BUMN: PT Bukit Asam

  • Pantas Prabowo Semangat Dorong Hilirisasi Batu Bara, Ini Alasannya

    Pantas Prabowo Semangat Dorong Hilirisasi Batu Bara, Ini Alasannya

    Jakarta, CNBC Indonesia – Indonesia mendorong program hilirisasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME). Ini sebagai subtitusi impor Liquefied Petroleum Gas (LPG), yang jumlahnya mencapai 80% dari kebutuhan dalam negeri.

    Sekretaris Satuan Tugas Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional Ahmad Erani Yustika mengungkapkan, terdapat salah satu sumber pengganti LPG yakni dimethyl ether yang bisa diproduksi melalui hilirisasi batu bara.

    “Salah satunya yang rame adalah DME, Dimethyl Ethyl. Ini rame. Tapi saya pikir itu bagus karena bentuk dari diskusi publik. Untuk mencari alternatif terbaik dari situasi yang sekarang ini ada,” jelasnya kepada CNBC Indonesia dalam program Economic Update, dikutip Rabu (4/6/2025).

    Erani mengatakan kebutuhan LPG dalam negeri mencapai 9 juta ton yang mana 7 juta ton diantaranya dipenuhi melalui impor atau artinya, impor LPG mencapai 80%.

    Sebelumnya, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM, Tri Winarno menyatakan bahwa pemerintah merencanakan mengembangkan hilirisasi batu bara menjadi DME atau gasifikasi batu bara.

    Tri menerangkan, bahwa sejatinya mengenai DME ini sudah ada peletakkan batu pertama yang dilakukan oleh PT Bukit Asam (PTBA) bersama dengan investor asal Amerika Serikat (AS) yakni Air Products Chemical Inc. Namun, hal itu batal terlaksana lantaran Air Products mundur dari konsorsium.

    Tri menerangkan, pengembangan batu bara menjadi gas semangatnya adalah untuk mencapai cita-cita Indonesia di 2045 menjadi negara maju. “Ada beberapa hal dan kriteria yang harus kita jalankan. Pertama kita ada bonus demografi tahun 2030 harus kita manfaatkan menciptakan lapangan kerja, sehingga jumlah orang tidak bekerja itu lebih kecil sekali dibanding jumlah bekerja,” ungkap Tri dalam CNBC Indonesia Mining Forum, Selasa (18/3/2025).

    Kemudian, Indonesia juga tengah mengejar pemanfaatan industrialisasi. Nah, DME menjadi tujuan untuk mengejar industrialisasi tersebut. “Tujuannya ada dua untuk investasi dan energi bersih,” tandas tri.

    (pgr/pgr)

  • Prospek Bisnis Batu Bara Kala Porsi Penambahan PLTU Makin Dipangkas

    Prospek Bisnis Batu Bara Kala Porsi Penambahan PLTU Makin Dipangkas

    Bisnis.com, JAKARTA – Permintaan batu bara diproyeksi masih akan tetap prospektif meski porsi rencana penambahan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Tanah Air semakin berkurang.

    Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2025-2034, penambahan PLTU dalam 10 tahun ke depan dipatok sebesar 6,3 gigawatt (GW). Angka itu lebih rendah dibandingkan target penambahan listrik dari PLTU pada RUPTL 2021-2030 yang sebesar 19,7 GW.

    Sementara itu, porsi penambahan pembangkit hingga 2034 akan didominasi oleh pembangkit berbasis energi baru dan terbarukan (EBT) dengan total kapasitas 42,6 GW atau 61% dari total penambahan pembangkit.

    Melihat rencana tersebut, pelaku usaha batu bara optimistis permintaan batu bara masih menjanjikan. Apalagi belum ada kejelasan pasti mengenai rencana pensiun dini PLTU dalam RUPTL terbaru PLN.

    Direktur Eksekutif Indonesian Mining Association (IMA) Hendra Sinadia menilai permintaan batu bara untuk ekspor maupun domestik masih tinggi.

    “Kami masih optimistis permintaan batu bara, baik domestik maupun ekspor masih cukup bagus,” kata Hendra kepada Bisnis, Selasa (27/5/2025).

    Dia bahkan, memproyeksikan serapan batu bara di pasar domestik yang saat ini porsinya mencapai 25% bisa naik menjadi 30%.

    Menurutnya, permintaan batu bara dalam negeri akan ditopang oleh industri smelter. Hendra menilai industri pengolahan itu masih berpotensi ekspansif.

    “Permintaan untuk industri smelter diproyeksi meningkat,” kata Hendra.

    Dia menambahkan bahwa pengusaha batu bara juga saat ini tak sepenuhnya bergantung pada bisnis energi fosil. Namun, ada beberapa yang mulai merambah ke bisnis energi bersih.

    Dengan begitu, setidaknya pengusaha batu bara memiliki bantalan jika prospek bisnis emas hitam menurun.

    “Beberapa perusahaan pertambangan batu bara telah berinvestasi di bidang usaha ekosistem energi bersih,” ucap Hendra.

    Optimisme tersebut juga datang dari PT Alamtri Resources Indonesia Tbk (ADRO). Head of Corporate Communication ADRO Febriati Nadira mengatakan, Perseroan meyakini prospek bisnis PLTU masih cukup baik. Apalagi, masih ada kebutuhan listrik untuk wilayah Asia.

    “Kami meyakini prospek PLTU di masa depan masih cukup baik terutama untuk memenuhi kebutuhan listrik di wilayah Asia yang masih terus berkembang,” ucap Febriati kepada Bisnis, Selasa (27/5/2025).

