Category: Beritasatu.com Ekonomi

  • Hadapi Tantangan Perubahan Pasar, Ini Strategi BRI Perkuat Inovasi dalam Transformasi Digital Perbankan

    Hadapi Tantangan Perubahan Pasar, Ini Strategi BRI Perkuat Inovasi dalam Transformasi Digital Perbankan

    Jakarta, Beritasatu.com – Kehadiran pinjaman online (Pinjol) telah mengubah lanskap persaingan di industri perbankan saat ini. Fenomena ini pada akhirnya mempercepat transformasi digital di perbankan sehingga mendorong bank untuk terus berinovasi dalam melayani nasabah.

    Direktur Bisnis Konsumer BRI Handayani mengatakan bahwa perbankan harus semakin cepat dalam mengembangkan produk digital untuk menyaingi platform pinjaman online yang menawarkan kemudahan akses dan kecepatan layanan. Hal ini kemudian mendorong bank untuk terus berinovasi, seperti mobile banking atau pinjaman digital berbasis aplikasi.

    “Pinjol telah memperluas akses terhadap layanan keuangan, terutama bagi segmen masyarakat yang sebelumnya sulit mendapatkan pinjaman formal karena persyaratan yang lebih ketat. Hal ini memberikan tantangan sekaligus peluang bagi perbankan, karena sebagai bank dengan fokus inklusi keuangan, perbankan bisa memperkuat posisi dengan menyediakan produk pinjaman yang lebih terjangkau dan ramah bagi masyarakat yang belum terlayani (unbanked),” ungkapnya.

    Perbankan seperti BRI yang memiliki basis nasabah di segmen mikro dan ritel merasakan langsung dampak dari hadirnya pinjol. Nasabah BRI yang biasanya memanfaatkan produk KUR atau pinjaman mikro sekarang memiliki alternatif pinjol yang menawarkan proses lebih cepat.

    Walau begitu, Handayani menuturkan bahwa pelaku perbankan tidak melihat fenomena pinjol sebagai ancaman, namun dapat berkolaborasi dengan fintech untuk menciptakan solusi keuangan yang lebih inklusif. Dengan keunggulan infrastruktur dan modal yang dimiliki, perbankan bisa merangkul teknologi fintech untuk menawarkan produk yang sesuai dengan kebutuhan nasabah, baik dari sisi fleksibilitas maupun biaya.

    Ia menegaskan bahwa BRI menyadari bahwa kemudahan dan kecepatan adalah faktor utama yang membuat banyak masyarakat beralih ke pinjaman online. Untuk bersaing dalam lanskap ini, BRI telah meluncurkan BRIGuna Digital melalui platform BRImo sebagai bagian dari strategi untuk menarik kembali nasabah yang mungkin beralih ke pinjol.

    Beberapa strategi kunci yang diterapkan BRI terkait BRIGuna Digital, antara lain kemudahan akses dan kecepatan layanan, bunga kompetitif dan transparansi, dan integrasi dengan ekosistem BRI melalui BRImo. Kemudian, untuk menangkal pengaruh pinjol yang sering kali menjerat nasabah ke dalam utang dengan bunga tinggi, BRI juga berfokus pada edukasi keuangan.

    Melalui berbagai kanal komunikasi, BRI mengedukasi nasabah tentang risiko pinjol ilegal, pentingnya pengelolaan keuangan yang baik, dan manfaat menggunakan layanan pinjaman dari lembaga perbankan yang terpercaya. BRI juga tak ketinggalan melakukan pengembangan layanan berbasis data.

    BRI juga senantiasa memberikan literasi keuangan ke beragam segmen khususnya nasabah BRI mulai dari anak muda yang masih sekolah sampai dengan nasabah yang sudah pensiun. BRI juga rutin berkeliling universitas dalam rangka meningkatkan pemahaman anak muda dalam cara mengelola keuangan khususnya dalam memilih instrumen investasi dan menghindari pinjaman online.

    Adapun untuk menarik minat generasi muda, BRI telah menerapkan berbagai strategi dan menyediakan produk serta layanan yang relevan dengan kebutuhan mereka, khususnya melalui platform BRImo sebagai super apps yang menyediakan berbagai kemudahan dalam akses perbankan. Apalagi BRImo menawarkan user interface yang intuitif, fitur self-service yang lengkap, dan layanan transaksi yang seamless untuk menarik generasi muda yang terbiasa dengan teknologi digital.

