Bandara Beirut Berlakukan Aksi Ketat ke Diplomat Teheran, Hizbullah Ancam Lebanon Seperti Suriah
TRIBUNNEWS.COM – Insiden terhadap seorang diplomat Iran dilaporkan terjadi di Bandara Beirut, Lebanon yang memberlakukan pemeriksaan ketat.
Dilaporkan, setibanya dari Teheran ke Beirut dengan penerbangan “Mahan Air”, seorang diplomat Iran langsung menuju pos pemeriksaan pemindai elektronik dari pesawat, sambil membawa dua tas diplomatik, tulis laporan media lokal, lbc, dikutip Minggu (5/1/2025).
“Pihak keamanan bandara meminta, seperti yang dilakukannya kepada semua penumpang dalam penerbangan yang sama, agar diplomat tersebut meletakkan tasnya di pemindai untuk diperiksa,” kata laporan tersebut.
Namun, sang diplomat menolak, dengan mengutip Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik tahun 1961, yang memberikan kekebalan terhadap tas diplomatik dari pemeriksaan di bandara atau tempat penyeberangan perbatasan lainnya.
Setelah penolakannya, diplomat tersebut ditolak masuk dan menunggu selama berjam-jam di bandara hingga Kementerian Luar Negeri Lebanon menerima nota tertulis dari Kedutaan Besar Iran di Lebanon.
“Nota tersebut mengklarifikasi bahwa tas tersebut berisi dokumen, surat, dan uang tunai yang semata-mata ditujukan untuk biaya operasional kedutaan,” papar laporan tersebut.
Berdasarkan penjelasan ini, tas tersebut diizinkan masuk berdasarkan Konvensi Wina, yang menetapkan bahwa jika otoritas setempat mencurigai adanya penyalahgunaan tas diplomatik, negara pengirim harus diberi tahu, dan masalah tersebut diselesaikan secara diplomatis — seperti yang terjadi dalam kasus ini.
Sementara itu, semua penumpang lain dalam penerbangan tersebut menjalani pemeriksaan ketat barang bawaan melalui pemindai.
Bandara Beirut, Lebanon memberlakukan tindakan ketat pada penerbangan Iran.
Utusan AS Juga Kena, Kenapa Iran Lebih Ketat?
Insiden yang terjadi pada diplomat Iran ini merupakan bagian dari konteks yang lebih luas dalam sistem keamanan di Lebanon.
Setelah perang Israel, pada September, Lebanon memutuskan dalam rapat keamanan, untuk meningkatkan langkah-langkah keamanan bandara.
Ini termasuk memasang pemindai untuk memeriksa barang bawaan penumpang yang diangkut melalui kargo dan barang bawaan.
Menurut sumber pemerintah Lebanon, pemeriksaan berlaku untuk semua orang tanpa kecuali.
Arahan tersebut mengamanatkan pemeriksaan menyeluruh untuk semua orang, termasuk penumpang di pesawat pribadi.
Langkah-langkah ini dilaporkan meluas ke tokoh-tokoh terkenal seperti Ali Larijani, penasihat senior Pemimpin Tertinggi Iran, dan mediator Amerika Serikat Amos Hochstein.
Keduanya menjalani pemeriksaan selama kunjungan mereka ke Lebanon.
Bahkan tim yang mendampingi Perdana Menteri Najib Mikati pun menjadi sasaran pemeriksaan.
Namun, penumpang yang tiba dengan penerbangan dari Iran dilaporkan menghadapi tindakan yang lebih ketat.
Mengapa?
Jawabannya terletak pada intelijen dan bukti selama bertahun-tahun yang menuduh kalau rezim Iran telah mengirim dukungan, dana, dan senjata ke Hizbullah melalui penerbangan dari Iran.
Mereka yang terlibat dalam operasi ini diduga mengabaikan prosedur standar.
Sejarah ini telah mendorong otoritas Lebanon untuk memberlakukan pemeriksaan ketat terhadap penumpang yang datang dari Iran, terlepas dari maskapai penerbangan yang digunakan.
Sejak perang, Lebanon telah mematuhi ketentuan gencatan senjata, khususnya yang mengharuskan kontrol penyeberangan perbatasan dan pencegahan penyelundupan senjata ke Hizbullah.
Tindakan ini tidak hanya berlaku untuk Iran tetapi juga untuk negara mana pun yang penumpangnya tidak tunduk pada pemeriksaan ketat berdasarkan peraturan internasional.