    Kendati demikian, ADRO juga bakal tetap mendorong usaha di sektor energi bersih. Febriati mengatakan, dalam mengoperasikan PLTU, ADRO melalui PT AlamTri Power menggunakan teknologi yang lebih ramah lingkungan dan efisien.

    Metode itu seperti teknologi circulating fluidized bed (CFB) yang bertemperatur rendah dan dapat menekan emisi sulfur dioksida.

    Di samping itu, perusahaan juga menerapkan teknologi ultra super critical (USC) dan sistem pengolahan gas buang yang dapat meminimalkan gas emisi/dispersi sehingga ramah lingkungan.

    “Selain itu kami juga telah mencoba untuk melakukan dekarbonisasi di antaranya melalui co-firing,” imbuh Febriati.

    Dia menjelaskan, AlamTri Power fokus mengembangkan proyek-proyek energi terbarukan dan berpartisipasi aktif dalam tender berbagai pembangkit listrik terbarukan.

    Fokus ini seperti beberapa proyek EBT yang sedang dijalankan, di antaranya, pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap dengan kapasitas 130 kilowatt peak (kWp) di Kelanis dan tambahan kapasitas 468 kWp PLTS dengan sistem terapung di Kalimantan Tengah.

    Adapun, PLTS itu untuk melayani kebutuhan listrik di area tambang PT Adaro Andalan Indonesia Tbk (AADI). Selain itu, ADRO juga mengembangkan PLTA Mentarang Induk berkapasitas 1.375 megawatt (MW) di kawasan industri di Kalimantan Utara.

    Sentimen Positif

    Sejumlah analis menilai, RUPTL PLN 2025—2034 berpotensi besar memberikan sentimen positif terhadap emiten batu bara yang memiliki kontrak pasokan domestik.

    Senior Market Chartist Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta mengatakan, sentimen terhadap RUPTL PT PLN ini cukup positif dan memiliki potensi untuk mendorong kinerja penjualan batu bara domestik secara bottom line.

    ”Kalau terkait dengan meraih laba yang tinggi, semua tergantung daripada pendapat pemerintah terkait dengan harga batu bara acuan [HBA],” katanya saat dihubungi, Selasa (27/5/2025).

    Nafan memprediksi, PT Bukit Asam Tbk. (PTBA) akan menjadi salah satu perusahaan yang diuntungkan karena penjualan batu bara perseroan cenderung mengarah pada pasar domestik.

    ”Karena PTBA kan lebih mengandalkan pada penjualan domestik jika dibandingkan dengan Alamtri atau Agro Group yang memang lebih menitikberatkan kepada ekspor,” pungkasnya.

    Senada, Head of Research PT Kiwoom Sekuritas Indonesia Liza Camelia Suryanata menilai, RUPLT PLN memberikan sentimen positif terhadap kinerja emiten batu bara secara umum. Akan tetapi, emiten dengan kontrak pasokan domestik bakal mendapatkan lebih banyak keuntungan.

    Meskipun begitu, menurut Liza, volatilitas harga batu bara global masih menjadi sentimen negatif utama dari angin segar ini.

    Adapun Liza menilai, saham ADRO, PTBA, ITMG, hingga AADI memiliki potensi dengan katalis positif terhadap kebijakan ini. Saham ADRO, misalnya, dinilai memiliki diversifikasi bisnis yang kuat , termasuk pemangkit listrik dan logistik yang dapat memberikan stabilitas pendapatan perseroan.

    ”AADI selaku anak usaha ADRO memiliki potensi pertumbuhan yang signifikan, terutama jika kebijakan royalti yang lebih rendah diterapkan,” kata Liza saat dihubungi, Selasa (27/5/2025).

    Batu Bara Masih Jadi Andalan 

    Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan bahwa pembangunan PLTU batu bara tetap dilakukan oleh Indonesia lantaran tren transisi energi global bergeser. Dia pun menyinggung Amerika Serikat (AS) yang keluar dari Perjanjian Paris. 

    Oleh karena itu, dia berpendapat komitmen mengurangi penggunaan batu bara oleh negara lain kian tak pasti.

    “Oh, dia saja sudah keluar kok [dari Perjanjian Paris]. Pertanyaan itu harus saya jawab secara geopolitiknya seperti itu,” jelas Bahlil dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (26/5/2025).

    Bahlil menambahkan bahwa masih ada negara maju yang kerap menggembar-gemborkan penghentian batu bara. Namun, pada kenyataannya negara tersebut masih punya kontrak jual beli emas hitam dengan Indonesia.

    Oleh karena itu, Bahlil menegaskan agar pihak-pihak yang dia maksud tak memaksa RI menyetop penggunaan batu bara. Kendati demikian, Bahlil tak memerinci negara mana yang dia maksud itu.

    “Kalau [negara itu] masih mau [pakai] batu bara, kenapa dia paksa kita tidak pakai batu bara,” kata Bahlil.

    Di sisi lain, Bahlil juga menegaskan bahwa Indonesia belum akan melakukan pensiun dini PLTU bila tidak ada dukungan pendanaan yang memadai. 

    Dia mengatakan, pemerintah sama sekali tak keberatan untuk memensiunkan PLTU batu bara dalam rangka transisi energi. Hanya saja, dia menekankan bahwa pensiun dini PLTU membutuhkan biaya besar, sementara dukungan pembiayaan dari perbankan masih minim dan belum ada perbankan yang mau memberi pembiayaan dengan bunga murah. 

    “Sudahlah negara ini lagi butuh uang. Mau pensiun [PLTU] boleh, besok pagi saya pensiunkan. Tapi, ada enggak dana donor yang mau biayai? Yuk, kasih dong,” kata Bahlil.

