Untuk menambah daya tarik, seni badud kemudian disandingkan dengan seni debus dengan gerakan silat. Meski gabungan seni badud dengan debus tak bertahan lama, tetapi unsur mistis di dalamnya masih dipertahankan. Unsur mistis ini berupa trans atau kesurupan.
Dalam perkembangan berikutnya, badud bukan sekadar kesenian iringan hasil panen. Terlebih, sejak sistem panen menjadi dua atau tiga kali dalam setahun. Badud kemudian berfungsi sebagai pengiring atau hiburan dalam acara khitanan, pernikahan, dan turun mandi.
Perlahan, seni badud terancam punah. Sekitar 1990-an, seni badud sudah tak terlihat lagi karena tergeser oleh kehadiran jenis kesenian lain yang dianggap lebih menarik.
Pada 2013, tepatnya setelah Cijulang menjadi bagian dari pemekaran Kabupaten Pangandaran, seni badud mulai bangkit kembali. Kesenian ini direvitalisasi dengan tampilan yang lebih memarik. Kostum binatang yang dahulu dibuat ala kadarnya, kini dibuat semirip mungkin dengan binatang asli.
Waditra dalam kesenian badud pun semakin beragam dengan delapan angklung dan enam dogdog. Selain itu, terdapat tambahan sentuhan teatrikal pada pementasannya.
Pementasan badud memiliki cerita di dalamnya dengan tambahan pemeran, yaitu dua barongsai, sepasang kakek-nenek, serta beberapa orang yang mengenakan kostum hewan. Peran kakek dan nenek berfungsi sebagai selingan yang memancing gelak tawa penonton.
Sementara itu, unsur tari dalam seni badud hanya berupa penyesuaian gerak yang tidak diatur dalam pedoman baku. Gerakannya berupa tiruan gerak binatang ataupun gerak tari yang dilakukan secara spontan tanpa latihan.
Penulis: Resla
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4111019/original/073057000_1659454410-boudewijn-huysmans-OhvkoOYlASk-unsplash.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)