Kapolri Mutasi 4 Komjen, Ada Ketua KPK hingga Kepala BNPT
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Kapolri Jenderal
Listyo Sigit Prabowo
memutasi empat perwira bintang tiga alias berpangkat komisaris jenderal (komjen), Selasa (24/6/2025).
Mutasi
dilakukan dalam rangka pensiun.
Berdasarkan surat telegram bernomor ST/1421/VI/KEP, keempat komjen yang dimutasi yaitu Komjen Pol Setyo Budiyanto yang kini menjabat sebagai Ketua KPK.
Dalam surat telegram ini, Setyo dimutasi sebagai Perwira Tinggi (Pati) Itwasum
Polri
.
Kemudian, Komjen Pol Eddy Hartono yang kini menjabat sebagai Kepala BNPT dimutasi menjadi Pati Densus 88.
Selain itu, Komjen Pol Pudji Prasetijanto Hadi yang kini menjabat sebagai Sekretaris Jenderal di Kementerian ATR/BPN juga dimutasi menjadi Pati Bareskrim Polri.
Sementara, Komjen Pol Lotharia Latif yang tengah menjabat sebagai Inspektur Jenderal di Kementerian Kelautan dan Perikanan, dimutasi sebagai Pati Bareskrim Polri dalam rangka pensiun.
Karo Penmas Divhumas Polri Brigjen Pol. Trunoyudo Wisnu Andiko membenarkan bahwa Polri tengah melakukan sejumlah
mutasi
.
Ia mengatakan, mutasi merupakan bagian dari dinamika organisasi guna meningkatkan kinerja dan regenerasi di tubuh Polri.
“Mutasi jabatan merupakan proses alamiah dalam organisasi sebagai bentuk penyegaran, pengembangan karier, serta pemenuhan kebutuhan organisasi,” ujar Brigjen Trunoyudo dalam keterangannya, Rabu (25/6/2025).
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Author: Kompas.com
-
/data/photo/2025/06/25/685b47445fb71.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Isi Pembicaraan Telepon antara Prabowo dan Presiden Korsel Nasional 25 Juni 2025
Isi Pembicaraan Telepon antara Prabowo dan Presiden Korsel
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Sekretaris Kabinet (Seskab) Letkol Teddy Indra Wijaya mengungkapkan bahwa Presiden
Prabowo
Subianto melakukan panggilan telepon dengan Presiden Republik Korea Yang Mulia Lee Jae-myung pada Senin (23/6/2025) malam.
Hal itu disampaikan Seskab Teddy melalui unggahan melalui akun Instagram Sekretariat Kabinet @sekretariat.kabinet pada Selasa, 24 Juni 2025.
Lantas apa yang dibicarakan kedua pemimpin negara tersebut?
Seskab Teddy mengatakan, Lee Jae-myung menyampaikan terima kasih kepada
Presiden Prabowo
karena mengucapkan selamat kepadanya.
“Dalam kesempatan ini, Presiden Lee menyampaikan ucapan terima kasih atas surat ucapan dari Presiden Prabowo atas kemenangan Presiden Lee pada pemilihan umum Presiden yang diselenggarakan pada 3 Juni 2025 yang lalu, dan langsung dilantik di keesokan harinya,” ujar Teddy.
Kemudian, menurut dia, Presiden Lee menyampaikan harapannya untuk segera melakukan kunjungan kenegaraan ke Indonesia.
Selanjutnya, Prabowo dan Lee Jae-myung disebut bertukar pikiran mengenai situasi global hingga bicara soal memperkuat hubungan kedua negara.
“Kedua pemimpin negara juga bertukar pandangan mengenai perkembangan situasi global, dan sepakat untuk melanjutkan dan memperkuat kemitraan kedua negara,” kata Teddy.
Apalagi, Teddy menyebut bahwa Republik Korea merupakan salah satu mitra utama Indonesia dalam perdagangan dan investasi.
“Di mana kerja sama bilateral antara Indonesia dan Republik Korea terus menunjukkan tren peningkatan yang sangat baik,” ujar Teddy.
