Category: Bisnis.com Ekonomi

  • Ketegangan Dagang AS-China Memuncak Jelang Pertemuan Trump-Xi Jinping

    Ketegangan Dagang AS-China Memuncak Jelang Pertemuan Trump-Xi Jinping

    Bisnis.com, JAKARTA – Hubungan dagang AS-China kembali tegang sepekan jelang pertemuan kedua pemimpinnya, Donald Trump dan Xi Jinping, yang dipicu oleh langkah Beijing memperluas pembatasan ekspor logam tanah jarang.

    Ketegangan yang telah lama membara memuncak pada awal Oktober, setelah Beijing memperluas pembatasan ekspor logam tanah jarang (rare earth) sebagai respons terhadap keputusan AS menambah daftar perusahaan yang dilarang membeli teknologi asal Negeri Paman Sam.

    Langkah China memperketat kendali atas mineral penting, termasuk di luar wilayahnya, dinilai sebagai ekspansi besar terhadap instrumen kebijakan perdagangannya dan menunjukkan niat Beijing untuk memanfaatkan dominasinya dalam rantai pasok global.

    China, yang memproduksi lebih dari 90% pasokan logam tanah jarang dunia, merancang pembatasan tersebut dengan meniru aturan AS yang sebelumnya membatasi ekspor produk semikonduktor ke negara Asia tersebut.

    “Ini merupakan perluasan besar dari yurisdiksi ekstrateritorial. Bahasanya sangat eksplisit, secara khusus menargetkan sejumlah chip,” ujar Cory Combs, analis di lembaga konsultasi Trivium China dikutip dari Reuters, Kamis (23/10/2025).

    Menurut dua sumber yang mengetahui pembahasan internal, pemerintahan Trump terkejut oleh langkah balasan China. Sumber lain menyebut pejabat AS kini tengah menanyakan dampak kebijakan itu terhadap perusahaan-perusahaan Amerika.

    Para analis menilai, meski Beijing berupaya menggambarkan kebijakan ekspornya bersifat terbatas, kerangka aturan tersebut telah disiapkan lama dan kemungkinan besar akan tetap diterapkan.

    Washington menuduh Beijing melancarkan perang ekonomi, sementara Trump memperingatkan pertemuan puncak dengan Xi bisa saja batal. Kedua pihak pun saling menuding sebagai penyebab eskalasi mendadak hubungan bilateral.

    Padahal, hanya beberapa pekan sebelumnya Trump sempat memuji adanya kemajuan dalam pembahasan sejumlah isu — mulai dari perdagangan dan aplikasi TikTok hingga penyelundupan fentanyl dan perang di Ukraina — setelah pembicaraan di Madrid dan panggilan telepon dengan Xi pada September lalu.

    Para analis menilai, sekalipun pertemuan antara Trump dan Presiden Xi Jinping tetap berlangsung, keyakinan masing-masing pihak bahwa mereka berada di posisi lebih kuat — ditambah sikap Beijing yang semakin tegas — membuat kemungkinan tercapainya kesepakatan hanya terbatas pada sejumlah isu kecil.

    “China menilai negosiasi saja tidak cukup dan langkah tandingan yang efektif terhadap AS diperlukan untuk mencegah tekanan lebih lanjut,” kata Wu Xinbo, Direktur Pusat Kajian Amerika di Universitas Fudan, Shanghai.

    Wu menambahkan, langkah terbaru China mencerminkan perubahan pendekatan dalam negosiasi ekonomi dan perdagangan dengan AS selama masa jabatan kedua Trump.

    Trump Ancam Tarif 100%

    Trump menegaskan masih berencana bertemu Xi di Korea Selatan pada akhir Oktober, di sela-sela pertemuan APEC, dan berharap dapat mencapai kesepakatan. Namun, dia kembali mengancam akan memberlakukan tarif hingga 100% jika pembicaraan gagal.

    Sebagai upaya terakhir meredam ketegangan, Menteri Keuangan AS Scott Bessent dan Wakil Perdana Menteri China He Lifeng dijadwalkan bertemu di Malaysia dalam beberapa hari ke depan.

    Pertemuan tersebut mengikuti serangkaian negosiasi keras di berbagai ibu kota Eropa — mulai dari Jenewa hingga Stockholm — yang mencakup isu perdagangan, fentanyl, akses pasar, dan komitmen ekonomi. Kedua pihak saling menuding gagal menepati janji setelah pembicaraan itu.

    Seorang sumber yang memahami kebijakan Gedung Putih menyebut para pejabat senior Trump memandang langkah China terhadap ekspor logam tanah jarang sebagai perang ekonomi terbuka.

    “Potensi eskalasinya sangat serius. “Tidak ada solusi cepat seperti jeda 90 hari yang pernah dilakukan sebelumnya,” ujar sumber tersebut.

