Category: Beritajatim.com Regional

  • Polsek Balongbendo Laksanakan Patroli Sambang Lahan Ketahanan Pangan P2B

    Polsek Balongbendo Laksanakan Patroli Sambang Lahan Ketahanan Pangan P2B

    Sidoarjo (beritajatim.com) – Mendukung program Ketahanan Pangan Polresta Sidoarjo Polda Jawa Timur dan arahan Kapolresta Sidoarjo Kombes Pol Christian Tobing, Bhabinkamtibmas Desa Waruberon Polsek Balongbendo, Aipda Danang WH, melaksanakan patroli sambang desa ke lahan pekarangan milik warga, Senin (16/6/2025).

    Kegiatan tersebut berlangsung di pekarangan milik Edi Santoso yang terletak di RT 05 RW 01, Desa Waruberon, Kecamatan Balongbendo, Kabupaten Sidoarjo. Lahan yang sebelumnya tidak termanfaatkan (pekarangan tidur) kini mulai diolah menjadi Pekarangan Pangan Bergizi (P2B) dan ditanami tanaman jagung dan benih lombok (cabai), sebagai bagian dari dukungan terhadap ketahanan pangan nasional dalam Asta Cita Presiden Prabowo Subianto.

    Di lokasi Aipda Danang WH bersama Panit Binmas memberikan motivasi, dukungan, serta edukasi kepada pemilik pekarangan terkait pentingnya perawatan tanaman, pengendalian hama, hingga persiapan panen agar hasilnya maksimal dan bermanfaat bagi kebutuhan gizi keluarga.

    “Pekarangan yang sebelumnya tidak dimanfaatkan kini telah menjadi lahan produktif yang mendukung program ketahanan pangan. Ini adalah langkah nyata dalam memperkuat kemandirian swasembada pangan warga,” ucap Aipda Danang.

    Sementara itu, Edi Santoso selaku pemilik pekarangan mengaku senang dan berterima kasih atas dukungan dari Bhabinkamtibmas. “Awalnya pekarangan ini hanya terbengkalai, tapi dengan adanya dorongan dari Bhabinkamtibmas dan program ketahanan pangan, saya jadi semangat untuk menanami lombok dan jagung. Mudah-mudahan bisa bermanfaat untuk keluarga dan lingkungan sekitar,” terang Edi.

    Hasil dari kegiatan Polisi Cinta Petani ini menunjukkan bahwa pekarangan tersebut telah siap untuk masuk tahap perawatan intensif, dengan tujuan jangka panjang untuk mendukung keberlanjutan program P2B di wilayah Desa Waruberon. [isa/aje]

  • Ketua PCNU Pamekasan Wafat, Gubernur Jatim: Sosok Ulama Muda Inspiratif

    Ketua PCNU Pamekasan Wafat, Gubernur Jatim: Sosok Ulama Muda Inspiratif

    Pamekasan (beritajatim.com) – Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa menilai Almarhum KH Taufik Hasyim sebagai sosok muda inspiratif dengan beragam pengalaman yang luar biasa.

    Hal tersebut disampaikan Khofifah ketika melayat ke kediaman almarhum Ketua PCNU Pamekasan, di Pondok Pesantren Sumber Anom, Desa Angsanah, Kecamatan Palengaan, Pamekasan, Minggu (15/6/2025) kemarin.

    Dalam kesempatan tersebut, ia juga menyampaikan duka cita mendalam dan mengenang almarhum KH Taufik Hasyim sebagai seorang tokoh, ulama muda, dan cendekiawan yang memiliki kontribusi besar bagi masyarakat.

    “Sangat jarang sekali ada seorang pemangku pesantren pada usia muda, dan memangku di sebuah lembaga perguruan tinggi yang juga sedang memimpin organisasi keagamaan di Pamekasan,” kata Khofifah Indar Parawansa.

    Hanya saja takdir berkata lain, sebab Rektor Institut Agama Islam (IAI) Miftahul Ulum Penyepen Pamekasan, beserta istri tercinta, Ny Hj Amiroh Mawaddah Sofi meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas di KM 835.600/A Tol Pasuruan-Probolinggo, Sabtu (14/6/2025).