Saat berbicara dengan Presiden Lee, Prabowo tampak didampingi Seskab Teddy dan Menteri Luar Negeri (Menlu) Sugiono.
Dalam unggahan di akun @sekretariat.kabinet, Prabowo tampak duduk berkomunikasi dengan Presiden Lee. Sedangkan Seskab Teddy dan Menlu Sugino duduk di depan Prabowo sambil dengan seksama menyimak pembicaraan kedua pemimpin negara tersebut.
Diketahui, selama bulan Juni 2025, Prabowo sudah beberapa kali terhubung dengan pemimpin negara lain melalui sambungan telepon.
Pada 6 Juni 2026, Prabowo menerima telepon dari Perdana Menteri (PM) Kanada Mark Carney.
Melalui sambungan telepon itu, PM Carney mengundang Presiden Prabowo secara resmi untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Group of Seven (G7) tahun 2025 yang akan digelar di Kananaskis, Alberta, Kanada.
Meskipun akhirnya Prabowo tak menghadiri KTT G7 karena sudah telebih dahulu berjanji menghadiri St Petersburg International Economic Forum (SPIEF) 2025 di Rusia.
Kemudian, pada 12 Juni 2025, Prabowo menerima panggilan telepon dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Pembicaraan Prabowo dan Trump berlangsung sekitar 15 menit. Keduanya, saling mengucapkan selamat atas terpilihnya mereka sebagai pemimpin negara masing-masing.
Kemudian, dalam pembicaraan singkat itu, Prabowo dan Trump disebut sepakat untuk meningkatkan kerja sama antara kedua negara.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/05/19/682b14561f236.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
KPK Koordinasi dengan Polisi Usai Sita Senjata Api Terkait Kasus ASDP Nasional 25 Juni 2025
KPK Koordinasi dengan Polisi Usai Sita Senjata Api Terkait Kasus ASDP
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Komisi Pemberantasan Korupsi (
KPK
) akan berkoordinasi dengan pihak kepolisian usai menyita dua
senjata api
dalam penggeledahan dua rumah yang berlokasi di
Jakarta Selatan
, pada Senin (23/6/2025) malam.
Penyitaan tersebut dilakukan KPK terkait dengan kasus korupsi kerja sama usaha dan akuisisi PT Jembatan Nusantara (PT JN) oleh PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) tahun 2019-2022.
“KPK akan berkoordinasi dengan pihak kepolisian ya terkait dengan temuan senjata api tersebut,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dalam keterangannya, Rabu (25/6/2025).
Budi mengatakan, penyidik akan melakukan pengecekan secara detail terkait kelengkapan dokumen senjata api laras pendek dan panjang kaliber 32 tersebut.
“Kami akan cek dokumen pendukung detail dari senpi tersebut, tapi tentu juga KPK akan berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait,” ujarnya.
Budi mengatakan, senjata api tersebut milik salah satu tersangka dalam kasus
korupsi PT ASDP
. Namun, ia tak mengungkapkan identitas tersangka yang dimaksud.
“Salah satu tersangka dalam perkara ASDP,” ucap dia.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita lima unit mobil mewah dan senjata api usai menggeledah dua rumah yang berlokasi di Jakarta Selatan, pada Senin (23/6/2025) malam.
“Pada Senin malam (23/6), Tim KPK melakukan penggeledahan terhadap 2 rumah yang berlokasi di Jakarta Selatan. Penggeledahan ini terkait dengan Penyidikan Perkara ASDP yang masih berjalan,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dalam keterangannya, Selasa (24/6/2025).
Budi mengatakan, lima unit mobil yang disita KPK dari penggeledahan tersebut di antaranya, 2 unit mobil merek Lexus, 1 unit Mercedes-Maybach, 1 unit Alphard, dan 1 unit Xpander.
“Selain kendaraan, Penyidik juga menyita senjata api laras pendek dan panjang kaliber 32,” ujarnya.
Meski demikian, Budi belum mengungkapkan secara detail identitas pemilik rumah yang dilakukan penggeledahan dan penyitaan.