Sebuah kendaraan yang dihiasi bendera gerakan Hizbullah Lebanon melaju di jalan saat penduduk kembali ke kota Baalbek pada 27 November 2024, setelah gencatan senjata antara Hizbullah dan Israel berlaku. – Gencatan senjata antara Israel dan Hizbullah di Lebanon terjadi pada 27 November setelah lebih dari setahun pertempuran yang telah menewaskan ribuan orang. (Photo by Nidal SOLH / AFP) (AFP/NIDAL SOLH)
Hizbullah Ancam Lebanon Seperti Suriah
Sebagai latar belakang, Hizbullah adalah gerakan sekaligus partai politik yang memiliki pengaruh di Lebanon.
Meski bukan satu-satunya, kekuatan politik dan militer Hizbullah dalam sistem pemerintahan Lebanon bakan menandingi sistem pemerintahan dan angkatan bersenjata negara tersebut.
Keputusan Hizbullah untuk menyerang Israel demi solidaritas terhadap perlawanan Palestina di Gaza juga bukan sepenuhnya bulat keputusan Lebanon, namun berdampak luas terhadap negara tersebut.
Invasi militer Israel (IDF) ke teritorial Lebanon, menjadi satu di antara contoh betapa keputusan Hizbullah berdampak ke semua elemen di negara tersebut.
Hal ini pula yang dikabarkan membuat Hizbullah mau menyepakati perjanjian gencatan senjata dengan Israel per 27 November 2024 silam selama 60 hari dengan Israel.
Namun, Hizbullah mencurigai ada upaya Israel untuk menyusupi kekuatan-kekuatan lain di Lebanon untuk melemahkan gerakan tersebut, termasuk ke dalam pemerintah Lebanon itu sendiri.
Pendudukan Israel di sejumlah teritorial Lebanon, khususnya di wilayah Selatan, dekat perbatasan, dituduh dibarengi dengan aksi politis mereka memengaruhi pemerintah Lebanon untuk melemahkan Hizbullah.
Belakangan, muncul wacana agar Hizbullah dilucuti persenjataannya sebagai bagian dari perpanjangan kesepakatan gencatan senjata.
Wacana ini langsung ditolak Hizbullah.
Pemimpin Hizbullah Naim Qassem menyatakan, bersumpah, “Kami akan terus melawan sampai kami membebaskan wilayah kami.”
“Perlawanan masih kuat, berpengaruh, dan menghalangi tujuan musuh,” katanya.
Dia menekankan kalau “Perlawanan memiliki kapasitas pencegahan.”
Qassem juga menanggapi wacana pelucutan senjata Hizbullah oleh pihak ketiga, termasuk oleh Tentara Lebanon dan Pasukan PBB (UNIFIL), sebagai upaya Israel melemahkan gerakan perlawanan Lebanon tersebut.
Pasukan pejuang Hizbullah berparade di Beirut, ibukota Lebanon pada 12 Juni 2024. (Houssam Shbaro/Anadolu/Getty Images)
“Kami mencegah proyek Israel untuk mengakhiri perlawanan kami,” katanya.
Dia mewanti-wanti, Hizbullah bisa saja menggulirkan penggulingan rezim di Lebanon seperti yang terjadi di Suriah.
“Apa yang terjadi di Suriah bisa saja terjadi di Lebanon,” katanya, seraya menambahkan bahwa “Pimpinan Perlawanan memutuskan apa yang harus dilakukan dan kapan harus melakukannya tepat waktu.”
“Kemampuan kami mencegah rezim Israel melanjutkan agresinya terhadap Lebanon,” tegasnya.
Ia memperingatkan rezim Israel agar tidak melanjutkan pelanggaran perjanjian gencatan senjata, dengan mencatat bahwa “Tidak ada aturan atau jadwal khusus untuk tindakan perlawanan.”
“Kesepakatan kami hanya mengenai wilayah selatan Sungai Litani,” katanya lebih lanjut.
“Kesabaran kami selama kesepakatan ini bergantung pada perilaku musuh, dan kesabaran kami mungkin akan habis sebelum gencatan senjata 60 hari,” katanya.
Dalam konteks geopolitik, aksi Hizbullah menyerang Israel ini -dengan klaim dukungan bagi Gaza- merupakan bagian dari perang proksi yang terjadi antara Iran dan Israel yang bermusuhan selama bertahun-tahun.
Adapun Israel berupaya memadamkan perlawanan Hizbullah dengan memutus rantai pasokan apapun dari Iran, satu di antaranya dengan menduduki wilayah Suriah.
(oln/lbc/*)