Taipei, CNN Indonesia —
Suhu dingin menyambut saat tiba di Hwaya Technology Park, Distrik Guishan, Kota Taoyuan, Taiwan, jelang penghujung 2023. Sepanjang mata memandang gedung-gedung perkantoran berdiri ditemani hamparan rumput hijau dan pepohonan yang tampak asri.
Hwaya Technology Park adalah kawasan yang diperuntukkan bagi pengembangan dan inovasi teknologi. Di taman sains itu, banyak perusahaan teknologi Taiwan berada, termasuk pabrik-pabrik semikonduktor yang menjadi andalan Negeri Formasa.
Taiwan merupakan pemasok cip semikonduktor terbesar di dunia, tulang punggung perkembangan elektronik dan teknologi dewasa ini. Maklum, semikonduktor merupakan komponen penting dan kerap dianggap sebagai ‘otak’ pada piranti elektronik yang digunakan sehari-hari mulai dari kulkas, televisi, komputer, telepon genggam, hingga kendaraan.
Asosiasi Industri Semikonduktor (SIA) memperkirakan penjualan semikonduktor global mencapai US$588,4 miliar atau sekitar Rp9.114 ribu triliun (asumsi kurs Rp15.490 per dolar AS) tahun ini.
Taiwan merupakan pemain paling dominan. Tercatat, lebih dari 60 persen produksi cip dari lini foundry global berasal dari Taiwan yang dipimpin oleh Taiwan Semiconductor Manufacturing Company Limited (TSMC).
Pagi itu, CNN Indonesia berkesempatan untuk mengunjungi pabrik salah satu produsen semikonduktor besar Taiwan, Win Semiconductors Corp (WIN).
Perusahaan yang berdiri sejak Oktober 1999 ini merupakan produsen cip 6 inchi dari Gallium Arsenida (GaAs) pertama di dunia dan menjadi pemimpin di kelasnya. Cip produksi perusahaan banyak digunakan pada piranti komunikasi seperti telepon pintar hingga wifi.
Setelah diajak melihat proses litograf pada ruang bersih bercahaya kuning, CNNIndonesia berbincang-bincang dengan Chairman WIN Dennis Chen (Chin-Tsai Chen).
Chen mengungkapkan industri semikonduktor Taiwan tidak dibangun dalam semalam. Industri ini merupakan akumulasi dari pengembangan dan konsistensi hingga terbentuk satu rantai produksi.
Taiwan melakukannya secara bertahap mulai dari perakitan, pengemasan, manufaktur semikonduktor (foundry), hingga kini unggul dalam hal riset dan pengembangan.
“Dimulai dari industri yang sangat tradisional, perlahan, perlahan berkembang menjadi industri semi konduktor. Dengan cara ini, seluruh rantai industri terbentuk sedikit demi sedikit,” ujar Chen di kantornya.
Chen menilai modal penting untuk membangun industri berbasis teknologi adalah talenta sumber daya manusia. Beruntung, menurut Chen, Taiwan diberkati oleh warganya yang pekerja keras, berpendidikan tinggi, dan bertanggung jawab besar. Dengan modal itu, Taiwan bisa mewujudkan riset dan pengembangan (R&D) di bidang teknologi yang mumpuni.
Hal itu penting mengingat kebutuhan semikonduktor terus berkembang. Saat ini, lanjut Chen, perkembangan teknologi semikonduktor akan mengarah ke piranti kecerdasan buatan dan internet untuk segala (internet of things).
Selain itu, permintaan semikonduktor masa depan juga akan meningkat untuk piranti realitas virtual, kendaraan listrik, rumah pintar, kota pintar, kendaraan otonom dan komunikasi satelit. Tak ayal, pihaknya juga bersiap untuk mengembangkan infrastruktur dan melakukan riset terkait kebutuhan permintaan itu agar bisa mengimbangi pasar.
“Ada ciri (industri semikonduktor), pabrik baru dibangun ketika permintaan datang, sudah terlambat. Semikonduktor merupakan industri yang berisiko tinggi. Anda harus memprediksi permintaan di masa depan, dan Anda harus membangun pabriknya terlebih dahulu. Jadi belanja modalnya tinggi, risikonya juga tinggi,” terang Chen.
Bersambung ke halaman berikutnya…
Berawal dari Meja Sarapan
Melihat ke belakang, perkembangan industri semikonduktor Taiwan tak bisa lepas dari peran pemerintah yang mengubah ekonomi dari yang tadinya berorientasi ekspor ke teknologi.
Mengutip situs resmi Institut Riset Teknologi Industri (ITRI), pada 1974 lalu, sehari setelah Tahun Baru Imlek, menteri urusan ekonomi Taiwan kala itu Sun Yun-suan sarapan di sebuah kedai di Kota Taipei bersama enam orang pejabat lainnya.