Dia hanya mengatakan, penyidik juga melakukan pemasangan tanda penyitaan terhadap rumah dan tanah di Pondok Indah, Jakarta Selatan.
“Kemudian Penyidik juga melakukan pemasangan tanda penyitaan terhadap rumah dan bidang tanah yang berlokasi di Pondok Indah, Jakarta Selatan,” ucap dia.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan, kerugian keuangan negara akibat kasus korupsi PT ASDP ini mencapai Rp 893 miliar.
“Transaksi akuisisi PT JN oleh PT ASDP terindikasi menimbulkan kerugian keuangan negara hampir Rp 900 miliar atau sekurang-kurangnya Rp 893.160.000.000,” kata Plh Direktur Penyidikan KPK Budi Sokmo di Gedung Merah Putih, Jakarta, Kamis (13/2/2025).
KPK menetapkan empat orang tersangka yaitu Ira Puspadewi selaku Direktur Utama PT ASDP tahun 2017–2024; Harry Muhammad Adhi Caksono selaku Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP tahun 2020–2024; Muhammad Yusuf Hadi selaku Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP tahun 2019–2024; dan Adjie selaku Pemilik PT Jembatan Nusantara Group.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/06/23/68594b91441e8.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
3 Siapa Ustaz Khalid Basalamah yang Diperiksa KPK Terkait Kasus Kuota Haji? Nasional
Siapa Ustaz Khalid Basalamah yang Dimintai Keterangan KPK Terkait Kasus Kuota Haji?
Penulis
JAKARTA, KOMPAS.com
– Komisi Pemberantasan Korupsi (
KPK
) meminta keterangan ustaz
Khalid Basalamah
terkait kasus dugaan korupsi penentuan
kuota haji
dalam penyelenggaraan haji 2024 di Kementerian Agama (Kemenag) pada Senin, 23 Juni 2025.
Diketahui, KPK memang tengah menyelidiki dugaan korupsi terkait penentuan kuota haji di Kemenag pada 2024.
Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan, Khalid Basalamah kooperatif memberikan keterangan kepada penyelidik.
“Tentu ini penting juga bagi pihak-pihak lain untuk kemudian kooperatif dan menyampaikan informasi serta keterangan yang diketahui,” ujar Budi, Senin.
“Supaya penanganan perkara yang terkait dengan haji ini dapat secara efektif dan bisa segera terang,” ujarnya lagi.
Terkait permintaan keterangan tersebut, ustaz Khalid Basalamah disebut bakal memberikan klarifikasi dalam program “Tanya Ustaz” yang bakal ditayangkan secara langsung di kanal YouTube Khalid Basalamah Official pada Rabu, 25 Juni 2025, pukul 18.30 WIB.
Berikut adalah sosok ustaz Khalid Basalamah dirangkum
Kompas.com
dari berbagai sumber.
Pemilik nama Khalid Zeed Basalamah ini adalah salah satu pendakwah terkenal di Tanah Air.
Pria yang lahir pada 1 Mei 1975 ini merupakan anak dari pendiri masjid dan pondok pesantren Addaraen di Makassar, ustaz Zeed Abdullah Basalamah.
Khalid Basalamah memeroleh gelar S1 dari Universitas Islam Madinah dan gelar magister dari Universitas Muslim Indonesia.
Dalam dunia dakwah, ustaz Khalid Basalamah diketahui kerap memberikan ceramah melalui video yang diunggah di kanal YouTube miliknya sejak tahun 2013.
Dia setiap hari memberikan kajian melalui kanal YouTube-nya Khalid Basalamah Official.
Namanya sempat diperbincangkan karena sempat menyatakan bahwa istrinya adalah seorang mualaf.
Kemudian, sang istri memperbolehkannya untuk berpoligami tetapi sang ustaz tidak memiliki niat untuk poligami.
Ustaz Khalid Basalamah diketahui juga berteman dengan sejumlah pesohor di Tanah Air, seperti presenter serba bisa Raffi Ahmad dan aktor Irwansyah.
Dia juga kerap tampil dalam sejumlah podcast artis dan memberikan kajian atau dakwah.