    Sama-sama Percaya Diri

    Michael Hart, Presiden Kamar Dagang AS di China, mengatakan salah satu tantangan utama adalah keyakinan masing-masing pihak bahwa kedua negara memiliki posisi tawar yang lebih kuat.

    “Pejabat China merasa percaya diri terhadap perekonomian mereka dan melihat AS sedang dilanda kekacauan ekonomi dan politik. Karena itu, mereka merasa berada di posisi yang kuat,” ujarnya.

    Namun, di sisi lain, pejabat AS justru merasa yakin kondisi ekonomi mereka lebih solid dan menilai ekonomi China sedang melemah.

    Ketidakselarasan kebijakan AS terhadap China disebut semakin memperumit upaya meredakan ketegangan, di tengah kombinasi langkah hukuman dan pelonggaran terbatas terhadap ekspor chip serta kesepakatan aplikasi media sosial TikTok.

    “Orang-orang yang saya temui di Washington mengatakan kebijakan pemerintahan Trump terhadap China cukup keras. Namun mereka juga mengakui, Presiden Trump sendiri terkadang lebih fleksibel dan pragmatis,” kata Hart.

    Meski kedua pihak bersiap melanjutkan pembicaraan, Washington dan Beijing juga mulai memperluas strategi diversifikasi ekonomi serta menyiapkan langkah baru untuk mengurangi ketergantungan satu sama lain.

    Pada awal pekan ini, Trump menandatangani pakta mineral strategis dengan Australia guna mengimbangi peran dominan China di sektor tersebut. Di sisi lain, AS juga tengah mempertimbangkan kebijakan baru untuk membatasi ekspor produk berbasis perangkat lunak.

    Pejabat AS juga menyatakan pemerintah sedang menyiapkan tarif sektoral tambahan yang mencakup industri semikonduktor, farmasi, dan sektor strategis lainnya.

    Sebaliknya, China diperkirakan dapat mengambil langkah balasan dengan memperketat penerapan aturan ekspor logam tanah jarang, meluncurkan penyelidikan antimonopoli terhadap perusahaan AS, atau meningkatkan tarif seperti yang dilakukan pada April lalu.

    Di tengah ketidakpercayaan yang kian dalam, sebagian pejabat AS menilai skenario paling optimistis adalah kesepakatan lanjutan dari Phase One Deal tahun 2020. Kesepakatan yang mencakup pembelian kedelai atau produk pertanian lain dinilai lebih mudah dicapai.

    “Skenario terbaik adalah langkah-langkah membangun kepercayaan dan arahan untuk melanjutkan negosiasi kesepakatan baru yang bisa diluncurkan pada paruh pertama tahun depan,” ujar Peter Harrell, mantan pejabat ekonomi internasional di pemerintahan Biden.

  • Pakar Soroti Sinyal Palsu Ekspansi PMI Manufaktur, Kinerja Tumbuh Lambat

    Pakar Soroti Sinyal Palsu Ekspansi PMI Manufaktur, Kinerja Tumbuh Lambat

    Bisnis.com, JAKARTA — Pakar menyoroti kinerja industri nasional yang masih melemah sehingga belum optimal berkontribusi terhadap ekonomi nasional. Terlebih, Indonesia dinilai terlalu terpaku dengan data sementara. 

    Ketua Dewan Direktur Great Institute Syahganda Nainggolan mencontohkan ketika PMI manufaktur sempat naik ke level 51,5 pada September 2025 banyak yang menilai kinerja industri telah pulih. Namun, indeks tersebut turun ke 50,4 pada Agustus 2024. 

    “Enggak, kita kan harus jujur dong, itu kan karena Donald Trump mau naikin tarif, pengusaha kita ketakutan kemudian dia beli barang cepat kemudian dimasukkan dalam PMI kita. Seolah-olah kita industri kita hebat, naik,” kata Syahganda dalam Bisnis Indonesia Forum (BIF), Kamis (23/10/2025). 

    Di sisi lain, dia juga menyoroti rasio investasi terhadap penciptaan lapangan kerja yang terus menurun. Kondisi ini menggambarkan pemerintah fokus pada industri padat modal yang mendorong nilai ketimbang efek terhadap lapangan pekerjaan. 

    Dalam catatannya, di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono setiap investasi Rp1 triliun dapat menyerap tenaga kerja 4.000 orang. Kemudian pada era Presiden Joko Widodo turun hanya menciptakan 1.000 lapangan pekerjaan. 

    “Selama ini kita sudah masuk Rp1.400 triliun investasi, sudah menyerap 1,9 juta tenaga kerja. Itu cuma 700 orang per Rp1 triliun, artinya kita tetap masih fokus di padat modal,” tuturnya. 

    Menurut Syahganda, investasi padat modal dan investasi padat karya harus seimbang guna menghasilkan efek ganda yang lebih maksimal.