    Menurutnya, jika pensiun dini PLTU dipaksakan akan menjadi beban bagi negara. Di sisi lain, Bahlil tak mau melimpahkan beban tersebut kepada pelanggan listrik atau masyarakat.

    “Jangan minta pensiun, uangnya enggak dikasih, [malahan] kasih bunga mahal, teknologi mahal. Yang jadi beban siapa? Masa gue membebankan rakyat gue? Masa harus membebankan kepada negara untuk subsidi? Atau masa harus kurangi profitnya PLN? Yang benar saja,” jelas Bahlil.

    Wacana pensiun dini PLTU di Tanah Air belakangan seolah jalan di tempat sejak diamanatkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik atau Perpres EBT.

    Baru-baru ini, pemerintah juga telah mengeluarkan roadmap transisi energi yang memuat skema pensiun dini PLTU, yakni Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 10/2025 tentang Peta Jalan Transisi Energi Sektor Ketenagalistrikan. Peraturan tersebut berisi peta jalan untuk mengakhiri operasional PLTU batu bara guna mencapai target net-zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat. 

    Untuk mencapai target tersebut, pemerintah bakal melakukan pensiun dini PLTU batu bara berdasarkan sejumlah kriteria. Pemerintah juga akan melarang pembangunan PLTU baru kecuali yang memenuhi ketentuan dalam Perpres No. 112/2022. 

    Permen tersebut juga memuat pertimbangan ketersediaan dukungan pendanaan dalam negeri dan luar negeri untuk mempercepat penghentian operasional PLTU batu bara secara total.

    Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.

  • Bahlil Ancam Cabut Sebagian Wilayah Tambang PTBA Bila Tak Lanjutkan DME

    Bahlil Ancam Cabut Sebagian Wilayah Tambang PTBA Bila Tak Lanjutkan DME

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengingatkan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) untuk tetap menjalankan komitmen proyek gasifikasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME).

    Dia pun mengancam akan mencabut sebagian wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) PTBA jika Perseroan tak menjalankan proyek itu.

    Bahlil mengatakan, pihaknya segera memberikan penugasan secara resmi kepada perusahaan pelat merah itu agar menjalankan proyek DME. Sekalipun, PTBA telah merumuskan alternatif hilirisasi lain seperti gas sintetis, grafit sintetis hingga asam humat.

    “Nanti kita akan kasih tugas [laksanakan DME], kalau tidak, kita ambil sebagian wilayahnya,” tegas Bahlil di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (8/5/2025).

    Mantan ketua umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) itu pun menjelaskan, arah hilirisasi batu bara ditentukan oleh pemerintah lewat Satgas Hilirisasi dan Ketahanan Energi serta Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM.

    Asal tahu saja, PTBA mendapat penugasan untuk menggarap gasifikasi batu bara menjadi DME pada era Presiden Ke-7 Joko Widodo (Jokowi). Namun, proyek yang diharapkan menjadi alternatif pengganti impor liquefied petroleum gas (LPG) itu masih jalan di tempat.

    Terlebih, usai investor utamanya dari Amerika Serikat (AS) Air Products memutuskan untuk mundur dari kerja sama dengan PTBA pada 2023 silam. Belakangan PTBA telah menemukan mitra baru, yakni perusahaan asal China East China Engineering Science and Technology Co., Ltd. (ECEC).

    Direktur PTBA Arsal Ismail menjelaskan, faktor keekonomian menjadi tantangan utama dalam menggarap penugasan gasifikasi batu bara. Dalam hal ini, PTBA telah melakukan perhitungan dan kajian yang menunjukkan harga produk DME justru jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan impor LPG.

    “Pertama itu tantangan keekonomian, di mana estimasi harga DME hasil produksinya masih lebih tinggi dari harga patokan yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM, dan juga analisa perhitungan kami masih lebih tinggi dari harga LPG impor,” ucap Arsal dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi XII DPR RI, Senin (5/5/2025).

    Dia menyebut, ECEC mengusulkan processing service fee (PSF) indikatif senilai US$412 hingga US$488 per ton. Angka tersebut lebih besar dibanding ekspektasi Kementerian ESDM, yakni senilai US$310 per ton.

    Di sisi lain, harga DME yang dapat dihasilkan yakni senilai US$911-US$987 per ton. Angka ini juga lebih tinggi patokan DME yang diusulkan oleh Kementerian ESDM pada 2021, yakni sebesar US$617 per ton, belum termasuk subsidi.

    Harga DME itu juga jauh lebih mahal dari rata-rata impor LPG ke Indonesia tercatat sebesar $435 per ton pada 2024. Padahal, diharapkan dapat menjadi alternatif energi bersih yang kompetitif dan dapat digunakan sebagai substitusi LPG bagi kebutuhan rumah, tangga, dan industri.

    Proyek DME dirancang untuk memanfaatkan sekitar 6 juta batu bara per tahun dengan target produksi sekitar 1,4 juta ton DME per tahun.

    Direktur Utama PTBA Arsal Ismail memberikan perbandingan biaya subsidi LPG dengan DME apabila harga patokan DME US$911 per ton. Berdasarkan perhitungan, nilai subsidi untuk DME bisa mencapai US$710 per ton atau Rp123 triliun per tahun.

    Angka tersebut lebih besar dibandingkan nilai subsidi untuk LPG pada kesetaraan DME saat ini sebesar US$474 per ton atau Rp82 triliun per tahun. Artinya, akan ada risiko kenaikan subsidi sebesar Rp41 triliun per tahun. 

