Ainun Jariyah, misalnya, meminta pelaksanaannya ditunda. Menurutnya, pengawasan melekat melalui Payment ID rentan karena infrastruktur keamanan yang dinilai belum siap.

    “Kita harus belajar dari negara lain. Insentif, bukan paksaan. Perlindungan, bukan eksploitasi. Komisi I DPR akan terus mengawal isu ini untuk memastikan hak warga terlindungi,” kata Sarifah dikutip dari Antara, Minggu (10/8/2025).

    Lantas Apa Itu Payment ID?

    Payment ID secara sederhana dimaknai sebagai sistem pemantauan transaksi seluruh warga Indonesia. Nantinya, setiap orang akan memiliki identitas pembayaran yang terintegrasi dengan nomor induk kependudukan alias NIK sehingga BI memantau seluruh transaksi, baik perbankan, multifinance, pinjol, hingga e-wallet.

    Dalam catatan Bisnis, Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia Dudi Dermawan menjelaskan bahwa Payment ID merupakan bagian dari Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2030. Dalam Payment ID, setiap orang akan memiliki kode unik untuk mengidentifikasi transaksi pembayaran.

    “Payment ID di-generate dari NIK, NIK di-generate dari data kependudukan. Jadi, seluruh data di bank nantinya terkait dengan nomor rekening maka akan ada ekuivalen yang terkait dengan Payment ID-nya,” ujar Dudi katanya Juli lalu.

    Adapun berdasarkan BSPI 2030, pemanfaatan Payment ID mencakup tiga fungsi. Pertama, kunci identifikasi untuk membentuk data profil pelaku sistem pembayaran. Kedua, kunci otentifikasi data dalam pemrosesan transaksi. Ketiga, kunci unik dalam proses agregasi antara data profil individu dengan data transaksional.

    Dudi menjelaskan bahwa Payment ID dapat mengintegrasikan seluruh aktivitas keuangan dengan identitas tersebut. Misalnya, BI dapat mengidentifikasi seseorang yang memiliki lebih dari satu rekening bank, memiliki pinjaman/kredit di multifinance, memiliki akun e-wallet dan uang elektronik, hingga memiliki akun pinjaman online atau pinjol.

    Data Transaksi Mencurigakan Januari – Juni 2025

    Sumber: PPATK, non bank termasuk e-wallet

    Integrasi itu membuat otoritas moneter bisa mengetahui aktivitas pembayaran, transfer, dan seluruh transaksi. BI juga bisa mengetahui nominal dan sumber pendapatan seseorang, kewajiban dan utang yang sedang dimiliki, penempatan investasi, hingga aktivitas pinjol.

    Data tersebut menurutnya bisa menjadi acuan untuk menilai kesehatan keuangan seseorang, apakah rasio pinjaman atau kreditnya masih dalam batas aman terhadap total penghasilannya, juga profil keuangan seseorang yang terkait dengan aktivitas berisiko seperti pinjol ilegal. “Payment ID ini sangat powerful … Ini jauh lebih akurat dibandingkan sistem penilaian konvensional seperti SLIK [Sistem Layanan Informasi Keuangan OJK],” ujarnya.

    Diterapkan Bertahap

    Adapun BI mengungkapkan implementasi sistem pemantauan transaksi seluruh warga Indonesia alias Payment ID akan berlangsung bertahap mulai 2026. 

    “Payment ID sebagai bagian dari pengembangan infrastruktur data SP akan diimplementasikan secara bertahap mulai 2026,” ungkap Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia (BI) Dicky Kartikoyono dalam keterangan resmi, Senin (28/7/2025). 

    Pada tahap awal, Dicky menyampaikan bahwa pengembangan sistem itu akan diawali dengan tahap eksperimentasi untuk menguji model bisnis, mekanisme pembentukan, dan pemanfaatan Payment ID. 

    Eksperimentasi dilakukan secara terbatas, antara lain pada use case penyaluran bantuan sosial (Bansos) untuk mendukung program digitalisasi Bansos yang dilakukan oleh pemerintah.

    Dicky menjelaskan bahwa BI akan mengembangkan Payment ID sebagai unique identifier yang merepresentasikan pelaku sistem pembayaran, baik individu maupun entitas. Tujuannya, untuk mendukung penguatan integritas transaksi pembayaran, perluasan inklusi keuangan, dan perumusan kebijakan.

    Nantinya, format Payment ID terdiri dari 9 digit alfanumerik yang akan dibentuk berdasarkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) atau Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang di-hash dengan formula enkripsi terkini.

    Adapun pembentukan dan pemanfaatan Payment ID akan dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip keamanan data sesuai Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP), antara lain pemanfaatan Payment History hanya dapat dilakukan setelah memperoleh consent atau persetujuan dari individu pemilik data.

    Dicky berharap implementasi secara bertahap ini setidaknya memberikan manfaat bagi masing-masing pelaku terkait. Pertama, bagi pemerintah hal ini akan mendukung program transformasi digital pemerintah dan pertumbuhan ekonomi nasional.

    Kedua, bagi Bank Indonesia, hal ini memperkuat kapabilitas bank sentral dalam memelihara stabilitas sistem pembayaran, mencapai stabilitas nilai rupiah, dan turut menjaga stabilitas sistem keuangan. Ketiga, bagi industri, Payment ID menjadi alat untuk menjamin ekosistem dan integritas transaksi, serta mendukung sistem keuangan yang built on trust.

    Sementara bagi masyarakat, pembentukan payment history akan mendukung perluasan akses pembiayaan dan kualitas kredit.