    Ungkapan duka cita Gubernur Jatim, atas wafatnya Ketua PCNU Pamekasan, KH Taufik Hasyim melalui akun medsos pribadinya. [Gambar: IG Khofifah Indar Parawansa]“Tentu kami Pemprov Jatim, merasa kehilangan sosok ulama muda bergelar doktor yang memiliki semangat juang luar biasa. Kami menyampaikan duka cita yang sangat mendalam, semoga almarhum dan almarhumah mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala,” pungkasnya.

    Seperti diketahui, almarhum dan almarhumah bersama rombongan mengendarai mobil Toyota Innova Zenix bernopol N 1086 EL yang dikemudikan Moh Sholehoddin mengalami laka lalin setelah menabrak mobil barang bernopol DK 8348 CT.

    Akibat peristiwa yang terjadi sekitar pukul 2:00 WIB tersebut, rombongan kendaraan Kiai Taufik mengalami ringsek pada bagian depan, sementara mobil barang yang ditabrak mengalami ringsek pada body bak belakang.

    Akibat peristiwa tersebut, KH Taufik Hasyim (43) beserta istri tercinta (29) meninggal dunia. Empat orang lainnya masing-masing Moh Sholehoddin (26) mengalami luka berat, Moh Syakir (7) mengalami luka ringan, Mohammad Ali (4) dan Siti Sulaiha (21) dalam kondisi sehat. [pin/aje]

  • Hampir 7.000 Koperasi Merah Putih Telah Terdaftar di Jatim, 13 Daerah Capai 100%

    Hampir 7.000 Koperasi Merah Putih Telah Terdaftar di Jatim, 13 Daerah Capai 100%

    Surabaya (beritajatim.com) – Progres percepatan pembentukan dan pendaftaran Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KD/KMP) di Jawa Timur terus menunjukkan peningkatan signifikan. Hingga pertengahan Juni 2025, tercatat sebanyak 6.984 koperasi telah resmi terdaftar melalui Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM) Jawa Timur.

    “Jumlah tersebut setara 82,2 persen dari total 8.494 desa dan kelurahan di Jawa Timur,” ujar Kepala Kantor Wilayah Kemenkum HAM Jatim, Haris Sukamto, Senin (16/6/2025).

    Berdasarkan data resmi dari Kanwil Kemenkum HAM Jatim, terdapat 13 kabupaten/kota yang telah menuntaskan pendaftaran SABH untuk seluruh KD/KMP-nya. Daerah tersebut meliputi Ponorogo, Nganjuk, Sidoarjo, Kota Mojokerto, Kabupaten Malang, Kota Probolinggo, Trenggalek, Kota Madiun, Kabupaten Kediri, Kabupaten Mojokerto, Kota Malang, Kabupaten Probolinggo, dan yang terbaru Kota Blitar.

    Sementara itu, sejumlah daerah lain mencatatkan progres tinggi dan hampir mencapai 100 persen. Beberapa di antaranya adalah Jombang dengan capaian 99,7 persen, Jember 99,6 persen, Surabaya 99,3 persen, Bangkalan 98,6 persen, dan Gresik 98,3 persen. Wilayah-wilayah ini hanya menyisakan 1 hingga 6 berkas untuk diselesaikan.

    Namun demikian, Haris juga menyoroti beberapa daerah yang menunjukkan progres lambat dan membutuhkan intervensi segera. Wilayah tersebut di antaranya adalah Bojonegoro (10,9 persen), Kota Pasuruan (20,6 persen), Kota Batu (37,5 persen), dan Kabupaten Pasuruan (41,4 persen).

    “Beberapa kendala yang ditemukan meliputi keterlambatan penganggaran, revisi berkas notaris, hingga keraguan pengurus,” terang Haris.

    “Perlu langkah percepatan dan pendampingan lebih intensif, terutama pada kabupaten/kota yang stagnan,” imbuhnya.

    Tren pertambahan pendaftaran koperasi melalui SABH harian menunjukkan angka rata-rata lebih dari 280 koperasi per hari. Dengan laju ini, Kemenkum HAM Jatim optimistis target 100 persen dapat tercapai pada pekan ketiga Juni 2025.

