BUMN Ini Tidak Tahu Ada Warga Miskin Ekstrem Tinggal di Tengah Lahannya
Editor
JEMBER, KOMPAS.com
– PT Perkebunan Nusantara (PTPN) 1 Regional 5 Surabaya mengaku tidak mengetahui bahwa ada warga miskin ekstrem yang tinggal di tengah lahannya.
Hal ini berbanding terbalik dengan pantauan tim
Ekspedisi Nusaraya Kompas.com
saat mengunjungi
Perkebunan Kopi Silosanen
pada Jumat (28/11/2025). Perkebunan itu berada di bawah pengelolaan
PTPN 1 Regional 5
.
Di tengah perkebunan yang ada di Desa Mulyorejo, Kecamatan Silo, Kabupaten
Jember
, Jawa Timur, itu banyak warga yang tinggal di rumah yang tidak layak.
Di samping itu, data Pemerintah Kabupaten Jember menunjukkan bahwa ada 22.043 jiwa atau 5.325 KK warga
miskin ekstrem
yang berada di area perkebunan BUMN di Jember.
Hal ini menjadi ironi karena dengan jumlah
warga miskin ekstrem
yang banyak, PTPN justru tidak mengetahuinya.
“Terkait untuk yang definisi miskin ekstrem, kami tidak mengetahui, Pak,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Kasubag Kesekretariatan & Humas PTPN I Regional V Surabaya, M Syaiful Rizal saat dihubungi tim
Ekspedisi Nusaraya Kompas.com
, Senin (1/12/2025).
Namun demikian, Rizal mengakui bahwa banyak warga yang tinggal dan menetap di tengah lahan PTPN. Menurutnya, lahan yang ditempati warga itu adalah lahan eks bengkok atau lahan milik desa yang berada di tengah lahan PTPN, bukan lahan milik PTPN seperti pengakuan warga.
Warga itu bekerja di PTPN sebagai pekerja borongan atau tenaga harian lepas. Mereka akan bekerja jika PTPN sedang membutuhkan tenaganya.
“Di Kebun Silosanen itu, ada masyarakat yang saya tahu, yang tinggal di tengah-tengah kebun, tapi itu bukan lahan PTPN. Itu lahannya eks bengkok atau lahan desa yang memang di luar HGU (Hak Guna Usaha), di luar kebun milik PTPN, yang memang ditinggali masyarakat, yang juga dalam kesehariannya masyarakat di situ bekerja sebagai pekerja borongan. Ada yang bekerja lepas, ada yang bekerja borongan,” kata Rizal.
Rizal menyampaikan, jumlah tenaga borongan di
Perkebunan Silosanen
sebanyak 15.453 orang. Mereka berasal dari Desa Pace dan Desa Mulyorejo yang meliputi Dusun Baban Timur, Baban Barat dan Silosanen.
Jika musim panen kopi, penghasilan mereka Rp 57.000 – Rp 60.000 per hari. Namun jika tidak musim panen, penghasilan mereka tidak menentu.
Pantauan tim
Ekspedisi Nusaraya Kompas.com
di Perkebunan Silosanen, banyak warga yang hidupnya memprihatinkan. Mereka tinggal di rumah sederhana yang disediakan oleh PTPN. Mereka bahkan tidak memiliki sejengkal tanah pribadi.
Salah satunya adalah Buniman (65) yang tinggal di Afdeling Kampongan. Sampai saat ini, meski sudah bertahun-tahun tinggal di tengah lahan perkebunan, bahkan sejak dari kakek buyutnya, Buniman tidak memiliki sejengkal tanah pun. Rumah yang ditempatinya sejak lahir bukan miliknya pribadi.
“Saya memang lahir di sini,” katanya dalam bahasa Madura.
Buniman bekerja sebagai pekerja harian lepas atau yang disebut sebagai pekerja borongan. Karena statusnya ini, pekerjannya tidak menentu. Jika tidak waktunya panen, dia hanya dipekerjakan 5 hari hingga 7 hari dalam 15 hari dengan upah Rp 40.000 per hari.
Penghasilan ini jauh dari kata cukup. Sebab Buniman menjadi tulang punggung keluarga untuk enam anggota keluarganya.
Di rumah yang sempit dan sudah lapuk itu, Buniman tinggal bersama istrinya bernama Iyem (62) yang kini sedang sakit stroke; anak ketiga, keempat dan kelimanya yang bernama Iflah (31), Umar (26) dan Ferdi (19); serta dua cucunya yang merupakan anak dari Iflah.
Sedangkan anak pertamanya bernama Sinar meninggal dunia dan anak keduanya bernama Baihaqi bekerja sebagai buruh bangunan di Bali.
Untuk mencukupi kebutuhan hidup, Buniman terkadang bekerja menggarap lahan warga yang ada di luar kebun dengan upah Rp 50.000 per hari. Pekerjaan ini pun tidak menentu karena bergantung pada warga yang membutuhkan tenaganya.
“
Mon tadek kalakoan e kebbun, tak alakoh. Kadeng mon bedeh petani, alakoh ka petani
(Kalau tidak ada pekerjaan di kebun PTPN, kadang bekerja ke petani kalau ada petani yang butuh merawat tanaman),” katanya.
Sebagai tambahan penghasilnya pula, Buniman memelihara dua ekor sapi. Bukan miliknya, sapi itu adalah milik orang lain yang dipeliharanya. Hasilnya nanti akan dibagi dua dengan pemilik.
“
Ngalak owanan
(mengambil peliharaan),” katanya.
Bupati Jember Muhammad Fawait mengakui bahwa jumlah warga miskin ekstrem di Jember masih tinggi, bahkan tertinggi di Jawa Timur.
Dia bertekat untuk mengatasi itu dengan kendala yang harus dihadapi. Sebab, warga yang miskin ektrem itu tinggal di tengah lahan BUMN.
Gus Fawait menyebutkan salah satu contoh yang menjadi kendala pengentasan kemiskinan ekstrem di tengah lahan PTPN.
Berdasarkan aturan, warga yang bisa mendapatkan bantuan pertanian dari pemerintah adalah petani karena memiliki lahan. Sedangkan, warga yang tinggal di tengah lahan PTPN masuk kategori buruh tani dan tidak punya lahan sehingga tidak bisa menerima bantuan pertanian.
“Yang kami bikin bingung adalah ketika mereka tinggal berada di pinggir perlahan milik BUMN. Tapi kita tidak berpangku tangan. Ke depan, kami akan pikirkan mereka,” katanya.
“Beberapa kendala selama ini kita tidak bisa membantu mereka secara langsung karena mereka tidak punya lahan. Sedangkan secara aturan kan mereka harus punya lahan. Kalau ada bantuan bibit, pupuk, alat pertanian, dan lain sebagainya,” katanya.
Gus Fawait akan berupaya untuk melatih warga yang miskin ekstrem supaya memiliki keterampilan untuk berwirausaha.
“Kami akan melakukan pelatihan. Kami juga akan melatih mereka untuk menjadi UMKM-UMKM baru,” katanya.
Artikel ini merupakan bagian dari perjalanan tim Ekspedisi Nusaraya Kompas.com di Kabupaten Jember, mulai dari 27 November hingga 2 Desember. Klik ini untuk mengikuti seluruh rangkaian perjalanan kami.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
BUMN Ini Tidak Tahu Ada Warga Miskin Ekstrem Tinggal di Tengah Lahannya Regional 6 Desember 2025
/data/photo/2025/12/03/693056f1eba70.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)