Jakarta, Beritasatu.com – Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun menilai bahwa penerapan bea keluar emas merupakan instrumen fiskal yang krusial untuk memperkuat struktur industri nasional. Pungutan itu sekaligus memastikan agenda hilirisasi berjalan sesuai arah kebijakan.
Ia menegaskan Indonesia tidak boleh lagi mengekspor emas dalam bentuk mentah maupun setengah jadi tanpa memberikan nilai tambah bagi ekonomi dalam negeri.
“Kami harus memastikan Indonesia tidak lagi hanya menjadi pemasok bahan mentah. Hilirisasi emas adalah agenda jangka panjang untuk memperkuat sektor industri dan keuangan nasional,” kata Misbakhun dalam keterangan resmi, Selasa (9/12/2025).
Misbakhun menjelaskan bahwa kebijakan bea keluar akan mendorong pelaku usaha memindahkan proses pemurnian serta pengolahan emas ke dalam negeri.
Dengan adanya disinsentif terhadap ekspor produk setengah jadi, rantai nilai emas diharapkan dapat terbangun lebih menyeluruh, mulai dari penambangan hingga produksi emas batangan dan perhiasan berstandar internasional.
“Integrasi tersebut penting untuk meningkatkan posisi tawar Indonesia di pasar global yang selama ini didominasi negara-negara pemurni,” tuturnya.
Misbakhun menambahkan bahwa hilirisasi emas juga perlu dibarengi dengan penguatan ekosistem keuangan berbasis komoditas. Pembentukan bank emas disebutnya sebagai elemen penting untuk meningkatkan likuiditas pasar domestik sekaligus memperkuat cadangan devisa.
“Emas memiliki fungsi ganda sebagai komoditas dan instrumen keuangan. Dengan menjaga pasokan emas di dalam negeri, ruang penguatan pasar keuangan akan semakin luas,” ujarnya.
Dari aspek regulasi, Misbakhun meminta pemerintah memastikan aturan teknis terkait bea keluar disusun dengan jelas, konsisten, dan berlandaskan tata kelola yang akuntabel.
Kepastian regulasi, menurut dia, menjadi faktor penting bagi industri untuk memperluas kapasitas pemurnian serta berinvestasi pada fasilitas pengolahan.
Ia juga menyoroti urgensi pengawasan yang ketat dalam perdagangan emas. Misbakhun menyebut berbagai potensi penyimpangan, mulai dari under-invoicing, manipulasi kadar, hingga penyelundupan, harus diantisipasi agar kebijakan ini berjalan efektif.
“Pengawasan yang terukur dan berbasis data adalah syarat mutlak. Kelemahan pengawasan akan langsung menggerus manfaat kebijakan,” tegasnya.
Sebagai informasi, pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menetapkan rencana tarif bea keluar emas sebesar 7,5% hingga 15% yang akan berlaku mulai 2026. Ekspor hanya diizinkan untuk emas dengan kadar minimum 99% dan harus melalui verifikasi laporan surveyor.
Kebijakan ini diproyeksikan dapat menambah penerimaan negara sekitar Rp 3 triliun per tahun serta memperkuat pasokan emas bagi industri dan sektor keuangan domestik, sebagai bagian dari strategi hilirisasi mineral nasional.
