Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

BI Rate Turun Jadi 5,75%, Ramai Ekonom Kaget

BI Rate Turun Jadi 5,75%, Ramai Ekonom Kaget

Jakarta, CNBC Indonesia – Keputusan dewan gubernur Bank Indonesia (BI) untuk memangkas suku bunga BI Rate sebesar 25 basis points (bps) menjadi 5,75% pada Januari 2025 membuat sejumlah kalangan ekonom terkejut. Sebab, pemangkasan ini dilakukan BI tatkala kurs rupiah malah sedang tertekan di level .

Pasca Gubernur BI Perry Warjiyo mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI Januari 2025 pada pukul 14.00 WIB tadi, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pun langsung tertekan lebih dalam. Dilansir dari Refinitiv, rupiah ditutup melemah 0,34% di angka Rp16.315/US$ pada hari ini, Rabu (15/1/2025). Hal ini berbanding terbalik dengan posisi kemarin (14/1/2025) yang menguat 0,06%.

Di sisi lain, konsensus CNBC Indonesia yang dihimpun dari 15 lembaga/institusi secara absolut memproyeksikan bahwa BI akan kembali menahan suku bunganya di level 6%. Maka, tak heran bahwa sejumlah ekonom kenamaan di dalam negeri terkejut dengan keputusan BI, karena BI juga telah menahan suku bunganya selama empat bulan beruntun.

Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menjadi salah satu ekonom yang mengaku terkejut dengan keputusan dewan gubernur BI hari ini. Ia mengungkapkan, ini karena kurs rupiah saat ini tengah tertekan, meskipun dari sisi tekanan inflasi sangat terkendali.

“Iya ini unexpected. Dari segi inflasi memang sangat terkendali, sehingga ada ruang untuk dorong pertumbuhan. Tapi, memang kurs juga agak tertekan,” tegas David kepada CNBC Indonesia, Rabu (15/1/2025).

Meski begitu, David mengakui untuk menghadapi tekanan kurs saat ini, BI memiliki banyak senjata, di antaranya ialah melalui instrumen operasi moneter Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang memiliki suku bunga atau imbal hasil sangat cukup menarik. Suku bunga SRBI untuk tenor 6, 9, dan 12 bulan per 10 Januari 2025 di level 7,06%; 7,10%; dan 7,23%.

“Jadi BI tampaknya akan mencoba jaga attractiveness Rupiah via SRBI rate yang relatif menarik,” tegas David.

Kepala Ekonom Bank Syariah Indonesia (BSI) Banjaran Surya Indrastomo juga menjadi salah satu ekonom yang mengungkapkan keterkejutannya. Namun, ia menitikberatkan bahwa kebijakan pemangkasan BI Rate ini dilakukan saat surat berharga di dalam negeri tengah dalam posisi tertekan.

Sebagaimana diketahui, pada pekan kedua Januari 2025, berdasarkan catatan Bank Indonesia, pasar SBN Indonesia mulai bergejolak, karena para investor mulai melakukan aksi jual neto sebesar Rp 2,9 triliun, padahal pada pekan pertama Januari 2025 masih tercatat beli neto Rp 1,94 triliun.

“Jadi timingnya cukup surprising, mengingat ada tekanan ke surat berharga dalam negeri. Upside nya memang masih ada ruang karena Fed Fund Rate (suku bunga Bank Sentral AS) dan BI rate ada gap 1,5%, dan ini membantu mengurangi beban utang pemerintah,” ucap Banjaran.

Kendati demikian, Banjaran mengakui, keputusan penurunan BI Rate tersebut sejalan dengan pelemahan nilai tukar rupiah pada Januari 2025 yang lebih rendah dibandingkan pelemahan nilai tukar negara yang memiliki kapasitas ekonomi setara dengan Indonesia.

BI pun mencatat nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS pada Januari 2025 (hingga 14 Januari 2025) hanya melemah sebesar 1,00% (ptp) dari level nilai tukar akhir 2024. Perkembangan ini relatif lebih baik dibandingkan dengan mata uang regional lainnya, seperti rupee India, peso Filipina, dan baht Thailand yang masing-masing melemah sebesar 1,20%; 1,33%; dan 1,92%.

“⁠Keputusan tersebut juga didorong oleh tetap rendahnya perkiraan inflasi pada 2025 dan upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi,” ucap Banjaran.

Ekonom Bank Danamon Hosianna Evalita Situmorang juga mengaku terkejut atas keputusan hasil RDG BI bulan ini. Ia mengatakan, BI secara tak terduga memangkas suku bunga acuan menjadi 5,75% di tengah kondisi kurs yang tengah bergerak di level Rp 16.300/US$.

“Dengan Rupiah yang berpotensi bergerak di sekitar 16.300 pada kuartal I-2025, mengikuti tren mata uang Asia lainnya seperti Baht Thailand, Peso Filipina, dan Rupee India, tekanan depresiasi berpotensi masih akan terus berlanjut,” ucap Hosianna.