Berdasarkan catatan
Kompas.com
, ustaz Khalid Basalamah pernah dilaporkan ke Bareskrim Polti atas dugaan tindak pidana ujaran kebencian serta diskriminasi ras dan etnis pada tahun 2022.
Laporan itu dibuat pesohor Sandy Tumiwa dengan laporan polisi nomor LP/B/0069/II/2022/SPKT/BARESKRIM tanggal 17 Februari 2022.
Dalam laporan itu, Khalid disangkakan Pasal 14 KUHP dan/atau Pasal 15 KUHP, serta Pasal 16 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Disrkiminasi Ras dan Etnis dan/atau Pasal 156 KUHP.
Khalid dilaporkan karena pernyataannya di media sosial yang menyatakan kalau wayang dilarang oleh agama sehingga lebih baik dimusnahkan.
“Menanggapi perihal ini saya (Sandy Tumiwa) yang bertujuan menempatkan suatu nilai kehidupan secara benar, baik sisi budaya dan sisi keyakinan. Yang sesunguhnya saling mengisi,” kata Sandy dalam keterangannya kepada awak media seperti dikutip Tribunnews pada 15 Februari 2022.
Sebelumnya, Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu mengonfirmasi bahwa pihaknya sedang mengusut kasus tersebut pada tahap penyelidikan
Sementara itu, KPK pada tanggal 10 September 2024 mengungkapkan siap untuk mengusut dugaan gratifikasi terkait pengisian kuota haji khusus pada pelaksanaan Haji 2024.
KPK menyatakan langkah tersebut penting agar pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, dapat menghadirkan keadilan dalam pelaksanaan layanan ibadah haji tanpa korupsi.
Terkait kuota haji khusus dan penyelenggaraan ibadah haji 2024, diketahui telah dipersoalkan oleh DPR periode 2019-2024. Bahkan, telah dibentuk panitia khusus (Pansus) Haji.
Persoalan bermula ketika Arab Saudi memberikan tambahan 20.000 kuota haji kepada Indonesia. Saat itu, Kemenag mengklaim bahwa kuota dibagi 50:50 antara haji reguler dan haji khusus, atas perintah Arab Saudi.
Namun, anggota Pansus Haji Marwan Jafar mengaku, mendapat informasi bahwa pemerintah Saudi tidak pernah mengatur soal pembagian kuota tersebut.
Marwan juga menilai dapur katering tidak sesuai standar dan menduga adanya praktik patgulipat antara pihak katering dan Kemenag yang merugikan jemaah.
Selain itu, persoalan lain yang muncul adalah dugaan adanya 3.503 jemaah haji khusus yang berangkat tanpa antre pada tahun lalu. Padahal, mestinya mereka baru berangkat tahun 2031.
DPR pun menduga bahwa Kemenag lebih fokus pada keuntungan finansial, alih-alih penguatan pelayanan kepada jemaah.
Usai memanggil berbagai pihak terkait, Pansus Haji akhirnya membuat rekomendasi terkait evaluasi penyelenggaraan haji 2024.
Pertama, dibutuhkan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah serta revisi UU Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji.
Revisi perlu dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi kekinian yang terjadi dalam regulasi dan model pelaksanaan ibadah haji yang ada di Arab Saudi.
Kedua, perlunya sistem yang lebih terbuka dan akuntabel dalam penetapan kuota haji. Khususnya, dalam ibadah haji khusus termasuk pengalokasian kuota tambahan.
“Setiap keputusan yang diambil harus didasarkan pada peraturan yang jelas dan dinformasikan secar terbuka kepada publik,” ujar Ketua Pansus Haji DPR, Nusron Wahid pada 30 September 2024.
Ketiga, negara diminta memperkuat dan mengoptimalkan fungsi kontrol terkait pelaksanaan ibadah haji khusus.
Keempat, Panitia Hak Angket Haji DPR RI mendorong penguatan peran lembaga pengawas internal pemerintah seperti Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Agama dan BPKP agar lebih detail dan kuat dalam mengawasi penyelenggaraan Haji.
