Persoalan penanganan bencana Sumatera juga menyulut perlawanan dalam sisi hukum. Di Sumbar, tim Advokasi Keadilan Ekologis Selamatkan Sumatera Barat melakukan gugatan warga negara pada 10 Desember 2025, bertepatan dengan momentum Hari HAM, notifikasi atau somasi dikirim kepada 12 pejabat negara, mulai dari presiden hingga bupati dan wali kota.
Perwakilan tim advokasi Adrizal di Padang, Kamis (11/12/2025) menjelaskan bahwa tenggat waktu notifikasi tersebut mengacu pada PERMA 1/2023 tentang Gugatan Lingkungan Hidup. Notifikasi tersebut dikirimkan melalui pos dan disampaikan secara langsung.
“Jangka waktunya 60 hari kalender. Jika dalam periode itu somasi tidak diindahkan, kami akan menempuh gugatan perbuatan melawan hukum oleh penguasa atas dugaan kelalaian atau minimnya tindakan pejabat hingga mengakibatkan bencana ekologis,” ujarnya.
Menurut Ilhamdi, gugatan warga negara terhadap negara merupakan tindakan yang sah dan konstitusional. Ilhamdi menjelaskan, dalam teori kontrak sosial yang dikemukakan oleh pemikir seperti Jean-Jacques Rousseau, Thomas Hobbes, dan John Locke, negara berdiri atas dasar konsensus rakyat. Kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat, bukan presiden, sehingga ketika negara gagal menjalankan kewajibannya melindungi warga, masyarakat memiliki hak untuk menggugat negara melalui jalur hukum.
Ia mengingatkan, sepanjang sejarah, pengabaian negara terhadap rakyat kerap berujung pada akumulasi kemarahan publik. Indonesia sendiri memiliki pengalaman panjang terkait hal itu, mulai dari gejolak sosial pada 1960-an hingga krisis politik 1998. Menurutnya, pengabaian yang terus berulang berpotensi menimbulkan ketegangan sosial yang lebih besar di masa depan.
Dalam konteks bencana di Sumatera, ia memandang kelalaian negara tidak hanya tercermin dari status bencana nasional yang tak kunjung ditetapkan, tetapi juga dari lambannya distribusi bantuan, minimnya akses informasi, serta proses pencarian dan penanganan korban yang memakan waktu lama. Bahkan, dalam banyak situasi, masyarakat justru bergerak lebih cepat dibanding negara.
“Ini pesan yang sangat berbahaya secara simbolik. Seolah-olah negara tidak hadir, dan warga dipaksa bertahan sendiri,” ujarnya.
Ilhamdi menegaskan, kondisi tersebut seharusnya menjadi peringatan keras bagi pemerintah. Terlebih bagi wilayah-wilayah yang memiliki sejarah panjang konflik dan perlawanan, pengabaian yang berulang dapat memicu kembali ketegangan yang belum sepenuhnya selesai.
“Bencana Sumatera seharusnya menjadi alarm. Bukan hanya soal penanganan bencana, tetapi soal bagaimana negara memperlakukan rakyatnya,” kata Ilhamdi.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5426789/original/047496500_1764317617-6.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)