    Dalam hal ini, dia mendorong pemerintah untuk membenahi data-data pendukung perekonomian. Dia menyoroti kehebatan China di era Zhu Rongji berkuasa lantaran berhasil dalam 2 tahun merapikan data. 

    “Di Indonesia kan tidak, orang tetap bermain di data untuk flexing dan lain-lain, ini yang harus kita hati-hati,” tuturnya. 

    Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa sektor industri pengolahan nonmigas tumbuh 5,60% secara tahunan pada triwulan II/2025, melampaui pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,12%. 

    Meski begitu, Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro menilai bahwa pertumbuhan tersebut belum mencerminkan pemulihan yang merata di seluruh sektor industri. 

    Dia menyebut beberapa sektor besar justru bergerak lambat dan perlu perhatian khusus dari pemerintah.

    “Sektor-sektor yang memiliki kontribusi besar bagi perekonomian, yang share-nya besar buat ekonomi itu tumbuhnya masuk di kuadran yang tumbuh sangat lambat,” ujar Andry dalam kesempatan yang sama. 

    Menurut Andry, fokus pemerintah ke depan perlu diarahkan pada percepatan investasi dan deregulasi untuk memperkuat struktur industri nasional, bukan hanya pada perbaikan angka di permukaan.

  • Akumindo: Dana Rp200 Triliun di Himbara Belum Sentuh UMKM

    Akumindo: Dana Rp200 Triliun di Himbara Belum Sentuh UMKM

    Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) mengungkapkan bahwa dana sebesar Rp200 triliun yang ditempatkan pemerintah di bank-bank milik negara (Himbara) belum menyentuh segmen UMKM.

    Sekretaris Jenderal Akumindo Edy Misero menyampaikan bahwa hal ini tak terlepas dari proses pencairan kredit UMKM yang dirasa masih sulit. Menurutnya, hal ini bertolak belakang dengan tujuan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa untuk menggerakkan sektor riil.

    “Niatan Menteri Keuangan bagus dengan dana Rp200 triliun, tetapi kalau sistem pencairan kepada pelaku-pelaku UMKM itu masih sama, enggak akan bisa [berdampak],” kata Edy saat ditemui di Ritz-Carlton Jakarta, Kamis (23/10/2025).

    Menurutnya, dalam menggelontorkan dana jumbo, pemerintah perlu mengiringinya dengan pengawasan terhadap pencairan dana tersebut di perbankan. 

    Edy tak menampik bahwa segmen UMKM memiliki risiko yang lebih tinggi dalam meningkatkan rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL).

    Namun demikian, dia menilai bahwa pemerintah semestinya memiliki mekanisme dalam memitigasi risiko tersebut, di samping kepatuhan yang diupayakan meningkat dari sisi UMKM.

    “Misalnya di China, mereka bisa menanggung risknya. Kenapa kita tidak? Kita belajar untuk itu. Dan pelaku UMKM juga harusnya belajar untuk bertanggung jawab terhadap apa yang dia dapatkan,” ujar Edy.

    Sebelumnya, Menteri UMKM Maman Abdurrahman angkat suara soal risiko kenaikan kredit bermasalah segmen UMKM, pada saat akses pembiayaan UMKM diperluas melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 19/2025.

    Maman menyampaikan bahwa POJK tersebut memuat ketentuan penerapan pemeringkat kredit alternatif (PKA) atau innovative credit scoring (ICS) sebagai bentuk relaksasi syarat pengajuan kredit UMKM. Menurutnya, mitigasi risiko tetap dilakukan oleh bank penyalur kredit dan OJK selaku regulator.

    “Jadi saya pikir bank pasti tetap akan melakukan mitigasi dengan OJK, ya. Apakah ini malah akan meningkatkan NPL atau justru menurunkan,” kata Maman dalam diskusi media di Kantor Kementerian UMKM, Rabu (22/10/2025).

    Adapun, OJK melaporkan bahwa porsi kredit UMKM perbankan menurun, yakni berkisar 19% dari total penyaluran kredit sebesar Rp8.075 triliun per Agustus 2025.

    Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menyampaikan bahwa hal ini diiringi pelambatan kredit UMKM yang hanya bertumbuh 1,35% secara tahunan (year-on-year/YoY) hingga bulan kedelapan tahun ini.

  • Awasi WP Prioritas, Purbaya Jamin Ditjen Pajak Tak Pakai Gaya Preman

    Awasi WP Prioritas, Purbaya Jamin Ditjen Pajak Tak Pakai Gaya Preman

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa memastikan upaya Direktorat Jenderal Pajak tidak memakai gaya preman saat mengejar target penerimaan 2025 dengan micro-management.

    Purbaya mengatakan bahwa micro-management yang bakal diterapkan dengan melihat potensi-potensi penerimaan pajak yang belum dikerjakan. Apalagi, jika ada potensi penerimaan pajak yang justru bocor. 

