Musyawarah yang dilakukan di Baileo melibatkan seluruh unsur masyarakat, termasuk tokoh adat, tokoh agama, pemuda, hingga perwakilan perempuan, tergantung pada tradisi masing-masing negeri. Di tempat ini pula, upacara seperti pelantikan kepala adat, perayaan panen, ritual penyembuhan, hingga pengukuhan perjanjian antar-negeri digelar dengan khidmat.
Baileo menjadi simbol persatuan karena segala hal yang menyangkut masyarakat dibahas secara terbuka dan berlandaskan mufakat, bukan atas dasar kekuasaan individu. Tak jarang pula, Baileo dijadikan tempat berkumpulnya anak-anak muda untuk mendengarkan kisah-kisah leluhur dari para tua-tua negeri, menjadikannya ruang belajar informal yang menghubungkan generasi masa kini dengan akar budaya mereka.
Namun demikian, keberadaan Baileo sebagai pusat budaya tidak dapat dilepaskan dari tantangan zaman yang terus berubah. Modernisasi yang masuk dengan cepat ke wilayah Maluku telah membawa transformasi besar dalam cara hidup masyarakat.
Banyak pemuda yang meninggalkan desa untuk mencari pendidikan dan pekerjaan di kota, membawa serta gaya hidup baru yang tidak selalu sejalan dengan nilai-nilai adat. Dalam konteks ini, Baileo sering kali kehilangan peran sentralnya, bahkan secara fisik mulai terbengkalai di beberapa negeri yang sudah jarang mengadakan musyawarah adat.
Ironisnya, justru di saat masyarakat global mulai menyadari pentingnya ruang-ruang komunal yang inklusif, masyarakat lokal mulai meninggalkan salah satu simbol kearifan ruang komunal yang telah lama mereka miliki. Beberapa Baileo kini hanya berdiri sebagai bangunan untuk kepentingan simbolik atau wisata budaya, kehilangan napas sosial yang dulu menghidupkannya.
Jika hal ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin Baileo akan tinggal nama, sementara nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya perlahan-lahan tergerus oleh arus zaman.
Meski demikian, harapan belum sepenuhnya padam. Banyak komunitas adat, pemerhati budaya, dan lembaga pendidikan yang mulai mendorong revitalisasi Baileo, baik sebagai fisik bangunan maupun sebagai pusat budaya yang hidup.
Inisiatif untuk membangun kembali Baileo secara gotong royong, mengadakan kegiatan pendidikan adat di dalamnya, serta menjadikannya ruang diskusi lintas generasi menunjukkan bahwa Baileo masih mungkin menjadi jantung kehidupan sosial masyarakat Maluku.
Bahkan di beberapa tempat, Baileo mulai difungsikan kembali sebagai arena pertunjukan seni tradisional, ruang diplomasi budaya, hingga tempat pengambilan keputusan kampung berbasis partisipatif.
Ini menandakan bahwa Baileo bukan hanya warisan masa lalu, tetapi juga aset penting untuk masa depan selama kita mau merawatnya tidak hanya sebagai monumen arsitektur, tetapi juga sebagai ruh hidup yang terus menyuarakan semangat kebersamaan, keterbukaan, dan penghormatan pada tradisi.
Baileo mengajarkan kita bahwa sebuah ruang bisa menjadi lebih dari sekadar tempat ia bisa menjelma menjadi simbol, menjadi guru, bahkan menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan. Di tengah dunia yang semakin individualistik dan terfragmentasi, Baileo memberi inspirasi tentang pentingnya kebersamaan dan keberanian untuk mendengarkan satu sama lain dalam semangat kolektif.
Ia adalah bangunan tanpa dinding yang merangkul semua, tempat di mana kata-kata tidak hanya diucapkan tetapi juga didengarkan, tempat di mana keputusan diambil bukan atas dasar kekuasaan, melainkan karena rasa saling percaya.
Maka, menjaga Baileo berarti menjaga nilai-nilai dasar kemanusiaan yang telah tumbuh ratusan tahun di tanah Maluku sebuah tugas yang bukan hanya milik orang Maluku, tetapi kita semua sebagai bagian dari bangsa yang berakar pada kebhinekaan dan kearifan lokal.
Penulis: Belvana Fasya Saad
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/1748017/original/014153400_1508747059-20171023-rumah_adat-solo-bacan.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)