BUMN: Pertamina Patra Niaga

  • Kasus Pertamax Dioplos Pertalite, Prabowo: Kami Akan Bersihkan!

    Kasus Pertamax Dioplos Pertalite, Prabowo: Kami Akan Bersihkan!

    Jakarta, Beritasatu.com – Presiden Prabowo Subianto menanggapi kasus dugaan korupsi BBM, khususnya terkait pencampuran Pertamax dengan Pertalite. Ia menegaskan pemerintah sedang menangani masalah ini dengan serius.

    “Lagi diurus itu semua. Oke, kami akan bersihkan, kami akan tegakkan,” ujar Prabowo kepada wartawan seusai meresmikan layanan Bank Emas di The Gade Tower, Jakarta Pusat, Kamis (26/2/2025).

    Meski tidak merinci langkah konkret yang akan diambil pemerintah, Prabowo menegaskan komitmennya untuk melindungi kepentingan rakyat. “Kami akan membela kepentingan rakyat,” tegasnya.

    Sementara itu, Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap modus operandi kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) periode 2018-2023. Kasus Pertamax dioplos diduga menyebabkan kerugian negara hingga Rp 193,7 triliun.

    Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Abdul Qohar mengungkapkan pihaknya telah menetapkan tujuh tersangka, yaitu Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga berinisial RS, Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional SDS, PT Pertamina International Shipping YF, VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional AP, Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa MKAN, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa & Komisaris PT Jenggala Maritim DW, Komisaris PT Jenggala Maritim & Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak GRJ.

    Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Utama Pertamina Patra Niaga Mars Ega Legowo Putra membantah pihaknya melakukan praktik oplos atau upgrade blending (pencampuran) Pertalite (RON 90) dengan Pertamax (RON 92) dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah. Dia memastikan produk yang diterima dan dijual di SPBU telah sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan.

    “Baik yang dari luar negeri maupun dari dalam negeri itu kami sudah menerima RON 92. Yang membedakan adalah meskipun sudah berada di RON 90 dan 92 itu sifatnya masih base fuel artinya belum ada adiktif yang kita terima di Pertamina Patra Niaga ya,” ujar Ega menjawab pertanyaan anggota Komisi XII DPR dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) di gedung DPR, kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (26/2/2025).

    Kasus Pertamax dioplos Pertalite menjadi sorotan publik karena dampaknya yang besar terhadap perekonomian nasional dan kepercayaan masyarakat terhadap industri energi di Indonesia.

  • Produk BBM Ternyata Ada Tambahan Bahan Aditif, Ini Tujuannya

    Produk BBM Ternyata Ada Tambahan Bahan Aditif, Ini Tujuannya

    Jakarta, CNBC Indonesia – PT Pertamina Patra Niaga mengakui bahwa dalam proses produksi Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertamax RON 92, terdapat penambahan zat aditif dan pewarna melalui proses injeksi blending.

    Pelaksana Tugas Harian (PTH) Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Mars Ega Legowo Putra menegaskan meski terdapat penambahan zat aditif, hal ini tidak akan berdampak pada perubahan angka oktan (RON).

    Hanya saja, penambahan aditif sendiri bertujuan untuk meningkatkan value serta performa produk dari BBM jenis Pertamax yang dijual perusahaan.

    “Penambahan aditif itu juga merupakan benefit tambahan yang kita berikan kepada masyarakat. Hal ini tentunya menjadi bagian dari strategi pemasaran sebetulnya,” kata dia di Gedung DPR, Rabu (26/2/2025).

    Menurut dia penambahan aditif untuk Pertamax dilakukan untuk mencegah terjadinya korosi dan karat. Dengan begitu, mesin kendaraan menjadi lebih bersih.

    “Untuk detergensi agar mesin menjadi lebih bersih dan juga untuk performansi akselerasi sehingga kepada konsumen diharapkan juga merasa lebih ringan dalam berkendara,” kata dia.

    Oleh sebab itu, ia pun membantah apabila produk BBM jenis Pertamax disebut-sebut sebagai produk oplosan. Apalagi, di Terminal bahan bakar minyak (TBBM) dan storage BBM milik perusahaan tidak memiliki fasilitas blending.

    “Yang ada adalah fasilitas penambahan aditif dan pewarna (injeksi blending). Nah ini menjadi salah satu hal yang ingin kami konfirmasi,” katanya.

