Nuwo Sesat terbagi ke dalam beberapa bagian penting yang memiliki fungsi dan makna masing-masing. Ruangan utama dikenal dengan istilah Ruang Tetabuhan, tempat berlangsungnya pertemuan-pertemuan adat dan musyawarah.
Di dalam ruang ini, suasana sakral begitu terasa, karena di sinilah suara rakyat dan pemimpin bersatu demi kemaslahatan bersama. Di sudut lain terdapat ruang yang digunakan untuk menyimpan perlengkapan adat seperti kain tapis, tombak, dan berbagai benda pusaka lainnya yang memiliki nilai historis dan spiritual.
Di dalam rumah ini pula, simbol-simbol adat seperti ornamen berbentuk gajah (simbol kekuatan dan kebijaksanaan), motif burung (melambangkan kebebasan dan kejernihan hati), serta pola geometris (representasi keseimbangan hidup) sering ditemukan menghiasi dinding dan langit-langit rumah.
Tiap ukiran, tiap garis, dan tiap warna yang tergores pada tiang maupun dinding Nuwo Sesat bukanlah hiasan semata, melainkan kode budaya yang sarat makna, penanda jati diri dan filosofi hidup masyarakat Lampung yang menghormati alam, leluhur, dan sesama. Lebih jauh, Nuwo Sesat juga mencerminkan sistem kemasyarakatan yang berbasis pada prinsip demokrasi dan kolektivitas.
Di dalam rumah ini, keputusan-keputusan penting tidak diambil secara sepihak, melainkan melalui proses diskusi panjang yang melibatkan semua unsur masyarakat adat, dari para tetua hingga pemuda.
Konsep musyawarah yang dijalankan dalam Nuwo Sesat menjadi bukti bahwa sejak lama masyarakat Lampung telah mempraktikkan nilai-nilai demokratis dan egaliter, jauh sebelum konsep tersebut diperkenalkan oleh bangsa-bangsa lain secara formal.
Tidak heran jika rumah adat ini dianggap sebagai jantung kehidupan sosial masyarakat Lampung, tempat di mana segala bentuk konflik diselesaikan dengan bijaksana, kebijakan dilahirkan dengan penuh pertimbangan, dan tradisi dijaga agar tetap lestari di tengah derasnya arus modernitas.
Namun, seiring dengan perubahan zaman dan modernisasi yang melanda hampir setiap sendi kehidupan, eksistensi Nuwo Sesat menghadapi tantangan yang tidak ringan. Banyak generasi muda yang mulai melupakan fungsi dan makna rumah adat ini, lebih memilih rumah-rumah modern yang praktis namun kurang mengandung nilai-nilai budaya leluhur.
Tantangan ini tentu harus dijawab dengan langkah konkret melalui edukasi budaya, revitalisasi rumah adat yang sudah rusak, serta pengintegrasian nilai-nilai tradisional ke dalam sistem pendidikan formal maupun informal. Pemerintah daerah Lampung, bersama dengan para tokoh adat dan budayawan lokal, telah mulai menggalakkan kembali pentingnya pelestarian Nuwo Sesat sebagai simbol identitas dan kekayaan budaya daerah.
Tak hanya menjadi objek wisata atau cagar budaya, Nuwo Sesat juga mulai difungsikan kembali sebagai pusat kegiatan seni, tempat belajar budaya Lampung, dan ajang pertemuan lintas generasi untuk memperkuat ikatan antarwarga dalam balutan adat.
Nuwo sesat ini menjadi rumah batin bagi seluruh masyarakat Lampung. Di sanalah identitas dibangun, nilai-nilai diwariskan, dan kebersamaan dijaga dengan penuh hormat.
Dalam sebuah era global yang menuntut kecepatan dan efisiensi, keberadaan Nuwo Sesat menjadi pengingat bahwa dalam hidup, ada hal-hal yang tidak bisa digantikan oleh teknologi yakni akar budaya, kebijaksanaan lokal, dan keharmonisan antarumat manusia.
Nuwo Sesat adalah saksi bisu peradaban, sekaligus obor yang tak pernah padam bagi perjalanan budaya Lampung menuju masa depan yang tetap berpijak pada kearifan masa lalu.
Penulis: Belvana Fasya Saad