Banjir Rendam Permukiman di Pontianak, Puluhan Warga Mengungsi

Banjir Rendam Permukiman di Pontianak, Puluhan Warga Mengungsi

Selama puluhan tahun, banjir pasang di Kota Pontianak dipengaruhi siklus bulan, angin monsun, dan pelemahan daya resap tanah dataran rendah.

Ahli hidrologi menilai kenaikan permukaan laut global berdampak pada kota-kota pesisir Kalimantan Barat. Setiap tahunan, pasang meningkat beberapa sentimeter sejalan anomali iklim.

Fenomena gelombang menahan arus sungai menuju muara disebut kondisi “stacking”. Ketika angin kuat bertiup dari laut, gelombang membentuk semacam palang raksasa di depan mulut sungai.

Seketika, air sungai kehilangan jalur keluar. Begitu air pasang masuk, genangan bertahan lama.

Desember jadi bulan rawan. Curah hujan meningkat. Terjadinya compound flooding menambah dampak, yakni kombinasi hujan deras, pasang tinggi, serta angin laut. Perumahan dekat Kapuas termasuk lokasi rentan.

Para akademisi mengusulkan penataan ulang permukiman tepian sungai, peninggian jalan, serta restorasi drainase.

Selain itu, program mangrove dianggap dapat meredam gelombang dengan cara alami. Namun jalan panjang perencanaan butuh dukungan anggaran, koordinasi lintas instansi, termasuk kesiapan warga relokasi sukarela.

Di aula camat, pengungsi duduk saling menguatkan. Relawan menyeduh kopi hangat bagi lansia. Ibu-ibu membagi selimut tipis untuk balita. Anak-anak menghabiskan waktu dengan menggambar di atas kertas. Satu tulisan kecil bertuliskan “air tolong pergi” menempel di dinding.

Solidaritas muncul spontan. Warga memasak mi instan. Petugas kesehatan memantau tekanan darah lansia. Pemerintah mengirim bantuan logistik untuk 3–5 hari. Dalam jangka menengah, kebutuhan air bersih, vitamin, susu balita menjadi prioritas.

Sementara itu, status siaga tidak berarti mengakhiri gelombang. Kota menunggu udara cerah. Semua menyadari Pontianak memiliki tantangan besar menahan air rob. Namun sikap gotong royong menjadi modal sosial mengurangi dampak.