Begini Cara Kampus di Jember Perangi Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi, Dosen Pun Jadi Sasaran
Tim Redaksi
JEMBER, KOMPAS.com
– Potensi dosen menjadi pelaku kekerasan seksual (KS) dengan posisi kuasa yang kuat membuat kampus-kampus di Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menciptakan lingkungan aman.
Universitas PGRI Argopuro (Unipar) Jember menjadi salah satu kampus yang secara terbuka mengakui rekam jejak kelam masa lalu ketika masih bernama IKIP PGRI Jember.
Kampus swasta tersebut lantas berupaya keras memperbaiki budaya lama melalui
sosialisasi pencegahan
kekerasan seksual
yang menyasar seluruh unsur civitas akademika, tak hanya mahasiswa tapi juga pimpinan hingga dosen.
Banyak perilaku kekerasan yang dinormalisasi bahkan tak dianggap sebagai KS, menunjukkan bahwa pemahaman terhadap bentuk-bentuk KS masih minim.
Ketua Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi (PPKPT) Unipar, Fanatus Syamsiyah, mengatakan bahwa pengakuan atas masa lalu ini bukan untuk membuka luka lama.
Hal tersebut menjadi pengingat penting mengapa pencegahan harus menyeluruh dan tidak berhenti pada mahasiswa.
“Banyak orang menganggap cat calling atau menjawil tubuh mahasiswa itu bukan kekerasan, padahal itu jelas bentuk kekerasan,” tegasnya, Rabu (26/11/2025).
Dikatakan, baru tahun ini pimpinan yayasan, rektorat, para dekan, kaprodi, seluruh dosen, serta tenaga kependidikan mendapatkan pelatihan langsung soal KS di lingkungan kampus.
Fana menegaskan bahwa pencegahan tidak akan efektif jika hanya membidik mahasiswa, sebab struktur relasi kuasa di kampus membuat dosen dan pimpinan justru memiliki potensi lebih besar menjadi pelaku.
“Pimpinan dan dosen harus menjadi teladan, karena apa yang dilihat mahasiswa jauh lebih berdampak daripada teori,” ujarnya.
Ia menambahkan, masih banyak tindakan kekerasan yang dianggap wajar karena telah dinormalisasi sejak lama di lingkungan sosial maupun akademik.
Karena itu, menurutnya, seluruh civitas akademika wajib paham bentuk-bentuk kekerasan agar tidak ada lagi pembenaran atau dalih ketidaktahuan.
“Dengan sosialisasi ini, tidak ada lagi alasan tidak tahu,” kata Fanatus.
Dalam penanganan kasus, Unipar mengacu pada Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024 yang memungkinkan penerapan sanksi mulai dari teguran tertulis hingga pencopotan jabatan struktural, jika direkomendasikan oleh Satgas.
“Sebagus apa pun Satgasnya kalau tidak didukung keberpihakan pimpinan, sama saja percuma,” ucapnya.
Di luar sistem internal, Unipar juga menggandeng Gerakan Peduli Perempuan (GPP) Jember serta LBH Jentera Perempuan Indonesia untuk pendampingan korban.
Kolaborasi ini memastikan korban dapat memilih jalur nonlitigasi maupun litigasi.
“Kami memastikan korban mendapatkan pendampingan sesuai keinginannya,” tutur Fana.
Sementara itu, dosen Prodi PAUD Unipar, Hendri Siswono, mengakui baru pertama kali mendapatkan pelatihan tentang KS.
Menurutnya, sosialisasi yang didapatkan membuka mata banyak dosen bahwa KS tidak selalu berbentuk kontak fisik, tetapi bisa juga melalui relasi kuasa, ancaman, hingga media sosial.
“Dengan sosialisasi ini kami jadi tahu apa saja yang termasuk kekerasan dan bagaimana menyikapinya,” kata Hendri.
Ia juga mengakui bahwa pengetahuannya tentang kekerasan nonfisik selama ini sangat terbatas.
“Cat calling itu apa, saya belum tahu,” ungkapnya.
Hendri menilai diseminasi informasi kepada dosen sangat penting karena dosen berinteraksi intens setiap hari dengan mahasiswa dan berpotensi menjadi pihak yang tidak hanya mencegah tetapi juga tanpa disadari jadi pelaku.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2025/11/26/6927068fa3612.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)