    (pgr/pgr)

  • Heboh Pertalite Dioplos Jadi Pertamax, Prabowo: Kami Akan Bersihkan dan Tegakkan – Page 3

    Heboh Pertalite Dioplos Jadi Pertamax, Prabowo: Kami Akan Bersihkan dan Tegakkan – Page 3

    Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar mengulas peran para tersangka dan posisi kasus tersebut. Bahwa pada periode 2018-2023, pemenuhan minyak mentah dalam negeri seharusnya wajib mengutamakan pasokan minyak bumi dari dalam negeri dan Pertamina wajib mencari pasokan minyak bumi yang berasal dari kontraktor dalam negeri, sebelum merencanakan impor minyak bumi.

    Hal itu sebagaimana tegas diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 42 Tahun 2018 tentang prioritas pemanfaatan minyak bumi untuk kebutuhan dalam negeri.

    “Namun berdasarkan fakta penyidikan, Tersangka RS, Tersangka SDS, dan Tersangka AP melakukan pengkondisian dalam Rapat Optimasi Hilir (OH) yang dijadikan dasar untuk menurunkan readiness/produksi kilang sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap sepenuhnya dan akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang diperoleh dari impor,” tutur Harli dalam keterangannya, Rabu (26/2/2025).

    Harli menyebut, pada saat produksi kilang sengaja diturunkan, maka produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS sengaja ditolak. Fakta tersebut berdasarkan temuan, bahwa produksi minyak mentah KKKS tidak memenuhi nilai ekonomis, padahal harga yang ditawarkan masih masuk range harga HPS.

    Produk minyak mentah KKKS juga dilakukan penolakan dengan alasan spesifikasi tidak sesuai kualitas kilang, namun faktanya minyak mentah bagian negara masih sesuai kualitas kilang dan dapat diolah dan dihilangkan kadar merkuri atau sulfurnya.

    “Saat produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS ditolak dengan berbagai alasan, maka menjadi dasar minyak mentah Indonesia dilakukan penjualan keluar negeri atau ekspor,” jelas dia.

    Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, kata dia, maka PT Kilang Pertamina Internasional melakukan impor minyak mentah dan PT Pertamina Patra Niaga melakukan impor produk kilang. Harga pembelian impor tersebut apabila dibandingkan dengan harga produksi minyak bumi dalam negeri terdapat perbandingan komponen harga yang tinggi.

    Dalam kegiatan pengadaan impor minyak mentah oleh PT Kilang Pertamina Internasional dan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, penyidik memperoleh fakta adanya pemufakatan jahat atau mens rea.

    “Antara penyelenggara negara tersangka SDS, tersangka AP, tersangka RS, dan tersangka YF, bersama DMUT atau Broker tersangka MK, tersangka DW, dan tersangka GRJ, sebelum tender dilaksanakan dengan kesepakatan harga yang sudah diatur yang bertujuan mendapatkan keuntungan secara melawan hukum dan merugikan keuangan negara,” ungkap Harli.

     

  • Kasus Korupsi Minyak Mentah, Pertamina Bantah Oplos Pertalite ke Pertamax

    Kasus Korupsi Minyak Mentah, Pertamina Bantah Oplos Pertalite ke Pertamax

    Jakarta, Beritasatu.com – Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Utama Pertamina Patra Niaga Mars Ega Legowo Putra membantah pihaknya melakukan praktik oplos atau upgrade blending (pencampuran) Pertalite (RON 90) dengan Pertamax (RON 92) dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah. Dia memastikan produk yang diterima dan dijual di SPBU telah sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan. 

    “Baik yang dari luar negeri maupun dari dalam negeri itu kami sudah menerima RON 92. Yang membedakan adalah meskipun sudah berada di RON 90 dan 92 itu sifatnya masih base fuel artinya belum ada adiktif yang kita terima di Pertamina Patra Niaga ya,” ujar Ega menjawab pertanyaan anggota Komisi XII DPR dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) di gedung DPR, kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (26/2/2025).

    Menurut Ega, Pertamina Patra Niaga mengelola bahan bakar mulai dari terminal hingga ke SPBU. Sementara itu, proses pengangkutan bahan bakar dari kilang ke terminal dilakukan oleh kapal milik Pertamina.

    “Tidak ada proses perubahan RON, tetapi yang ada itu Pertamax kita tambahkan adiktif. Jadi di situ ada proses penambahan adiktif dan proses penambahan warna. Proses inilah yang memberikan keunggulan perbedaan dalam produk,” tandas Ega.

