Bertambah Lagi Warga Bantul Jadi Korban Mafia Tanah, Modusnya Sama
Tim Redaksi
YOGYAKARTA, KOMPAS.com
–
Polres Bantul
sedang menyelidiki kasus dugaan
mafia tanah
yang menimpa seorang warga Kasihan,
Bantul
, DI Yogyakarta.
Modus operandi yang digunakan adalah menawarkan bantuan untuk balik nama sertifikat, namun proses tersebut tidak pernah terealisasi dan sertifikat malah digunakan sebagai agunan bank.
Setidaknya, ini sudah kasus ke-3 di Bantul dengan modus yang serupa.
Kasi Humas Polres Bantul, AKP I Nengah Jeffry Prana Widnyana, menjelaskan bahwa peristiwa ini bermula ketika korban berinisial IR (40) bertemu dengan MWE (48), seorang warga Wirogunan, Mergangsan, Kota Yogyakarta, pada Senin, 10 April 2023.
Saat itu, IR memang berniat untuk membalik nama sertifikatnya, dan MWE menawarkan jasanya dengan biaya yang disepakati sebesar Rp 11,4 juta.
“Terlapor menjanjikan antara 1-2 tahun sertifikat selesai,” ungkap Jeffry saat dihubungi wartawan melalui telepon pada Kamis (8/5/2025).
Jeffry menambahkan, IR telah menyerahkan sertifikat dan uang tunai sebesar Rp 11,5 juta kepada MWE. Namun, hingga tahun lalu (2024), tidak ada perkembangan dalam proses tersebut.
Situasi semakin memburuk ketika pada 11 November 2024, IR didatangi oleh petugas bank swasta.
“Pihak bank menerangkan bahwa sertifikat korban dengan nomor HM 04210 telah dijaminkan oleh terlapor,” jelasnya.
Setelah menyadari penipuan tersebut, IR mencoba menghubungi MWE, namun tidak bisa dijangkau.
Usaha pencarian pun dilakukan, tetapi MWE sudah tidak dapat ditemukan.
Akhirnya, korban melaporkan kasus ini ke Polres Bantul, dan saat ini penyelidikan sedang berlangsung.
Sebelumnya, ada 2 kasus mafia tanah yang membuat resah masyarakat, yaitu kasus tanah Mbah Tupon dan Bryan Manov. Keduanya adalah warga Bantul.
Saat ini, Polda Yogyakarta sedang menyelidiki kedua kasus tersebut. Sertifikat tanah milik Mbah Tupon dan Bryan Manov pun sudah diblokir untuk kepentingan penyelidikan.
Kasus mafia tanah di Bantul tahun 2025 ini mencuat ketika Mbah Tupon (68), warga Ngentak, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), diberitakan terancam kehilangan tanah seluas 1.655 meter persegi dan bangunan berupa dua rumah. Sebab, sertifikat pada tanah itu telah beralih nama.
Kronologi peristiwa tersebut bermula pada pada 2020, saat itu Mbah Tupon hendak menjual sebagian tanah miliknya, yaitu 298 meter persegi dari total 2.100 meter persegi.
Pembeli berinisial BR ingin membeli tanah milik Mbah Tupon seluas 298 meter persegi.
Pada momen itu, Mbah Tupon juga menghibahkan sebagian tanahnya untuk jalan seluas 90 meter persegi, dan setelah itu ia menghibahkan tanah seluas 54 meter persegi untuk gudang RT.
Sertifikat tanah tersebut lantas dipecah. Untuk sertifikat tanah hibah tersebut sudah jadi.
Lalu, BR menawarkan memecah sertifikat pada sisa tanah seluas 1.655 meter persegi menjadi 4 sertifikat. Empat sertifikat tanah itu rencananya akan atas nama Mbah Tupon dan anak-anaknya sebanyak tiga orang.
Namun yang terjadi adalah sertifikat milik Mbah Tupon itu sudah beralih tangan, dengan atas nama inisial IF. Sertifikat ini lalu diagunkan ke bank dengan utang senilai Rp 1,5 miliar.
Pihak bank lalu datang ke rumah Mbah Tupon dengan membawa salinan sertifikat tersebut dan menyampaikan kepada anak Mbah Tupon bahwa sertifikat telah diagunkan.
Selama uang telah diterima IF, yang bersangkutan tak pernah mengangsur selama 4 bulan. Alhasil tanah dan dua rumah milik keluarga Mbah Tupon dilelang tahap pertama oleh bank.
Kasus mbah Tupon ternyata memicu laporan lain dari warga Bantul bernama
Bryan Manov Qrisna Huri
(35) di Argajadan, Tamantirto, Kasihan.
Ia diberitahu bahwa tanah warisan keluarganya sudah beralih kepemilikan atas nama orang lain dan telah diagunkan ke bank.
Menurut Bupati Bantul Abdul Halim Muslih, kasus Bryan ini memiliki kesamaan dengan kasus yang menimpa Mbah Tupon, namun dalam konteks yang lebih ekstrem.
“Jadi ada kisah yang mirip tetapi ini lebih ekstrem lagi. Tidak ada satupun tanda tangan keluarga Mas Bryan itu, kok tiba-tiba sertifikat itu berubah nama. Ini lebih ekstrem lagi dibanding Mbah Tupon,” ujar Halim kepada wartawan di Bantul, Rabu (7/5/2025).
Dalam perbandingan dengan kasus Mbah Tupon, Halim menjelaskan bahwa Mbah Tupon tidak dapat membaca dan menulis, sehingga ia menandatangani dokumen yang disiapkan oleh orang yang sebelumnya dipercaya. Namun, dalam kasus keluarga Bryan, Halim mencurigai adanya pemalsuan dokumen.
“Gimana bisa beralih kalau tidak ada akta jual beli, kan tidak mungkin. Dan dalam akta apapun pasti diperlukan tanda tangan pemilik sertifikat, dan itu tidak pernah ada,” tegas Halim.
Lebih lanjut, Halim menyatakan bahwa tidak ada anggota keluarga Bryan yang buta huruf. Dia juga mencatat bahwa terdapat indikasi keterlibatan pihak-pihak yang sama dalam kedua kasus tersebut.
“Ada indikasi mafianya sama, karena investigasi kok menemukan nama-nama yang mirip. Tapi apakah orangnya sama atau tidak masih terus didalami,” ungkapnya.
Halim menambahkan bahwa transaksi pemindahan nama dalam kedua kasus, baik Mbah Tupon maupun Bryan, telah melibatkan pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Menurutnya, petugas penarik tidak memiliki kepentingan untuk memvalidasi sertifikat tersebut atas nama siapa sebenarnya.
“Jadi keduanya memang meyakinkan bahwa telah terjadi peralihan hak, buktinya mereka bayar BPHTB. Ini berarti akta jual belinya palsu, dan yang mengherankan memang sertifikatnya itu bisa demikian mudah beralih ke tangan orang lain tanpa ada pembubuhan tanda tangan sekalipun,” tutup Halim.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Bertambah Lagi Warga Bantul Jadi Korban Mafia Tanah, Modusnya Sama Yogyakarta 8 Mei 2025
/data/photo/2025/02/16/67b19b1d9d9f0.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)