Polewali Mandar, Beritasatu.com – Di Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat, seorang anak berusia 13 tahun hanya bisa menatap dunia dari tempat tidurnya. Safi’i, begitu ia dipanggil, sudah 13 tahun terbaring lemah karena lumpuh layu yang dideritanya sejak bayi.
Sementara anak-anak seusianya berlarian di halaman menikmati masa kecil dengan tawa dan permainan, Safi’i menjalani hidupnya di atas kasur tipis yang diletakkan di kolong rumah panggung milik tantenya, Hasma.
Rumah tantenya di Jalan Pangiu Lorong Tengah Lingkungan Ujung, Kelurahan Polewali, Kecamatan Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, bukanlah tempat tinggal yang nyaman. Dinding dapurnya sudah jebol, beberapa tiangnya harus ditopang bambu agar tidak roboh, dan lantainya hanya berupa tanah.
Hidup Tanpa Orang Tua
Nasib malang seakan terus mengiringi langkah Safi’i. Pada usia 8 tahun, ia sudah menjadi yatim piatu. Ayahnya meninggal pada 2017, disusul ibunya dua tahun kemudian. Setelah itu, ia diasuh oleh tantenya, Hasma, yang juga menghadapi kesulitan ekonomi.
Safi’i merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Kakaknya bernama Takwin bekerja di Morowali. Satu lagi bernama Arif juga tinggal bersama Hasma.
Hasma berjuang seorang diri membesarkan Safi’i. Sehari-hari ia berjualan kue apang dan nasi kuning, penghasilan yang jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, apalagi biaya perawatan medis Safi’i.
“Sejak usianya satu tahun, saya sudah merawatnya. Awalnya pertumbuhannya normal, tetapi saat usia tujuh bulan dia sudah seperti ini,” tutur Hasma, Jumat (31/1/2025).
Kini, sehari-harinya Safi’i hanya bisa berbaring. Ia baru meninggalkan kasurnya apabila ingin mandi, itu pun harus dipaksa agar bisa duduk.
“Nanti turun dari tempat tidur kalau mau mandi, itu pun saya paksa supaya bisa duduk, karena saya sendirian kalau mandikan,” ungkapnya.
Di rumah sederhana itu, Safi’i tak memiliki fasilitas layak. Ia tidur, makan, dan beraktivitas di satu ruang yang sama, tanpa kamar mandi yang memadai. Tempat mandinya hanya berupa bak penampungan tanpa dinding penutup.
Upaya untuk menyembuhkan Safi’i sudah dilakukan. Ia pernah dibawa ke rumah sakit, tetapi kondisinya tak kunjung membaik.
“Saya pernah bawa dia ke rumah sakit, tetapi tidak ada perubahan. Petugas kesehatan juga sempat datang untuk menimbang berat badannya. Mereka bilang tunggu untuk ditindaklanjuti, tetapi sudah tidak pernah datang lagi,” ungkap Hasma.
Di tengah segala keterbatasan akibat menderita lumpuh layu, Safi’i tetap bertahan. Di balik tubuhnya yang ringkih, ada harapan yang belum pudar, harapan akan uluran tangan yang bisa memberinya kehidupan lebih layak. Safi’i butuh perhatian, bukan hanya sekadar belas kasihan.