    “Bukan berarti jadi kayak preman gedok rumah orang jam 5 pagi, enggak gitu. Kami akan buat penagihan lebih profesional,” terangnya kepada wartawan di kantor Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jakarta, Kamis (23/10/2025).

    Selain itu, Purbaya menyebut sistem administrasi perpajakan yakni Coretax sudah siap untuk digunakan lebih luas. Dia menyebut akan mengumumkan kondisi Coretax terbaru setelah pembenahan yang dilakukan oleh pemerintah. 

    “Besok saya umumkan Coretax seperti apa statusnya. Sudah bagus,” terang mantan Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu. 

    Sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Bimo Wijayanto mengatakan bakal memantau secara ketat kepatuhan seluruh wajib pajak (WP) seiring dengan semakin besarnya potensi gap antara target dan realisasi penerimaan alias shortfall pajak tahun ini. 

    Bimo mengatakan fiskus sudah mulai berupaya melakukan micro management untuk memungut pajak. Upaya itu dilakukan hingga ke tingkat kantor wilayah (kanwil) guna melihat lebih dalam potensi penerimaan pajak. 

    “Kami list dari semua kanwil, potensi yang paling besar siapa, kemudian kira-kira kepatuhannya seperti apa, gap kepatuhannya kami endorse untuk bisa jadi optimum. Itu aja sih,” terangnya kepada wartawan saat ditemui di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Rabu (22/10/2025).

    Berdasarkan data APBN KiTa edisi Oktober 2025, penerimaan pajak sampai dengan akhir September 2025 tercatat sebesar Rp1.295,3 triliun. Realisasi itu turun sebesar 4,4% (yoy) dari September 2024 yakni Rp1.354,9 triliun. Capainnya baru 62,4% terhadap outlook penerimaan pajak berdasarkan laporan semester I/2025, yakni Rp2.076,9 triliun.

    Menurut hitung-hitungan Purbaya, pertumbuhan penerimaan pajak bisa lebih cepat apabila perekonomian tumbuh lebih cepat. Mantan Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu sebelumnya memperkirakan pertumbuhan ekonomi kuartal III/2025 akan melambat, namun bakal melesat di atas 5,5% (yoy) pada kuartal IV/2025. 

    “Tetapi kalau ceteris paribus, kita akan tutupi kebocoran-kebocoran yang timbul. Di cukai, underinvoicing, segala macam kita periksa lagi. Di pajak juga saya harapkan yang main-main, enggak main-main lagi sehingga kita enggak bocor pajaknya,” terangnya kepada wartawan usai sidang kabinet paripurna dalam rangka satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (20/10/2025).

  • Istana Sebut Aturan DHE SDA Tak Efektif, BI: Kepatuhan Eksportir 95%

    Istana Sebut Aturan DHE SDA Tak Efektif, BI: Kepatuhan Eksportir 95%

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menyebut pemerintah sedang mengkaji revisi Peraturan Pemerintah (PP) No.8/2025 yang mengatur soal kewajiban penempatan devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA) di dalam negeri 100% selama 12 bulan.

    Saat ditemui usai rapat koordinasi terbatas (rakortas) di Kemenko Perekonomian, Rabu (22/10/2025) malam, Prasetyo mengungkap bahwa eksportir masih memindahkan dananya ke tempat lain di luar rekening yang sudah disiapkan untuk menampung DHE SDA.

    “Kan maknanya dari DHE ini supaya banyak yang disimpannya di dalam negeri kan, kami mengurangi itu dikirim ke luar negeri,” ujarnya kepada wartawan, dikutip Kamis (23/10/2025). 

    Prasetyo menyebut pemerintah masih terus membicarakan teknis aturan yang akan direvisi pada PP No.8/2025 itu. Evaluasinya masih berlangsung dan akan dibahas di Istana Kepresidenan. 

    Untuk diketahui, Presiden Prabowo Subianto dalam waktu belakangan ini kerap mengumpulkan para menterinya dalam rapat terbatas (ratas) untuk salah satunya membahas evaluasi aturan DHE SDA. Salah satu menteri yang hadir adalah Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa. 

    Namun, Purbaya enggan memerinci apa aturan yang akan dievaluasi oleh pemerintah. “Sepertinya ada perubahan kebijakan tentang DHE SDA, tapi bukan saya yang ini, nanti mungkin dari pak Mensesneg yang memimpin rapat pemecahan masalahnya,” terangnya kepada wartawan di kantor Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jakarta, Selasa (21/10/2025). 

    Tambal Outflow Pakai Cadev 

    Adapun Bank Indonesia (BI) yang menyiapkan rekening khusus untuk menampung DHE SDA menyebut, tingkat kepatuhan eksportir dalam memarkirkan dananya 100% selama 12 bulan sangat tinggi atau 95%. 

    “Jadi artinya seluruh ekspor dari DHE SDA yang mereka terima itu masuk ke rekening khusus yang memang untuk penempatan DHE SDA,” ungkap Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti pada konferensi pers Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI, Rabu (22/10/2025).