    Untuk mendukung target tersebut, sejumlah strategi percepatan tengah dilakukan. Di antaranya penandatanganan akta secara massal di hadapan notaris, audit kelengkapan dokumen secara kolektif, serta intervensi langsung ke daerah prioritas seperti Bojonegoro, Kota Batu, Sampang, dan Situbondo.

    “Kami tentu mengapresiasi seluruh mitra kerja kami yang terlibat, mulai dari Pemprov dan Pemkab, Notaris dan Ditjen AHU dengan keandalan sistem yang dimiliki,” tutup Haris.

    Program pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih merupakan bagian dari agenda strategis nasional untuk mendorong kemandirian ekonomi desa melalui koperasi berbadan hukum. Jawa Timur saat ini tercatat sebagai provinsi dengan jumlah koperasi berbadan hukum terbanyak secara nasional. [uci/beq]

  • Tanpa Penyesalan, Menuju Kampus yang Lebih Fleksibel

    Tanpa Penyesalan, Menuju Kampus yang Lebih Fleksibel

    Malang (beritajatim.com) – Satu hal yang menyatukan Izzul dan Faris adalah ketiadaan penyesalan. Pilihan mereka untuk menjadi barista, sambil tetap menyelesaikan studi (dan bahkan berprestasi dalam kasus Faris), adalah keputusan sadar yang dijalani dengan penuh rasa syukur.

    “Menyesal sih tidak ada. Saya berjalan sesuai kemauan saya sendiri dan saya bangga atas hal itu,” tegas Izzul.

    Faris juga menggemakan hal yang sama. “Sama sekali enggak nyesel. Justru bersyukur banget karena bisa punya kesempatan jadi barista sekaligus tetap aktif di debat. Saya malah dapat perspektif baru yang mungkin enggak saya dapat kalau cuma stay di UKM,” ungkap dia.

    Fenomena ini adalah pesan kuat bagi institusi pendidikan. Bahwa mahasiswa modern memiliki kebutuhan dan aspirasi yang semakin beragam. Kampus tidak bisa lagi hanya memfasilitasi jalur-jalur pengembangan diri yang konvensional. Izzul berharap kampus bisa lebih proaktif.

    “Meskipun kita dikasih kemerdekaan belajar, seharusnya kampus juga perlu memperhatikan, memberikan ruang-ruang kepada mahasiswa untuk bisa menampung dan mengasah skill-nya lebih lanjut,” kata Izzul.

    Harapan Faris menjadi penutup yang merefleksikan semangat generasi baru ini. Ia mendambakan budaya kampus yang lebih cair dan terbuka untuk segala jenis minat.

    “Soalnya mahasiswa sekarang itu bermacam-macam banget. Ada yang suka organisasi, ada yang suka nge-freelance, ada juga yang kayak saya. Semua itu keren dan punya manfaatnya sendiri,” ujarnya.

    Lalu ia menambahkan sebuah nasihat bijak yang mungkin terdengar nyeleneh, namun sarat makna.“Satu lagi, mahasiswa itu harus banyakin main. Karena kalau serius terus nanti stres ujung-ujungnya. Dari ‘main’ itu kita dapat pengalaman baru, seringkali muncul ide-ide keren juga. Jadi, belajar itu harus, tapi jangan lupa buat hidup juga.”

    Pada akhirnya, pergeseran dari gema orasi ke aroma kopi bukanlah tentang kematian aktivisme. Ini adalah tentang kelahiran definisi baru dari kata ‘produktif’ dan ‘relevan’.

    Mahasiswa Malang, dan mungkin juga di kota lain, sedang menunjukkan bahwa belajar tidak hanya terjadi di ruang kelas atau ruang rapat, tapi juga di balik meja barista yang sibuk, di mana setiap cangkir kopi yang disajikan adalah pelajaran tentang kerja keras, kemandirian, dan kehidupan itu sendiri.