    Selain itu, pembukaan rekening tabungan BRI yang cepat, tanpa biaya admin, serta memberikan kemudahan untuk transaksi online, yang sangat relevan dengan gaya hidup digital generasi muda.

    “BRI juga menyediakan akses investasi yang terjangkau dan mudah, serta mengedukasi generasi muda tentang pentingnya perencanaan keuangan dan investasi melalui platform BRImo. Tak hanya itu, BRImo sebagai aplikasi all-in-one yang terintegrasi dengan ekosistem digital, seperti belanja online, transportasi, dan hiburan, sehingga menarik lebih banyak pengguna muda yang ingin solusi perbankan sekaligus gaya hidup dalam satu aplikasi,” imbuhnya.

  • Cak Imin: Banjirnya Impor Sangat Mengkhawatirkan

    Cak Imin: Banjirnya Impor Sangat Mengkhawatirkan

    Jakarta, Beritasatu.com – Menteri Koordinator Pemberdayaan Manusia (PM), Abdul Muhaimin Iskandar (Cak Imin) berkomitmen untuk membatasi jumlah produk impor yang masuk ke Indonesia. Langkah ini menjadi salah satu kesepakatan dalam rapat tingkat menteri (RTM) yang membahas strategi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengatasi kemiskinan ekstrem, dan memperkuat kemandirian ekonomi.

    “Kesepakatan kami adalah untuk membentuk satuan tugas yang akan mengawasi dan mengusulkan perubahan regulasi kepada presiden,” ujar Cak Imin di Jakarta, Selasa (3/12/2024).

    Menurut Cak Imin, masuknya barang impor dalam jumlah besar dapat berdampak negatif pada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia. Untuk itu, barang impor harus dibatasi.

    “Banjirnya impor ini sangat mengkhawatirkan. Produk lokal kita terancam kalah saing karena banyak produk impor yang masuk tanpa kewajiban pajak yang jelas, atau bahkan melalui jalur ilegal,” jelasnya.

    Sebagai solusi, Cak Imin bersama Menteri UMKM, Menteri Ekonomi Kreatif, Menteri Perlindungan Pekerja Migran, dan Wakil Menteri Desa sepakat untuk membentuk satuan tugas (Satgas) yang akan mengkaji dan merumuskan regulasi terkait masalah impor yang berlebihan, serta mengkoordinasikan langkah-langkah eksekusi antar pihak terkait. Satgas ini akan dipimpin oleh Kemenko PM dan melibatkan deputi dalam pengawasan dan pengelolaan kebijakan yang lebih terintegrasi.

    Terkait dengan potensi tumpang tindih dengan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024, yang memberikan kemudahan dalam pengurusan izin impor, Cak Imin menyatakan bahwa pihaknya akan meminta pengkajian ulang terhadap regulasi tersebut.

    “Kami tentu akan mengkaji regulasi yang ada dan berkoordinasi dengan semua pihak untuk memastikan mana yang menghambat. Kemudian kami akan meminta perubahan. Pokoknya kami akan berhenti impor,” kata Cak Imin.

    Permendag Nomor 8 Tahun 2024 sendiri memberikan relaksasi dalam pengurusan perizinan impor barang. Cak Imin berkomitmen untuk mengurangi masalah banjir impor guna mendukung pengembangan UMKM dan memperkuat ekonomi Indonesia.

    Dalam lima tahun ke depan, Kemenko PM menargetkan berbagai sasaran strategis, seperti peningkatan kualitas hidup masyarakat, kemandirian sosial-ekonomi, dan tata kelola pemerintahan yang lebih profesional. Indikator kinerja Kemenko PM meliputi penurunan angka kemiskinan, peningkatan jumlah kelas menengah, perluasan cakupan jaminan sosial, dan pencapaian target lainnya.

  • Bungkam Ditanya PPN 12 Persen, Sri Mulyani: Nanti Pak Menko Airlangga yang Menyampaikan

    Bungkam Ditanya PPN 12 Persen, Sri Mulyani: Nanti Pak Menko Airlangga yang Menyampaikan

    Jakarta, Beritasatu.com – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memilih untuk tidak memberikan penjelasan rinci terkait kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) yang ditetapkan menjadi 12 persen. Kebijakan ini diprediksi akan memengaruhi daya beli masyarakat, yang semakin menurun.