    Ega menegaskan bahwa proses penambahan adiktif ini dikenal sebagai injection blending. Menurut dia, hal tersebut merupakan praktik wajar dalam produksi minyak untuk meningkatkan value dari produk yang dihasilkan.

    “Blending ini adalah proses yang common dalam produksi minyak yang merupakan bahan cair, namanya ini bahan cair. Jadi pasti akan ada proses blending ketika kita menambahkan. Blending ini tujuannya adalah untuk meningkatkan value daripada produk tersebut,” jelas dia terkait kasus korupsi Pertamina.

    Lebih lanjut, Elga mengungkapkan, setiap bahan bakar yang diterima, baik dari dalam maupun luar negeri, selalu melalui pengujian laboratorium sebelum dan sesudah bongkar muat.

    “Setelah kita terima di terminal itu pun di terminal juga melakukan rutin pengujian kualitas produk di tempat-tempat Pertamina itu pun kita terus jaga sampai dengan ke SPBU,” pungkas Elga terkait kasus korupsi Pertamina ini.

  • 2
                    
                        Pertalite Dioplos Jadi Pertamax, Warga Kapok dan Bakal Beralih ke SPBU Swasta
                        Megapolitan

    2 Pertalite Dioplos Jadi Pertamax, Warga Kapok dan Bakal Beralih ke SPBU Swasta Megapolitan

    Pertalite Dioplos Jadi Pertamax, Warga Kapok dan Bakal Beralih ke SPBU Swasta
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com 
    – Rafi (25), warga Pancoran, Jakarta Selatan, mengaku kapok menggunakan bahan bakar minyak (BBM) Pertamax usai mengetahui dugaan pengoplosan Pertalite jadi Pertamax dalam konstruksi kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah PT Pertamina Patra Niaga.
    Setelah ini, Rafi mengaku tak akan lagi membeli Pertamax. Ia bakal beralih ke SPBU swasta. 
    “Ke depannya kayaknya bakal beli di SPBU swasta aja. Lebih aman dan terjamin, plus secara servis orangnya ramah-ramah. Toh harganya cuma beda beberapa ratus perak aja,” kata Rafi, Rabu (26/2/2025).
    Rafi menghabiskan uang sebesar Rp 50.000 hingga Rp 100.000 setiap minggu untuk membeli Pertamax di SPBU Pertamina.
    Meski harganya lebih mahal, Rafi rela mengisi kendaraannya dengan Pertamax dengan harapan mendapat bahan bakar lebih berkualitas.
    “Wah kecewa banget sih saya pas dengar (pengoplosan Pertalite jadi Pertamax) ini karena kan sudah rela bayar lebih mahal dengan tujuan buat dapatin kualitas BBM yang baik dan pas, ternyata itu dioplos, kesal banget,” tambah dia.
    Senada, Luthfa (22) juga mengaku bakal beralih ke SPBU swasta pasca-terbongkarnya pengoplosan ini. Dia takut hal serupa bakal terjadi kembali.
    “Kayaknya kalau pengin nyari bensin dengan kualitas serupa Pertamax, mending sekalian ke SPBU lain deh yang udah pasti-pasti,” kata dia.
    Luthfa pun mengaku kecewa dengan pengoplosan tersebut. Pasalnya, dia rela membayar lebih untuk mendapat kualitas bahan bakar lebih baik, namun yang ia dapat tak demikian.
    “Kecewa banget sih, karena kan gue bayar lebih, ya gue
    expect
    kualitas yang lebih jugalah,” tambah dia.
    Diberitakan sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan (RS) sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023.
    Melansir keterangan Kejagung, PT Pertamina Patra Niaga diduga membeli Pertalite untuk kemudian “diblending” atau dioplos menjadi Pertamax.
    Namun, pada saat pembelian, Pertalite tersebut dibeli dengan harga Pertamax.
    “Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, Tersangka RS melakukan pembelian (pembayaran) untuk Ron 92 (Pertamax), padahal sebenarnya hanya membeli Ron 90 (Pertalite) atau lebih rendah kemudian dilakukan blending di Storage/Depo untuk menjadi Ron 92,” demikian bunyi keterangan Kejagung, dilansir Selasa (25/2/2025).
    “Dan hal tersebut tidak diperbolehkan,” imbuh keterangan itu.
    Dalam perkara ini, ada enam tersangka lain yang turut ditetapkan.
    Mereka adalah Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, Yoki Firnandi (YF); SDS selaku Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional; dan AP selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional. Lalu, MKAR selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa; DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim; dan GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Direktur Pertamina Korupsi Meski Gaji 4,7 Miliar, Ustaz Das’ad Latif: Itulah Kalau Tak Pandai Bersyukur