    Aktivisme mungkin tak lagi satu-satunya panggung yang seksi, karena kini, menjadi mandiri adalah bentuk aktivisme yang paling nyata bagi diri sendiri. [dan/beq]

  • Kesenjangan Gaya Hidup dan Perubahan Identitas

    Kesenjangan Gaya Hidup dan Perubahan Identitas

    Malang (beritajatim.com) – Pilihan untuk terjun ke dunia kerja paruh waktu secara tak terhindarkan menciptakan sebuah kesenjangan gaya hidup. Ritme hidup seorang aktivis dan seorang barista berjalan di dua jalur yang berbeda.

    Faris menggambarkannya dengan sangat jernih. “Kalau di organisasi biasanya kan sibuk rapat, acara kampus, terus networking formal. Sementara sebagai barista, kita lebih terbiasa dengan dunia kerja yang praktis, ritme yang cepat, dan ketemu banyak orang dari latar belakang yang berbeda, nggak cuma mahasiswa aja,” kata dia.

    Citra yang terbangun pun berbeda. Menurutnya, mahasiswa aktif organisasi seringkali dipandang lebih serius, prestisius, dan dianggap sudah punya tujuan hidup yang jelas. “Mereka itu lebih identik sama jas almamater, rapat, dan acara formal kampus,” katanya.

    “Sementara mahasiswa yang jadi barista itu kadang dipandang lebih santai,” lanjutnya. “Tapi sebenarnya mereka itu juga punya mental kerja yang kuat. Mereka belajar tanggung jawab langsung di lapangan. Padahal kalau menurut saya, dua-duanya keren, cuma beda jalur aja.”

    Pergeseran ini bukan berarti kehilangan identitas, melainkan sebuah evolusi. Faris lebih suka menyebutnya sebagai shifting identity.

    “Dulu identitas saya lebih ke arah anak yang suka diskusi, sibuk rapat, bikin proposal. Sejak masuk ke dunia perkopian, saya ngerasa identitasnya lebih santai, lebih terbuka, dan lebih relatable ke banyak orang, nggak cuma circle kampus aja. Jadi bukan kehilangan identitas, tapi lebih kayak shifting aja dari yang serba terstruktur ke arah yang lebih organik,” paparnya. [dan/beq]

  • Panggung Baru di Balik Meja Bar

    Panggung Baru di Balik Meja Bar

    Malang (beritajatim.com) – Jika organisasi menawarkan pelajaran tentang kepemimpinan dan birokrasi, maka kedai kopi menawarkan universitas kehidupan dalam skala mikro. Di sinilah para mahasiswa ini menemukan ruang ekspresi, laboratorium bisnis, dan pelajaran tentang kemanusiaan yang sesungguhnya.

    Bagi Izzul, menjadi barista adalah linearitas sempurna dari ilmunya di bangku kuliah. “Di dunia kopi itu saya jelas mendapatkan banyak hal-hal yang lebih nyata tentang implementasi teori dan kajian yang saya dapatkan di kampus. Sehingga kepuasan itu menjadi nilai tambah,” jelasnya.

    Ia tidak lagi hanya membahas teori manajemen di kelas, tetapi mempraktikkannya langsung: mengelola stok, melayani pelanggan dengan karakter beragam, hingga ikut campur dalam strategi bisnis kedai.

    Di sisi lain, Faris menemukan kebebasan berekspresi yang mungkin sulit didapatkan dalam struktur organisasi yang kaku. “Di barista itu benar-benar ngasih ruang ekspresi yang lebih fleksibel dan bebas. Di balik bar, saya juga bisa melakukan eksplorasi, mencoba kombinasi baru, bahkan saya bisa membuat signature drink versi diri saya sendiri,” tuturnya dengan antusias.

    Baginya, menjadi barista bukan sekadar pekerjaan, melainkan sebuah seni. Ini adalah kanvas untuk kreativitas yang dinamis, sebuah pelarian dari struktur formal menuju sesuatu yang lebih organik dan personal. Panggung ini juga mengajarkan kemandirian yang nyata, sesuatu yang menjadi mata uang paling berharga di era ini.

    “Saya merasa lebih mandiri dan somehow lebih relevan sama zaman sekarang,” ungkap Faris. “Ada rasa bangga aja sih, karena bisa berdiri di kaki sendiri, tetap produktif. Itu semua bikin saya ngerasa nyambung sama realitas sekarang.”