  • MIND ID Dorong Perguruan Tinggi Perkuat R&D untuk Hilirisasi dan Inovasi Berkelanjutan – Page 3

    MIND ID Dorong Perguruan Tinggi Perkuat R&D untuk Hilirisasi dan Inovasi Berkelanjutan – Page 3

    Dany mencontohkan bijih pembawa timah yang dikelola PT Timah Tbk. masih mengandung logam tanah jarang (Rare Earth Element/REE) yang saat ini tengah dikembangkan lebih lanjut. Rare earth element ini terdiri dari kurang lebih 15 unsur, dengan unsur dominan antara lain Cerium, Lantanum, Neodymium dan Praseodimium dapat menjadi bahan baku strategis yang sangat dibutuhkan seperti magnet permanen, baterai hybrid, elektronik, dan katalis.

    Anggota Grup MIND ID, PT Bukit Asam Tbk juga memiliki batubara yang saat ini tengah diupayakan agar dapat dikonversi menjadi artificial graphite dan anodized sheet yang akan memberikan manfaat besar bagi pengembangan ekosistem industri baterai kendaraan listrik di Indonesia. Selanjutnya, Grup MIND ID juga memiliki selenium dari bijih tembaga, yakni unsur yang dapat dikembangkan lebih lanjut untuk menjadi bahan baku mikrokonduktor.

     

    Dany menekankan, perguruan tinggi dapat ikut mendukung pengembangan produk mineral ini. Dengan program R&D yang lebih kuat disertai dengan penggunaan teknologi, maka pengembangan mineral turunan dapat terwujud guna meningkatkan nilai tambah dari sumber daya alam mineral Indonesia.

    “Pengembangan mineral-mineral ini adalah amanat dari Undang-Undang, dan kami berharap perguruan tinggi turut bersama kami menjalankan tugas mulia ini,” ungkapnya.

     

    (*)

  • Pemerintah Terus Dorong Hilirisasi Batu Bara, Apa Kabar Insentif Royalti 0%?

    Pemerintah Terus Dorong Hilirisasi Batu Bara, Apa Kabar Insentif Royalti 0%?

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan perkembangan terbaru penyusunan aturan terkait insentif tarif royalti 0% bagi perusahaan yang menjalankan hilirisasi batu bara.

    Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja mengamanatkan bahwa pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah batu bara dapat diberikan perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara berupa pengenaan royalti sebesar 0%.

    Ketentuan mengenai besaran, persyaratan, dan tata cara pengenaan royalti sebesar 0% akan diatur dalam peraturan menteri (Permen). 

    Dirjen Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM Tri Winarno mengatakan, penyusunan Permen terkait pengaturan royalti 0% itu hingga saat ini masih belum ada kelanjutan. Sebab, menurutnya belum ada tanda-tanda hilirisasi batu bara berjalan.

    “Permen-nya belum. Lagian belum ada tanda-tanda [hilirisasi] ini kan,” ucap Tri di Komplek DPR RI, Jakarta, Selasa (6/5/2025) malam.

    Adapun, ketentuan mengenai pengenaan royalti sebesar 0% untuk pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah batu bara juga telah tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral. 

    Secara umum, pengenaan royalti sebesar 0% tersebut diberikan dengan mempertimbangkan kemandirian energi dan pemenuhan kebutuhan bahan baku industri (Pasal 3 ayat 1). Lebih lanjut, dijelaskan bahwa pengenaan royalti 0% hanya berlaku terhadap volume batu bara yang digunakan dalam kegiatan peningkatan nilai tambah batubara (Pasal 3, ayat 3).

    Kendati demikian, Tri menjelaskan sekalipun Permen turunan Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dan PP Nomor 25 Tahun 2021 terbit, tetap ada kemungkinan pelaku usaha yang melakukan hilirisasi tidak mendapat royalti 0% sepenuhnya. 

    “Dapat ya [bisa], tapi juga bisa tidak dapat. Karena kalau dia keekonomiannya sudah ok, ya enggak usah dikasih [royalti 0%],” ucapnya.

    Sebelumnya, PT Bukit Asam Tbk (PTBA) meminta dukungan DPR untuk mempercepat pemberlakukan royalti 0% bagi perusahaan yang melakukan hilirisasi batu bara. Direktur Utama PTBA Arsal Ismail mengatakan, royalti 0% diperlukan untuk memberi dukungan fiskal bagi pelaku usaha.

    Apalagi, pemerintah terus mendorong pelaku usaha untuk melakukan hilirisasi batu bara. Kementerian ESDM bahkan mengingatkan tujuh perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B) wajib melakukan hilirisasi.

    Tri mengatakan, hal itu sudah menjadi perhatian khusus meski terdapat sejumlah kendala.

    “Ini masih mengalami beberapa kendala, masih ada diskusi yang perlu. Tetapi, ini sudah jadi atensi,” kata Tri.

    Dia memerinci ketujuh perusahaan itu adalah PT Arutmin Indonesia, PT Kaltim Prima Coal, PT Adaro Indonesia, PT Kideco Jaya Agung, PT Multi Harapan Utama, PT Tanito Harum, dan PT Berau Coal.

  • China Sapu Bersih Proyek Hilirisasi Prabowo

    China Sapu Bersih Proyek Hilirisasi Prabowo

    Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah investor asal China tengah menjajaki peluang investasi di proyek hilirisasi nikel hingga batu bara di Tanah Air.

    Salah satu proyek hilirisasi yang diminati investor China adalah hilirisasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME). Proyek yang produknya diproyeksikan sebagai subtitusi liquefied petroleum gas (LPG) ini mandek usai ditinggal oleh investor asal Amerika Serikat, Air Products & Chemical Inc (APCI). Kini, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto kembali mendorong pengembangan proyek ini.