Jika nantinya dibutuhkan tindak lanjut, menurut Nusron, dapat melibatkan dan bekerja sama dengan pengawas eksternal seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan aparat penegak hukum.
Terakhir, pansus mengharapkan pemerintah mendatang agar dalam mengisi posisi Menteri Agama dengan figur yang dianggap lebih cakap dan kompeten dalam mengkoordinir, mengatur, dan mengelola penyelenggaraan ibadah haji.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2024/09/13/66e431f8e55e8.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
1 Cerita Bocah Kelas 5 SD Sempat Koma 3 Hari Akibat Diabetes, Keluarga: Kebiasaan Jajan Makanan Instan Surabaya
Cerita Bocah Kelas 5 SD Sempat Koma 3 Hari Akibat Diabetes, Keluarga: Kebiasaan Jajan Makanan Instan
Tim Redaksi
KEDIRI, KOMPAS.com
– Karena penyakit gulanya itu, RFZ (12), bocah asal Kediri, Jawa Timur, mengalami koma selama 3 hari.
Sehingga saat ini RFZ menjalani perawatan di rumah sakit di Malang, Jawa Timur.
Pihak rumah sakit maupun keluarga, terus mengupayakan tindakan terbaik baginya.
Seiring berjalannya waktu, kondisinya berangsur membaik dan mulai tersadar dari komanya.
Selama perawatannya itu, pihak rumah sakit mulai melakukan
tracking
asal usul penyebab gulanya.
Namun dari keluarga yakni kedua orang tuanya, Supriyanto (59) dan Tianah (54), tidak mempengaruhi riwayat genetis gula.
“Bapak dan ibu gak ada yang punya penyakit gula,” ujar Desi Purnamasari, kakak kandung RFZ, Selasa (24/6/2025).
Penelusuran, Purnamasari menambahkan, terus dilakukan dan lebih meluas hingga menemukan hasil.
Penyakit gula yang menimpa adiknya itu diakibatkan oleh faktor gaya hidup.
“Adik saya kena diabetes bukan karena genetis, tapi karena faktor gaya hidup. Yaitu diabetes tipe 1,” Purnamasari menambahkan.
Hal itu, masih kata Purnamasari, selaras dengan temuan penelusuran kebiasaan hidup yang juga dilakukan oleh pihak keluarganya.
Terutama saat RFZ tidak di rumah, yakni kebiasaan hidup saat di lingkungan sekolah.
Bahwa di sekolah, kebiasaan adiknya adalah mengkonsumsi jajanan maupun minuman instan.
Yaitu minuman sachet rasa manis dengan aneka pilihan rasa-rasa.
“Ternyata kata teman-temannya di sekolah, hampir setiap hari adik saya minum minuman instan itu. Padahal kalau di rumah, tidak begitu dan ke sekolah juga dibekali minum air putih,” lanjut dia.
Asal usul penyebab gulanya sudah ditemukan dan kini rumah sakit fokus pada mengembalikan kesehatan RFZ.
Setelah beberapa pekan menjalani perawatan, RFZ sudah kembali mendapatkan staminanya.
Dia pun diperbolehkan pulang dari RS.
Namun sepulang dari rumah sakit itu RFZ harus mulai beradaptasi dengan kebiasaan barunya.
Yaitu mengkonsumsi insulin, sehari 4 kali, untuk mengatasi tingginya kadar gula.
“Menurut dokter insulin itu lebih disarankan untuk anak-anak daripada obat jenis lainnya. Apalagi untuk jangka panjang seterusnya,” kata Purnamasari.
Akibat kondisi itu, kehidupan RFZ berubah total.
Banyak penyesuaian yang dilakukannya.
Termasuk pembatasan pola makan dan aktivitas hariannya.
Begitu juga kehidupannya di lingkungan sekolah yakni SDN Kencong 2 di Kecamatan Kepung, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.
Semua civitas mendorong dan menyemangatinya.
Wali Kelas 5 SDN Kencong II, Diaz Alwi Nala Praya mengatakan, dia juga berupaya terus mendampingi RFZ.
Bahkan sejak saat masih dalam perawatan rumah sakit.