    Izzul mengamini sentimen ini. “Kalau merasa keren, ya enggak sih. Cuma saya merasa lebih mandiri, lebih diinginkan untuk bisa bertarung di hadapan dunia yang keras. Masyarakat menuntut cowok juga harus bisa menghasilkan duit, belajar cari duit sedini mungkin,” kata dia. [dan/beq]

  • Gengsi Aktivis Mahasiswa yang Mulai Dipertanyakan

    Gengsi Aktivis Mahasiswa yang Mulai Dipertanyakan

    Malang (beritajatim.com) – Menjadi aktivis kampus pernah merupakan jalan emas. Relasi luas, pengalaman memimpin, dan portofolio kegiatan yang mentereng dianggap sebagai modal utama untuk masa depan. Izzul, mahasiswa semester akhir Administrasi Bisnis, merasakan betul aura itu. Ia pernah terjun total di beberapa organisasi intra kampus, termasuk BEM Universitas dan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM).

    “Pengalaman organisasi tentunya bisa menambah wawasan, memahami dinamika kekampusan, serta menguaknya dengan bijak melalui sudut pandang seorang organisator,” kenang Izzul. Baginya, organisasi adalah kawah candradimuka yang menempa wawasan dan jaringan.

    Namun, seiring berjalannya waktu, tuntutan zaman terasa lebih mendesak. Desakan itu, menurut Izzul, harus dijawab dengan persiapan kemandirian sedini mungkin. Di sinilah letak persimpangan itu. Panggilan untuk menjadi mandiri secara finansial dan praktis terasa lebih nyaring daripada panggilan rapat koordinasi.

    “Sejak kerja menjadi seorang barista, identitas sebagai aktivis itu perlahan hilang,” akunya jujur. “Dulu, habis kuliah ada waktu luang untuk kumpul dengan teman membahas koordinasi. Sekarang, waktu itu dipakai untuk mengirit tenaga biar saat shift kerja bisa lebih fresh dan segar.”

    Faris, yang bahkan masih aktif dan berprestasi di UKM Debat, juga melihat perubahan ini. Ia tidak menampik bahwa organisasi tetap penting namun lanskap pilihan bagi mahasiswa kini jauh lebih luas dan beragam.

    “Menurut saya, dunia organisasi itu masih sangat relevan,” tegas Faris. “Tapi, mahasiswa sekarang punya lebih banyak pilihan dan cara untuk berkembang. Mereka bisa memilih komunitas informal, proyek kolaboratif, atau bahkan kerja paruh waktu yang fleksibel seperti saya.”

    Pernyataannya menyiratkan sebuah kebenaran baru: jalur pengembangan diri tidak lagi tunggal. Prestise aktivisme yang dulu tak tertandingi, kini harus berbagi panggung dengan pengalaman kerja praktis yang menawarkan keuntungan berbeda, namun tak kalah berharga. [dan/beq]

  • Hanya Bermodal Rp350 Juta, Pemkab Ponorogo Gelar 31 Event Grebeg Suro 2025

    Hanya Bermodal Rp350 Juta, Pemkab Ponorogo Gelar 31 Event Grebeg Suro 2025

    Ponorogo (beritajatim.com) – Perayaan Grebeg Suro 2025 bakal kembali digelar meriah. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Ponorogo menyiapkan 31 event budaya dan hiburan. Rentetan acara berlangsung selama sebulan penuh. Momen ini sekaligus menyambut datangnya 1 Muharram 1447 Hijriah atau 1 Suro 1959 dalam penanggalan Jawa (Tahun Ehe, Windu Kuntara, Lambang Kala Gumbrek).

    Namun di balik kemeriahan itu, anggaran daerah yang dikucurkan sangat minim. Pemkab setempat hanya mengalokasikan Rp350 juta dari APBD. Padahal total kebutuhan anggaran Grebeg Suro mencapai Rp 5,7 miliar.

    Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko mengungkapkan bahwa budget minim untuk penyelenggaraan event tahunan itu, bukan pihaknya pelit anggaran. Namun, dirinya ingin mendorong kreativitas dan kemandirian dalam menggelar event besar, salah satunya perayaan Grebeg Suro ini.