    Destry turut menjelaskan bahwa mayoritas penempatan DHE itu untuk konversi sekitar 78,2%. Konversi itu, terang Destry, menambah suplai valuta asing (valas) berdenominasi dolar di pasar keuangan RI. 

    Deputi Gubernur Senior BI dua periode itu mengakui bahwa penambahan suplai valas di dalam negeri berkat DHE SDA itu tidak serta-merta meningkatkan cadangan devisa (cadev). 

    Sebab, lanjutnya, suplai valas hasil konversi itu digunakan untuk menambah suplai valas di pasar domestik. Oleh sebab itu, BI berkeyakinan bahwa penerapan PP No.8/2025 sejauh ini  memberikan dampak positif. 

    Akan tetapi, Destry tidak menampik bahwa aliran modal asing keluar pasar keuangan RI dalam dua bulan terakhir begitu besar. Akibatnya, BI harus menggunakan cadev yang dimiliki untuk menambal outflow itu. 

    “Itu juga menyebabkan kami harus menggunakan cadangan devisa untuk melakukan intervensi termasuk juga adanya pembayaran untuk dividen, repatriasi, dan juga untuk pinjaman. Tetapi intinya untuk PP DHE saya rasa sejauh ini sudah menjalankan sesuai yang diamanatkan,” terangnya. 

  • Kemenkeu Saran Dapen Bisa Investasi di Instrumen EBT, Ini Respons OJK

    Kemenkeu Saran Dapen Bisa Investasi di Instrumen EBT, Ini Respons OJK

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyoroti mayoritas saat ini alokasi investasi dana pensiun (dapen) sukarela masih sangat terkonsentrasi pada instrumen yang bersifat fixed income seperti Surat Berharga Negara (SBN) dan deposito di perbankan. Dapen pun disarankan juga melirik instrumen di sektor energi baru dan terbarukan (EBT).

    Direktur Pengembangan Dana Pensiun, Asuransi, dan Aktuaria Kemenkeu, Ihda Muktiyanto berpendapat fokus itu membuat manajemen risiko terkelola baik. Namun, di satu sisi dia khawatir imbal hasil untuk kebutuhan jangka panjang peserta dapen bisa terbatas.

    Sebab demikian, dia menilai perlu adanya strategi investasi yang lebih berimbang supaya dana pensiun bisa memperluas instrumen investasinya yang memiliki nilai tambah.

    “Termasuk di dalamnya instrumen-instrumen yang memiliki underlying energi baru dan terbarukan, instrumen hijau, dan tentunya instrumen lain yang memiliki kemampuan untuk bisa meningkatkan return dari hasil investasinya dengan tetap menjaga prinsip kehati-hatian,” katanya dalam acara Indonesia Pension Fund Summit (IPFS) 2025, di Tangerang Selatan, Kamis (23/10/2025).

    Lebih lanjut, Ihda mencontohkan salah satu portofolio investasi dana pensiun yang dikelola Norges Bank sudah mulai menempatkan pada instrumen infrastruktur energi terbarukan meski baru 0,1%. Menurutnya, ini mencerminkan strategi diversifikasi globalnya.

    “Hal ini mencerminkan strategi investasi jangka panjang untuk bisa menyeimbangkan portofolio sekaligus mendukung agenda keberlanjutan global,” ujar dia.

    Dia optimis industri dana pensiun di Indonesia juga bisa mengikuti jejak tersebut seiring dengan meningkatnya aset dana pensiun. Sebab itu, dia mendorong agar portofolio investasi mengarah ke instrumen yang berorientasi jangka panjang yang berkelanjutan.

    Merespons hal tersebut, Kepala Eksekutif Pengawasan PPDP OJK Ogi Prastomiyono mengatakan investasi di instrumen renewable energy bisa menjadi salah satu alternatif atau opsi bagi industri dana pensiun.

    “Tinggal produknya itu tersedia atau tidak. Karena ini menjadi alternatif bagi dapen untuk menginvestasikan di produk renewable energy, tentunya dengan renewable energy, ada insentif-insentif yang diberikan, sehingga itu menjadi opsi bagi perusahaan dapen,” ujarnya saat tanya jawab konferensi pers.

  • Izin Ekspor Kosentrat Amman Belum Terbit, Kemendag Tunggu Restu ESDM

    Izin Ekspor Kosentrat Amman Belum Terbit, Kemendag Tunggu Restu ESDM

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Perdagangan (Kemendag) masih menunggu rekomendasi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terkait izin ekspor konsentrat tembaga PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT).

    Direktur Ekspor Produk Industri dan Pertambangan Kemendag Andri Gilang Nugraha mengatakan, pengajuan perpanjangan izin ekspor itu tak lepas dari kondisi kahar atau force majeure. Adapun, ekspor konsentrat tembaga Amman Mineral telah berakhir pada 31 Desember 2024.