“Pas sakitnya ananda, itu saya pas diangkat jadi wali kelas. Saat itu juga saya turut ke Malang untuk menjenguknya,” ujar Diaz, panggilan akrabnya.
Baik keluarga, lingkungan, maupun pihak sekolah bekerja sama untuk memberikan penyemangat bagi Regina.
Sebelumnya diberitakan, RFZ, seorang bocah asal lereng Gunung Kelud di Desa Kencong, Kecamatan Kepung, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, menjadi penyintas diabetes.
Sejak setahun ini, dia mengelola dan hidup dengan diabetes tipe 1 yang diidapnya.
Setiap hari dia suntik insulin sebanyak 4 kali.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2018/06/24/3415437599.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Politik Narcissus di Negeri Para Ketua Nasional 25 Juni 2025
Politik Narcissus di Negeri Para Ketua
Seorang politisi pecinta bola dan dunia usaha
DI MEDAN
, ada istilah yang sangat populer dan masyhur di berbagai kalangan, yakni kata “ketua”, “engkol”, dan “mengumbang”. Istilah-istilah ini lazim digunakan mulai dari kalangan cendekia hingga akar rumput.
Tulisan ini meminjam ketiga frasa itu untuk menjelaskan benang kusut sosial politik Indonesia dalam bingkai yang disebut sebagai “politik
narsistik
”.
Istilah ini bukan hanya kosakata lokal, tetapi cerminan struktur sosial dan psikologis yang terbentuk dari budaya relasi kuasa.
Ketiga istilah tersebut menunjukkan bagaimana identitas politik terbentuk, dirawat, dan disimbolkan dalam narasi sehari-hari.
Istilah ini tak sekadar kosakata, tetapi bagian dari ekologi sosial-politik yang memperlihatkan bagaimana simbolisme dapat menggeser substansi.
Ia mencerminkan cara
kekuasaan
dimaknai, dipertontonkan, dan dikelola di ranah publik, sekaligus memperlihatkan sisi rapuh dari demokrasi simbolik.
Dalam mitologi Yunani, Narcissus adalah pemuda tampan yang dikutuk jatuh cinta pada bayangan dirinya sendiri. Ia akhirnya mati karena tak mampu melepaskan diri dari refleksi wajahnya di permukaan air.
Kisah ini menjadi simbol obsesi pada citra diri dan ketidakmampuan membangun relasi sejati. Dalam konteks ini, Narcissus menjadi metafora untuk memahami bagaimana kekuasaan dan kebijakan seringkali dikonstruksi demi memuja citra pemimpin.
Narcissus tak hanya gagal mengenali kenyataan, tetapi juga terperangkap dalam cermin identitas yang semu.
Inilah gambaran dari kekuasaan yang tidak lagi melihat rakyat sebagai tujuan, tetapi menjadikan dirinya sebagai pusat imajinasi politik.
Dalam ruang kekuasaan kontemporer, narasi tentang Narcissus menemukan bentuk baru. Ketika pemimpin lebih sibuk mengatur pencitraan ketimbang pengaruh nyata, kita melihat cermin mitologis itu hidup dalam praktik kekuasaan modern.
Tiga istilah tadi membentuk konstruksi sosial politik yang khas. ‘Ketua’ merepresentasikan status simbolik yang datang dengan beban sosial tinggi.
‘Engkol’ adalah strategi pencitraan—baik bagi yang melakukannya maupun yang menerima dampaknya.
Sedangkan ‘mengumbang’ adalah teknik mengangkat lalu menjatuhkan, sebuah seni dalam memainkan narsisme kekuasaan.
Dalam praktiknya, istilah ini menjadi pisau bermata dua—membentuk loyalitas dan pada saat yang sama memelihara kepalsuan.
Istilah-istilah ini telah menubuh dalam tata komunikasi politik lokal dan membentuk gaya kepemimpinan yang cenderung berorientasi simbol.
Bahkan dalam praktik elektoral, ketiga istilah itu hidup dalam interaksi antara elite dan massa. Ia mengatur siapa yang layak naik, siapa yang harus menjaga jarak, dan siapa yang siap dijatuhkan demi tatanan relasi kuasa yang stabil secara simbolik, tapi rapuh secara moral dan struktural.