    Untuk diketahui, Air Product semula berkomitmen mengembangkan dua proyek strategis nasional hilirisasi batu bara, salah satunya proyek gasifikasi batu bara menjadi DME di Muara Enim, Sumatra Selatan dengan membentuk joint venture bersama PT Bukit Asam Tbk. (PTBA) dan PT Pertamina (Persero).

    Baru-baru ini, Direktur Utama PTBA Arsal Ismail mengungkapkan bahwa Perseroan telah mendekati sejumlah perusahaan China untuk mencari mitra pengganti Air Product dalam proyek DME.

    Calon mitra yang telah dijajaki, yaitu CNCEC, CCESCC, Huayi, Wanhua, Baotailong, Shuangyashan, dan ECEC. Dari sejumlah perusahaan itu, hanya ECEC yang berminat sebagai mitra investor.

    “Dari seluruh calon mitra tersebut baru ECEC gitu ya, yang menyatakan minat menjadi mitra investor meskipun belum dari dalam skema investasi penuh atau full investment,” kata Arsal dalam RDP Komisi XII, Senin (5/5/2025).

    Merujuk pada paparan PTBA dalam rapat tersebut, ECEC telah menyampaikan preliminary proposal coal to DME pada November 2024.

    Di samping penjajakan yang masih berlanjut, PTBA masih terus mempersiapkan proyek DME ini secara paralel. Hingga saat ini, PTBA telah berhasil melakukan pembebasan lahan seluas 198 hektare atau sekitar 97% dari total kebutuhan lahan sebesar 203 hektare.

    “Itu merupakan komitmen dari kesiapan kami dalam menjalankan proyek ini. Nah, kami juga terus menjalin tentunya koordinasi intensif dengan berbagai pemangku kepentingan seperti Satgas Hilirisasi, Kementerian Sekretariat Negara, Kementerian Perindustrian, dan lembaga terkait lainnya untuk memproyek arahan dan dukungan kebijakan yang kami butuhkan,” tutur Arsal.

    Dominasi China di Proyek Hilirisasi Nikel

    Selain DME, investor asal China juga akan menggarap proyek hilirisasi nikel menjadi baterai kendaraan listrik (EV). Terbaru, pemerintah telah menunjuk Zhejiang Huayou Cobalt Co menjadi mitra strategis dalam megaproyek rantai pasok baterai. Huayaou akan menggantikan konsorsium asal Korea Selatan yang dipimpin LG Energy Solution yang semula akan berinvestasi senilai US$8,6 miliar atau Rp145 triliun di Proyek Titan. 

    Terpilihnya Huayou semakin menancapkan dominasi China dalam proyek hilirisasi nikel di Tanah Air. Hal ini mengingat mayoritas smelter nikel dalam negeri saat ini dimiliki oleh raksasa-raksasa logam China, seperti Tsingshan Group dan Jiangsu Delong Nickel Industry Co.

    Tak hanya itu, raksasa baterai China, Contemporary Amperex Technology Co Ltd. (CATL), juga telah berkomitmen menanamkan investasi dalam megaproyek rantai pasok baterai bernama Proyek Dragon. Melalui anak usahanya CBL International Development Pte Ltd, CATL membentuk joint venture dengan konsorsium BUMN Indonesia Battery Corporation (IBC) untuk membangun pabrik sel baterai dengan kapasitas produksi sebesar 15 gigawatt hour (GWh) per tahun. Nilai investasinya mencapai US$1,18 miliar atau sekitar Rp19,13 triliun.

    Terkait Huayou, Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala BKPM Rosan P Roeslani mengungkap pemerintah mempercayakan Huayou untuk menggantikan LG karena pemerintah melihat minat Huayou yang tinggi. Pemerintah juga menilai kemampuan Huayou yang telah mumpuni lantaran sudah lama berinvestasi di Indonesia dalam bidang yang sama. 

    Rosan mengungkapkan bahwa saat ini investasi yang telah ditanamkan Huayou di RI sebesar US$8,8 miliar atau setara Rp147 triliun.

    “Huayou saja investasi di Indonesia per hari ini itu sudah mencapai US$8,8 miliar, sudah menanamkan investasi loh, sudah selesai. Mereka menyampaikan potensi untuk investasi dari Grup Huayou ini ke depannya menurut perhitungan mereka bisa akan mencapai US$20 miliar tambahan,” kata Rosan kepada wartawan, Selasa (29/4/2025).

    Rosan menyebut, pihak Huayou meminta waktu untuk mematangkan rencana proyek baru tersebut. Rencana investasi proyek ini dijadwalkan akan dibeberkan secara terperinci pada pekan ketiga Mei 2025.

    Dalam hal ini, tak hanya sebagai pengganti LG Energy Solution di proyek rantai pasok baterai Indonesia, Huayou juga berencana untuk mengembangkan kawasan industri di Pomala, Sulawesi Tenggara.

    “Mereka sudah pelajari dan ingin mereka investasikan di Indonesia, termasuk adalah pengembangan klaster industrial park seperti yang di Morowali dan di Weda Bay. Yang di Weda Bay mereka adalah pemegang saham minoritas, nah mereka sekarang ingin mengembangkan juga sendiri,” jelasnya.

    Oleh karena itu, tak heran jika Huayou berencana untuk meningkatkan investasi jumbo di Indonesia. Menurut Rosan, untuk membangun industrial park seperti Morowali atau Weda Bay membutuhkan ongkos yang besar.

    “Tidak hanya dari Huayou, saya pun sudah bertemu lagi dari perusahaan lain yang ingin membangun yang sama dan nanti mereka akan bisa masuk investasi dari negara-negara lain juga,” pungkasnya.

    Meski menggandeng Huayou, pemerintah juga menegaskan tetap terbuka terhadap investasi dari negara lain untuk proyek hilirisasi dalam negeri. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan bahwa akan ada investor baru yang akan menjadi mitra Huayou dalam proyek baterai. 