    “Sejauh yang kami ketahui, Amman Mineral telah mengajukan permohonan perpanjangan izin ekspor konsentrat tembaga dengan alasan kondisi kahar,” ucap Gilang kepada Bisnis, Rabu (22/10/2025).

    Dia pun menyebut, permohonan tersebut saat ini masih dalam proses di Kementerian ESDM. Oleh karena itu, terkait volume ekspor dan masa berlaku izin ekspor, pihaknya masih menunggu rekomendasi resmi dari Kementerian ESDM.

    Gilang menegaskan bahwa hingga saat ini belum ada izin ekspor yang diterbitkan untuk AMNT. 

    “Sesuai ketentuan yang berlaku, perusahaan dapat mengajukan izin ekspor ke Kementerian Perdagangan setelah memperoleh rekomendasi dari Kementerian ESDM,” tuturnya.

    Asal tahu saja, AMMN pernah mengajukan perpanjangan ekspor katoda tembaga dan konsentrat kepada pemerintah pada Mei 2025. Hal ini dilakukan lantaran proses commissioning smelter berjalan lambat sehingga kapasitas operasi maksimal.

    Presiden direktur AMMN saat itu, Alexander Ramlie (saat ini menjabat sebagai komisaris) mengatakan bahwa smelter perusahaan masih memerlukan periode stabilisasi dan penyempurnaan sebelum mencapai operasi yang optimal dan berkelanjutan. Hal ini membuat hasil produksi belum bisa diserap sepenuhnya di smelter di dalam negeri.

    Karena itu, AMMN mengajukan perpanjangan ekspor agar hasil produksi bisa dijual ke luar negeri. Dia juga menekankan bahwa fasilitas smelter perusahaan memerlukan waktu untuk stabilisasi dan kalibrasi agar mencapai operasi yang optimal dan berkelanjutan.

    “Untuk memastikan kelangsungan bisnis selama fase peningkatan kapasitas secara bertahap [ramp-up] ini, kami telah secara resmi meminta pendekatan hibrida dari pemerintah Indonesia memungkinkan ekspor katoda tembaga dan konsentrat secara paralel,” kata Alexander dalam keterangannya dikutip Senin (12/5/2025).

    Menurutnya, perpanjangan ekspor katoda tembaga dan konsentrat dapat memberikan fleksibilitas dan menjamin kelangsungan arus pendapatan perusahaan. Selain itu, perusahaan juga memastikan kontribusi yang berkelanjutan bagi pemerintah selama fase awal operasi smelter. 

  • Harga Biji Kakao Dunia Anjlok, Pengusaha Minta Pemerintah Perkuat Hulu

    Harga Biji Kakao Dunia Anjlok, Pengusaha Minta Pemerintah Perkuat Hulu

    Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Cokelat Bean to Bar Indonesia (ACBI) menyebut harga biji kakao dunia tengah terjun bebas usai sempat menyentuh rekor tertinggi di awal tahun.

    Pengurus ACBI Peni Agustiyanto mengatakan penurunan harga tersebut terjadi karena panen raya di Afrika yang merupakan produsen terbesar dunia. 

    Peni menuturkan, kondisi ini turut menekan harga kakao dalam negeri yang kini berada di bawah Rp100.000 per kilogram.

    Padahal, ungkap dia, harga biji kakao sempat mencapai level tinggi di awal tahun hingga September 2025, yang menyentuh US$11.000 per metric ton. Namun, kini harganya turun menjadi US$6.000 per metric ton.

    “Harga kakao kemarin [awal tahun sampai September] puncak keemasannya itu bisa sampai Rp180.000–Rp200.000 per kilogram,” kata Peni saat ditemui seusai acara Peringatan Hari Kakao Indonesia 2025 bertajuk Penguatan Sektor Hulu Untuk Memperkokoh Hilirisasi Kakao Indonesia di Hotel Pullman, Jakarta, Kamis (23/10/2025).

    Di tengah tekanan harga global, ACBI menegaskan pentingnya menjaga mutu biji kakao Indonesia, terutama dari sisi kualitas tanah dan proses fermentasi. Menurut Peni, meski bahan tanam unggul tersedia, kondisi tanah dan nutrisi tetap akan mempengaruhi kualitas biji.

    Dia mengungkap, daerah seperti Bali, Aceh, dan Sumatera Barat memiliki kualitas tanah yang relatif lebih baik lantaran minim penggunaan pupuk kimia.

    Lebih lanjut, Peni menyampaikan pelaku bean to bar tetap berupaya memperkenalkan kakao Indonesia ke pasar global dengan proses fermentasi panjang hingga delapan hari untuk mengeluarkan aroma khas buah dan rempah.

    “Jadi kakao kita itu dianggap kakao yang diproses asalan. Asalan itu, jadi kalau proses fermentasi kami itu bisa sampai 8 hari. Tapi kakao yang asalan itu hanya 3 hari, 2 atau 3 hari,” ujarnya.

