PIKIRAN RAKYAT – Singapura, negara kota yang selama ini dikenal sebagai surga kuliner Asia, kini tengah menghadapi gelombang krisis yang mengancam warisan gastronominya.
Tahun 2025 mencatat rekor baru: rata-rata 307 restoran dan tempat makan gulung tikar setiap bulan, menjadikannya angka penutupan tertinggi dalam sejarah industri makanan dan minuman (F&B) negara tersebut.
Menurut laporan Reuters yang dirilis Kamis, 9 April 2025, lonjakan penutupan restoran terjadi karena kombinasi dari biaya operasional yang meroket dan penurunan daya beli masyarakat.
“Rasio penutupan dibandingkan pembukaan pada tahun 2025 dan 2024 lebih tinggi dibandingkan sebelum dan selama pandemi, menunjukkan adanya penyusutan sektor,” ujar Reuters.
Biaya Tinggi, Pengunjung Menyusut
Krisis ini tak pandang bulu. Baik restoran bintang Michelin, gerai zi char, hingga kios hawker legendaris turut terdampak. Sewa, utilitas, bahan makanan, dan gaji pekerja kini membebani pelaku usaha kecil-menengah yang sebelumnya menjadi tulang punggung industri kuliner Singapura.
Salah satu contohnya adalah restoran Wine RVLT, yang memutuskan untuk tidak memperpanjang sewanya pada Agustus setelah hampir 10 tahun beroperasi. Alvin Goh, salah satu pendirinya, mengungkapkan kepada Reuters bahwa sejak Juni 2023, mereka harus menggunakan dana pribadi untuk menutupi biaya sewa dan menggaji karyawan.
“Kami sudah tidak sanggup menanggung kerugian. Ini keputusan yang menyakitkan tapi tak terelakkan,” ujarnya.
Makan di Luar Tak Lagi Menarik
Setelah sempat pulih pada tahun 2022 pascapandemi, minat masyarakat Singapura untuk makan di luar justru terus menurun. Selain meningkatnya harga-harga, gaya hidup juga ikut berubah. Banyak warga kini lebih memilih memasak di rumah atau bahkan bepergian ke luar negeri untuk menikmati makanan yang lebih murah.
“Satu steak di restoran bisa seharga S$40 hingga S$50, padahal saya bisa masak sendiri di rumah dengan bahan seharga S$20,” ucap seorang warganet di forum Reddit.
Jika dikonversi, S$40–S$50 setara dengan Rp470 ribu–Rp590 ribu, sedangkan S$20 sekitar Rp236 ribu. Sementara itu, seporsi pasta aglio olio di restoran yang dijual S$15 atau sekitar Rp177 ribu, dianggap tidak sebanding dengan bahan dasarnya yang murah.
Bencana Bagi Keberagaman Rasa
Fenomena penutupan ini bukan sekadar kehilangan tempat makan, tapi juga bisa berdampak pada keragaman dan kekayaan budaya kuliner lokal. Blogger makanan ternama Singapura, Seth Lui, mengungkapkan keprihatinannya.
“Kita akan mulai melihat lebih banyak konsep makanan cepat saji dengan otomatisasi dan merek waralaba di mana-mana, daripada konsep unik yang merepresentasikan kekayaan cita rasa lokal,” tuturnya.
Seth Lui menegaskan, jika tren ini berlanjut, identitas kuliner Singapura bisa terkikis.
Bahkan komunitas daring di Reddit pun bereaksi keras. Beberapa pengguna menulis dengan nada marah.
“Penyewa yang memungut sewa tinggi hanya untuk membayar utang mereka sendiri adalah masalah utama!” ujar seorang pengguna.
“Mereka selalu bilang inflasi penyebab semuanya, tapi yang bikin usaha makanan kolaps itu jelas sewa,” kata yang lainnya.
Dominasi Waralaba, Zi Char Lokal Terpinggirkan
Banyak pengamat dan masyarakat khawatir bahwa jika tren ini tak dihentikan, restoran lokal akan tergantikan oleh jaringan waralaba generik seperti malatang, Mixue, atau Luckin Coffee. Tempat-tempat yang dulunya menyajikan menu khas dan autentik kini digantikan oleh restoran dengan konsep seragam dan standar global.
“Ya, saya lebih suka mendukung tempat zi char lokal saya daripada waralaba asing itu. Karena begitu tempat zi char menghilang, tidak ada jalan kembali,” tutur seorang pengguna Reddit.
Meski kelam, beberapa pihak percaya krisis ini bisa menjadi momentum untuk mereformasi industri F&B Singapura. Solusi yang ditawarkan antara lain:
Insentif pajak dan keringanan sewa untuk UMKM kuliner lokal Subsidi bahan baku bagi usaha kecil Promosi kembali makan di luar melalui festival kuliner lokal Digitalisasi dan efisiensi operasional agar pengusaha kecil bisa bersaing
Namun tanpa dukungan nyata dari pemerintah dan masyarakat, prediksi buruk tampaknya akan menjadi kenyataan. Dalam situasi saat ini, lebih dari sekadar bisnis yang hilang—identitas nasional Singapura sebagai “panggung rasa Asia” pun ikut terancam.
“Kita bisa kehilangan warisan kuliner kita sendiri jika terus begini. Makanan bukan sekadar bisnis, tapi cermin dari siapa kita sebagai bangsa,” kata Seth Lui, dikutip Pikiran-Rakyat.com dari The Independent.***