Christopher Lasch dalam
The Culture of Narcissism
menggambarkan masyarakat yang menjadikan ruang publik sebagai panggung ego.
Jan-Werner Müller menjelaskan bahwa populisme melahirkan pemimpin yang mengidentikkan diri dengan negara.
Sementara Erich Fromm melihat narsisme sebagai pelarian dari ketidakamanan eksistensial. Semua ini membantu memahami fenomena politik narsistik hari ini.
Lasch mengingatkan bahwa narsisme bukan sekadar perilaku individu, tetapi struktur sosial.
Müller memperlihatkan bahaya dari klaim eksklusif kebenaran oleh pemimpin yang merasa diri satu-satunya representasi rakyat.
Fromm menekankan bahwa kekuasaan yang narsistik akan lebih sibuk melindungi citra daripada menyelesaikan persoalan nyata.
Ketiganya menegaskan bahwa narsisme bukan sekadar penyakit personal, melainkan bisa menjadi ideologi politik diam-diam yang dijalankan dengan penuh kesadaran.
Kekuasaan
yang berorientasi citra menjadikan rakyat sebagai latar belakang, bukan subjek utama kebijakan.
Di banyak ruang publik, pemimpin tampil sebagai pusat narasi—bukan sebagai pelayan publik, tetapi ikon yang dipuja.
Istilah ‘ketua’ menjadi status kultural yang mengharuskan pengawalan dan pemujaan. ‘Engkol’ menjadi alat untuk menjaga jarak dengan kekuasaan, dan ‘mengumbang’ sebagai cara menyusun atau merontokkan citra.
Maka tak heran jika wajah pemimpin lebih sering muncul di spanduk ketimbang data kebijakan. Fenomena ini menandai pergeseran dari orientasi pelayanan menjadi pertunjukan berulang tentang siapa yang layak dipuja.
Politik narsistik dalam kebijakan tampak dari: (1) kebijakan demi pencitraan, (2) proyek prestise tak berkelanjutan, (3) minim partisipasi publik, (4) pengambilan keputusan yang sentralistik, dan (5) komunikasi yang lebih visual daripada substansial.
Dari kelima ciri itu, bisa disimpulkan bahwa kebijakan menjadi sarana glorifikasi personal, bukan alat intervensi struktural.
Politik menjadi ruang sinematik, tempat pencapaian dikisahkan secara dramatis dan penuh muatan emosional, tapi miskin substansi jangka panjang.
Relasi kuasa kemudian tidak lagi berbasis mandat rakyat, melainkan pada performa. Seseorang dipilih bukan karena kapasitas, tetapi karena tampilan dan retorika.
Kritik terhadap kebijakan bisa dengan cepat ditafsirkan sebagai penolakan terhadap ‘citra’, bukan sebagai evaluasi rasional terhadap keputusan publik.
Kebijakan sering dibuat bukan sebagai solusi struktural, tapi untuk mengejar efek emosional sesaat—viralitas, simpati publik, atau tepuk tangan media sosial.
Masyarakat dijadikan penonton atas pertunjukan heroisme semu, bukan subjek perubahan. Kebijakan berubah dari alat transformasi menjadi alat pemujaan.
Proyek mercusuar diluncurkan tanpa rencana keberlanjutan, sekadar memantik efek visual dan menenangkan pasar simpati.
Efektivitas kebijakan menjadi nomor sekian, selama framing dan respons publik di media sosial bisa dikendalikan.
Akibatnya, banyak ruang publik menjadi ladang kontestasi visual, bukan arena pertukaran gagasan. Keberanian berpikir dikalahkan oleh keahlian berpose.
Inilah paradoks demokrasi era narsistik: semakin terlihat, semakin dipercaya, walau tak selalu berdasar realitas lapangan.
Gejala ini memperlemah ruang partisipasi. Kritik dianggap serangan pribadi karena pemimpin mengidentikkan dirinya dengan negara.