    “Nanti Pak Menko Perekonomian (Airlangga Hartarto) saja yang menyampaikan ya,” kata Sri Mulyani saat dikonfirmasi oleh wartawan di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Selasa (3/12/2024).

    Setelah itu, Sri Mulyani tidak menjawab pertanyaan lebih lanjut dari media. Kebijakan pemerintah yang menaikkan tarif PPN ini mendapat penolakan keras baik dari kalangan masyarakat maupun pengusaha.

    Pemerintah menargetkan penerimaan pajak pada tahun 2025 sebesar Rp 2.189,3 triliun, dengan PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) diperkirakan mencapai Rp 945,1 triliun. Angka ini diperkirakan akan tumbuh 13,32 persen dibandingkan dengan realisasi PPN dan PPnBM tahun 2024 yang sebesar Rp 819,2 triliun.

    Namun, menurut kajian dari Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, jika pemerintah tetap bersikeras menaikkan tarif PPN, penerimaan pajak pada 2025 diprediksi tidak akan tercapai sesuai target.

    Hal ini disebabkan oleh perlambatan konsumsi rumah tangga yang diprediksi akan berlanjut pada 2025, terutama karena pelemahan konsumsi dari kelas menengah dan calon kelas menengah yang merupakan kontributor utama konsumsi.

    Kelas menengah yang berjumlah 52 juta orang atau 19 persen dari total penduduk Indonesia, berkontribusi terhadap 40 persen total konsumsi. Sementara itu, calon kelas menengah yang berjumlah 148 juta orang atau 54 persen dari total penduduk, berkontribusi terhadap 44 persen pengeluaran konsumsi.

    Namun, jumlah penduduk kelas menengah menurun sebesar 9 juta jiwa selama periode 2018-2023, dari 61 juta menjadi 52 juta jiwa, menurun sebesar 8 persen dalam periode tersebut.

    Sebelumnya, Direktur Riset Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, menyayangkan kebijakan pemerintah yang menambah beban pajak PPN, sementara di sisi lain kembali mengeluarkan kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) untuk menambah penerimaan negara.

    Andri memperingatkan bahwa kebijakan tax amnesty yang kembali diterapkan akan berdampak buruk dalam jangka panjang.

    “Jika tax amnesty kembali dilakukan, pengemplang pajak akan melihat bahwa kebijakan ini bisa muncul lagi setiap kali pemerintah kesulitan keuangan, dan itu akan semakin sering terjadi ke depannya,” kata Andri.

  • Target Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen Bukan Hal Mustahil

    Target Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen Bukan Hal Mustahil

    Jakarta, Beritasatu.com – Anggota tim ahli Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Raden Pardede meyakini target pertumbuhan ekonomi sebesar 8% yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto bukan hal yang mustahil untuk dicapai.

    Untuk mencapai target ambisius tersebut, menurutnya dibutuhkan kerja keras. Terlebih, sejarah mencatat bahwa Indonesia pernah mencatat pertumbuhan ekonomi hingga 8%.

    “Target harus dibuat ambisius agar kita bisa bekerja keras. Indonesia pernah mencapai pertumbuhan seperti itu. Rata-rata 7,3% pada periode 1986-1987. Bahkan pernah mencapai 8,2%-8,3% pada tahun tersebut, ” kata Raden Pardede dalam acara “Sarasehan 100 Ekonom Indonesia”di auditorium Menara Bank Mega, Selasa (3/12/2024).

    Raden menambahkan, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar itu, mesin pertumbuhan ekonomi perlu dioptimalkan, khususnya melalui peningkatan investasi yang mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional.

    “Investasi harus terus digenjot ke level yang lebih tinggi dibandingkan saat ini. Berbagai sumber pembiayaan perlu dimanfaatkan untuk menjalankan program pembangunan,” jelasnya.

    Raden juga menyoroti pentingnya menurunkan incremental capital output ratio (ICOR). ICOR merupakan  rasio yang menunjukkan besarnya tambahan investasi yang diperlukan untuk meningkatkan satu unit output. Menurutnya, masih banyak komponen dalam ICOR  termasuk infrastruktur yang  belum dimanfaatkan secara efisien.

    “Kita perlu menurunkan ICOR dalam rencana Bapak Presiden, yaitu dari sekitar 6,96% atau sebetulnya kalau dirata-ratakan sekitar 6,4% pada 2025 menjadi di kisaran 4,5%,” tutur dia.