    Direktur Pertamina Korupsi Meski Gaji 4,7 Miliar, Ustaz Das’ad Latif: Itulah Kalau Tak Pandai Bersyukur

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Dai kondang asal Makassar, Ustaz Das’ad Latif, melontarkan sindiran tajam terhadap Direktur Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan, yang diduga terlibat dalam kasus korupsi minyak.

    Kritik tersebut ia sampaikan sebagai respons terhadap besarnya gaji yang diterima pejabat tersebut, namun tetap tergoda untuk melakukan praktik korupsi.

    “Padahal sudah dapat gaji lumayan gede, itulah kalau tak pandai bersyukur,” ujar Ustaz Das’ad di Instagram pribadinya @dasadlatif1212 (26/2/2025).

    Sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap skandal korupsi dalam ekspor-impor minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina.

    Salah satu modus yang dilakukan adalah memanipulasi bahan bakar minyak (BBM) jenis RON 90 menjadi RON 92 sebelum dipasarkan, menyebabkan kerugian negara yang mencapai Rp 193,7 triliun.

    Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Abdul Qohar, menjelaskan bahwa pengadaan BBM ini dilakukan oleh PT Pertamina Patra Niaga.

    Namun, dalam praktiknya, perusahaan tersebut membeli BBM dengan kualitas lebih rendah (RON 90), lalu menjualnya seolah-olah sebagai RON 92 dengan harga yang lebih tinggi.

    Kejagung telah menetapkan tujuh orang sebagai tersangka dalam kasus ini.

    Di antaranya adalah Riva Siahaan (Dirut PT Pertamina Patra Niaga), Sani Dinar Saifuddin (Direktur Optimasi Feedstock and Product PT Kilang Pertamina International), serta Yoki Firnandi (Dirut PT Pertamina Shipping).

    Selain itu, ada juga beberapa tersangka dari sektor swasta, termasuk Muhammad Kerry Andrianto Riza, putra dari pengusaha migas Mohammad Riza Chalid.

  • Fakta-fakta Kasus Minyak Pertamina yang Bikin Tekor Negara Rp193,7 Triliun

    Fakta-fakta Kasus Minyak Pertamina yang Bikin Tekor Negara Rp193,7 Triliun

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) tengah mengusut kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina-KKKS 2018-2023.

    Kasus dugaan rasuah ini telah menyeret dua petinggi dari anak perusahaan PT Pertamina (Persero) yaitu Riva Siahaan (RS) selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga dan Yoki Firnandi (YF) selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping.

    Selain itu, Kejagung juga turut menetapkan tersangka terhadap anak dari saudagar minyak Riza Chalid yakni Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR) selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa.

    Pada intinya, sejumlah tersangka penyelenggara negara dengan tersangka DMUT/Broker diduga bekerja sama dalam pengaturan proses pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang.

    Fakta-fakta mengenai kasus korupsi minyak mentah Pertamina 

    1. Kejagung Tetapkan 7 Tersangka

    Kejagung baru menetapkan tujuh tersangka dalam kasus ini, termasuk Riva, Yoki dan Kerry Andrisnto. Kemudian, Agus Purwono (AP) selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina International; Gading Ramadhan Joedo (GRJ) selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur PT Orbit Terminal Merak.

    Selanjutnya, SDS (Sani Dinar Saifuddin) selaku Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional dan Dimas Werhaspati (DW) selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim turut dijadikan tersangka dalam kasus ini.

    Namun demikian, Dirdik Jampidsus Kejagung RI, Abdul Qohar mengatakan bahwa pihaknya masih membuka peluang untuk menetapkan tersangka baru dalam kasus ini.

    Tentunya, kata Qohar, penetapan tersangka baru itu harus dilengkapi dengan dua alat bukti yang cukup untuk meminta pertanggungjawaban pihak lain dalam kasus jni.