    Menurutnya, calon investor itu merupakan salah satu dari tujuh perusahaan besar di dunia. 

    “Nanti kita umumkan ya. Ini salah satu perusahaan yang masuk tujuh besar di dunia. Enggak mungkin dong kami memasukkan partner yang belum comply dan belum teruji. Semuanya sudah teruji,” ucap Bahlil di Kantor Kementerian ESDM, Senin (28/4/2025) sore.

    Namun, Bahlil belum bisa memerinci mitra baru tersebut berasal dari negara mana. Namun, dia menekankan bahwa pemerintah tak terpaku pada negara asal.

    “Kita sekarang tidak menghitung mau China, mau Arab, mau Eropa, mau Korea, yang mau ke Indonesia aku enggak membedakan,” katanya. (Afiffah Rahmah Nurdifa)

  • RI Punya Sumber Gas Baru Pengganti LNG Tapi Butuh Waktu

    RI Punya Sumber Gas Baru Pengganti LNG Tapi Butuh Waktu

    Jakarta, CNBC Indonesia – PT Bukit Asam Tbk (PTBA) mengungkapkan bahwa untuk bisa menggarap sumber gas baru berupa Synthetic Natural Gas (SNG) membutuhkan waktu bertahun-tahun.

    Direktur Utama PTBA Arsal Ismail mengungkapkan bahwa pihaknya bersama dengan PT PGN Tbk saat ini tengah merencanakan proyek SNG, salah satu produk hilirisasi batu bara. Proyek SNG ini akan dibangun di Kawasan Industri Tanjung Enim, Sumatera Selatan.

    Saat ini pihaknya bersama dengan PGN tengah menyusun Head of Agreement (HOA) untuk pengembangan proyek SNG ini. Dalam waktu dekat, lanjutnya, studi kelayakan atau Feasibility Study (FS) proyek ini akan mulai disusun, dari sisi aspek teknis, keekonomian, hingga formulasi harga yang kompetitif.

    “Berdasarkan kajian sementara di tahun 2024, SNG yang dihasilkan ini nanti diproyeksikan akan kompetitif dibandingkan dengan harga LNG impor,” ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi XII DPR RI, Jakarta, dikutip Selasa (6/5/2025).

    Lebih jauh, dia mengungkapkan pada 2026 proyek ini masuk pada progres desain teknis/rekayasa atau Front-End Engineering Design (FEED). Sedangkan, target pekerjaan konstruksi akan dimulai pada 2028. Dengan demikian, target operasi bisa terealisasi pada 2032 mendatang.

    “Estimasi waktu konstruksi pabriknya berdasarkan masukan calon mitra teknologi yang memerlukan waktu kurang lebih 3,5 tahun,” tandasnya.

    Lebih lanjut, SNG sendiri bisa dimanfaatkan sebagai substitusi kebutuhan produk Liquefied Natural Gas (LNG) di dalam negeri.

    “Penelitian bersama PGN untuk mengembangkan Synthetic Natural Gas atau SNG sebagai salah satu upaya pemanfaatan batubara kalori rendah sebagai alternatif dari substitusi LNG,” ujarnya.

    Arsal mengatakan, SNG yang nantinya akan diproduksi oleh pihaknya diharapkan bisa menambah portofolio energi gas di Indonesia.

    “PTBA, karena cadangannya sangat besar, sekitar 2,9 miliar (ton), ini ada beberapa cadangan batu baranya yang berkalori rendah yang sangat sesuai untuk dikonversi menjadi gas sintetis,” imbuhnya.

    Adapun, proyek hilirisasi batu bara menjadi SNG tersebut akan memanfaatkan hingga 8,7 juta ton batu bara kalori rendah yang bisa menghasilkan hingga 240 BBTUD SNG.

    Untuk mendukung itu, PTBA akan menjadi pemasok batu bara hingga pembangunan pabrik dan konversi. Sedangkan PGN akan menjadi penyedia infrastruktur rencana proyek tersebut.

    “Skema visi yang disiapkan dalam proyek ini adalah PTBA sebagai coal supplier atau pemasok batubara, pembangunan pabrik dan konversi dilakukan oleh perusahaan pengelola atau processing company berbentuk joint venture antara PTBA, PGN, dan Mitra Teknologi. Jadi, kami nanti akan terlibat tidak hanya sebagai coal supplier, tapi juga di dalam joint venture-nya,” imbuhnya.

    (wia)

  • Harga Impor LPG Masih Lebih Murah Jadi Alasan Proyek DME Mandek

    Harga Impor LPG Masih Lebih Murah Jadi Alasan Proyek DME Mandek

    Bisnis.com, JAKARTA – PT Bukit Asam Tbk (PTBA) mengungkap alasan dibalik mandeknya proyek hilirisasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME) atau pengganti LPG yakni nilai ekonomis yang belum tercapai. 

    Direktur Utama PTBA Arsal Ismail mengatakan ongkos produksi proyek DME ini masih lebih tinggi dibandingkan harga jual yang dipatok Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan lebih tinggi dari ongkos impor LPG. 

    “Estimasi harga DME hasil produksi masih lebih tinggi dari harga patokan yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM dan analisa perhitungan kami masih lebih tinggi dari harga LPG impor,” kata Arsal dalam RDP Komisi XII DPR RI, Senin (5/5/2025).

    Menurut perhitungan, harga DME yang dapat dihasilkan yakni senilai US$911-US$987 per ton atau lebih besar dari harga patokan DME yang diusulkan oleh Kementerian ESDM pada 2021 yakni sebesar US$617 per ton yang merupakan harga pasar, namun belum termasuk subsidi. 