    Dengan menurunkan ICOR, lanjutnya, investasi dapat dipacu lebih tinggi, sehingga diperlukan efisiensi yang lebih baik agar kualitas investasi dapat meningkat.

    “Efisiensi sangat krusial, terutama pada sektor-sektor yang lebih produktif dan memiliki dampak besar terhadap pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja,” kata Raden Pardede.

  • Masih Hitung Dampak Ekonomi, Pemerintah Diperkirakan Tentukan Nasib PPN 12 Persen Pekan Depan

    Masih Hitung Dampak Ekonomi, Pemerintah Diperkirakan Tentukan Nasib PPN 12 Persen Pekan Depan

    Tangerang, Beritasatu.com – Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Kamrussamad menyatakan saat ini pemerintah masih melakukan perhitungan terkait dampak rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen.

    “Kami sudah berdiskusi dengan menteri keuangan mengenai hal ini, sejauh mana kesiapan mereka dalam mencermati kondisi ekonomi masyarakat,” ujar Kamrussamad dalam focus group discussion (FGD) bertajuk “Simalakama Kenaikan PPN Menjadi 12 Persen” di kantor B-Universe, PIK 2, Jakarta, pada Selasa (3/12/2024).

    Kamrussamad menyampaikan pemerintah akan menentukan keputusan terkait kenaikan PPN 12 persen pada pekan depan. Kementerian Keuangan disebutkan akan memberikan masukan kepada Presiden Prabowo Subianto mengenai langkah yang harus diambil.

    “Mereka masih membutuhkan waktu untuk menghitungnya. Paling lambat minggu depan, mereka akan memberikan masukan kepada Presiden tentang langkah yang tepat,” ungkapnya.

    Samad juga menekankan pihaknya akan berhati-hati dalam mengambil keputusan dan terus melakukan perhitungan mendalam. Dia menyadari kebijakan ini dapat berdampak besar bagi masyarakat.

    “Kami akan berhati-hati dalam menghitung dan mempertimbangkan dampaknya. Banyak pihak yang akan terdampak oleh kebijakan ini,” tambah Samad.

    Pemerintah, menurut Samad, saat ini lebih terbuka untuk mendengarkan keluhan masyarakat dalam menentukan kebijakan. Kenaikan PPN 12 persen diharapkan tidak memicu gejolak sosial.

    “Situasi yang dihadapi memang tidak mudah, banyak hal yang harus dipertimbangkan. Kami ingin kebijakan ini tidak menjadi pemicu ketegangan,” lanjut Kamrussamad.

    Dia juga menambahkan pihaknya akan tetap konsisten dalam mengoreksi kebijakan yang tidak sesuai dan mencari solusi yang tepat, termasuk dalam penetapan PPN 12 persen.

    “Kami berkomitmen untuk memberikan jaminan minggu depan perhitungan terkait kebijakan ini sudah selesai,” tandasnya.

  • Ada Kenaikan UMP 6,5 Persen, Pengusaha Ritel Minta Batalkan PPN 12 Persen

    Ada Kenaikan UMP 6,5 Persen, Pengusaha Ritel Minta Batalkan PPN 12 Persen

    Tangerang, Beritasatu.com – Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Merek Global Indonesia (Apregindo), Handaka Santosa, meminta pemerintah untuk membatalkan rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen. Menurut Handaka, kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5% saja sudah cukup memberatkan pengusaha.

    Pernyataan tersebut disampaikan Handaka dalam diskusi Beritasatu Special The Forum bertajuk “Simalakama Rencana Kenaikan PPN Jadi 12 Persen” yang diadakan di kantor B-Universe, PIK 2, Tangerang, pada Selasa (3/12/2024).

    “PPN 12 persen ini sangat mengkhawatirkan, terlebih lagi dengan adanya kenaikan upah minimum yang harus kami jalankan. Kami berharap agar pemerintah dapat membatalkan rencana kenaikan PPN ini dan menunggu sampai suasana ekonomi kondusif bagi dunia usaha,” ujar Handaka.

    Handaka menambahkan sebelum rencana kenaikan PPN 12 persen muncul, pengusaha sudah dihadapkan pada kenaikan harga bahan baku produksi. Kenaikan tarif PPN sebesar 1 persen diprediksi akan meningkatkan biaya produksi, yang berpotensi mendorong harga produk naik lebih dari 5 persen.