    “Tapi apakah ada pihak lain yang berpotensi? [tersangka] Ini penyidik lagi mendalami. Terhadap siapapun yang terlibat, apabila buktinya cukup,” ujar Qohar di Kejagung, Selasa (25/2/2025).

    2. Ron 90 ‘Disulap’ jadi Pertamax

    Salah satu modus dalam kasus ini, yaitu mengatur spesifikasi impor. RS selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga seolah-olah melakukan impor produk kilang Ron 92.

    Namun, setelah diusut ternyata RS diduga malah membeli bahan bakar dengan oktan minimum sebesar 90 atau sejenis pertalite. Produk kilang itu kemudian dicampur sedemikian rupa untuk menjadi Ron 92 atau sejenis pertamax.

    “Tersangka RS melakukan pembelian untuk Ron 92, padahal sebenarnya hanya membeli Ron 90 atau lebih rendah kemudian dilakukan blending di Storage/Depo untuk menjadi Ron 92 dan hal tersebut tidak diperbolehkan,” ujar Qohar.

    3. Kerugian Negara Rp193 Triliun 

    Perbuatan Riva Siahaan Cs ini dikategorikan menjadi kasus mega korupsi lantaran memiliki kerugian yang ditaksir mencapai Rp193,7 triliun.

    Ratusan triliun itu dihitung berdasarkan kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri sekitar Rp35 triliun dan kerugian impor minyak mentah melalui DMUT/Broker sekitar Rp2,7 triliun.

    Kemudian, kerugian impor BBM melalui DMUT/Broker sekitar Rp9 triliun; Kerugian pemberian kompensasi (2023) sekitar Rp126 triliun; dan kerugian pemberian subsidi (2023) sekitar Rp21 triliun.

    Adapun, Kejagung hingga saat ini masih menghitung kerugian negara secara riil bersama dengan ahli dan pihak terkait lainnya seperti BPKP.

    4. Sita Uang Rp970 Juta

    Dalam kasus ini, Korps Adhyaksa baru menyita uang tunai senilai Rp970 juta. Uang ratusan juta ktu diperoleh usai penyidik Jampidsus menggeledah rumah tersangka Dimas Werhaspati pada Senin (24/2/2025).

    Secara terperinci, uang tersebut berasal dari pecahan beberapa mata uang seperti 20 lembar uang tunai pecahan 1.000 SGD (Rp243 juta) atau dan 200 lembar mata uang pecahan US$100 (Rp326 juta). 

    5. Rumah Riza Chalid Digeledah 

    Penggeledahan terkait Riza Chalid dilakukan di rumah Jalan Jenggala 2, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pada Selasa (25/2/2025) sekitar 12.00 WIB.

    Berdasarkan pantauan Bisnis di lokasi sekitar 18.15 WIB, nampak rumah bertingkat tiga itu telah diterapkan garis segel dari Kejagung mulai dari jendela hingga pintu masuk di basement.

    Terlihat penyidik Jampidsus Kejagung keluar masuk rumah mewah milik saudagar minyak tersebut. Selain itu, sejumlah mobil milik penyidik juga nampak terparkir di basement rumah tersebut.

    Selain di kediaman Riza, penggeledahan juga dilakukan di Plaza Asia lantai 20 yang beralamat di Jalan Jenderal Sudirman. Sekadar informasi, jauh sebelum itu, korps Adhyaksa juga telah menggeledah tiga ruangan di kantor Ditjen Migas Kementerian ESDM, Jakarta Selatan pada Senin (10/2/2025).

    Tiga tempat yang digeledah itu, yakni ruangan Direktur Pembinaan Usaha Hulu, Direktur Pembinaan Usaha Hilir dan Sekretaris Direktorat Jenderal Migas. 

    Adapun, dari tiga ruangan yang digeledah itu telah disita lima dus dokumen, barang bukti elektronik berupa handphone sebanyak 15 unit dan ada satu unit laptop dan empat soft file. 

  • Kejagung Buka-bukaan Awal Mula Bongkar Korupsi Minyak Mentah: Ada Keluhan Kualitas BBM

    Kejagung Buka-bukaan Awal Mula Bongkar Korupsi Minyak Mentah: Ada Keluhan Kualitas BBM

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap awal mula penyidik mengusut perkara dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina-KKKS 2018-2023.

    Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar mengemukakan bahwa pihaknya mengamati berbagi bentuk keresahan yang terjadi di tengah masyarakat. 