Ia menganggap, sebagai respons dari kebijakan BI Rate ini, di tengah tekanan kurs, BI akan mempertahankan penerbitan SRBI untuk menjaga stabilitas rupiah terhadap dolar AS. Hosianna memperkirakan penerbitan obligasi secara bruto instrumen itu akan meningkat menjadi Rp 1,44 triliun.

“Untuk mengelola likuiditas, Bank Indonesia akan memperkuat koordinasi antara kebijakan moneter dan fiskal, termasuk meningkatkan pembelian obligasi pemerintah di pasar sekunder melalui pengalihan utang,” tuturnya.

Di luar tiga ekonom itu, sebetulnya juga ada beberapa ekonom yang tak terkejut dengan keputusan BI, di antaranya ialah Head of Macroeconomic and Financial Market Research Permata Bank Faisal Rachman. Ia mengatakan, sebetulnya ruang keputusan pemangkasan suku bunga acuan oleh dewan gubernur BI itu telah terbuka sejak Desember 2024.

“Keputusan BI dalam RDG bulan Januari 2025 untuk memotong BI-rate sebesar 25 bps ke 5,75% tidak terlalu mengejutkan. Karena sebenarnya ruang pemotongan sudah ada sejak Desember 2024 seperti penjelasan kami bulan Desember lalu,” tutur Faisal.

Meski nilai tukar rupiah memang cenderung melemah bulan Januari 2025 ini, namun Faisal mengingatkan, permasalahan tekanan kurs ini ini merupakan fenomena global, karena dolar AS menguat hampir ke semua mata uang dunia, seiring dengan ketidakpastian global yang tetap berlangsung. BI pun menganggap tekanan kurs ini sudah mulai dapat terukur dan terkendali.

Yang menjadi masalah adalah risiko pada sisi pertumbuhan ekonomi semakin meningkat. Pertumbuhan ekonomi pada 2025 menurutnya kemungkinan akan tertekan baik dari faktor dalam maupun luar negeri. Dari luar negeri, risiko Trade War akibat Trump 2.0 akan berisiko menurunkan kinerja ekspor Indonesia.

Sementara itu, dari dalam negeri, risiko pelemahan tingkat permintaan akan berlanjut, seperti yang terindikasi dari inflasi yang sangat rendah mendekati batas bawah target sasaran, yang menunjukkan lemahnya tingkat permintaan.

“Jadi langkah BI ini sebenarnya sudah sesuai dengan view kami sebelumnya, namun pemotongan di Desember tertunda ke Januari,” ucap Faisal.

Ekonom Bank Maybank Indonesia Myrdal Gunarto juga memiliki sikap serupa dengan Faisal. Ia mengaku tak terkejut dengan keputusan Perry Cs karena sinyal ekonomi melemah sudah ia wanti-wanti sedari lama, sehingga terus mendorong BI untuk menurunkan suku bunga acuannya.

“Saya sebenarnya tidak kaget ya karena dari beberapa bulan yang lalu saya sih juga menyuarakan supaya suku bunga BI rate ini turun ya demi mendongkrak performa ekonomi Indonesia, terutama dari sisi sektor riil yang memang masyarakat kita butuh suku bunga yang lebih rendah, baik itu untuk kebutuhan bisnis maupun untuk kebutuhan terkait konsumsi,” kata Myrdal.

Ia pun menganggap wajar BI Rate awal tahun ini turun, karena transmisi imported inflation dari pelemahan kurs beberapa waktu terakhir tidak terjadi, tercermin dari angka inflasi yang sangat rendah di level 1,57% pada 2024.

“Dan gap antara BI rate dan inflasi juga sangat lebar jadi sebenarnya masih banyak ruang untuk BI rate turun dan ditambah lagi kita lihat pressure imported inflation ke depan nya pun juga so far so good, kalau kita lihat tidak terlalu melonjak,” ucapnya.

“Apalagi kalau kita cermati dari pergerakan harga komoditas terutama minyak juga saat ini sulit untuk melonjak signifikan, walaupun ada perang di mana-mana tapi harga minyak masih konsisten di bawah level US$ 82 per barel,” tegas Myrdal.

Ia menekankan, BI rate yang rendah saat ini sangat dibutuhkan Indonesia karena untuk menyinergikan antara kebijakan fiskal yang sudah sangat didesain tahun ini untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berpotensi melemah.

Di sisi lain, program-program prioritas Presiden Prabowo Subianto juga ia ingatkan sebetulnya butuh dukungan dari kebijakan moneter yang longgar dari BI, di antaranya ialah program pembangunan 3 juta rumah per tahun, dan berbagai program penyelamatan daya beli supaya penjualan barang tahan lama seperti otomotif dapat kembali bergeliat.

“Jadi walaupun pemerintah sudah jor-joran beri insentif fiskal dan PPN yang naik hanya diberikan untuk beberapa golongan yang sangat selektif tapi kalau misalnya BI rate tidak turun ini kelihatannya kurang greget ya makanya kita apresiasi lah BI rate sudah turun,” ungkapnya.

(arj/haa)