    “Kami khawatir kenaikan harga produk ini akan berdampak pada penurunan penjualan (sales), terutama dengan semakin melemahnya daya beli masyarakat yang mulai menahan belanja,” ungkapnya.

    Menurut Handaka, jika pemerintah tetap memutuskan untuk menaikkan PPN menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025, pengusaha akan menghadapi situasi yang sangat sulit.

    “Untuk toko ritel, apabila hasil penjualan tidak tercapai sementara biaya gaji karyawan, sewa kios, dan listrik tetap tinggi, maka situasinya akan sangat berat. Kami terpaksa harus mengurangi jumlah toko daripada terus beroperasi dengan kerugian,” tambah Handaka.

  • Pernah Naik pada 2022, Ini Alasan Pemerintah Akan Naikkan PPN Jadi 12 Persen

    Pernah Naik pada 2022, Ini Alasan Pemerintah Akan Naikkan PPN Jadi 12 Persen

    Jakarta, Beritasatu.com – Pemerintah sudah berencana menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025. Sebelumnya, PPN sudah mengalami kenaikan dari 10 persen menjadi 11 persen pada 1 April 2022.

    Kenaikan PPN tersebut menimbulkan berbagai reaksi dari masyarakat. Sebagian mendukung dan sebagian lainnya mengkritiknya.

    Sebenarnya apa yang melatarbelakangi kenaikan PPN dan apa dampaknya bagi masyarakat? Berikut ini penjelasannya.

    Peraturan Pemerintah Terkait PPN
    Rencana kenaikan PPN dimulai pada 2021 setelah pengesahan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada 29 Oktober 2021. UU HPP mengubah beberapa UU mengenai Perpajakan seperti UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), UU Pajak Penghasilan (PPh), UU PPN, dan UU Cukai.

    Usulan kenaikan PPN berasal dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang saat itu dipimpin oleh Sri Mulyani yang kemudian diajukan kepada Komisi XI DPR. Setelah melewati proses yang panjang, DPR kemudian menerima dan mengesahkan UU HPP. Salah satu aturan yang berlaku setelah pengesahan UU HPP adalah kenaikan PPN dari 10 persen menjadi 11 persen pada 1 April 2022 dan direncanakan kembali naik menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025.

    Tujuan Kenaikan PPN
    Kenaikan PPN bertujuan untuk menaikkan jumlah pemasukan negara melalui pajak. Pada 2021, Sri Mulyani menuturkan melalui kenaikan PPN diharapkan penerimaan pajak pada 2022 dapat meningkat. Ketika itu, diproyeksikan penerimaan pajak antara Rp 1.499 triliun hingga Rp 1.528 triliun atau tumbuh sebesar 8,37 persen hingga 8,42 persen.

    Realitanya pada akhir Desember 2022, Kemenkeu mencatat penerimaan pajak tahun tersebut meningkat pesat dan melewati dari target proyeksi awal, yaitu sebanyak Rp 2.034 triliun. Jumlah tersebut tumbuh sebanyak 31,4 persen, jika dibandingkan dengan 2021 yang mendapatkan penerimaan pajak sebanyak Rp 1.547 triliun.

    Dengan adanya rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen per 1 Januari 2025, pemerintah dalam hal ini Kemenkeu memproyeksikan jumlah penerimaan pajak akan sebesar Rp 2.189 triliun pada tahun tersebut. Angka ini tumbuh sekitar 13,9 persen jika dibandingkan dengan outlook penerimaan pajak 2024 sekitar Rp 1.921 triliun.

    Penerapan PPN
    Penerapan PPN diberlakukan pada beberapa objek, seperti:
    – Barang kena pajak (BKP) dan/atau jasa kena pajak (JKP) diserahkan dalam daerah pabean oleh pengusaha kena pajak (PKP).
    – Mengekspor BKP dan/atau JKP yang dilakukan oleh PKP.
    – Mengimpor BKP dan/atau pendayagunaan JKP tak berwujud berasal dari di luar daerah pabean.

    Aktiva yang diserahkan oleh PKP yang pada awal mulanya tidak ditujukan untuk diperjualbelikan, asalkan PPN yang dibayarkan pada proses perolehannya dapat dikreditkan.