    Salah satu persoalan itu yakni keluhan masyarakat soal kualitas BBM dari Pertamina yang diduga kurang bagus. Adapun, sprindik kasus ini teregister dengan Nomor: PRIN-59/F.2/Fd.2/10/2024 tertanggal 24 Oktober 2024.

    “Nah, awalnya itu kita masuknya dari situ [informasi terkait kualitas BBM], lalu dibuat telaahannya, kemudian dilakukan penyelidikan,” ujar Harli di Kejagung, Rabu (26/2/2025).

    Dia menambahkan, isu kualitas BBM itu kemudian dihubungkan dengan persoalan lain seperti kenaikan harga bahan bakar. 

    Setelah itu, penyidik kemudian mengembangkan informasi polemik terkait BBM tersebut. Singkatnya, Kejagung menemukan periode kasus ini dimulai dari periode 2018-2023.

    “Nah, sementara penyelidikannya kan sudah di 2024. Tapi peristiwa-peristiwa itu dijadikan merangkai, menguatkan argumentasi kita untuk masuk,” pungkasnya.

    Sebagai informasi, Kejagung telah menetapkan tujuh tersangka dalam kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina-KKKS pada Senin (24/2/2025).

    Tujuh tersangka itu mulai dari Riva Siahaan (RS) selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga; Yoki Firnandi (YF) selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping; hingga anak Riza Chalid, Muhammad Kerry Andrianto Riza selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa.

    Pada intinya, kasus ini melibatkan penyelenggara negara dengan broker, kedua belah pihak diduga bekerja sama dalam pengaturan proses pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang periode 2018-2023.

    Adapun, akibat adanya beberapa perbuatan melawan hukum tersebut, Kejagung mengungkap bahwa negara dirugikan sekitar Rp193,7 triliun.

  • Pertalite Dioplos Jadi Pertamax, Warga: Enggak Malu Ambil Uang Hasil Keringat Rakyat? 
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        26 Februari 2025

    Pertalite Dioplos Jadi Pertamax, Warga: Enggak Malu Ambil Uang Hasil Keringat Rakyat? Megapolitan 26 Februari 2025

    Pertalite Dioplos Jadi Pertamax, Warga: Enggak Malu Ambil Uang Hasil Keringat Rakyat?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com 
    – Putra (35), warga Kebagusan, Jakarta Selatan mempertanyakan moral para tersangka yang terlibat kasus dugaan pengoplosan Pertalite menjadi Pertamax dalam konstruksi kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah PT Pertamina Patra Niaga.
    “Memangnya tidak malu mengambil uang dari hasil keringat rakyat? Giliran sudah jadi tersangka, muka kalian malah lesu,” ujar Putra dengan kesal saat dihubungi
    Kompas.com,
    Rabu (26/2/2025).
    Sebagai pengguna Pertamax selama bertahun-tahun, menurut Putra, kasus pengoplosan ini mencerminkan betapa parahnya kondisi yang terjadi di Indonesia saat ini.
    Oleh karena itu, Putra menyarankan agar pemerintah pusat bekerja lebih ekstra. Sebab, tanggung jawab sepenuhnya ada di pundak pemerintah.
    “Kasihan masyarakat mulu yang dirugikan. Kaum atas malah ketawa-ketiwi,” kata dia.
    Sementara, Rizky Widyanto (28), warga Pasar Minggu, Jakarta Selatan sudah tujuh tahun menggunakan Pertamax untuk motor Honda PCX miliknya.
    Alasannya, dia ingin membantu negara dengan tidak menggunakan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi Pertalite. Namun, Rizky kecewa begitu mengetahui dugaan pengoplosan Pertalite jadi Pertamax.
    Niat baiknya menggunakan bahan bakar berkualitas justru dikhianati oleh para tersangka dalam kasus tersebut yang memperkaya diri sendiri tanpa memikirkan rakyat.
    “Niatnya mau sadar diri enggak pakai subsidi, bantu negara, eh enggak tahunya begini,” keluh Rizky.
    Rizky pun merasa rugi menggunakan Pertamax sejak 2018 lalu. Padahal, dalam satu pekan dia mengeluarkan uang senilai Rp 100.000 hingga Rp 200.000 untuk mengisi bahan bakar.
    “Niatnya (juga) biar lebih enak dan kencang saja nih motor, pakai Pertamax. Eh enggak tahunya sugesti doang,” kata Rizky.
    Diberitakan sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan (RS) sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023.
    Melansir keterangan Kejagung, PT Pertamina Patra Niaga diduga membeli Pertalite untuk kemudian “diblending” atau dioplos menjadi Pertamax. Namun, pada saat pembelian, Pertalite tersebut dibeli dengan harga Pertamax.
    “Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, Tersangka RS melakukan pembelian (pembayaran) untuk Ron 92 (Pertamax), padahal sebenarnya hanya membeli Ron 90 (Pertalite) atau lebih rendah kemudian dilakukan blending di Storage/Depo untuk menjadi Ron 92,” demikian bunyi keterangan Kejagung, dilansir Selasa (25/2/2025).
    “Dan hal tersebut tidak diperbolehkan,” imbuh keterangan itu.
    Dalam perkara ini, ada enam tersangka lain yang turut ditetapkan. Mereka adalah Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, Yoki Firnandi (YF); SDS selaku Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional; dan AP selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional.
    Lalu, MKAR selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa; DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim; dan GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 1
                    
