Jombang (beritajatim.com) – Pada sebuah sore yang lengang di Jombang, Binhad Nurrohmat, seorang pemerhati sejarah sekaligus inisiator gerakan Titik Nol Soekarno, membuka lembar demi lembar buku tua berjudul My Friend the Dictator, karya Cindy Adams.
Buku yang terbit pada 1967 ini seolah menyimpan rahasia yang selama ini terkubur dari narasi besar sejarah Indonesia: Soekarno kecil dan jejak masa kecilnya di Ploso, Jombang.
Dalam buku tersebut, Binhad menemukan sesuatu yang mengejutkan—sebuah foto Cindy Adams tengah berdiri di halaman sebuah rumah tua di Desa Rejoagung, Kecamatan Ploso. Tak sendiri, ia berpose bersama sejumlah tokoh lokal: Mbok Suwi atau Bu Sosro—perawat kecil Soekarno, Mbah Joyodipo—teman masa kecil sang proklamator, Mbah Sutomo sang Wedono Ploso waktu itu, dan Abdul Syukur, seorang tokoh masyarakat setempat.
Semuanya berada di satu bingkai, di satu tempat yang kini justru nyaris terhapus dari narasi resmi sejarah Bung Karno.
“Ini bukan sekadar foto,” kata Binhad dengan nada serius. “Ini bukti bahwa Cindy Adams benar-benar melakukan penelusuran sejarah secara langsung. Ia datang ke Ploso pada 1964, setahun sebelum buku Sukarno: An Autobiography as Told to Cindy Adams diterbitkan. Tapi kenapa Ploso tidak disebut dalam buku itu?”
Pertanyaan itu menjadi kunci dari kegelisahan Binhad. Baginya, bagian paling mendasar dari riwayat hidup seseorang adalah masa kecilnya—terutama rentang usia nol hingga sepuluh tahun. Di sanalah, menurutnya, cetak biru kepribadian seseorang dibentuk.
Namun dalam buku yang kemudian dikenal luas di Indonesia sebagai Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat Indonesia, nama Ploso tak sekali pun disebut. “Ini cacat sejarah,” tegasnya. “Bukan karena Ploso harus diagung-agungkan, tapi karena ini adalah fase kehidupan yang sangat penting. Kenapa justru dihilangkan?”
Tak hanya Ploso yang terabaikan. Sidoarjo, tempat Soekarno tinggal setelah ayahnya, Raden Soekeni Sosrodihardjo, dipindahtugaskan pada November 1907, juga absen dari narasi Cindy Adams.
Padahal, menurut arsip resmi, Raden Soekeni mengajar di Sekolah Ongko II Sidoarjo dan tinggal tak jauh dari sekolah itu. Bung Karno bahkan bersekolah di sana sebagai siswa.
Fakta-fakta ini makin diperkuat oleh penelusuran sejarawan muda Jombang, Moch. Faisol. Ia menemukan bahwa foto Cindy Adams di halaman rumah masa kecil Soekarno di Ploso juga muncul dalam buku Soekarno: My Friend, yang terbit tahun 1971. “Judul bukunya beda, tapi isinya sama dengan My Friend the Dictator,” jelas Faisol.
Yang menarik, dalam salah satu foto itu, Cindy Adams menulis keterangan: in the village—”di desa.” Keterangan ini makin menegaskan bahwa lokasi kunjungan Cindy bukanlah di kota besar seperti Surabaya, tetapi benar-benar di pedesaan, tepatnya Ploso.
Pertanyaannya kini adalah: apakah penghilangan nama Ploso dan Sidoarjo dari narasi Cindy Adams disengaja? Atau hanya karena ketidaktahuan dan pembatasan editorial? Apapun itu, bagi Binhad dan para penelusur sejarah lokal, pengabaian ini adalah bentuk pengaburan jejak penting dari seorang tokoh besar bangsa.
“Sejarah tidak boleh dilipat atau dipilih hanya karena alasan politis atau estetika narasi,” ujar Binhad. “Ploso adalah bagian dari Soekarno. Dan kebenaran sejarah harus tetap kita suarakan.”
Kini, di tengah hiruk pikuk perayaan warisan Bung Karno, Ploso berdiri sebagai simbol sunyi dari sebuah masa kecil yang nyaris tak terdengar. Namun berkat ketekunan para penelusur jejak, suara masa kecil itu perlahan mulai bangkit, menuntut pengakuan yang layak dari panggung sejarah nasional. [suf]









