Jakarta, CNBC Indonesia – Bank Indonesia (BI) mengungkapkan efek kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12% terhadap barang mewah dipastikan tidak akan memberikan dampak besar pada laju inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK).
Deputi Gubernur BI Aida S. Budiman menjelaskan PPN 12% dikenakan kepada barang-barang premium, yakni bahan makan premium, jasa pendidikan, kesehatan premium, serta listrik rumah tangga 3.500 hingga 6.600 VA.
“Kedua, kita lihat bobotnya (kategori barang kena PPN) di IHK, kita pakai SBH 2022, ternyata jumlahnya 52,7%. Baru kita hitung dampaknya ke inflasi,” kata Aida dalam konferensi pers RDG Bank Indonesia, Rabu (16/12/2024).
Aida mengungkapkan dalam menghitung dampak PPN ini, BI harus memakai asumsi. Asumsi rata-rata histori yang digunakan mempertimbangkan pass through jika pajak meningkat dan harga ikut naik. Terkadang, ketika pajak meningkat, pengusaha atau perusahaan kadang bisa menanggung kenaikan ini dari keuntungan mereka.
Namun, berdasarkan data BI, sebanyak 50% di-passthrough atau dibebankan ke konsumen. Dari hitungan BI, efek inflasinya mencapai 0,2%.
“Akibatnya kenaikan inflasi 0,2%. Ini tidak besar karena hasil perhitungan kami sedikit di atas 2,5% plus minus 1% dari target 2025,” ujarnya.
Aida pun menjelaskan mengapa inflasi terjaga rendah, karena ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi, salah satunya penurunan harga komoditas global. Selain itu, BI tetap konsisten dalam menjaga kebijakan moneter dan ekspektasi inflasi.
Tidak hanya itu, untuk menjaga sasaran inflasi, sinergi BI, pemerintah pusat dan pemerintah daerah cukup baik, terutama dalam menjaga volatile food.
Selain itu, Aida menuturkan dampak kenaikan PPN 12% bisa mencapai 0,02%-0,03% terhadap PDB. BI menilai dampaknya tidak besar. Namun, Aida menegaskan semua pihak tidak bisa menghitung secara demikian karena pemerintah juga meluncurkan paket stimulus ekonomi 2025.
(haa/haa)