Sistem deliberatif melemah, digantikan budaya loyalitas. Partisipasi menjadi formalitas belaka, sedangkan keputusan dibuat berdasarkan intuisi politis, bukan evaluasi rasional.
Keterlibatan rakyat diposisikan bukan sebagai pemegang kedaulatan, tetapi sebagai penonton yang harus bersorak. Padahal demokrasi mensyaratkan dialog, bukan sekadar aklamasi. Ketika kritik dibungkam, negara kehilangan fungsi korektifnya.
Budaya narsistik ini tumbuh karena masyarakat permisif terhadap pencitraan, media lebih suka tayangan heroik ketimbang debat substantif, dan pendidikan politik kritis minim.
Masyarakat pun tanpa sadar menjadi pengumbang atau pengengkol, yang membantu melanggengkan logika narsisme.
Ketika ruang publik lebih menghargai retorika daripada rekam jejak, maka pemimpin hanya perlu piawai berbicara, bukan bekerja.
Pendidikan politik yang dangkal, media yang pragmatis, dan masyarakat yang lebih mencintai euforia menjadi lahan subur bagi narsisme kolektif.
Politik narsistik menggantikan nilai dengan impresi, kolektivitas dengan kultus individu. Demokrasi yang sehat tidak lahir dari pemujaan pada ‘ketua’, tetapi dari warga yang kritis menjaga ruang publik dari simbolisme menyesatkan.
Demokrasi butuh substansi, bukan sekadar sensasi. Ini bukan hanya soal figur, tetapi soal arah politik nasional.
Demokrasi harus dibangun di atas kesadaran kritis, bukan mitos tokoh penyelamat. Dalam masyarakat yang sehat, pemimpin adalah pelayan ide, bukan penguasa atas simbol.
Kegelisahan muncul ketika narsisme bukan lagi soal individu, tetapi sistem. Kebijakan publik kehilangan empati, menolak evaluasi, dan menjadikan pemimpin pusat segalanya.
Gejala ini bisa disebut sebagai
Narcissistic Policy Disorder
—bukan diagnosis medis, tetapi istilah reflektif untuk menggambarkan kebijakan yang lebih mencerminkan ego kekuasaan daripada kebutuhan rakyat.
Dalam kondisi ekstrem, seluruh sistem pemerintahan dapat berubah menjadi alat pemantul ego tunggal.
Jika seluruh institusi hanya berfungsi sebagai penguat narasi personal, maka kebijakan publik kehilangan jiwa dan jangkarnya.
Sebagai masyarakat demokratis, kita harus membalik logika ini. Menilai pemimpin dari hasil, bukan hanya narasi.
Melihat kebijakan dari dampak, bukan hanya dari iklan. Menjaga agar ruang deliberatif tetap hidup adalah tugas intelektual sekaligus tanggung jawab kewargaan.
Narcissistic Policy Disorder
adalah panggilan untuk meninjau kembali cara kita menilai kebijakan, tidak hanya dari efektivitas teknis, tetapi dari moralitas dan etika kekuasaan.
Jika kebijakan hanya menjadi cermin pemimpin, maka demokrasi kehilangan arah. Kritik bukan oposisi, tetapi kewarasan publik yang harus dijaga bersama.
Ini juga merupakan ajakan agar akademisi, jurnalis, dan warga aktif terlibat membongkar mekanisme narsisme struktural.
Refleksi publik harus terus dilakukan agar kebijakan tetap berpijak pada kebutuhan rakyat, bukan pada kecemasan personal pemimpin akan ketidakabadian.
Gagasan ini mengajak kita semua, terutama akademisi dan aktor masyarakat sipil, untuk lebih kritis membaca bahasa kekuasaan.
Jika tidak, maka kita berisiko terjebak dalam lingkaran kebijakan yang indah di poster, tetapi hampa di lapangan. Demokrasi yang demikian hanya akan melahirkan kekuasaan yang anti-kritik, rapuh, dan penuh ilusi.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2025/06/21/6856191cd31aa.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/06/24/685a87d179e10.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/06/24/685a56f277f72.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/06/25/685b4153d06e9.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)