Bisnis.com, JAKARTA — Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan penarikan iuran wajib Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) menciptakan tantangan baru bagi pemerintah. Pasalnya, pemerintah perlu memastikan ketersediaan skema pembiayaan perumahan terjangkau untuk mendukung program 3 juta rumah Presiden Prabowo Subianto.
Dalam perkembangkan terbaru, Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) mengungkap tengah menggodok sejumlah skema baru usai putusan MK membatalkan kewajiban iuran Tapera bagi pekerja swasta.
Komisioner BP Tapera, Heru Pudyo Nugroho menjelaskan salah satu skema yang tengah digodok yakni pembentukan dana abadi sektor perumahan yang bakal diwujudkan melalui konsep Contractual Saving for Housing (CSH).
“Ini [menggodok CSH] bagian dari upaya kita untuk melakukan penataan model bisnis pascaputusan MK kemarin. Ya dimana putusan MK di situ yang menjadi substansi gugatan yang kemudian dikabulkan oleh MK terkait kewajiban bagi pekerja dan pekerja mandiri yang berpenghasilan di atas upah minimum untuk menjadi peserta Tapera,” kata Heru saat ditemui di Kantornya, Selasa (4/11/2025).
Dia menyebut, konsep CSH itu saat ini dalam tahap pematangan. Dia mengatakan pemerintah tengah melakukan proses studi banding terkait dengan pelaksanaan konsep tersebut di sejumlah negara.
Apabila dinilai tepat, konsep itu akan diadopsi BP Tapera untuk mempertebal portofolio dana murah yang nantinya digunakan mendukung pendananaan sektor perumahan.
“Ya nanti kita lihat berbagai kemungkinannya. Pasti kita akan bertransformasi nanti ya memang ini yang setelah kita upayakan,” jelasnya.
Respons Pengusaha
Sejumlah pelaku usaha sektor properti menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan iuran Tapera, serta turut mengapresiasi rencana pemerintah yang hendak merevisi Undang-Undang Tapera.
Bukan tanpa alasan, banyak pengembang berpandangan konsep iuran wajib Tapera dikhawatirkan justru bermasalah dan menimbulkan distorsi.
Wakil Ketua Umum DPP Realestate Indonesia (REI) Bambang Ekajaya menilai konsep pengenaan iuran wajib Tapera bagi pekerja swasta tidak relevan dijalankan mengingat tidak semua masyarakat membutuhkan hunian.
“Masalah utama Tapera menjadikan ini menjadi iuran wajib. Padahal sebagian besar warga sudah memiliki hunian. Jadi, seharusnya sifatnya harus sukarela,” kata Bambang kepada Bisnis, Rabu (5/11/2025).
Selain itu, pada aturan sebelumnya Tapera juga mewajibkan Pengusaha turut menanggung sebagian iuran tersebut. Di mana, hal itu justru dinilai menambah beban para pelaku usaha yang ujungnya akan berdampak pada kenaikan harga produk.
Karyawan beraktivitas di Kantor Pelayanan Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera), Jakarta, Rabu (24/7/2024). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Sejalan dengan hal itu, Bambang menilai putusan MK tersebut telah tepat. Khususnya dalam rangkaian menjaga perekonomian nasional.
Senada, Ketua Umum Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra), Endang Kawidjaja menuturkan bahwa pengenaan Tapera idealnya tidaklah wajib alias sukarela.
Apabila konsep pengenaan iuran wajib dijalankan, konsepnya diproyeksi tidak akan berbeda jauh dengan tabungan Jaminan Hari Tua (JHT).
“Sedangkan JHT yang merupakan program BPJS Ketenagakerjaan saja semakin hari makin membengkak,” imbuhnya.
Terkait dengan pembentukan dana abadi, dia mengatakan usulan tersebut memang diperlukan untuk mewujudkan pengadaan hunian terjangkau bagi masyarakat. Akan tetapi, nominalnya disebut tidaklah sedikit. Sehingga, hal itu perlu menjadi perhatian pemerintah.
“Dana abadi untuk mendukung skema Subsidi Selisih Bunga di rumah subsidi memang perlu bantuan dana abadi, tapi besar sekali dananya yang diperlukan,” pungkasnya.
Dukungan terhadap rencana kebijakan dana abadi perumahan juga sebelumnya disampaikan oleh PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. (BBTN). Kebijakan tersebut dinilai lebih cocok diterapkan di Indonesia dibandingkan dengan mewajibkan iuran Tapera.
Direktur Utama BTN, Nixon L.P. Napitupulu, menuturkan pola itu dinilai lebih kompatibel diterima oleh masyarakat umum jika dibandingkan dengan melakukan penarikan iuran sebagaimana dalam program Tapera.
“Kita ngusulin memang mendingan polanya pakai dana abadi perumahan dibanding dengan pungutan masyarakat. Tapi, keputusannya terserah pemerintah,” kata Nixon saat ditemui di Hotel Pullman, Jakarta, Selasa (23/7/2024).
Nixon menyebut, pembentukan dana abadi itu juga diperlukan di tengah kondisi ekonomi yang penuh dengan ketidakpastian. Tujuannya, dana abadi perumahan ini dapat menekan beban yang ditanggung pemerintah.
Meski sepenuhnya menyerahkan keputusan penerapan tersebut pada pemerintah, Nixon berharap bahwa implementasi mencari sumber pendanaan baru bagi sektor perumahan tidak dilakukan melalui pungutan masyarakat.
“Ke depannya apakah ini [Tapera] tidak akan ada pungutan lagi? Kita serahkan ke pemerintah saja, pemerintah paling tahu ini akan tetap ada pungutan atau tidak. Tapi kalau tidak ada ya kita senang-senang saja, masyarakat bebannya berkurang,” pungkasnya.
Berdasarkan catatan Bisnis sebelumnya, skema implementasi dana abadi perumahan itu bakal bersumber dari APBN. Nixon mengusulkan, nantinya kucuran alokasi Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) perlu dibagi untuk disalurkan ke masyarakat dan untuk diinvestasikan guna mempertebal simpanan dana abadi tersebut.
“Dengan duit FLPP yang sama ditaruh di BP Tapera [Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat], BP Tapera lalu memutar dananya itu, katakanlah di SBN [surat berharga negara] dan dapat bunga 6%,” ujar Nixon.
Nantinya, imbal hasil 6% yang didapatkan dari investasi di SBN itu kemudian bisa digunakan untuk membayar selisih bunga KPR di masyarakat. Sehingga, masyarakat tetap hanya bayar 5% dari yang sebelumnya 9,5%. Menurutnya, skema dana abadi itu membutuhkan waktu 10 tahun. Namun, ke depannya beban APBN akan berkurang.
Nixon lantas memberikan gambaran, bila skema dana abadi dijalankan 2024, maka pada 2034 sudah otomatis KPR subsidi bisa tersalurkan 500.000 hingga 600.000 rumah dalam setahun.
Skema tersebut juga tidak hanya menyelesaikan permasalahan perumahan di segmen masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), tapi sekaligus masyarakat berpenghasilan tanggung dengan penghasilan Rp8 juta hingga Rp15 juta.