    Dengan demikian, masih terdapat gap atau selisih yang kurang lebih mencapai US$300 per ton DME yang berpotensi memperbesar nilai subsidi dari pemerintah. 

    Di samping itu, Arsal memberikan perbandingan biaya subsidi LPG dengan DME apabila harga patokan DME US$911 per ton. Berdasarkan perhitungan, nilai subsidi untuk DME bisa mencapai US$710 per ton atau Rp123 triliun per tahun.

    Angka tersebut lebuh besar dibandingkan nilai subsidi untuk LPG pada kesetaraan DME saat ini sebesar US$474 per ton atau Rp82 triliun per tahun. Artinya, akan ada risiko kenaikan subsidi sebesar Rp41 triliun per tahun. 

    Kendati demikian, terdapat sejumlah tantangan teknis yang disampaikan oleh Pertamina sebagai offtaker proyek DME dalam Forum Satgas Hilirisasi yang kami lakukan rapat pada tanggal 19 Maret 2025. 

    Adapun, tantangan dari Pertamina yakni terkait dengan kebutuhan konversi infrastruktur seperti jalur distribusi dan perangkat kompor rumah tangga yang kompatibel dengan DME. 

    “Jadi jaraknya itu kurang lebih 172 kilometer serta perlunya kesiapan jaringan niaga dan distribusi ban bakar alternatif ini secara luas,” imbuhnya. 

    Pihaknya berharap seluruh tantangan tersebut dapat diselesaikan melalui kajian yang komprensif, objektif dan melibatkan semua pihak secara menyeluruh. 

    “Kami PTBA tentunya terbuka terhadap evaluasi dan arahan lanjutan agar proyek ini dapat dikembangkan secara terukur, akuntabel dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi bangsa dan negara,” jelansya. 

  • Nggak Mudah Garap Proyek DME Pengganti LPG, Ini Kendalanya

    Nggak Mudah Garap Proyek DME Pengganti LPG, Ini Kendalanya

    Jakarta

    Direktur Utama PT Bukit Asam Tbk (PTBA) Arsal Ismail, buka-bukaan soal tantangan proyek hilirisasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME). Ia menyebut, produksi DME kerap kali terkendala oleh nilai keekonomiannya.

    Ia menjelaskan, biaya produksi DME masih jauh lebih tinggi ketimbang harga jual yang ditetapkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Selain itu, harga DME juga masih lebih tinggi dari Liquefied Petroleum Gas (LPG) yang diperoleh dari impor.

    “Estimasi harga DME hasil produksi masih lebih tinggi dari harga patokan yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM, dan juga analisa perhitungan kami masih lebih tinggi dari harga LPG impor,” ungkap Arsal dalam RDP bersama Komisi VI DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/5/2025).

    Arsal menjelaskan, harga subsidi LPG yang eksisting saat ini ditetapkan sebesar Rp 22.727 per 3 kg atau sekitar US$ 474 per ton. Jika dikalkulasikan secara tahunan, diasumsikan sekitar 10,78 juta ton per tahun atau setara Rp 82 triliun per tahun.

    Sementara untuk DME subsidi, ia menjelaskan harga per 3 kg sebesar Rp 34.069 atau setara US$ 710 per ton. Sementara dalam setahun, estimasi DME sebesar 10,78 juta ton per tahun atau setara Rp 123 triliun per tahun.

    Persoalan kedua, kata Arsal, hilirisasi batu bara menjadi DME terkendala tantangan teknis, sebagaimana hasil rapat yang dilakukan Satuan Tugas (Satgas) hilirisasi bersama PT Pertamina (Persero) Tbk pada tanggal 10 Maret 2025.

    Dalam rapat tersebut, kendala yang dialami yakni kebutuhan infrastruktur konversi yang meliputi jalur distribusi dan perangkat kompor rumah tangga yang kompatibel dengan DME.

    “Jadi jaraknya itu kurang lebih 172 km, serta perlunya kesiapan jaringan niaga dan distribusi bahan bakar alternatif ini secara luas,” ungkapnya.

    Ia menjelaskan, perseroan siap menjalankan proyek hilirisasi tersebut. Saat ini, ia juga menyebut ada sejumlah investor yang turut melirik proyek DME milik Indonesia. Namun begitu, Arsal meminta agar pemerintah turut memberi dukungan kebijakan.

    Adapun proyek hilirisasi batu bara menjadi DME ini merupakan langkah strategis perseroan untuk mendukung ketahanan energi nasional agar tidak lagi bergantung pada LPG impor. Mulanya, proyek ini memanfaatkan 6 juta ton bartu bara per tahun.

    “Nah, produk DME yang dihasilkan ini diharapkan dapat menjadi alternatif energi bersih yang kompetitif dan dapat digunakan sebagai substitusi LPG bagi kebutuhan rumah tangga dan industri,” terangnya.

    Namun pada Februari 2023, terang Arsal, Air Products yang sebelumnya menjadi mitra penyedia teknologi yang direncanakan sebagai processing company, mengundurkan diri dari proyek hilirisasi batu bara menjadi DME. Akhirnya, skema hilirisasi belum bisa diwujudkan.

    “Di dalam skema awal, PTBA berperan sebagai coal supplier, Pertamina sebagai off-taker, dan Air Products sebagai pihak yang membangun serta mengoperasikan fasilitas produksi DME, ini belum jadi terwujud,” tutupnya.

    (fdl/fdl)

  • Rencana Hilirisasi PTBA Tak Hanya DME, Mana yang Prioritas?

    Rencana Hilirisasi PTBA Tak Hanya DME, Mana yang Prioritas?