    “Ini bukan karena kami pelit anggaran. Tapi karena kami ingin mendorong kreativitas dan kemandirian dalam menggelar event besar,” ungkap Bupati Sugiri Sancoko, Senin (16/6/2025).

    Untuk menutup selisih anggaran, pemkab menggandeng pihak ketiga. Event Organizer Penjaga Bumi dari Bandung ditunjuk untuk mendampingi pelaksanaan teknis. Sumber dana tambahan diharapkan berasal dari sponsor, tiket masuk, dan berbagai dukungan lain.

    Kang Giri sapaan akrab Bupati Sugiri Sancoko menekankan bahwa kualitas tidak boleh turun. Walau bermodal kecil, panggung tetap harus megah. Sajian pun harus lebih hebat dari sebelumnya. Grebeg Suro 2025 ditargetkan lebih menggelegar dari tahun-tahun sebelumnya.

    “Harus lebih dahsyat dari sebelumnya. Murah, kreatif, tapi tetap memukau dan meriah,” katanya.

    Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga (Disbudparpora), Judha Slamet Sarwo Edi menyebut ada banyak inovasi tahun ini. Beberapa event lama dikurangi atau dihapus. Sebagai gantinya, sejumlah lomba baru dihadirkan untuk menarik generasi muda.

    Di antara program baru tersebut ialah lomba basket dan lomba lukis. Judha menilai, kedua lomba itu akan membuka ruang partisipasi lebih luas. Sementara dua event tetap menjadi daya tarik utama. Yakni Festival Nasional Reog Ponorogo (FNRP) XXX dan Festival Reog Remaja (FRR) XXI.

    “Dua event itu tetap jadi magnet utama. Tapi EO kemungkinan akan menambah sentuhan baru sebagai variasi tontonan,” jelas Judha.

    Dengan kombinasi semangat budaya dan inovasi anggaran, Pemkab Ponorogo berusaha membuktikan sesuatu. Bahwa kearifan lokal tetap bisa bersinar tanpa bergantung penuh pada APBD. Grebeg Suro 2025 tak hanya soal tradisi, tapi juga keberanian berpikir kreatif. [end/aje]

  • Ketika Aroma Kopi Menggeser Gema Orasi

    Ketika Aroma Kopi Menggeser Gema Orasi

    Malang (beritajatim.com) – Pemandangan sore di kafe-kafe Kota Malang kini tak hanya diisi oleh tawa dan obrolan santai. Di balik meja bar, tangan-tangan terampil mahasiswa meracik espresso, bukan lagi mengepalkan tangan di podium orasi. Fenomena ini memicu pertanyaan besar: Apakah aktivisme kampus dengan segala idealismenya mulai kehilangan pamor, digeser oleh realita kemandirian dan secangkir kopi?

    Dunia kemahasiswaan yang dulu identik dengan rapat BEM hingga larut malam, diskusi alot, dan jas almamater kebanggaan, kini mendapat penantang baru. Bukan ideologi lain, melainkan celemek barista dan aroma biji kopi yang menjanjikan kemandirian finansial sekaligus ruang ekspresi yang lebih personal.

    Dua mahasiswa dari kampus ternama di Malang, Izzul dan Faris, berbagi kisah mereka menavigasi dua dunia ini. Pilihan mereka seolah menjadi cerminan pergeseran paradigma mahasiswa ideal di era sekarang.

    Muhammad Izzul Haq, mahasiswa semester akhir Universitas Islam Malang (Unisma), tidak ragu saat dihadapkan pada pilihan itu. “Secara jelas saya memilih menjadi barista,” tegas dia saat berbincang dengan beritajatim.com.

    Bagi Izzul, ini bukan sekadar lari dari kompleksitas dunia aktivis. Sebaliknya, ini adalah cara proaktif mempersiapkan diri menghadapi tantangan zaman. Ia pernah merasakan denyut nadi pergerakan sebagai anggota Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas (BEM U) dan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM). Baginya, organisasi memberinya wawasan, relasi, dan pemahaman dinamika kampus.

