Liputan6.com, Jakarta – Dalam konversi ke kalender Masehi, malam 1 Suro akan jatuh pada hari Kamis malam, 26 Juni 2025, dimulai sejak waktu maghrib. Sementara itu, hari 1 Suro itu sendiri akan jatuh pada hari Jumat, tanggal 27 Juni 2025. Malam 1 Suro menjadi malam yang paling ‘spesial’ bagi masyarakat Jawa. Termasuk dengan hidangannya. Salah satu hidangan yang kerap muncul adalah Bubur Suro.
Bubur Suro menjadi hidangan khas, khususnya bagi masyarakat Jawa saat menjelang perayaan tahun baru Islam. Bukan sekadar hidangan, Bubur Suro menjadi simbol rasa syukur dan harapan akan keberkahan di tahun yang baru. Penyajiannya pun tidak sembarangan, ada waktu-waktu khusus yang dianggap tepat untuk menikmati bubur suro.
Secara tradisional, Bubur Suro disajikan pada malam menjelang 1 Suro (1 Muharram) dalam kalender Jawa, yang bertepatan dengan Tahun Baru Islam. Namun, penyajiannya tidak terbatas pada malam itu saja. Masyarakat juga sering menyajikan Bubur Suro sepanjang bulan Muharram.
Selain itu, Bubur Suro juga hadir dalam momen-momen penting lainnya, seperti malam Jumat Kliwon, acara syukuran, atau peringatan hari besar Islam. Hal ini menunjukkan bahwa Bubur Suro memiliki nilai yang sakral dan istimewa bagi masyarakat Jawa.
Penyajian Bubur Suro pada waktu-waktu tertentu ini bukan tanpa alasan. Masyarakat percaya bahwa dengan menyajikan Bubur Suro, mereka dapat memperoleh berkah dan keberuntungan di tahun yang baru.
Bubur Suro bukan sekadar hidangan, melainkan simbol rasa syukur kepada Tuhan atas berkah dan rezeki yang diterima sepanjang tahun. Ia juga menjadi sarana introspeksi diri dan harapan untuk masa depan yang lebih baik.
Setiap bahan dalam Bubur Suro memiliki makna simbolis tersendiri. Beras melambangkan kemakmuran, santan melambangkan kelembutan dan keharmonisan, sementara tujuh jenis kacang mewakili tujuh hari dalam seminggu yang diberkahi.
Dengan memahami makna simbolis dari setiap bahan, kita dapat semakin menghargai nilai-nilai luhur yang terkandung dalam tradisi bubur suro. Bubur Suro bukan hanya sekadar makanan, tetapi juga cerminan dari filosofi hidup masyarakat Jawa.
Bubur Suro terbuat dari beras yang dimasak dengan santan, rempah-rempah tradisional seperti serai dan daun salam, menghasilkan rasa gurih yang khas dan berbeda dari bubur biasa. Keunikannya terletak pada beragam lauk pelengkap yang menyertainya.
Lauk pelengkap bubur suro biasanya terdiri dari tujuh jenis kacang-kacangan (misalnya kacang tanah, kedelai, hijau, mede), tahu, orek tempe atau teri, telur, suwiran jeruk bali, dan buah delima. Kombinasi ini menciptakan cita rasa yang kaya dan kompleks.
Variasi regional juga memengaruhi komposisi dan rasa Bubur Suro. Setiap daerah di Jawa memiliki ciri khas tersendiri dalam menyajikan Bubur Suro, baik dari segi bahan maupun cara penyajian.
Dedi, antropolog UGM kepada Liputan6.com mengatakan, Bubur Suro adalah simbol harmonisasi antara manusia, alam, dan Tuhan.
“Ini bukan hanya kuliner, tapi juga ekspresi kebudayaan yang sangat kental dengan nilai-nilai luhur,” katanya.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4776407/original/060387700_1710761455-WhatsApp_Image_2024-03-18_at_17.54.14__1_.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)