    Adapun, pasar ekspor utama bagi kakao bean to bar Indonesia masih didominasi Eropa dan Amerika Serikat (AS). Hal itu sejalan dengan rata-rata konsumsi cokelat masyarakat Eropa dan AS yang mencapai 5 kilogram per orang per tahun.

    Ke depan, Peni menilai, pemerintah perlu memperkuat kerja sama lintas sektor untuk menjaga daya saing industri kakao nasional di tengah fluktuasi harga global.

    “Pemerintah nggak bisa kerja sendiri. Artinya meskipun dia pemegang regulasi dia juga harus melibatkan pengguna dalam lini chocolate maker,” pungkasnya.

  • Ruang Penurunan Suku Bunga Mulai Terbatas, Bank Waspadai Tekanan Rupiah Jelang Akhir Tahun

    Ruang Penurunan Suku Bunga Mulai Terbatas, Bank Waspadai Tekanan Rupiah Jelang Akhir Tahun

    Bisnis.com, JAKARTA — Pelaku industri perbankan merespons keputusan Bank Indonesia yang mempertahankan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) atau BI Rate di level 4,75%. 

    Mereka menilai ruang penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) ke depan mulai terbatas, seiring meningkatnya ketidakpastian global dan potensi tekanan terhadap nilai tukar rupiah menjelang akhir tahun.

    Direktur Utama KB Bank Kurnady Darma Lie mengatakan, meski kebijakan penurunan suku bunga BI sebesar 150 basis poin sepanjang tahun ini diharapkan memberi dorongan tambahan bagi pemulihan ekonomi, dampaknya terhadap pertumbuhan masih memerlukan waktu.

    Menurutnya, transmisi kebijakan moneter memiliki jeda waktu alias lagging, sehingga efek terhadap pertumbuhan tahun ini kemungkinan masih terbatas dan baru akan terasa lebih nyata pada 2026.

    “Ruang penurunan suku bunga tambahan diperkirakan mulai terbatas, mengingat dinamika eksternal seperti ketidakpastian arah kebijakan The Fed dan potensi tekanan terhadap nilai tukar rupiah di akhir tahun,” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (23/10/2025). 

    Kurnady menambahkan, dengan inflasi domestik yang masih terkendali, BI memang masih memiliki ruang untuk mempertahankan kebijakan propertumbuhan. 

    Namun langkah ke depan kemungkinan akan bergeser ke arah policy calibration, guna menyeimbangkan stabilitas makroekonomi dengan dorongan terhadap pertumbuhan.

    Perbankan Masih Hati-hati

    Senada, Direktur Risiko, Kepatuhan, dan Hukum Allo Bank Ganda Raharja Rusli menyebutkan bahwa BI kemungkinan akan berhati-hati dalam melanjutkan penurunan suku bunga acuan.

    Dia menilai, menjaga selisih antara BI rate dan suku bunga acuan Amerika Serikat (Fed rate) menjadi kunci untuk menstabilkan nilai tukar rupiah.

    “Para analis memperkirakan Fed rate masih bisa turun dua kali lagi sampai akhir 2025, total 50 basis poin. BI rate bisa saja mengikuti, namun kemungkinan lebih sedikit, untuk menjaga gap BI rate dan Fed rate, mengingat perlunya menjaga stabilitas rupiah di akhir tahun,” tuturnya.

    Sementara itu, Corporate Secretary Bank Mandiri M. Ashidiq Iswara menilai keputusan BI untuk menahan BI rate di level 4,75% pada Oktober 2025 merupakan langkah yang tepat untuk menjaga keseimbangan antara stabilitas makroekonomi dan dukungan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

    Dia menambahkan, penguatan kebijakan insentif likuiditas makroprudensial (KLM) juga dapat memperkuat transmisi likuiditas ke sektor keuangan dan perekonomian riil.

    “Fokus kami tetap pada penyaluran pembiayaan sektor-sektor produktif dan strategis dengan prinsip kehati-hatian,” katanya.

    Adapun, BI mempertahankan suku bunga acuan BI rate di level 4,75%. Keputusan mempertahankan suku bunga itu masih melanjutkan tren pelonggaran kebijakan moneter akomodatif untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia.  

    Gubernur BI Perry Warjiyo mengemukakan bahwa keputusan untuk mempertahankan suku bunga itu ditetapkan dengan memperhatikan sejumlah indikator perekonomian baik global maupun domestik, termasuk perkembangan kredit di sektor perbankan.  

    “Keputusan ini konsisten dengan perkiraan inflasi 2025-2026,” ujar Perry, Rabu (22/10/2025). 

    Sejalan dengan itu, bank sentral juga tetap mempertahankan suku bunga Deposit Facility sebesar basis poin (bps) ke level 3,75% dan suku bunga Lending Facility 5,5%.