    Namun, dunia di balik mesin kopi menawarkan sesuatu yang lebih konkret. “Di dunia kopi itu saya jelas mendapatkan banyak hal yang lebih nyata, tentang implementasi teori, implementasi kajian-kajian yang saya dapatkan di kampus,” ungkap mahasiswa Administrasi Bisnis ini.

    Barista menjadi laboratorium praktiknya, tempat ia bisa berinovasi dan ikut andil dalam manajemen bisnis secara langsung. Kesenjangan terbesar yang ia rasakan adalah soal waktu.

    “Waktu main-main seorang barista ini berkurang, jadi dia harus lebih fokus antara kuliah dan menjadi seorang barista,” akunya. Sebuah harga yang harus dibayar untuk kematangan yang lebih cepat.

    Berbeda dengan Izzul yang sepenuhnya beralih, Faris dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menjalani keduanya. Ia adalah seorang barista yang gandrung pada dunia kopi, sekaligus seorang pendebat ulung yang masih aktif di UKM Debat, WMM Debating Society.

    Kecintaannya pada debat terbayar lunas. Impiannya sejak SMA untuk menjuarai National University Debating Championship (NUDC) terwujud.

    “Alhamdulillah meskipun tidak menjadi champion pada tahun 2023, saya bisa menjuarai NUDC pada kategori novice dan saya dapat juara tiga,” tuturnya bangga. [dan/beq]

  • Pemuda Lintas Agama di Banyuwangi Peringati Hari Lahir Pancasila di Klenteng Hoo Tong Bio

    Pemuda Lintas Agama di Banyuwangi Peringati Hari Lahir Pancasila di Klenteng Hoo Tong Bio

    Banyuwangi (beritajatim.com) – Pemuda dari berbagai lintas agama di Banyuwangi menyatu dalam peringatan hari lahir Pancasila, di pelataran Klenteng Hoo Tong Bio, Sabtu malam (14/6).

    Acara ini diikuti berbagai organisasi kepemudaan lintas agama. Seperti Pemuda Ansor, Pemuda Muhammadiyah, Pemuda Katolik, Pemuda Hindu, Pemuda LDII, Pemuda Konghucu, Pemuda GKJW, Organisasi Kemahasiswaan,

    Dalam kegiatan tersebut, turut hadir Wakil Bupati Banyuwangi Mujiono, Ketua DPRD I Made Cahyana Negaraha, dan perwakilan Forkopimda.

    “Forum ini merupakan semangat persatuan dan keberagaman yang selama ini dijunjung tinggi oleh Banyuwangi,” kata Wabup Mujiono.

    Mujiono menegaskan keberagaman adalah kekuatan utama Banyuwangi. Menurutnya, harmoni antarwarga yang berbeda suku, budaya, dan agama menjadi kunci kemajuan daerah.

    Ia menggambarkan Banyuwangi sebagai miniatur Indonesia. Masyarakat dari berbagai latar belakang hidup berdampingan, mulai dari suku Using, Jawa, Madura, Bali, Tionghoa, Mandar, Arab, ada juga kepercayaan Kejawen dan lainnya.

    “Banyuwangi terus berkembang pesat karena semua elemen masyarakatnya kompak, menyatu, dan saling menghargai perbedaan. Inilah Bhinneka Tunggal Ika,” ungkapnya.

    Mujiono juga berpesan, Pancasila harus menjadi kompas di tengah derasnya arus informasi dan kemajuan teknologi. Setiap informasi harus disaring agar tidak menyesatkan.

    “Pancasila diibaratkan sebagai pondasi rumah yang kokoh, melindungi penghuninya dari segala guncangan, memastikan setiap tindakan tidak keluar dari nilai-nilai luhur sila pertama hingga kelima,” ujar Wabup.

    Ketua Panitia Marco Wiliam menambahkan, bahwa acara ini digelar kolaborasi Pemuda Lintas Agama yang menginginkan Banyuwangi aman, damai, rukun, tanpa adanya permusuhan meski berbeda keyakinan.

    “Semua elemen terlibat. Mulai dari konsumsi hingga perlengkapan acara ini, kita gotong royong bareng. Kami harapkan nilai-nilai Pancasila terus tumbuh subur di kalangan masyarakat, terutama kalangan pemuda,” pungkasnya. [alr/aje]