Jakarta, Beritasatu.com – Industri baja nasional menghadapi tantangan serius. Mayoritas produk baja lokal memang diserap pasar domestik, tetapi tingkat utilisasi kapasitas pabrik di Indonesia masih di bawah 60%. Ruang kosong ini justru diisi oleh baja murah impor asal Tiongkok.
Chairman The Indonesian Iron & Steel Industry Association (IISIA) Akbar Djohan menyampaikan, kondisi ini berpotensi memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di sektor industri baja.
“Bayangkan beberapa pabrik yang mempekerjakan ribuan orang hanya beroperasi dengan utilisasi 40%. Secara skala ekonomi, ini tentu tidak kompetitif. Akibatnya, banyak yang beralih menjadi trader karena tak punya pilihan lain. Nah, inilah yang akan mengancam, potensi-potensi PHK,” ungkap Akbar kepada Beritasatu di Jakarta, Selasa (10/6/2025).
Akbar menambahkan, Indonesia seharusnya dapat menikmati pertumbuhan permintaan baja seiring gencarnya pembangunan infrastruktur dalam satu dekade terakhir. Namun, kapasitas terpasang pabrik baja nasional yang mencapai 17 hingga 18 juta ton per tahun tidak termanfaatkan lebih dari 60%.
Di sisi lain, pasokan baja dari Tiongkok terus meningkat. Saat ini, sekitar 20% hingga 30% kebutuhan baja nasional dipenuhi oleh impor dari Tiongkok. Dalam rantai pasokan global, Tiongkok memproduksi 1,2 miliar ton baja per tahun, jauh dibandingkan Indonesia yang tidak lebih dari 18 juta ton. Ini menandakan persaingan industri baja yang tidak setara dan perlunya pembenahan ekosistem rantai pasok baja domestik.
“Inilah yang perlu kita sadarkan, bahwa policy dari industri baja di China sudah menerapkan yang namanya price predatory,” lanjut Akbar.
Dalam upaya meningkatkan daya saing industri baja nasional, Akbar mendorong pemerintah untuk memperkuat kebijakan perdagangan, termasuk menerapkan instrumen anti-dumping, trade remedies, dan safeguard. Selain itu, pelaku industri dalam negeri juga dituntut melakukan transformasi menyeluruh melalui efisiensi dan kolaborasi antar pelaku usaha.