    BKP dalam hal ini diartikan sebagai barang-barang yang memiliki wujud dan sifat barang bergerak atau tidak bergerak serta barang tidak berwujud. Barang berwujud, seperti mobil, komputer, dan ponsel, sementara barang tidak berwujud berupa hak paten, aplikasi, dan lisensi.

    JKP tidak berwujud meliputi layanan menonton siaran film atau mendengarkan musik berbasis aplikasi atau web.

    Skema Kenaikan PPN di Indonesia
    Pemerintah Indonesia telah merencanakan kenaikan tarif PPN dalam dua tahap sebagai bagian dari reformasi perpajakan. Berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2021, kenaikan pertama pada 1 April 2022, mengubah tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen, dan tahap kedua direncanakan pada 1 Januari 2025, tarif PPN akan meningkat menjadi 12 persen.

    Kebijakan tersebut dirancang secara bertahap untuk memberi waktu kepada masyarakat dan pelaku usaha untuk menyesuaikan harga barang dan sistem pembayaran pajak.

    Sebagai bagian dari implementasi kebijakan ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melaksanakan sosialisasi dan pendampingan kepada masyarakat dan pelaku usaha, termasuk UKM, agar mereka bisa menyesuaikan sistem pelaporan dan pembayaran pajak dengan tarif yang baru.

    Barang dan jasa esensial, seperti sembako, kesehatan, pendidikan, dan jasa keuangan, tetap bebas dari PPN, untuk menjaga daya beli masyarakat. Di samping itu, pemerintah juga menyiapkan bansos dan insentif sektor untuk membantu mengurangi dampak kenaikan tarif PPN pada masyarakat berpendapatan rendah serta sektor usaha yang terdampak, seperti pariwisata dan barang konsumsi.

    Untuk memastikan kebijakan berjalan dengan baik, pemerintah akan melakukan evaluasi dan monitoring secara berkala. Pemantauan ini akan dilakukan untuk menilai dampak sosial dan ekonomi dari kenaikan PPN, serta untuk mengidentifikasi sektor atau kelompok yang mungkin paling terdampak. Pemerintah juga akan memanfaatkan teknologi digital untuk meningkatkan efisiensi pelaporan dan pembayaran PPN.

    Dampak Kenaikan PPN di Indonesia
    1.  Dampak bagi pemerintah
    Kenaikan PPN menjadi 12 persen dapat memberikan tambahan pemasukan bagi pemerintah untuk mendanai berbagai program penting, seperti pembangunan jalan, sekolah, rumah sakit, dan program pengentasan kemiskinan. Dengan pemasukan yang lebih besar dari pajak ini, pemerintah juga bisa lebih mudah mengurangi utang negara dan menjaga keuangan tetap stabil.

    2. Dampak bagi masyarakat
    – Kenaikan PPN bisa memicu inflasi
    Saat PPN naik 1 persen, harga barang dan jasa juga ikut naik, meskipun kenaikannya tidak langsung sebesar itu. Menurut studi Ernst & Young, kenaikan 1 persen PPN biasanya meningkatkan inflasi sedikit di bawah 1 persen. Akibatnya, masyarakat harus membayar lebih untuk barang dan jasa, sehingga daya beli mereka berkurang.

    – Daya beli masyarakat menurun
    Karena harga naik, banyak orang mulai mengurangi belanja mereka. Sebagian besar memilih menabung daripada membeli barang. Ini membuat konsumsi rumah tangga, yang biasanya menjadi pendorong utama ekonomi Indonesia, jadi lebih lambat. Pada 2023, konsumsi rumah tangga menyumbang sekitar 53 persen dari total ekonomi, jadi penurunan ini cukup mengkhawatirkan.

    – Pertumbuhan ekonomi melambat
    Jika daya beli turun dan konsumsi rumah tangga melemah, aktivitas ekonomi pun akan berkurang. Hal ini bisa memengaruhi sektor perdagangan dan membuat ekonomi secara keseluruhan berjalan lebih lambat.

    3. Dampak pada dunia usaha
    Pelaku usaha perlu menyesuaikan harga jual atau menyerap sebagian kenaikan biaya agar tetap kompetitif saat PPN 12 persen diterapkan. Sektor jasa konsumsi, elektronik, dan otomotif menjadi yang paling terdampak. Selain itu, perusahaan juga harus lebih kreatif dalam strategi pemasaran untuk menarik konsumen yang semakin selektif.