Keenamnya yakni Dirjen Transportasi dan Komunikasi Yu-Shu Kao, Pimpinan Institut Riset Teknologi Industri (ITRI) Chao-chen Wang, Direktur Laboratorium Telekomunikasi Bao-Huang Kang, Sekjen Eksekutif Hua Fei, Dirjen Telekomunikasi Hsien-Chi Fang, dan Direktur Radio Corporation of America (RCA) Wen-Yuan Pan.
Mereka berbincang mengenai cara meningkatkan industri Taiwan yang saat itu masih berorientasi padat karya. Salah seorang dari mereka menyarankan kepada Sun untuk melirik industri sirkuit terpadu (IC), semikonduktor yang digunakan pada alat elektronik.
Setelah itu dimulailah penyusunan cetak biru untuk mengembangkan industri IC berteknologi tinggi dengan melibatkan ITRI yang baru berdiri pada 1973. Sebagai proyek awal, Taiwan menyiapkan anggaran sekitar US$10 juta.
Pada 1976, ITRI bekerja sama dengan RCA untuk melakukan transfer teknologi IC dan kontrak lisensi senilai US$4 juta. RCA memperkenalkan wafer 3 inci ke Taiwan dan mulai mengembangkan teknologi manufaktur semikonduktor.
Selang dua tahun, Taiwan berhasil memproduksi IC yang digunakan untuk jam tangan elektronik. Setelah itu, teknologi semikonduktor kian melaju dan menjadi masa depan industri Taiwan.
SVP ITRI Stephen Su mengungkapkan lembaganya memang berperan dalam membantu industri Taiwan berkembang dan bisa bersaing di kancah internasional.
Selain dari pemerintah, sebagian dana operasional dan riset juga berasal dari industri. Dengan demikian, pihaknya bisa menjadi jembatan untuk memastikan riset terapan yang dilakukan bermanfaat dan menjawab kebutuhan pelaku pasar.
Upaya riset dan pengembangan dilakukan Taiwan secara terbuka dengan menggandeng negara lain. Ketika industri semikonduktor mulai dirintis, ITRI banyak mengirimkan putra-putri terbaik Taiwan untuk belajar ke AS.
Setelah mereka pulang ke Taiwan, mereka menggunakan ilmunya untuk membangun pabrik demo sebelum akhirnya berkembang menjadi pabrik manufaktur.
“Kami pergi ke luar negeri untuk belajar dari pengalaman,” ujar Su saat ditemui di Kantor ITRI di Taipei.
Dengan cara itu, industri semikonduktor Taiwan terus berkembang. Pada saat yang sama, pemerintah dan industri memahami pentingnya peran ITRI. Saat ini, ITRI mendapat alokasi anggaran lebih dari US$600 juta dolar (sekitar Rp9,3 triliun) dan didukung oleh staf dan peneliti sekitar 6.000 orang.
“Kami tidak melakukan penelitian-penelitian yang ujung-ujungnya hanya menulis makalah. Penemuan teknologi adalah penelitian yang kami lakukan untuk membantu masyarakat dan membantu industri berkembang,” terang Su.
Bagaimana dengan Indonesia?
Su menilai Indonesia memiliki keunggulan tersendiri yakni sumber daya alam yang melimpah dan bonus demografi. Kondisi ini berbeda dengan Taiwan yang populasi dan pasar domestiknya relatif kecil.
Untuk membangun industri unggulan, menurut Su, Indonesia bisa fokus pada satu bidang dan mengembangkannya. Tentu, hal itu tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Dalam hal ini, perlu perencanaan, riset, dan peta jalan yang jelas.
Indonesia sendiri sudah memiliki semangat untuk membangun industri unggulan. Hal itu diawali dengan langkah pemerintah melarang ekspor barang mentah, salah satunya nikel.
Sejak 1 Januari 2020, Indonesia melarang ekspor bijih nikel.
Larangan itu dimaksudkan agar industri hilirisasi nikel tumbuh di dalam negeri. Momentum itu pas mengingat kesadaran dunia untuk menciptakan ekonomi hijau kian meningkat, salah satunya dengan mendorong penggunaan kendaraan listrik.
Sementara, nikel merupakan salah satu komponen penting baterai kendaraan listrik. Tak heran, pemerintah bercita-cita agar Indonesia menjadi pemasok baterai kendaraan listrik terbesar di dunia.
Nilai tambah nikel pada 2013 memang sudah melonjak dari US$2,1 miliar menjadi US$33,8 miliar (setara Rp510 triliun) sejak larangan ekspor diberlakukan. Namun, untuk membangun industri baterai kendaraan listrik masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan.
[Gambas:Photo CNN]
Berdasarkan Kementerian Ekonomi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang mengutip United State Geological Survey (USGS), pemanfaatan nikel untuk membuat baterai kendaraan listrik baru 5 persen. Mayoritas nikel masih digunakan untuk membuat baja anti karat (stainless steel).
Perjalanan Indonesia untuk membangun industri unggulan seperti Taiwan memang masih panjang. Kendati demikian, hal itu bukanlah tidak mungkin jika Indonesia terus konsisten dalam mengembangkan industrinya.