    Bisnis.com, JAKARTA — PT Bukit Asam Tbk (PTBA) menyebutkan sejumlah rencana proyek hilirisasi batu bara yang dibagi ke tiga jalur utama, yaitu gasifikasi seperti dimetil eter (DME) dan synthetic natural gas (SNG), karbonisasi lewat implementasi artificial graphite/anode sheet, serta ekstraksi melalui pengembangan asam humat. 

    Direktur Utama PTBA Arsal Ismail mengatakan, seluruh proyek tersebut potensial dan mulai berprogres. Dia juga menerangkan bahwa setiap proyek memiliki kelayakan sebagai proyek untuk meningkatkan nilai tambah batu bara. 

    “Mungkin diusulkan nanti bikin kajian khusus melibatkan Kementerian ESDM, PTBA sebagai coal supplier atau sebagai investor sepanjang itu layak, sama off-taker. Kalau tiga ini nanti mau berdasarkan kajian konsultan, kalau proyek ini memang bisa kami jalankan, tentu kami jalankan. Kami berkeyakinan tadi yang SNG, yang jalan,” kata Arsal dalam RDP Komisi XII, Senin (5/5/2025). 

    Jika diperinci, proyek hilirisasi lewat jalur karbonisasi, yakni megonversi batu bara menjadi artificial graphite dan anoda sheet. Saat ini, proyek tersebut dalam tahap persiapan pilot project di Tanjung Enim bersama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dengan estimasi biaya Rp287,39 miliar. 

    Adapun, artificial graphite atau grafit sintetis terbuat dari bahan karbin amorf yang unggul dibandingkan dengan grafit alam. Beberapa keunggulannya yaitu stabilitas cycling yang lebih baik, performa pengisian cepat, dan konsistensi kualitas yang lebih baik. 

    Di sisi lain, produk anoda sheet berupa elektroda berbentuk lembaran dari bahan dasar foil tembaga yang dilapisi karbon grafit pada sisi-sisinya dan digunakan sebagai anoda untuk baterai Li-ion. 

    Dalam tahap research and development (R&D) oleh PTBA bersama BRIN, anoda bersumber dari batu bara telah diuji coba untuk aplikasi pembuatan baterai Li+ NMC-811 tipe 18650. 

    “Saat ini proyek ini dalam tahap penyusunan dan pemutahiran basic engineering design yang kami targetkan selesai pada akhir tahun 2025. Selanjutnya, kami merencanakan pembangunan pilot plan di Tanjung Enim dan pada tahun 2026 sebagai langkah lanjutan menuju skala komersial,” tuturnya. 

    Lebih lanjut, hilirisasi batu bara berbasis gasifikasi yang baru dikembangkan yaitu SNG sebagai upaya subtitusi LNG untuk memanfaatkan batu bara kalori rendah milik PTBA dengan nilai gross as received (GAR) 3.731 kcal/g sebesar 8,4 juta ton per tahun. 

    “Proyek ini bertujuan untuk mencari alternatif solusi kebutuhan gas nasional yang harapannya dapat menambah diversifikasi portofolio energi gas nasional,” tuturnya. 

    Proyek pengembangan SNG atau gas alam sintetis dari batu bara yang digagas oleh PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) membutuhkan dana investasi senilai US$3,2 miliar atau setara dengan Rp52,6 triliun.

    “Jadi PTBA karena cadangannya sangat besar, sekitar 2,9 miliar ton, ini ada beberapa cadangan batu baranya yang berkalori rendah yang sangat sesuai untuk dikonversi menjadi gas sintetis,” terangnya.

    Adapun, pengembangan proyek SNG dirancang untuk memanfaatkan 8 juta ton batu bara kalori rendah yang diperkirakan menghasilkan volume SNG sekitar 240 billion British thermal unit per day (BBtud).

    Di sisi lain, PTBA juga sejak lama mendorong proyek gasifikasi batu bara menjadi DME. Kendati demikian, proyek yang ditinggal mitranya yakni Air Products itu mendapat tantangan dari segi nilai keekonomian dan pencarian mitra investor. 

    Menurut perhitungan, harga DME yang dapat dihasilkan yakni senilai US$911-US$987 per ton atau lebih besar dari harga patokan DME yang diusulkan oleh Kementerian ESDM pada 2021 yakni sebesar US$617 per ton yang merupakan harga pasar, tetapi belum termasuk subsidi. 

    Dengan demikian, masih terdapat gap atau selisih yang kurang lebih mencapai US$300 per ton DME yang berpotensi memperbesar nilai subsidi dari pemerintah. 

    “Dan analisa perhitungan kami masih lebih tinggi dari harga LPG impor. Yang kedua terdapat sejumlah tantangan teknis yang disampaikan oleh Pertamina [offtaker proyek DME] dalam Forum Satgas Hilirisasi yang kami lakukan rapat pada tanggal 19 Maret 2025,” terangnya. 

    Adapun, tantangan dari Pertamina yakni terkait dengan kebutuhan konversi infrastruktur seperti jalur distribusi dan perangkat kompor rumah tangga yang kompatibel dengan DME. 

    “Jadi jaraknya itu kurang lebih 172 kilometer serta perlunya kesiapan jaringan niaga dan distribusi ban bakar alternatif ini secara luas,” imbuhnya. 

    Pihaknya berharap seluruh tantangan tersebut dapat diselesaikan melalui kajian yang komprensif, objektif dan melibatkan semua pihak secara menyeluruh. 

    “Kami PTBA tentunya terbuka terhadap evaluasi dan arahan lanjutan agar proyek ini dapat dikembangkan secara terukur, akuntabel dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi bangsa dan negara,” pungkasnya.