    Penundaan PPN 12 Persen
    Baru-baru ini Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan memberikan sinyal pemerintah akan menunda kenaikan PPN 12 persen.

    “Ya, hampir pasti diundur,” ujar Luhut di Jakarta, Rabu (27/11/2024).

    Menurut Luhut, keputusan untuk menunda kenaikan PPN ini diambil karena pemerintah berencana memberikan stimulus atau insentif terlebih dahulu kepada masyarakat. Stimulus akan diberikan khususnya kepada masyarakat kelas menengah, melalui bantuan sosial (bansos).

    “PPN 12 persen harus diundur karena sebelum itu, pemerintah harus memberikan dahulu stimulus kepada rakyat yang ekonominya terpuruk,” kata Luhut.

    Luhut menjelaskan bansos yang akan diberikan bukan berupa bantuan langsung tunai (BLT), melainkan subsidi energi ketenagalistrikan.

  • Menteri Investasi Pacu Perkembangan Teknologi Tinggi, Ini Sektor Prioritasnya

    Menteri Investasi Pacu Perkembangan Teknologi Tinggi, Ini Sektor Prioritasnya

    Jakarta, Beritasatu.com – Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Rosan Roeslani, menjadi pembicara dalam diskusi Investor Daily Round Table bertema “Strategi Mendatangkan Investasi Berteknologi Tinggi” yang berlangsung di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, Jumat (29/11/2024). Diskusi ini dipandu oleh Executive Chairman B-Universe, Enggartiasto Lukita, dan membahas langkah strategis untuk mempercepat masuknya investasi teknologi tinggi guna mendukung transformasi ekonomi nasional.

    Rosan memaparkan bahwa Indonesia telah memiliki ekosistem digital yang mumpuni, baik dari segi infrastruktur maupun aplikasi, sehingga mampu bersaing di tingkat regional. Ia mencontohkan perkembangan cloud computing di Asia Pasifik yang meningkat hingga 25% pada periode tahun 2018–2023 sebagai salah satu indikator positif.

    “Selain itu, berdasarkan laporan e-Conomy SEA 2024, investor optimis bahwa pendanaan swasta di Asia Tenggara akan mengalir ke sektor software and services yang erat kaitannya dengan penelitian dan pengembangan (R&D). Pemerintah kini fokus mengembangkan infrastruktur dan aplikasi untuk mendukung tren investasi di sektor tersebut,” jelas Rosan.

    Selanjutnya, Rosan menekankan pentingnya pengembangan sumber daya manusia (SDM) melalui berbagai program kemitraan antara sekolah vokasi dan Dunia Usaha serta Dunia Industri (DUDI). Hingga Semester I tahun 2024, hampir 90% politeknik telah bermitra dengan 1.655 DUDI untuk memastikan lulusan vokasi memiliki keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan industri.

    “Selain itu, pemerintah juga membuka peluang bagi universitas kelas dunia untuk beroperasi di Indonesia. Saat ini, tiga universitas dari Inggris dan Australia telah membuka cabang di Malang, Bandung, dan BSD. Kehadiran mereka diharapkan mencetak tenaga kerja dengan keahlian yang relevan, seperti cybersecurity, data science, ekonomi digital, hukum digital, desain urban, dan keberlanjutan,” tambah Rosan.

    Sektor Prioritas Investasi Teknologi Tinggi

    Pemerintah telah menetapkan sektor prioritas untuk investasi teknologi tinggi, yaitu industri baterai dan ekosistem kendaraan listrik (EV) beserta komponennya, data center dan layanan software and services, industri energi terbarukan seperti panel surya, dan sektor farmasi, kesehatan, semikonduktor, dan elektronik lainnya.

    “Kami aktif berdiskusi dengan calon investor untuk memastikan ketersediaan tenaga kerja dengan keahlian yang sesuai, sehingga mendukung operasional perusahaan berbasis teknologi tinggi,” tutup Rosan.

  • YLKI Desak Pemerintah Tunda atau Batalkan Kenaikan PPN 12 Persen

    YLKI Desak Pemerintah Tunda atau Batalkan Kenaikan PPN 12 Persen

    Tangerang, Beritasatu.com – Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendesak pemerintah untuk segera mengambil keputusan terkait rencana kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen, yang direncanakan berlaku pada 1 Januari 2025. YLKI meminta agar kebijakan tersebut segera ditunda atau dibatalkan.