    Perry mengatakan keputusan suku bunga ini sejalan dengan perkiraan inflasi 2025 dan 2026 yang rendah, serta tetap terkendali dalam sasaran 2,5±1% dan upaya menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah di tengah ketidakpastian global, serta memperkuat pertumbuhan ekonomi. 

    “Ke depan, Bank Indonesia akan terus mencermati ruang penurunan suku bunga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi sejalan dengan rendahnya prakiraan inflasi dengan tetap mempertahankan stabilitas nilai tukar Rupiah,” jelasnya.

    Keputusan BI itu kembali di luar ekspektasi pasar. Pasalnya, sebelumnya konsensus ekonom yang dihimpun memproyeksikan Bank Indonesia (BI) kembali memangkas suku bunga acuan alias BI Rate ke level 4,50% dalam pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada Rabu (22/10/2025).

  • Pengusaha Desak Pemerintah Setop Impor Baja Konstruksi Asal China dan Vietnam

    Pengusaha Desak Pemerintah Setop Impor Baja Konstruksi Asal China dan Vietnam

    Bisnis.com, JAKARTA — Indonesian Society of Steel Construction (ISSC) mendesak pemerintah untuk menyetop impor baja konstruksi dari China dan Vietnam. Pasalnya, kedua negara tersebut dinilai masif menjual baja murah ke pasar domestik dalam 2 tahun terakhir. 

    Ketua Umum ISSC Budi Harta Winata mengatakan, kalangan industri baja konstruksi nasional mulai gerah dengan serbuan baja impor dari kedua negara tersebut terjadi dalam skala besar dan dijual dengan harga yang tidak mencerminkan biaya produksi wajar.

    “Praktik ini telah menyebabkan distorsi pasar, menekan utilisasi pabrik domestik, mengganggu rantai nilai industri baja nasional, dan berpotensi menghapus kapasitas produksi strategis dalam negeri,” ujar Budi dalam keterangan resminya, Kamis (23/10/2025).

    Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), impor secara keseluruhan produk besi dan baja dari China mencapai US$2,39 miliar dengan volume 3,81 juta ton pada Januari-Agustus 2025. 

    Angka tersebut naik dibandingkan periode yang sama tahun lalu US$2,16 miliar dengan volume 2,85 juta ton. Pada periode yang sama tahun 2023, impor dari China sekitar US$2 miliar dengan volume 2,31 juta ton. 

    Sementara itu, impor besi dan baja dari Vietnam pada Januari-Agustus 2023 sebanyak US$305,82 juta dengan volume 405,43 kg. Pada 2024 di periode yang sama, volume impor dari Vietnam mencapai 406,39 kg dengan nilai US$281,5 juta. Adapun, pada periode yang sama tahun ini, nilai impor Vietnam mencapai US$246,75 juta dengan volume 404,34 kg. 

    Dia menyebut, banjir baja impor itu bukan karena kapasitas produksi nasional yang kurang, melainkan akibat praktik predatory pricing, perbedaan regulasi, dan lemahnya pengawasan di jalur impor.

    Apabila situasi ini terus dibiarkan, Budi memperkirakan Indonesia berisiko kehilangan fondasi industrinya dan hanya menjadi pasar bagi kelebihan produksi negara lain.

    “Industri baja adalah tulang punggung kemandirian konstruksi nasional. Negara yang kehilangan industrinya, kehilangan kendali atas masa depannya,” jelasnya.

    Oleh karena itu, ISSC menilai pemerintah perlu segera mengambil langkah korektif untuk mengantisipasi dampak negatif serbuan baja impor terhadap pelaku industri dalam negeri.

    Dalam hal ini, pihaknya mengajukan lima tuntutan utama kepada pemerintah. Pertama, moratorium sementara impor baja konstruksi dari Vietnam dan China pada pos tarif tertentu yang terbukti mendistorsi pasar.

    Kedua, penerapan kebijakan anti-dumping dan safeguard sesuai PP 34/2011 serta ketentuan World Trade Organization (WTO). Ketiga, pengetatan mekanisme perizinan impor seperti Pertek, PI, SNI, dan LS agar tidak disalahgunakan.

    Keempat, prioritaskan produk baja dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan proyek strategis nasional. Kelima, cegah Indonesia menjadi tempat pembuangan (dumping ground) bagi kelebihan pasokan baja asing.

    Budi menekankan bahwa usulan tersebut bukan bentuk proteksionisme, melainkan langkah pertahanan industri yang sah dan sejalan dengan konstitusi. Tujuannya untuk menjaga keberlanjutan industri baja nasional dan menjamin keamanan konstruksi jangka panjang.

    “Tanpa kebijakan korektif, Indonesia hanya akan memiliki pasar baja, bukan industri baja, dan pasar tidak pernah memiliki kedaulatan,” pungkasnya.