TRIBUNNEWS.COM – Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso mengatakan tidak dipecatnya anggota polisi di Sulawesi Selatan (Sulsel), Bripda FA atau Fauzan usai menikahi mantan pacarnya yang dirudapaksa olehnya adalah wujud keterbatasan hukum di Indonesia.
Mulanya, Sugeng mengatakan apabila dalam kasus ini, Bripda Fauzan merudapaksa anak di bawah umur, maka dirinya tidak mungkin batal dipecat karena tindakannya sudah masuk dalam ranah tindak pidana.
“Perbuatan tindakan asusila, kalau anak di bawah umur, maka itu adalah tindak pidana dan itu tidak bisa dibantah lagi,” katanya kepada Tribunnews.com, Minggu (12/1/2025).
Namun, ketika Bripda Fauzan menikahi mantan pacarnya yang dirudapaksa dan merupakan perempuan dewasa, maka proses hukum yang terjadi tidak sesimpel seperti kasus rudapaksa terhadap anak di bawah umur.
Pasalnya, kata Sugeng, kasus tersebut sudah masuk sebagai delik aduan.
Sugeng mengatakan hal ini justru wujud keterbatasan sistem hukum di Indonesia karena bisa menjadi strategi Bripda Fauzan untuk menghindari sanksi pemecatan atau pidana.
Adapun hal yang dilakukan adalah dengan menikahi korban sehingga bisa dianggap sebagai upaya agar korban mencabut laporannya.
Sugeng mengatakan ketika pelaku menikahi korban, maka hal tersebut dianggap sebagai penyelesaian masalah secara restorative justice.
“Kalau delik aduan, maka pintu delik aduan ini bisa menjadi strategi dari pihak pelaku untuk melumpuhkan sanksi atau ancaman kepada dirinya apabila terjadi restorative justice.”
“Misalnya, terjadi kesepakatan bahwa dia (Bripda Fauzan) menikahi. Maka korban bisa mencabut laporan tersebut. Nah, inilah keterbatasan hukum kita ketika pencabutan laporan tersebut dengan menikahi, maka tindakan asusila ini dianggap dimaafkan,” jelasnya.
Sugeng mengatakan siapapun boleh menyatakan bahwa Bripda Fauzan telah mengakali hukum di Indonesia.
Namun, imbuhnya, fakta bahwa Bripda Fauzan mau menikahi korban asusila yang diakibatkan olehnya adalah fakta hukum.
“Jadi bisa menjadi alasan untuk meringankan hukuman pemecatan. Jadi ini kan itikad banding,” katanya.
Hanya saja, Sugeng meyakini upaya Bripda Fauzan dengan menikahi mantan pacarnya tersebut memang semata-mata hanya bertujuan untuk menghindari sanksi pemecatan alih-alih wujud pertanggung jawaban.
Hal tersebut dibuktikan dengan adanya dugaan bahwa Bripda Fauzan melakukan penelantaran terhadap korban sejak pertama kali menikah.
Adapun hal itu dikatakan oleh kuasa hukum korban, Muhammad Irvan.
“Kalau dia kemudian menelantarkan, maka terlihat satu akal bulus atau licik (dari Bripda FA),” pungkas Sugeng.
Bripda FA Kembali Aktif Jadi Polisi, Kini Korban Laporkan Pelaku soal Penelantaran
Sebelumnya, Polda Sulawesi Selatan (Sulsel) membenarkan bahwa Bripda Fauzan kembali aktif menjadi anggota polisi setelah mengajukan banding terkait sanksi pemecatan kepadanya atas kasus dugaan asusila terhadap mantan kekasihnya.
Adapun banding Bripda Fauzan berujung dikabulkan sehingga sanksi pemecatan dibatalkan.
Salah satu memori banding Bripda Fauzan adalah dengan menikahi mantan kekasihnya tersebut.
“Memang awalnya sanksi PTDH. Tapi karena dia (Bripda Fauzan ) banding dan diterima karena sepakat untuk menikahi mantan pacarnya,” kata Kabid Humas Polda Sulsel, Kombes Didik Supranoto, Minggu (12/1/2025), dikutip dari Kompas.com.
Meski tidak dipecat, Didik menegaskan Bripda Fauzan tetap diberi sanksi berupa demosi atau penundaan kenaikan pangkat selama 15 tahun dan mutasi.
“Sanksinya itu demosi 15 tahun dan mutasi,” jelas Didik.
Di sisi lain, Bripda Fauzan kini menghadapi laporan anyar dari istrinya karena diduga melakukan penelantaran.
“Laporan (KDRT) dan etiknya masih dalam proses. Tetapi, nanti saya konfirmasi dulu sudah sejauh mana prosesnya,” katanya.
Kuasa hukum keluarga korban, Muhammad Irvan, membenarkan bahwa Bripda Fauzan kini memang masih menjadi anggota polisi dan bertugas di Sat Samapta Polres Toraja Utara.
Selain itu, Irvan juga membenarkan pernyataan Didik bahwa Bripda FA kembali dilaporkan atas dugaan penelantaran keluarga.
“Iya kami laporkan (Bripda Fauzan) terkait penelantaran rumah tangga,” ucap Irvan.
Penelantaran Bripda Fauzan terhadap istrinya, kata Ivan, berupa menolak tinggal satu atap hingga tak memberikan nafkah yang layak.
Bahkan, Bripda Fauzan sudah tidak tinggal satu rumah dengan istrinya sejak pertama kali nikah.
“Di hari pertama pernikahannya langsung ditinggalkan. Di Makassar hingga di Toraja Utara, korban ditolak serumah. Jadi korban ini tinggal di kos sendiri. Kalau korban sakit juga diacuhkan,” kata Irvan.
Korban, kata Irvan, selalu berupaya untuk memposisikan dirinya sebagai istri, seperti menghubungi Bripda Fauzan hingga aktif dalam kegiatan Bhayangkari.
Dengan fakta ini, Irvan menduga alasan Bripda Fauzan menikahi sang istri untuk menghindari sanksi pemecatan.
“Jadi, kuat dugaan kami, dia (Bripda Fauzan) ini menikahi korban karena ingin lolos PTDH,” pungkasnya.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)(Kompas.com/Reza Rifaldi)