    Plt Ketua Pengurus Harian YLKI, Indah Sukmaningsih, menegaskan banyak pihak yang telah memberikan tanggapan mengenai rencana kenaikan PPN ini, mulai dari pakar, pelaku usaha, konsumen, hingga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ia berharap pemerintah segera mendengar aspirasi masyarakat dan mengambil keputusan yang tepat.

    “Ambil dong keputusannya, dan segera menentramkan masyarakat sebagai hadiah. Mau puasa ini, mbok ya sudah dikasih ketentraman sedikit hidupnya,” ujar Indah kepada Beritasatu.com di kantor B-Universe, PIK 2, Jakarta, Selasa (3/12/2024).

    Sebagai lembaga yang berfokus pada perlindungan hak konsumen, YLKI menerima banyak keluhan dan aduan dari masyarakat terkait rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen. Indah mengungkapkan masyarakat merasa terbebani dengan beban pajak yang semakin meningkat.

    Melalui keluhan dan aduan yang diterima, YLKI berharap pemerintah dapat memikirkan kesejahteraan masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah, yang paling terdampak. Apalagi, dalam waktu dekat masyarakat akan menghadapi perayaan Natal, Tahun Baru 2025, dan bulan puasa.

    “Melihat daya beli yang semakin menurun akhir-akhir ini, ilmuwan sudah menyatakan, sudah cukup. Jadi, lebih baik dibatalkan saja,” tambah Indah.

    Selain itu, Indah juga memberikan solusi kepada pemerintah, yakni mengganti kebijakan kenaikan PPN dengan pengenaan cukai pada produk-produk yang berpotensi merugikan kesehatan, seperti minuman berpemanis. Menurutnya, produk-produk tersebut dapat dikenakan cukai yang tinggi, mengingat dampaknya terhadap kesehatan, terutama pada anak-anak yang berisiko terkena diabetes.

    “Kami memberi solusi sebagai alternatif PPN 12 persen, salah satunya adalah mengenakan cukai. Produk minuman berpemanis yang jelas dapat menyebabkan penyakit seperti diabetes pada anak-anak perlu dikenakan cukai tinggi,” tegasnya.

  • Bapanas Sebut Kesejahteraan Petani Penting pada Program Swasembada Presiden Prabowo

    Bapanas Sebut Kesejahteraan Petani Penting pada Program Swasembada Presiden Prabowo

    Jakarta, Beritasatu.com – Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) atau National Food Agency (NFA) Arief Prasetyo Adi, menegaskan pentingnya kesejahteraan petani dalam program swasembada pangan yang digagas oleh Presiden Prabowo Subianto.

    Ia menyebutkan, keberhasilan swasembada pangan harus diikuti dengan perhatian terhadap harga pangan yang stabil, agar para petani tidak merugi dan tetap termotivasi untuk meningkatkan produksi.

    “Saat ini, Pak Menteri Pertanian sedang fokus pada upaya peningkatan produksi pangan, seperti persiapan lahan dan cetak sawah. Namun, kita harus memastikan bahwa ketika hasil panen melimpah, harga tidak turun. Jadi kita harus buat atmosfer bagaimana petani itu bisa punya keinginan untuk menanam,” ungkap Arief di gedung NFA, Senin (2/12/2024).

    Untuk menjaga kesejahteraan petani, harga pangan dapat diukur melalui Badan Pusat Statistik (BPS), dengan  nilai tukar petani (NTP). NTP perlu dijaga di atas 100%, agar petani mendapatkan harga yang wajar untuk hasil panennya.

    “Dahulu, NTP pernah turun ke angka 92%, dan petani sangat dirugikan,” ujarnya.

    Arief juga menyampaikan, petani memiliki beragam latar belakang, mulai dari petani penggarap, petani dengan lahan kecil, hingga buruh tani. Semua kelompok ini harus dijaga kesejahteraannya.

    “Kita tidak bisa hanya fokus pada harga murah tanpa memperhatikan kondisi petani. Mereka harus dihargai atas usaha mereka,” tegas Arief.

    Seperti di Jawa Timur, petani tebu dapat merasakan kebahagiaan karena harga yang wajar dan pasar yang stabil. Menurut Arief, harga yang baik dan terjaga akan membuat petani sejahtera dan memotivasi mereka untuk menanam. Hal itu menjadi kunci untuk mendukung swasembada pangan Presiden Prabowo.