                        Kejagung Minta Publik Tak Khawatir, BBM yang Beredar Bukan Hasil Oplosan
                        Nasional

    1 Kejagung Minta Publik Tak Khawatir, BBM yang Beredar Bukan Hasil Oplosan Nasional

    Kejagung Minta Publik Tak Khawatir, BBM yang Beredar Bukan Hasil Oplosan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Kejaksaan Agung (
    Kejagung
    ) menyatakan bahwa kasus dugaan korupsi tata kelola minyak dengan modus mengoplos bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite menjadi Pertamax terjadi pada 2018-2023.
    Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar memastikan, BBM yang beredar di masyarakat saat ini bukanlah hasil oplosan dan tidak ada kaitannya dengan kasus yang sedang diusut.
    “Jadi, jangan ada pemikiran di masyarakat bahwa seolah-olah minyak yang digunakan sekarang itu adalah minyak oplosan. Nah, itu enggak tepat,” ujar Harli Siregar saat ditemui di Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (26/2/2025).
    Harli menjelaskan, berdasarkan hasil temuan sementara, Direktur Utama PT
    Pertamina

    Patra Niaga
    Riva Siahaan membeli dan membayar minyak RON 92.
    Namun, minyak yang datang justru jenis RON 90 dan 88.
    “Fakta hukum yang sudah selesai (peristiwanya) bahwa RS selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga itu melakukan pembayaran terhadap pembelian minyak yang RON 92, berdasarkan
    price list
    -nya. Padahal, yang datang itu adalah RON 88 atau 90,” lanjut Harli.
    Saat ini, penyidik juga masih mendalami apakah minyak RON 88 dan RON 90 ini, pada tahun 2018-2023, langsung didistribusikan kepada masyarakat atau tidak.
    “Kami kan harus mengkaji berdasarkan bantuan ahli. Misalnya, kalau yang datang RON 90, RON 90 itu kan Pertalite. Nah, apakah Pertalite ini juga sewaktu diimpor langsung didistribusi?” kata Harli.
    Diberitakan, Kejaksaan Agung (Kejagung) menduga telah terjadi pengoplosan Pertamax dengan Pertalite dalam konstruksi kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023.
    Dilansir dari keterangan Kejagung, PT Pertamina Patra Niaga diduga membeli Pertalite untuk kemudian di-
    blend
     atau dioplos menjadi Pertamax.
    Namun, pada saat pembelian, Pertalite tersebut dibeli dengan harga Pertamax.
    “Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, tersangka RS melakukan pembelian (pembayaran) untuk RON 92 (Pertamax), padahal sebenarnya hanya membeli RON 90 (Pertalite) atau lebih rendah, kemudian dilakukan
    blending
    di Storage/Depo untuk menjadi RON 92,” demikian bunyi keterangan Kejagung, dilansir pada Selasa (25/2/2025).
    “Dan hal tersebut tidak diperbolehkan,” imbuh keterangan itu.
    Dalam kasus ini, Kejagung telah menetapkan tujuh tersangka, empat di antaranya merupakan petinggi dari anak usaha atau
    subholding
    Pertamina.
    Keempatnya adalah Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan (RS); Direktur Utama PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi (YF); Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional Sani Dinar Saifuddin (SDS); dan VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional Agus Purwono (AP).
    Sedangkan tiga broker yang menjadi tersangka adalah MKAR selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa; DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim; dan GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.